BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Liberalisasi Pendidikan Dalam Kerangka GATS : Kajian Hukum Terhadap Pendirian Perguruan Tinggi Asing Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik

  untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat serta untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal ini diakibatkan oleh kontribusi pendidikan tersebut pada berbagai sektor kehidupan baik ekonomi, kemanusiaan, demokrasi dan lain sebagainya. Pada bidang ekonomi misalnya hasil penelitian Katharina Michaelowa menunjukkan bahwa pendidikan memberi dampak kepada individu dan lingkungannnya melalui peningkatan pendapatan dan kesiapan memasuki lapangan kerja (micro) yang pada akhirnya

   berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja (macro).

  Gbr 1. Dampak Pendidikan Tehadap Ekonomi 1 Sumber : Katharina (2000) Katharina Michaelowa. Returns to Education in Low Income Countries: Evidence for Africa

  Diakses dari Diakses dari http://www1.aucegypt.edu/src/skillsdevelopment/pdfs/returns%20to%20educati cation%20low %20inco m tanggal 20 Oktober 2012

  Deepa Rawat mengatakan bahwa “education is the engine of economic growth

  

and sosial change. ...... Education not only increases the economic returns but also has

a significant effect on poverty, income distribution, health, fertility, mortality,

population growth and overall quality of human life. Jauh sebelumnya, Immanuel Kant

  sebagaimana dikutip oleh Moira Murphy mengatakan bahwa “ the purpose of education

  

is to train children, not only with reference to their success in the present state of

society, but also to be a better possible state in accordance with an ideal conception of

humanity” .

   Bangsa-bangsa di dunia melalui Universal Declaration on Human Rights 1948

  dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights mengakui bahwa

  

“ … that education shall enable all persons to participate effectively in a free society,

promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial,

ethnic or religious groups, and further the activities of the United Nations for the

   maintenance of peace“ .

  Dari penjelasan di atas maka sangat tepat apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, dalam pidatonya di Wakefield High School di Arlington menyatakan bahwa “ What you're learning in school today will determine whether we as

   a nation can meet our greatest challenges in the future.2 Moira Murphy. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote

  

Equality of Opportunity at Monterrey Tech ., diakses dari

tanggal 10 April 2012 3 4 Article 26 5 Article 1.3 GATS Obama's speech on importance of education. Diakses dari

  

009/09/08/Obamas-speech-on-importance-of-education/UPI-21501252429738/ pada tanggal 10

Januari 2013

  Robert Sedgwick mengatakan “in most countries around the world, education has

  

traditionally been viewed as a public good provided and guaranteed by the state”.

  Status public goods/service yang disandang oleh pendidikan sangat penting dalam mengimplementasikan tanggungjawab negara dalam penyediaan dan pendanaan pendidikan tersebut. Sandy Baum mengatakan “The concept of public goods is central

   to economic analysis of the role of government in the allocation of resources”.

  Dari konteks pendanaan pendidikan, konsep pendidikan sebagai layanan publik lebih terlihat pada pendidikan dasar.Hal ini sejalan sejalan dengan amanat Universal

  

Declaration on Human Rights 1948 bahwa “ everyone has the right to education.

Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary

education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made

generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis

of merit.” Konsep tersebut menunjukkan bahwa negara hanya berkewajiban untuk

6 Publik service adalah jasa yang disediakan oleh negara kepada masyarakat yang tinggal di wilayah

hukumnya baik secara langsung melalui sektor publik ataupun melalui sektor swasta yang dibiayainya.

  

Jasa yang demikian harus tersedia kepada setiap orang tanpa tergantung pada jumpah pendapatan mereka Diakses pada tanggal 20 Des. 2013) 7 Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari ada tanggal 12 Maret 2012 Menurut Markus, pemahaman terhadap publik service dapat dilakukan dengan tiga pendekatan.

