BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kasus atau perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang

  dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana. Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses penyelesaian perkara pidanatersebut sebagaimana kita kenal dengan istilah hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

  Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman

  1 Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.

  “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

  Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum pidana yang merupakan tumpuan dari para pencari keadilan selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Keadilan yang dihasilkan melalui proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah merupakan syarat utama untuk menjaga wibawa hukum sebagai panglima yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Putusan- putusan hakim yang kurang adil akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan berkurang, sehingga akan membawa masyarakat ke dalam suatu pemikiran yang enggan menempuh jalur hukum dalam mengatasi permasalahan hukum yang mereka hadapi. Oleh karena itu, hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili di dalam proses peradilan pidana, memiliki peran vital dalam penegakan hukum acara pidana untuk tercapainya kebenaran yang hakiki.

  Penyelenggaraan peradilan pidana sebenarnya tidak hanya dijalankan oleh hakim saja.Komponen struktur dalam Sistem Peradilan Pidana sebagai aparat penegak hukum yang mengemban tugas dan fungsi mekanisme proses peradilan pidana melibatkan berbagai unsur seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat yang bekerja mulai dari proses penyelidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai akhirnya pada pemeriksaan di sidang pengadilan hingga pada pemidanaan. Namun, institusi komponen sub sistem Peradilan Pidana yang dipandang sebagai titik kunci lahirnya embrio keadilan itu, adalah Pengadilan yang selama ini dianggap oleh publik terutama pencari keadilan sebagai tempat lahirnya sebuah keadilan melalui putusan (vonis) hakim yang secara teoritikal dikenal dengan putusan pengadilan atau putusan hakim.

  Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan

2 Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Putusan hakim yang merupakan putusan peradilan merupakan aspek penting dalam menyelesaikan perkara pidana.Dapat dikatakan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang statusnya. Sedangkan di lain pihak hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan mempertimbangkan sifat baik ataupun sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan memang sesuai dengan kesalahannya.

  KUHAP telah menjelaskan proses peradilan pidana yang harus dilalui sampai kepada acara penjatuhan keputusan oleh hakim. Sebelum sampai pada acara pengambilan keputusan oleh hakim maka terlebih dahulu Jaksa Penuntut Umum harus melengkapi berkas dengan surat dakwaan yang telah dibuat setelah menerima berkas dari penyidik.

  Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umumyang berisi fakta-fakta

                                                               2 yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan pengambilan keputusan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum, sama dengan perkara perdata dibatasi pula oleh apa yang digugat.

  Pada tahap penuntutan, dapat terjadi kemungkinan Penuntut Umum kurang teliti dan cermat dalam mendakwakan tindak pidana terhadap terdakwa.

  Kelalaian Penuntut Umum tersebut dapat mengakibatkan terdakwa bebas dari jeratan hukum sebagaimana amanah Pasal 184 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan akan batal demi hukum.

  Tugas Hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan hukum yang didalamnya mengandung makna bahwa Hakim dalam memutus perkara harusnya berdasar hukum, artinya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sebab Hakim bertugas mempertahankan tertib hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya.

  Pendapat tersebut apabila dihubungkan dengan yang tersurat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai "Kebebasan Hakim" atau kebebasan Peradilan yang secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka kebebasan yang dimaksud bukan merupakan hak istimewa bagi Hakim untuk berbuat dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus dimaknai dengan kebebasan yang terikat atau terbatas.

  Meskipun telah secara jelas kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh undang-undang, namun di sisi lain Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut pula wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana isi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

  Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri atau bersifat dinamis, sementara hukum berkembang dengan sangat lambat atau cenderung statis. Seiring dengan bergulirnya waktu maka kedua hal tersebut akan bertentangan. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi Hakim dalam memutus suatu perkara yang diadilinya.

  Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat meyakinkan hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang benar adanya.Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas."Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim dalam memberikan putusan.

  Hal ini dengan jelas memberitahu kita bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia mengakui dakwaan daripada Jaksa Penuntut Umum yang ada dalam Surat Dakwaannya merupakan landasan daripada pemeriksaan di persidangan dan juga sebagai dasar putusan yang akan dijatuhkan hakim. Jika ternyata apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya tidak terbukti, maka terdakwa mau tidak mau harus dibebaskan.

  Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun ternyata dalam praktek peradilan pidanamasih ada Hakim yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan Penuntut Umum.

  Hakim dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak tertulis di dalam surat dakwaan, yang pada pokoknya hal ini sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum dan tidak sesuai dengan isi Pasal 182 ayat (4) KUHAP yaitu "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang." Hal ini dapat dilihat melalui putusan majelis hakim pada kasus yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011.

  Melalui kedua putusan atas kasus narkotika pada tingkat kasasi ini pula, dapat dilihat penyelesaian oleh judex jurist yang berbeda terhadap dua permasalahan yang serupa, yaitu judex factie yang menjatuhkan vonis atas tindak pidana yang tidak terdapat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  Dengan adanya perbedaan pertimbangan yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan tersebut menimbulkan kegamangan akan hukum acara pidana sehingga dipandang perlu dicarikan solusi hukumnya demi tegaknya wibawa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

  

MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG

DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012

Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)."

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut, dijelaskan bahwa KUHAP mewajibkan hakim untuk memutus suatu perkara pidana sesuai dengan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum.

  Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

  1. Bagaimana dasar hukum putusan hakim terhadap perbuatan yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan?

  2. Bagaimana perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam perkara tindak pidana narkotika pada putusan Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  2. Untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah: a.

  Manfaat teoritis Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan yang memberikan landasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang tidak didakwakan dalamsurat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  b.

  Manfaat praktis Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi semua kalangan termasuk kalangan akademisi dan penegak hukum untuk dengan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.

D. Tinjauan Pustaka

  1. Narkotika dan Lingkup Tindak Pidana Narkotika Narkotika berasal dari Bahasa Inggris “narcotics” yang artinya obat bius.

  Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper somniferum (candu), Erythroxyion coca (kokain), Cannabis sativa (ganja) baik murni maupun bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan syaraf yang dapat membuat kita tida merasakan apa-apa, bahkan bila bagian tubuh kita disakiti sekalipun.

3 Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang

  dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.

  Definisi narkotika sendiri telah diatur secara khusus di dalam Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.

  Pasal 1 angka 1 UU Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

  Jenis-jenis narkotika di di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi: a.

  Narkotika golongan I Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi.Serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

  b.

  Narkotika golongan II Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

  c.

  Narkotika golongan III Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

  Narkotika di sisi lain merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

4 Narkotika apabila digunakan secara benar, yaitu digunakan untuk

  kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

  5

  maka hal tersebut bukan merupakan penyalahgunaan narkotika. Akan tetapi, apabila digunakan untuk maksud yang lain dari hal tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan narkotika dan dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Narkotika.

  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menentukan beberapa ruang lingkup tindak pidana narkotika, yaitu yang terdapat dalam Bab XV mengenai Ketentuan Pidana di Pasal 111 sampai Pasal 148. Ruang lingkup tindak pidana narkotika tersebut antara lain: a.

  Tindak Pidana menyangkut Penguasaan Narkotika

  Pasal 111 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasao, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan Pasal 112 mengklasifikasikannya untuk yang bukan tanaman. Pasal 117 mengatur mengenai setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II dan Pasal 122 untuk Narkotika Golongan III.

                                                               4 b.

  Tindak Pidana menyangkut Produksi Narkotika

  Pasal 113 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. Pasal 118 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 123 untuk Narkotika Golongan III.

  c.

  Tindak Pidana menyangkut Jual Beli Narkotika

  Pasal 114 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Pasal 119 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 124 untuk Narkotika Golongan III.

  d.

  Tindak Pidana menyangkut Pengangkutan Narkotika

  Pasal 115 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit Narkotika Golongan I. Pasal 120 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 125 untuk Narkotika Golongan III. Pasal 139 juga mengatur tentang nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28, yaitu ketentuan mengenai prosedur pengangkutan narkotika.

  e.

  Tindak Pidana menyangkut Penyalahgunaan Narkotika Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau

  6 melawan hukum. Pasal 116 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Pasal 121 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 126 untuk Narkotika Golongan III.

  Pasal 127 juga mengatur tentang penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sebagai berikut: Pasal 127 UU Narkotika

  1) Setiap Penyalah Guna: a.

  Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b.

  Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c.

  Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal

  54, Pasal 55, dan Pasal 103. 3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan

  Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  f.

  Tindak Pidana menyangkut Tidak Melapor Pecandu Narkotika UU Narkotika di dalam Pasal 55 mengatur mengenai pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk pemerintah agar mendapat pengobatan dan/atau perawatan.

  Pasal 128 mengatur setiap orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor. Pasal 134 mengatur pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan sengaja tidak melaporkan diri.

  Sedangkan Pasal 131 mewajibkan setiap orang untuk melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1), 128 ayat (1), dan 129.

  g.

  Tindak Pidana menyangkut Prekursor Narkotika Prekursor merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang

  7 digunakan dalam pembuatan narkotika.

  Pasal 129 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: 1)

  Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

  2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

  Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; 3)

  Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

  4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

  Pasal 145 juga mengatur setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar wilayah Negara Republik Indonesia.Sedangkan Pasal 146 mengaturnya terhadap Warga Negara Asing.

                                                               7 h.

  Tindak Pidana yang dilakukan oleh Korporasi

  Pasal 130 mengatur tentang tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129 yang dilakukan oleh korporasi. i.

  Tindak Pidana Percobaan, Permufakatan, Pengulangan Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika

  Pasal 132 mengatur tentang percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129, baik secara terorganisasi atau tidak.

  Pasal 144 mengatur setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1), 128 ayat (1), dan 129. j.

  Tindak Pidana menyangkut Pemanfaatan Anak Di Bawah Umur

  Pasal 133 ayat (1) mengatur setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum

  Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129.Sedangkan ayat (2) mengatur dalam hal anak yang belum cukup umur menggunakan Narkotika tersebut. k.

  Tindak Pidana menyangkut Labeldan Publikasi Narkotika

  Pasal 135 mengatur tentang Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, yaitu kewajiban untuk mencantumkan label pada kemasan Narkotika. l.

  Tindak Pidana menyangkut Hasil Tindak Pidana Narkotika

  Pasal 136 mengatur tentang Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil- hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor Narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

  Pasal 137 mengatur setiap orang baik yang melakukan ataupun menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau asset baik dalam bentuk bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor Narkotika. m.

  Tindak Pidana menyangkut Jalannya Peradilan

  Pasal 138 mengatur setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan. n.

  Tindak Pidana menyangkut Penyitaan dan Pemusnahan Narkotika

  Pasal 140 ayat (1) mengatur setiap penyidik PNS yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan 89, yaitu prosedur penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita. Sedangkan ayat (2) mengatur setiap penyidik kepolisian RI dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan yang termasuk dalam Pasal 87, 89, 90, 91 ayat (2) dan (3), 92 ayat (1), (2), (3), dan (4), yaitu prosedur penyimpanan, pengamanan, dan pemusnahan barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

  Pasal 141 mengatur kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1), yaitu ketentuan untuk menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pembuktian perkara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan. o.

  Tindak Pidana menyangkut Penyimpangan Fungsi Lembaga

  Pasal 142 mengatur petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.

  Pasal 147 memberi ketentuan bagi: 1) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; 2) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

  3) Pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

  4) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. p.

  Tindak Pidana menyangkut Keterangan Palsu

  Pasal 143 mengatur saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan.

  2. Surat Dakwaan dan Syarat-Syarat Membuat Dakwaan Istilah “Surat Dakwaan” merupakan kata yang diperkenalkan melalui ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Sebelum itu, dalam Het Herziene Inlandsch

  

Reglement (HIR, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dengan istilah “Surat

  Tuduhan” atau “Acte van beschuldiging.” Selain itu mengenai surat dakwaan dengan istilah “Acte van verwijzing” atau pada istilah hukum Inggris dalam

  8

  rumpun Anglo Saxon dikenal dengan istilah “imputation.” Dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai batasan tentang apa yang dimaksud dengan surat dakwaan. Oleh karena itu, dapatlah beberapa batasan ataupun definisi tentang “Surat Dakwaan” yang telah dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum pidana/hukum acara pidana, antara lain: a.

  A. Karim Nasution, menyatakan bahwa: “tuduhan (dakwaan) adalah suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup

  9

  terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.” b. M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa:

  “surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan

  10

  bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.” c.

