BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Paradigma - Pemberitaan Konflik Basuki Tjahaja Purnama Dengan DPRD DKI Jakarta di Harian Sinar Indonesia Baru

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Paradigma

  Ilmu Sosial merupakan suatu “multi paradigm science,” tidak seperti ilmu alam fisika, dalam ilmu sosial berbagai paradigma bisa tampil bersama-sama dalam satu era. Sejauh ini telah dilakukan pengelompokan teori-teori sosial ke dalam paradigm yang menghasilkan criteria yang beragam dari beberapa ilmuan sosial. Salah satunya adalah pengelompokan yang dilakukan oleh Guba dan Lincoln (1994). Teori-teori sosial dikelompokkan ke dalam tipologi yang mencakup empat paradigma dengan implikasi metodologi tersendiri yaitu,

  positivism, post positivism, critical paradigm, dan constructivisme . Sejumlah

  ilmuwan sosial menggabungkan positivism edan post positivisme menjadi

  classical paradigm karena dalam prakteknya implikasi metodologi keduanya tidak

  jauh berbeda. Berdasarkan tipologi tersebut, teori-teori dan penelitian ilmiah dalam komunikasi dibagi atas 3, yakni :

1. Classical Paradigm yang mencakup Positivisme dan Post Positivisme 2.

   Critical Paradigm 3. Constructivisme Paradigm

  Sejumlah hal mendasar yang membedakan ketiga paradigma di atas antara lain konsepsi tentang ilmu-ilmu sosial, asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga komitmen terhadap hal-hal tertentu.

  Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurag sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis teori kritis tidak dipusatkan pada kebenaran/ ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme. Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa komunikasi tiak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses komunikasi: batasan- batasan apa yang diperkenankan, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.

  Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigm konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut:

1. Teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi.

  2. Dalam praksis penelitian (dari pemilihan masalah untuk penelitian, instrument dan metode analisis yang digunakan. Interpretasi, kesimpulan dan rekomendasi) dibuat sangat bergantung pada nilai-nilai peneliti.

  3. Standar penelitian ilmiah bukan ditentukan oleh prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan. Aliran teori kritis ini sebenarnya tidak dapat dkatakan sebagai suatu paradigm, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Nep-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara (Denzin dan Guba, 2001:41).

  Lebih jauh, Denzin dan Guba (2001) menyebutkan dilihat dari sisi ontologism, paham perspektif ini sama dengan post-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatai masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistimologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bia dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal.

  Paradigma kritis dipengaruhi oleh ide dan gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas dimana kelas/kelompok yang dominan melakukan dominasi terhadap kelompok yang tidak dominan. Media adalah salah satu bagian dari system dominasi yang dijadikan kelompok dominan sebagai alat untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2001 : 22-23).

  Perkembangan paradigma kritis tidak dapat dipisahkan dari pemikiran sekolah Frankfurt yang tumbuh di Jerman pada masa berlangsungnya propaganda besar-besaran yang dilakukan oleh Hitler. Pada masa tersebut media dipenuhi dengan prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi sarana pemerintah untuk mengontrol publik dan mengobarkan semangat perang. Pemikiran kritis yang lahir dari sekolah Frankfurt memendang adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Media adalah sarana dimana kelompok dominan mengontrol bahkan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan dengan menguasai dan mengontrol media (Eriyanto, 2001 : 23-24).

  Stuart Hall kemudian mengembangkan pemikiran dari mazhab Frankfurt dengan menekankan ideologi sebagai bagian yang penting dalam studi media. Menurut hal, media memang memainkan peranan penting dalam pembentukan konsensus di dalam masyarakat. tetapi media tidak secara sederhana dipandang sebagai refleksi dari konsensus . Konsensus terbentuk melalui proses yang kompleks dan melibatkan legitimasi dari kekuatan-kekuatan sosial dlam masyarakat.