Pendekatan pertama berbasis pada apa yang disupply (what is supplied). Misalnya pendidikan, kesehatan,

transportasi publik, dll. Pendekatan kedua berbasis pada kepada siapa jasa tersebut diberikan dan dengan

persyaratan apa (whom and under which conditions the service is supplied). Pendekatan ketiga berbasis

pada siapa yang akan memberikan pelayanan tersebut (who is supplying the service). Dengan pendekatan

ini bahwa suatu jasa disebut publik service jika pengadaannya ada pada badan publik. Baca : Markus

Krajewski. Publik Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001. Hal 4 Akses terhadap layanan publik yang baik merupakan satu hak yang paling dasar yang dapat dituntut

oleh warga negara dari Pemerintah sebagai kompensasi atas pembayara pajak mereka. ( Open Publik

Services White Paper. Diunduh dari http://files.openpublikservices.cabinetoffice. gov.uk/OpenPublik Services-WhitePaper.pdf pada tanggal 10 Des.2012) 8 Sandy Baum. Is Education a Public Good or a Private Good? Dapat diakses pada http://chronicle mendanai pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan tinggi negara hanya berkewajiban untuk menyediakannya yang terbuka untuk umum tanpa diskriminasi.

  Dengan demikian, kebijakan (pendanaan) pemerintah terhadap pendidikan tinggi kondisional. Camelia Stejar mengatakan “ countries that have a low inclusion rate of

  

high-school graduates in universities, perhaps the term “public good” is still fully

associated with higher education”

  Sandy Baum daberpendapat bahwa bahwa pendidikan tinggi tidak murni sebagai public goods karena masyarakat yang tidak sanggup membayar tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Seseorang yang menikmati pendidikan tinggi memperoleh manfaat langsung dari jasa pendidikan tinggi yang diperolehnya seperti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun masyarakat juga mendapat manfaat dari jasa pedidikan tinggi yang diterima orang lain karena tamatan perguruan tinggi tersebut akan memberi kontribusi melalui inovasi dan kreativitasnya pada

   masyarakat sekitarnya.

  Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian pendidikan merupakan mission of state. Hal ini kemudian dipertegas di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SPN) dimana salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, 9 Camelia Stejar . Higher Education: Public Good Or Public Service? Analysis from the

  

perspective of International . Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6,

No.1. 2011. hlm 150 10 Op.Cit.

  Sandy Baum . sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis. Dengan perkataan lain bahwa walaupun Pemerintah tidak berkewajiban secara penuh pada pendanaan pendidikan tinggi, statusnya adalah sebagai layanan social negara kepada warga negara atau sebagai layanan publik. UU No.25 tahun 2005 tentang Layanan Publik secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan merupakan layanan publik.

  Hakikat pendidikan sebagai layanan publik sebagaimana dijelaskan di atas mulai mengalami pergeseran sejak lahirnya WTO dan disepakatinya perjanjian internasional GATS tahun 1994, karena di dalam perjanjian tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa pendidikan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan secara internasional. Melalui GATS, negara-negara anggota WTO sepakat untuk meliberalisasi jasa pendidikan tinggi. Bagi Indonesia, pendidikan sebagai layanan publik secara juridis mengalami distorisi sejak Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade

  

organization) karena secara juridis, Indonesia telah menerima konsep pendidikan

sebagai komoditas sebagaimana diatur di dalam GATS.

  Bagi Indonesia, pergesaran paradigma pendidikan tinggi sebagai layanan publik menjadi komoditas perdagangan internasional paling tidak menimbulkan dua 11 Di dalam Konsideran UU No.7 tahun 1994 disebutkan bahwa pertimbangan Pemerintah

  

meratifikasi WTO adalah untuk meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi

segala produk baik barang maupun jasa serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam

perdagangan internasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. permasalahan mendasar. Permasalahan pertama adalah kemampauan lembaga pendidikan tinggi Indonesia bersaing dengan pendidikan tinggi asing. Di kawasan Asia, mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77 perguruan tinggi. Di tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada

  

  ranking 11. Permasalahan mendasar yang kedua adalah permasalahan hukum. Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan amanat konsitusi dan aturan perundang-undangan; dalam hal ini memperlakukan pendidikan sebagai layanan publik. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia harus menghormati segala kesepakatan yang sudah dicapai di dalam WTO/GATS , termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Dengan demikian, dalam memandang pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia terikat pada dua hukum yang saling kontradiksi, yaitu UUD 1945 dan aturan perundang-undangan lainnya sebagai hukum nasional dan GATS sebagai perjanjian/ hukum internasional.