  A. Soetomo, menyatakan bahwa: “surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut

  Umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di Sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan

                                                               8 9 Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 37.

A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, Jakarta: P.N.

  Percetakan Negara R.I, 1972, hal. 75. 10 dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat

  11

  dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.” Dari beberapa batasan tersebut, dapat disebutkan bahwa dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan ini pemeriksaan persidangan dilakukan.Surat dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan oleh penyidik.Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam suratdakwaannya sebagaimana ketentuan putusan Mahkamah Agung RI Nomor

  12 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.

  Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam mengadili terdakwa, pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana

  13 disebutkan dalam surat dakwaan dari Penuntut Umum.

  Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk perbuatan-perbuatan yang

  14 tidak tercantum dalam surat dakwaan.

                                                               11 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen, Jakarta: Pradnya Paramitam, 1989, hal. 4. 12 13 Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 39. 14 Ibid.

  Surat dakwaan sangat berguna untuk hakim, penuntut umum, bahkan terdakwa. Fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:

  15 a.

  Bagi hakim: 1.

  Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup pemeriksaan sidang;

  2. Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa.

  b.

  Bagi penuntut umum: 1.

  Merupakan dasar pelimpahan perkara; 2. Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis; 3. Merupakan dasar tuntutan pidana; 4. Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.

  c.

  Bagi terdakwa/penasihat hukumnya: 1.

  Merupakan dasar pengajuan eksepsi; 2. Merupakan dasar pembelaan diri, karena itu dakwaan harus cermat, jelas, dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.

  Dalam membuat isi surat dakwaannya, Penuntut Umum harus memperhatikan syarat-syarat yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP agar surat dakwaan tersebut tidak batal demi hukum. Syarat-syarat tersebut yaitu bahwa surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

                                                               15 H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang

  a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP ini dapat dikatakan sebagai syarat formal surat dakwaan. Identitas ini dimaksudkan agar orang yang didakwa dan diperiksa di persidangan itu adalah terdakwa yang sebenarnya bukan orang lain. Apabila syarat formal tidak seluruhnya dipenuhi dapat dibatalkan oleh hakim, karena dakwaan tidak jelas kepada siapa ditujukan.Hal ini untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orangnya atau

  16 pelaku tindak pidana yang sebenarnya.

  Sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP ini merupakan syarat material dari surat dakwaan. Surat dakwaan memut uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

  17

  dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Namun, KUHAP tidak memberikan pengertian yang jelas terhadap unsur cermat, jelas, dan lengkap tersebut.Oleh karena itu, dapat dilihat pengertiannya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: a.

  Cermat = penuh minat (perhatian); saksama; teliti b. Jelas = terang; nyata; gambling; tegas; tidak ragu-ragu atau bimbang

                                                               16 Ratna Sari, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana, Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995, hal.

  c.

  Lengkap = tidak ada kurangnya; genap Dengan menguraikan tindak pidana secara teliti, terang, tegas, dan komplit dimaksudkan akan memberi gambaran yang mudah bagi hakim maupun terdakwa.

  Penguraian tersebut Penuntut Umum wajib menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Mengenai pentingnya waktu disebutkan dalam surat dakwaan adalah dalam hubungannya dengan kejelasan tentang ketepatan pelaksanaan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Di samping itu juga dalam hubungannya dengan gugurnya hak menuntut sebagaimana ketentuan Pasal 78 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).Sedangkan pentingnya penyebutan tempat tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam hubungannya dengan kompetensi relatif

  18 (wewenang nisbi) pengadilan negeri.

  Menyadari betapa pentingnya peranan surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Jaksa Agung mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat Edaran tersebut ditujukan agar dapat keseragaman para Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam Surat Edaran ini, disebutkan tentang bentuk- bentuk surat dakwaan antara lain: a.

  Dakwaan Tunggal Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya;

                                                               18 b.

  Dakwaan Alternatif Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. Contoh dakwaan alternatif:

  Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP) Atau

  Kedua : Penadahan (Pasal 480 KUHP) c. Dakwaan Subsidair

  Sama halnya dengan dakwaan alternative, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya.Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.

  Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Contoh dakwaan subsidair:

  Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) Subsidair: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) d. Dakwaan Kumulatif

  Dalam surat dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu.

  Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut.Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing berdiri sendiri.

  Contoh dakwaan kumulatif: Kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan

  Kedua: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) dan Ketiga: Perkosaan (Pasal 285 KUHP) e.

  Dakwaan Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair. Contoh dakwaan kombinasi:

  Kesatu: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); dan

  Kedua: Primair: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); Subsidair: Pencurian (Pasal 362 KUHP)

  Apabila dalam pembuktian di persidangan, kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai rumusan surat dakwaan, maka pengadilan akan menghukumnya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam surat dakwaan, maka pengadilan akan membebaskan terdakwa.

  3. Hakim, Penemuan Hukum, dan Putusan Hakim Tugas merealisir hukum oleh kekuasaan kehakiman, yang secara nyata

  19

  dibebankan kepada para hakim, meliputi dua hal yaitu: a.

  Pertama ialah melakukan peradilan yaitu menentukan penyelesaian perkara konflik oleh hakim sebagai pihak ketiga dalam kualitasnya sebagai instansi yang tidak memihak antara para pihak yang berperkara dalam

                                                               19 kasus konflik yang konkret individual yang dihadapkan kepada badan kehakiman; b.

  Kedua ialah mengeluarkan suatu ketetapan pengadilan berujud di dalam pernyataan pengadilan terhadap permohonan seseorang atau sejumlah orang-orang yang menghendaki untuk memperoleh kepastian tentang bagaimana bunyi kaidah kasus konkret yang menjadi pertanyaan yang dihadapi oleh orang atau sekelompok orang yang bersangkutan menurut ketentuan hukum dasar.

  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Selanjutnya di dalam penjelasannya dikatakan bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

  Dalam praktek pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum, dan penerapan hukum.Di antara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR).Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus

  20 suatu perkara.

  Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, dapatlah dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa

  21 hukum yang timbul dalam masyarakat.

  Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili” mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang- undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal menyelesaikan perkara, hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.Ketentuan Pasal 10 ini menjelaskan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.Pencari keadilan datang kepadanya untuk

                                                               20 H. Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Mahkamah Agung Direktorat Jenderal Badan PeradilaN Agama, diakses dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20HAKIM-AM.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 14.45 WIB. 21 mohon keadilan. Apabila ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang

  22 bijaksana dan bertanggung jawab.

  Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau

  23 menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.

  Ada dua unsur penting dalam penemuan hukum.Pertama, hukum/sumber hukum dan kedua adalah fakta.Pada awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum adalah undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat yang dikenal dengan istilah “De wet is onschendbaar” (undang-undang tidak dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda tertuang secara eksplisit dalam

  Pasal 120 Grondwet. Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua hukum

  24

  ditemukan dalam undang-undang. Oleh karena itu, unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudensi, perjanjian, dan kebiasaan.

                                                               22 H. Boy Nurdin, Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia , Bandung: Alumni, 2012, hal. 87. 23 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan keenam, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal 37-38. 24   J. A. Pontier, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta dalam Eddy O. S.

  Asas-asas umum hukum sebagaimana yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan atau doktrin memegang peranan yang cukup penting dalam penemuan hukum di pengadilan.Hal ini disebabkan karena asas hukum biasanya melandasi suatu peraturan hukum konkret.Demikian pula yurisprudensi merupakan sumber hukum mandiri, kendatipun yurisprudensi bukan merupakan peraturan hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat para pihak dalam sengketa konkret yang diajukan padanya. Hakim memang tidak terikat pada putusan-putusan hakim yang lebih tinggi atau pada putusan-putusan hakim sebelumnya, akan tetapi, berdasarkan asas similia similibus dan tuntutan kepastian

  25 hukum, secara bersyarat hakim terikat pada putusan sebelumnya.

  Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Yang profesinya melakukan penemuan hukum terutama adalah hakim, karena tiap harinya ia dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan.Di samping itu hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan

  26 sumber hukum juga.

  Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

8 79 154

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

Kajian Yuridis Putusan Rehabilitasi terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Mahkamah Agung No.593/K.Pid. Sus/2011)

0 9 10

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 11

BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Per

0 0 37