  Kalangan pluralis memandang realitas sebagai sesuatu yang terbentuk secara alamiah, tetapi bagi Hall, realitas diproduksi oleh representasi dari kekuatan- kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat melalui sarana media sebagai bentuk dari pertarungan kekuasaan untuk memapankan nilai-nilai kelompok dominan. Dalam proses pembentukan realitas tersebut, Hall menjadikan bahasa dan politik penandaan sebagai titik perhatiannya. Bahasa dipandang sebagai arena pertarungan sosial dan bentuk pendefinisian realitas. Sedangkan politik penandaan adalah bagaimana praktik sosial dalam membentuk, mengontrol, dan membentuk makna.

2.2 Analisis Wacana

  Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuanbahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan kontekslebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Paraanalis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan.Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untukmemahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat.Sebagai pendekatan analitik yang sedang berkembang (in status

  ascendi ),analisis wacana tidak hanya mengemuka dalam kajian bahasa, tetapi juga dalamberbagai lapangan kajian lain.

  Kalau dalam linguistik, analisis wacana menunjukpada kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat yang memusatkan perhatian padaaras lebih tinggi dari hubungan ketata-bahasaan (grammatical), dalam sosiologi,analisis wacana menunjuk pada kajian hubugan konteks sosial dengan pemakaianbahasa. Kalau dalam psikologi sosial, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadapstruktur dan bentuk percakapan atau wawancara, dalam ilmu politik, analisis wacanamenunjuk pada kajian terhadap praktik pemakaian bahasa dan tali- temalinya dengankekuasaan. Tampak jelas, digunakan dalam lapangan kajian apa pun, istilah analisis wacana niscaya menyertakan telaah bahasa dalam pemakaian.Seperti dialami oleh semua cabang kajian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan(human sciences), pendekatan analisis wacana juga terpilah berdasarkan paradigmakajian (paradigm of inquiry) yang mendasarinya. Secara umum ada tiga paradigmakajian yang berkembang dan saling bersaing dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masingadalah analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis ), dan analisis wacanakritisisme (critical discourse analysis).

  Bersandar pada paradigma positivisme, bahasa dilihat sebagai jembatan antaramanusia dengan objek di luar dirinya. Terkait dengan analisis wacana, para penelitibahasa tidak perlu mengetahui makna-makna atau nilai subjektif yang mendasarisuatu pernyataan. Analisis wacana positivistik memperhatikan dan mengutamakanpemenuhan seperangkat kaidah sintaksis dan semantik. Kebenaran semantik dan ketepatan sintaksis menjadi takaran utama dalam aliran ini. Karena itu, analisis wacana positivistik diarahkan pada penggambaran tata-aturan kalimat dan paragraph beserta kepaduan makna yang diasumsikan berlaku umum.

  Kohesi dan koherensi menjadi tolok-ukur utama dalam setiap analisis wacana positivistik Penganjur paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia sebagaisubjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami terkecuali dengan memperhatikansubjek pelakunya. Subjek manusia diyakini mampu mengendalikan maksud-maksudtertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna. Dalam perspektif ini pula berkembang teori tindak- tutur, serta keberlakuan kaidah- kaidah kejasama dalam percakapan.

  Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkap maksud-maksud dan makna-makna tertentudari subjek. Dalam perspektif ini, bila berkehendak memahami suatu wacana, makatidak ada jalan masuk lain kecuali pengkaji mampu mengembangkan empati terhadap subjek pelaku wacana. Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.

  Meskipun ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma ini, semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan dan jejaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana. Dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun van Dijk.18 Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen dan unsur-unsur wacana. Karena itu, model analisis wacana kritis ini pula terkesan mendapat tempat tersendiri di kalangan analis wacana kritis.

2.3 Analisis Wacana Kritis Kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan.

  Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Wodak hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatifAnalisis wacana kritis menggunakan pandangan kritis yang melihat suatu wacana bukan dari kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran. Analisis wacana pada paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.

  Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu, dengan situsi, intuisi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa menampilkan efek ideologi : ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Media bukan saluran yang bebas dan netral tetapi justru dipengaruhi dan digunakan oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial di dalam masyarakat. media adalah saluran yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyebarluaskan kekuasaannya di dalam masyarakat. teks berita diproduksi dan direproduksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan pemaknaan tertentu. Dengan kata lain, teks dan pembaca mempunyai peranan yang sama besar dalam proses pemaknaan. Hubungan ini menghasilkan suatu tata nilai yang lebih besar dan kompleks di mana ideologi bekerja. Teun Van Dijk memberi definisi analisis wacana kritis sebagai berikut,

  Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context. With such dissident research, critical discourse analysts take explicit position, and thus want to understand, expose, and ultimately resist social inequality.

  Dari paparan di atas tampak bahwa agenda utama CDA adalah mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis. Dengan demikian CDA mengambil posisi non-konformis atau melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan sosial. Fairclough dan Wodak mengidentifikasi karakteristik CDA sebagai berikut, 1.

  Memberi perhatian pada masalah-masalah sosial; 2. Percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif, atau mengada dalam wacana;

  3. Percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan budaya;

4. Percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi; 5.

  Percaya bahwa wacana bersifat historis; 6. Memediasikan hubungan antara teks dan masyarakat siosial ; 7. Bersifat interpretatif dan eksplanatif; 8. Percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi sosial.

  Sekalipun berangkat dari basis yang sama, yakni linguistik, tetapi karena mendapat pengaruh dan paradigma yang berbeda, Analisis Wacana Kritis memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan Analisis Wacana (AW/DA). Pengaruh yang kuat dari Faucault menjadikan AWK/CDA tertarik untuk melihat fenomena sosial, politik dan kultural yang mengejawantah dalam bahasa. Jørgensen and Phillips, menyebut bahwa CDA adalah pendekatan konstruktivis sosial yang meyakini bahwa representasi dunia bersifat linguistis diskursif, makna bersifat historis dan pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial .15 Itulah mengapa CDA bersifat inter/multidisiplin, dan persentuhannya dengan ilmu sosial, politik dan budaya tidak terelakkan. Dengan demikian peneliti CDA dituntut untuk membuka diri terhadap prinsip-prinsip yang dikukuhi oleh disiplin ilmu yang lain. Dalam banyak literatur, CDA bahkan sering disebut sebagai metode analisa yang mempertemukan ilmu bahasa (linguistik dan susastra), sosial, politik dan budaya.

  Berikut ini karakterisrik penting dari analisis wacana kritis yang diambil dari tulisan Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak :

  1. Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara dengan dirinya sendiri.

  Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubunga dengan orang lain. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

  2. Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengeti, dan dianalsisi pada suatu konteks tertentu. Titik tolak dari analisi wacana disini, bahasa tidak dapat dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa.

  Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja, dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan dalam analisis.

  3. Historis Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

  4. Kekuasaan Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakaan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang taua kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok yang dominan mungkin membuat kelompok lain berrtindak sesuai dengan yang diinginkan.

  Kenapa hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan ? karena menurut Van Dijk, mereka lebih mempunyai akses dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan. Kelompok dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan.

5. Ideologi

  Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan,, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideology dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak abash dan benar (Van Dijk, 1997 : 25). Ideologi dari kelompok dominan hanya akan efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.