  Tim Graewert menyebutkan bahwa konflik hukum terjadi jika dua atau lebih norma hukum yang berbeda secara substansi ditujukan pada objek yang sama, dan oleh karena itu harus dibuat pilihan hukum yang akan digunakan. “ ... a conflict of law results

  

from two or more norms which are different in substance but apply to the same or

similar facts, and whose application would lead to contrary decisions, so that a choice

   must be made between them12 Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012 13 Tim Graewert. Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional

trade agreements and the WTO . Diunduh dariwto /project/ admin/SharePics/A_03_05%20pp%20287_Tim_Graewert.pdf tanggal 23 Juni 2012 Pilihan hukum sebagaimana disampaikan Tim Graewert di atas tidak diterapkan di dalam rejim WTO/ GATS. Konsep yang justru dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistem hukum nasional negara-negara anggota WTO, dan implementasinya akan diatur melalui peraturan nasional masing-masing (domestic regulation). Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan sebagai komoditas mengikat Indonesia yang implementasinya akan diatur selanjutnya melalui aturan perundang-undangan nasional.

  Solly Lubis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia yang tinggi pada negara- negara maju membuat Indonesia harus pragmatis. Dengan perkataan lain bahwa Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari kecenderungan yang terjadi di dunia karena alasan tidak sesuai dengan konstitusi.

  Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari lilitan gurita neo liberalisme itu karena bagaimanapun muluk dan idealnya nilai-nilai yang paradigmatik dalam Pancasila dan UUD kita, namun karena faktor ketergantungan (dependancy) kita kepada negara – negara lain amat kuat, maka tidak mungkin strategi politik dapat kita lakukan secara mendasar (grounded) sesuai dengan nilai nilai ideologis kita, sehingga dalam beberapa hal kita terpaksa memilih jalan pragmatis, untuk

   memenuhi kepentingan kita yang mendesak.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsistem dari Sistem

  14 Pendidikan Nasional di Indonesia ?

  Solly Lubis. Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, dalam rangka ultah ke-80 Prof. Solly Lubis , (Jakarta: PT.Soefmedia, 2010), hal 72

  2. Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi asing dalam perundang-undangan di bidang pendidikan di Indonesia ?

3. Bagaimana dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui tentang pengaturan pendidikan tinggi sebagai sub Sistem dari Sistem pendidikan nasional.

  2. Untuk mengetahui eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang- undangan di Indonesia.

  3. Untuk mengetahui dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

  Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kajian selanjutnya dalam menempatkan pendidikan tinggi Indonesia dari pespektif layanan publik dan komoditas menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

  Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dalam membuat kebijakan dan aturan hukum di bidang pendidikan tinggi, dan oleh DPR atau DPRD dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah dalam bidang pendidikan tinggi . Hasil penelitian ini juga akan dapat dimanfaatkan oleh para penyelengga dan satuan pendidikan tinggi dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi secara umum, dan dalam menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan tinggi dengan pihak asing secara khusus.

E. Keaslian Penelitian

  Sesuai dengan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan melalui Internet, tidak ditemukan penelitian dengan judul atau kajian yang sama. Namun demikian, ditemukan beberapa penelitian yang membahas tentang pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan WTO/ GATS: 1.

  Que Anh Dang, mahasiswa magister bisnis di Copenhagen Business School, dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in China and

  Vietnam: From Importers of Education to Partners In Cooperation . Penelitian

  ini membahas tentang : a.

  Alasan China dan Vietnam melaksanakan internasionalisasi pendidikan tinggi, b.

  Perbedaan strategi yang dilaksanakan China dan Vietnam dalam internasionalisasi pendidikan tinggi c.

  Cakupan dampak WTO/GATS terhadap pelaksanaan dan kebijakan cross border education di China dan Vietnam.

2. Aleš Vlk, mahasiswa doktoral di Universiteit Twente, dengan judul desertasi

  Higher Education And GATS. Regulatory Consequences and Stakeholders’ Responses .” Penelitian ini membahas tentang :

  a.

  Pengaruh GATS terhadap legislasi pendidikan tinggi b.

  Posisi dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam negosiasi GATS pada bidang pendidikan tinggi c.

  Faktor-faktor yang relevan memberi dampak pada kapasitas negara dalam bidang pendidikan tinggi

3. Nasir Karim, mahasiswa doktoral jurusan Manajemen pada Qurtuba University

  of Science & Information Technology , Korea Selatan dengan judul thesis Managing Higher Education In Pakistan Under GATS Environment. Penelitian

  ini membahas tentang bagaimana pengelolaan pendidikan tinggi di Pakistan dalam kerangka GATS.

  4. Cibele Cessa, mahasiswa Magister Universiteit Van Amsterdam, dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS

  and Other International Cooperation Initiatives” Tesis ini membahas tentang : a.

  Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem pendidikan tinggi Brazil dalam internasionalisasi pendidikan tinggi khususnya dalam komitmen yang diberikan di dalam GATS.

  b.

  Alasan-alasan dan kepentingan yang mendorong Brazil lebih memilih kerja sama Internasional daripada GATS c.

  Alasan para pihak Non Government tidak setuju dengan kerjasama internasional pendidikan tinggi.

  Ditinjau dari bidang ilmu dan objek kajian yang dibahas pada penelitian-penelitian di atas tidak terdapat kesamaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

  Semua pendapat yang dikutip dari berbagai sumber dalam penelitian ini telah dicantumkan sumber dan nama penulisnya sebagaimana mestinya. Dengan demikian, keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka teori

  Solly Lubis mengatakan bahwa landasan teori merupakan kerangka pemikiran, butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan sebagai pegagangan teoritis dalam membuat kerangka berpikir dalam

   penulisan.

  Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Sistem Hukum dan teori Monisme.

  Teori Sistem hukum merupakan teori yang membahas tentang bekerjanya komponen- komponen hukum secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum, sementara teori monisme membahas tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional.

a. Teori Sistem Hukum

  Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem merupakan suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan

  

  dan saling mempengaruhi. Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya

   dengan unsur-unsur lain sehingga keseluruhannya seperti mozaik atau legpuzzle .

  15 16 M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. (Bandung: Mandar Madju, 1994) hal.80 17 Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, (Salatiga: FH UKSW, 2005) hal. 65 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Penerbit UAJY, 2010) hal. 24

  Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan

  

  dalam masyarakat (restitutio in integrum) Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal

  structure ) dan budaya hukum (legal culture).

  Substansi hukum merupakan materi, norma atau aturan hukum yang menjadi panduan dan tolak ukur dalam berperilaku yang wujudnya dalam bentuk perundang- undangan atau aturan hukum. “ The substance is composed of substantive rules and

  

rules about how instututions should behave .” Beberapa substansi hukum yang

  berkenaan dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berlaku diantaranya adalah UU No. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

  Struktur hukum adalah organisasi atau insitusi yang merupakan rangka dari Sistem hukum tersebut. The structure of the system is it’s skeletal framework; it is the

  

permanent shape, the institutional body of the system. Struktur hukum berfungsi

  sebagai pelaksana dari substansi hukum, dalam bidang pendidikan diantaranya adalah Depdikbud, , BP-PTS, BAN PT, Kopertis, termasuk perguruan tinggi itu sendiri. 18 19 Ibid, hal 31 Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell

  Sage Foundation, 1975) Hal. 11-16 Mengenai substansi hukum, L.A Hart menjelaskan bahwa Sistem hukum terdiri dari “primary rules”

dan “secondary rules”. Primary rules adalah norma prilaku dan secondary rules merupakan norma yang

mengatur norma-norma tersebut.( H.L.A Hart. The concept of law, 1961. Hal 91-92) 20 Ibid . hal 15

  Budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang masyarakat terhadap hukum. “ Legal culrure is the element of sosial attitude and value. Legal

  

Structure refers to those parts of general culture – custom, opinions, ways of doing and

   thinking-that bend sosial forces toward or away from the law and in particular ways

  Budaya hukum sebagai kekuatan sosial berperan penting dalam menentukan efektifitas substansi hukum. “ What gives life and reality to the legal system is the outside, sosial

  

world. The legal system is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from

   outside”

  Abduh Manan mengatakan tingkat kesadaran hukum tercermin dari kepatuhan dan

  

  ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut. Paul Scholten bahkan mengatakan kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya

   kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.

  Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum ini sebagai satu sistem merupakan satu kesatuan yang bekerja secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum tersebut. “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure,

   substance, and culture interact .”

  Sebagai contoh bagaimana ketiga unsur hukum tersebut berinteraksi satu sama lain dapat dilihat dari contoh berikut. Pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu 21 22 Ibid. 23 Ibid. hal 15 24 Abdul Manan,. Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana. 2009 ) . hal.19-20 Kesadaran Hukum. diakses dariesadaran-

  hukum/ pada tanggal 30 Maret 2012 25 Lawrence M. Friedman. Op.Cit. hal 16

  

  pendidikan, telah mensyaratkan guru harus minimal berijajah sarjana (S1) . Melalui ketentuan ini Pemerintah mengharapkan guru-guru yang belum berpendidikan sarjana untuk dapat melanujutkan kuliah mereka ke jenjang Sarjana. Kenyataanya ada oknum- oknum guru yang justru memperoleh ijajah Sarjana dengan cara-cara yang tidak

  

  semestinya, misalnya membeli ijajah. Praktik yang demikian juga terjadi pada profesi lainnya, bahkan ada aknum-oknum yang berani menggunakan ijazah palsu untuk

  

  mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. Hal tersebut merupakan prilaku atau budaya hukum yang konradiktif dengan tujuan dibuatnya UU No. 14 Tahun 2005 tersebut. Praktik tersebut semakin langgeng karena tidak berfungsinya Legal structure

   dalam melakukan pengawasan.

  Dari contoh di atas, UU No. 14 Tahun 2005 tersebut merupakan legal substance, sementara prilaku guru yang memperoleh ijajah Strata Satu dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan merupakan legal culture. Sementara perguruan tinggi yang mengeluarkan ijajah tersebut atau lembaga yang gagal mengawasi 26 27 Pasal 8 dan 9 UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Seorang guru berijazah palsu lulus uji kompetensi. Diakses dari http://www.antaranews.

  com/berita/315404/seorang-guru-berijazah-palsu-lulus-uji-kompetensi pada tanggal 17 Januai 2013.

  Fenomena jual beli gelar selain tak bisa dilepaskan dari adanya permintaan pasar tenaga kerja yang

berlabel legal formal, juga berkolaborasi dengan konsumerisme yang mengedepankan budaya instan.