2.3 Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk

  Model analisis wacana yang dipakai oleh van Dijk mengelaborasi elemen- elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Menurut van Dijk, penelitisn atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analsis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini juga harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus, suatu prkatek wacana. Titik perhatian van Dijk terutama pada studi mengenai rasialisme. Dari berbagai kasus, dengan ribuan berita, van dijk terutama menganalisis bagaimana wacana media turut memperkuat rasialisme yang ada dalam masyarakat. Banyak sekali rasialisme yang diwujudkan dan diekspresikan melalui teks. Berbagai masalah tersebut lah yang coba digambarkan dalam model van Dijk. Oleh karena itu, van Dijk tidak mengeksklusi modelnya semata-mata dengan menganalisis teks semata. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Dalam analisis wacana ada tiga hal penting yang mempengarui produksi maupun analisis wacana yakni: ideologi, pengetahuan dan wacana. Ideologi mempengaruhi produksi wacana. Tidak ada wacana yang benar-benar netral atau steril dari ideologi penutur atau pembuatnya. Ideologi adalah sistem kepercayaan baik kepercayaan kolektif masyarakat maupun skemata kelompok yang khas, yang tersusun dari berbagai kategori yang mencerminkan identitas, struktur sosial, dan posisi kelompok. Ideologi merupakan basis sikap sosial. Pengetahuan adalah kepercayaan yang dibuktikan dengan benar (dijustifikasi). Kepercayaan menjadi pengetahuan apabila dimiliki oleh kelompok yang bersangkutan. Dalam kondisi tertentu terdapat pengetahuan yang belum menjadi idiologi sekalipun dimiliki secara kolektif oleh suatu kelompok. Pengetahuan semacam itu dalam analisis wacana disebut common ground.

  Dalam produksi wacana, struktur pengetahuan akan mempengaruhi dan mengontrol semantik dan perangkat wacana yang lain. Oleh karena pengetahuan tersebut tidak hanya berkaitan dengan penutur, tetapi berkaitan pengetahuan lain yang dimiliki pendengar, pembaca atau partisipan; maka diperlukan suatu model mental yang komplek tentang situasi pengetahuan lain dari peristiwa komunikatif yang disebut konteks. Oleh Van Dijk wacana digambarkan memiliki tiga demensi:

  teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis wacana adalah

  menggabungkan ketiga demensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada tingkat kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu penulis berita. Aspek ketiga adalah mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat.

  1. Teks Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa strukstur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Yang pertama, struktur makro, yakni makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Kedua, superstruktur yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan. Ketiga, struktur mikro yakni makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.

  2. Kognisi Sosial Dalam pandangan van Dijk wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahsa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita. Karena pada dasarnya setiap teks dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.

  3. Analisis Sosial Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistic tentang kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial itu yang melahirkan teks tertentu. Analisis sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. Model dari analisis van Dijk tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 1

  Konteks Kognisi Sosial Teks

  Sumber : (Eriyanto, 2009 : 225) Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1 Skema Penelitian dan Metode Van Dijk STRUKTUR METODE

  METODE Critical linguistic Teks

  Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

  Kognisi Sosial Wawancara Mendalam

  Manganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau suatu peristiwa yang akan ditulis.

  Analisis Sosial Studi pustaka, penelusuran sejarah dan

  Menganalisis bagaimana wacana yang wawancara berkembang dalam masyarakat, proses reproduksi dan reproduksi sesorang atau peristiwa digambarkan.

  Sumber : (Eriyanto, 2009:275)

  Kerangka Analisis Van Dijk A. Dimensi Teks

  Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan, untuk melihat suatau wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu ;

Tabel 2.2 Struktur Teks Van Dijk

  Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang

  dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks

  Superstruktur Kerangka suatu teks: bagaimana

  struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

  Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat

  diamati dari pemilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.

  Sumber : (Eriyanto, 2009 : 227)

  Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Elemen Wacana Van Dijk

  Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

  Struktur Makro

  Topik

  TEMATIK

  Tema apa yang dikedepankan dalam suatu berita

  Superstruktur SKEMATIK Skema atau Alur Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

  Struktur Mikro SEMANTIK Latar, Detil, maksud, Makna yang ingin Praanggapan, ditekankan dalam teks Nominalisasi berita. Misal, dengan member detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi lain. Struktur Mikro SINTAKSIS Bentuk kalimat,

  Bagaimana kalimat koherensi, kata ganti (bentuk susunan) yang dipilih

  Struktur Mikro Leksikon

  STILISTIK

  Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

  Struktur Mikro RETORIS Grafis, Metafora, Bagaimana dan dengan Ekspresi cara apa penekanan

  Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah penjelasan singkatnya, yaitu : a.