Gelar akademik pun dianggap sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi dalam arti dibeli untuk dipajang

dan dikoleksi. Mereka yang gemar mengoleksi berbagai gelar akademik seperti Dr/PhD, MA, MBA, MSc

dan Profesor, mulai dari pengusaha, anggota DPR(D), bupati, gubernur, pejabat militer, polisi hingga

pendeta. (Baca: “Jual Beli Gelar Akademik” dapat diakses dari analisisdaily.com/mobile/

read/?id=21328) 28 Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses daripada tanggal 11

  Juli 2012. 29 20 Persen Wakil Rakyat Diduga Gunakan Ijazah Palsu. Diakses dari http://jambi.tribunnews.

com/2012/02/29/20-persen-wakil-rakyat-diduga-gunakan-ijazah-palsu pada tanggal 11 Juli 2012. Baca juga : PTS Liar Tumbuh Subur. Dapat diakses di : http://www.hariansumutpos.com/2011/06/8416/pts- liar-tumbuh-subur#axzz2RNWfZJpd peguruan tinggi tersebut merupakan legal structure. Kegagalan salah satu dari unsur sistem hukum ini bekerja akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukun (pendidikan) itu sendiri.

  Hukum selalu berada pada status “law in the making”, tidak bersifat final. Hukum harus selalu peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global. Namun tujuan perubahan hukum tersebut harus dipastikan

  

  untuk melindungi rakyat. Oleh karena itu membuat atau menghilangkan substansi hukum akan selalu terjadi sebagai respon atas perubahan jaman.

  GATS merupakan legal substance yang akan mengubah legal culture kita, atau

legal culture masyarakat internasional yang telah merubah legal substance kita.

  Pemerintah sebagai legal structure yang memiliki otoritas yang paling dominan harus mampu memastikan bahwa ketiga unsur tersebut tertata rapi untuk menciptakan sinergitas dalam mencapai tujuannya, dalam hal ini tujuan pendidikan nasional.

b. Teori Monisme

  Dalam perkembangan teori-teori hukum, ada dua aliran besar mengenai hubungan

  

  antara hukum nasional dengan hukum internasional; Monisme dan Dualisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua Sistem hukum yang berbeda. Dilihat dari sumber hukum, maka hukum internasional bersumber dari kehendak negara-negara, sedangkan sumber hukum nasional bersumber dari kehendak negara. Agar hukum internasional berdampak pada hukum nasional terlebih dahulu 30 Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . (Jogyakarta:Genta

  Publishing.2009). hal 18 31 Diakses Dari http://wonkdermayu.Word press.com /artikel/opini/ pada tanggal 8 Juli 2012 harus diadopsi sesuai dengan sistm yang berlaku di negara tersebut sehingga ketika

   diaplikasikan tetapi menjadi hukum nasional.

  Menurut teori Monisme bahwa hukum nasional dan internasional merupakan satu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat baik kepada negara, individu, maupun subjek selain negara sehingga akan memunculkan adanya hirarki diantara keduanya. Hukum nasional dan internasional yang diterima oleh negara melalui traktat menentukan apakah satu perbuatan hukum tertentu legal atau tidak. Segera pemerintah menandatangani atau meratifikasi satu perjanjian internasional, maka pada saat itu juga hukum internasional telah menjadi bagian dari Sistem hukum nasional yang tidak memerlukan interpretasi, modifikasi, atau penyesuaian sehingga dapat langsung di aplikasikan atau digunakan oleh masyarakat dan penegak hukum. S. K. Verma mengatakan bahwa menurut teori Monisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan hukum yang berasal dari sumber sama, yaitu hukum alam dan sama-sama

  

  mengikat negara dan individu Pertanyaan yang muncul dari teori Monisme ini adalah jika terjadi konflik antara hukum nasional dan hukum internasional, kepentingan hukum mana yang dimenangkan.

  Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan dua pendapat yang disebut dengan Primat

   Hukum Nasional dan Primat Hukum internasional.

32 Boleslaw Adam Boczek .International Law: A Dictionary. (Marland.Scarecrow Press.Inc.2007)

  Hal. 6 33 34 S. K. Verma . An Introduction To Publik International Law.(PHI.2004). Hal 48 Melda Kamil Ardiatmo. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional. Diakses darpada tanggal 20 Januari 2013

  Menurut paham Hukum Primat Internasional bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional maka jika terjadi konflik diantara kedua hukum tersebut hukum internasional harus menang dan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan yang terdapat di

  

  dalam hukum nasional. Sedangkan menurut Hukum Primat Nasional bahwa hukum internasional bersumber dari hukum nasional dengan alasan bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia ini. Alasan kedua adalah bahwa yang menjadi dasar dari hukum internasional untuk mengatur hubungan internasional merupakan wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional.