   Tematik (Tema/Topik)

  Elemen ini menunjuk pada gambaran umum dari teks, disebut juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topic menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topic menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting dalam berita.

  b. Skematik (Skema atau Alur) Teks pada umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir.

  Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti. Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topic tertentu yang ingin disampaikan dengan urutan tertentu.

  c. Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)

  Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local

  meaning ), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, antarproposisi,

  yang membangun makna tertentu dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks, seperti makna yang eksplisit maupun implisit.

  Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu hendak dibawa. Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil sedikit.

  Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itumengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

  d. Sintaksis (Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

  Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase… dalam sintaksis terdapat bentuk kalimat, koherensi dan kata ganti. Dimana ketiga hal tersebut untuk memanipulasi politik dalm menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat).

  e. Stilistik (Leksikon)

  Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata „meninggal‟ yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain.

  f. Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi)

  Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis, penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis adalah untuk meyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang dikonstruksi oleh wartawan.

B. Dimensi Kognisi Sosial

  Dalam kerangka analisi van Dijk, intinya kognisi sosial yaitu kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak dianggap sebagai individu yang memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapat dari kehidupannya.

  Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Ada beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analsis kognisi sosial penulis, digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.4 Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas)

  Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain

  Skema Diri ( Self Schemas)

  Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.

  Skema Peran (Role Schema)

  Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat.

  Skema Peristiwa (Event Schema)

  Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu.

  Sumber : (Eriyanto, 2009 : 272)

C. Dimensi Konteks Sosial

  Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin penting yakni, praktik kekuasaan (power) dan akses (access).

  Praktik kekuasaaan didefenisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut. Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memegaruhi wacana.

2.4 Komunikasi Massa

2.4.1 Agenda Setting

  Hubungan kuat antara berita yang disampaikan dengan isu-isu penting yang dinilai penting oleh publik merupakan salah satu jenis efek media massa yang paling populer yang dinamakan dengan Agenda Setting.

  Istilah „Agenda Setting‟ diciptakan oleh mc. Combs dan Shaw (1972, 1993), untuk menggambarkan fenomena yang telah lama diketahui dan diteliti dalam konteks kampanye pemilu. Ide intinya adalah bahwa media berita mengindikasikan kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Trenaman dan Mc.Quail (1961:178), „bukti yang ada secara kuat menyatakan bahwa orang-orang berpikir mengenai apa yang dikatakan kepada mereka, tetapi dalam tingkatan manapun mereka tidak memikirkan apa yang dikatakan kepada mereka

  .” Bukti yang dikumpulkan saat itu dan banyak lagi setelahnya terdiri atas data yang menunjukkan hubungan antara susunan kepentingan yang diberikan oleh media terhadap “isu” dan susunan kepentingan yang dilekatkan kepada isu yang sama oleh politikus dan publik. Dearing dan Rogers (1996) mendefinisikan proses ini sebagai “persaingan yang terus menerus diantar isu-isu protagonis untuk mendapatkan perhat ian dari pekerja media, publik, dan elite pembuat kebijakan‟. Lazarsfeld et all. (1994) merujuk hal ini sebagai kekuatan untuk membentuk „isu‟. Politikus mencoba meyakinkan pemilih bahwa isu yang paling penting adalah mereka yang paling dekat diidentifikasikan. Ini adalah bagian yang esensial dari dukungan dan upaya mempengaruhi opini publik. sebagai sebuah hipotesis, agenda/setting nampaknya terhindar dari kesimpulan umum bahwa kampanye persuasif tidak berefek atau hanya berefek sedikit sekali. Agenda setting terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang informasi (gatekeeper) harus selektif dalam menyampaikan berita. Media harus melakukan pemilihan mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Apa yag diketahui publik tentang suatu keadaan pada waktu tertentu sebagian besar ditentukan oleh proses penyaringan dan pemilihan berita yang dilakukan media massa.