  Berangkat dari teori tersebut di atas, maka tindakan Pemerintah Indonesia yang meratifikasi pembentukaan WTO melalui UU No.7 tahun 1994 berakibat pada masuknya segala perjanjian yang terdapat di dalam WTO dalam hal ini GATS tersebut ke dalam sistem hukum Indonesia,.

  Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia merupakan layanan publik, sementara dalam WTO/GATS pendidikan tinggi merupakan komoditas yang diliberalisasi dalam perdagangan internasional. Kedua fakta ini telah menimbulkan permasalahan hukum, dimana terjadi konflik dalam memandang pendidikan tinggi, yaitu sebagai layanan publik (domestic rule) dan komoditas (GATS).

2. Kerangka Konseptual

  Di dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan 35 Boleslaw Adam Boczek.Op.Cit. perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di

  

  dalam proses pengumpulan,analisis, dan konstruksi data. Untuk menghindari kesalahan ( misinterpretation), ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu : a.

  Liberalisasi pendidikan adalah proses penghapusan atau pengurangan hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa pendidikan secara internasional dalam bentuk aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan .

  b.

  Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

  c.

  Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

  d.

  Pendirian Perguruan Tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah tinggi,institut, atau universitas oleh nagara atau lembaga pendidikan asing di Indonesia.

  e.

  General Agreement on Trade and Services (GATS) adalah perjanjian internasional dibidang perdagangan jasa yang dihasilkan oleh WTO sebagai aturan perdagangan jasa internasional.

36 Soekanto .Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta.UI Press. 2007). Hal 137

  f.

  Modes of Supply adalah cara atau modus yang dipergunakan dalam melakukan perdagangan internasional dibidang jasa yaitu Cross border supply,

  Consumption Abroad , Commercial Presence dan Presence of Natural Person.

   g.

  . Eksistensi pendidikantinggi Eksistensi artinya “hal berada, keberadaan” asing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah keberadaan pendidikan tinggi asing di Indonesia.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik sebagai law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through

  

judicial process . Penelitian yang demikian dikenal sebagai penelitiam hukum

  

  normatif yang bersifat kualitatif. Penelitian hukum normatif bersifat kualitatif didasarkan pada alasan bahwa analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau

  37 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Edisi keempat (Jakarta:Gramedia Pustaka Jaya,2008) 38 Ronald Dworkin, dalam Bismar Naution., Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum.

  Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada MajalahAkreditasoi, Fakultas Hukum USU.TANGGAL 18 Pebruari 2003.Hal. 1 39 Ibid. Hal. 7 modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang

   dikumpulkan.

2. Sumber Data

  Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPN, pendidikan tinggi,dan perjanjian internasional pada perdagangan jasa, diantaranya adalah : a.

  UUD 1945 b.

  UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional c. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi d.

  UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization) h. PP Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan i. PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang

  Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan j. Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman pendirian perguruan tinggi k.

  GATS Agreement Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, makalah-

  

  makalah, dan media internet. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang 40 41 Ibid. Hal. 38 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal

  24. memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

   sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, bahan

  

  kuliah yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan asing, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, prinsip perdagangan jasa di dalam GATS.

  4. Analisis Data

  Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni dengan memilih teeori-teori, asas-asas norma-norma, serta pasal-pasal yang terdapat di dalam aturan perundang-undangan yang relevan, yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh PTN, PTS maupun Perguruan Tinggi Asing (PTA), serta pengaturan perdagangan jasa yang diatur di dalam GATS Agreement. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga dapat member jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.(PT Raja Grafindo Persada.2001) Hal. 195-196. 43 Ridwan, Metode &Tehnik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004) hal 97.