  Dalam hal ini agenda setting dapat dibagi ke dalam dua tingkatan (level). Agenda setting level pertama adalah membangin isu umum yang dinilai penting, dan level kedua adalah menentukan bagian-bagian atau aspek-aspek dari isu umum tersebut yang dianggap penting. Level kedua adalah sama pentingnya dengan level pertama. Level kedua penting karena memberitahu kita bagaimana cara membingkai isu atau melakukan framing terhadap isu, yang akan menjadi agenda media dan juga agenda publik. Misal, media mengemukakan bahwa pemilu yang demokratis sebagai hal yang penting (level pertama), tetapi media juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat mudah terjebak praktik politik uang (money politic), dalam hal ini media membingkai isu mengenai bagaimana mencapai pemilu yang demokratis (level kedua).

  Dearing dan Rogers (1996) menawarkan beberapa generalisasi mengenai agenda setting. Salah satunya adalah media yang berbeda cenderung setuju atas kepentingan relatif dari seperangkat isu. Kedua, agenda media tidak begitu sesuai dengan indik ator “dunia nyata.” Karena yang penting bukanlah signifikansi absolut dari suatu isu tetapi kekuatan yang relatif dari kekuasaan dan masyarakat yang mencoba mendefinisikan dan mempromosikan suatu isu. Terakhir, “posisi isu dalam agenda media secara penting menentukan bahwa isu itu penting dalam agenda publik” (1996:192). Menarik untuk dicatat bahwa meskipun fakta bahwa agenda setting merupakan inti dari penelitian mengenai efek komunikasi politik, efek itu sendiri cenderung dinilai sebagai efek “periferi” dalam kaitannya dengan model ELM karena muncul dari petunjuk sampingan yang diberikan oleh penyajian (Perse,2001;100). Hal ini tidak membuat efek semacam itu menjadi kurang penting karena mereka berkontribusi untuk membentuk persepsi publik akan realitas politik dan sosial. Satu kondisi yang umum untuk agenda setting adalah bahwa media massa yang berbeda cenderung berbagi seperangkat prioritas berita yang sama. Kondisi ini ditantang dengan tersedianya banyak layanan berita daring yang baru, ditambah kesempatan yang leb ih besar dari “pengguna berita” untuk mencari berita menurut agenda pribadi masing-masing.

  Ketika diadakan penelitian tentang pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1968 ditemukan hubungan yang tinggi antara penekanan berita dengan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh pemilih. Meningkatnya nilai penting suatu topik berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai topik tersebut bagi khalayaknya. Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan bahwa media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita piker, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya. Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung. Dengan kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Jika agenda media adalah pemberitaan tentang operasi pemulihan keamanan di Aceh untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agenda atau pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media tersebut. Hal ini berarti, jika pemberitaan media massa tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kontroversial, yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat tentang kenaikan harga BBM itu.

  Agenda media juga bisa sengaja dimunculkan. Sekedar contoh adalah kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan mantan pejabat orde baru (Orba) sudah banyak dilupakan. Secara tiba-tiba media massa mengekspos keterlibatan KKN seorang mantan pejabat Orba. Kemudian, berita itu menjadi perhatian utama media massa, baik dimunculkan di Headline (halaman muka), maupun dikupas beberapa saat. Agenda yang dilakukan media massa ini akhirnya akan menjadi agenda pembicaraan masyarakat, meskipun kasusnya sudah lama dilupakan. Semakin gencar media massa memberitakan, semakin hangat dan ramai topik itu dibicarakan masyarakat.

  Dalam kasus lain, jika media massa selalu mengarahkan untuk mendukung tokoh politik tertentu, bukan tidak mustahil khalayak akan ikut terpengaruh mendukung tokoh tertentu yang didukung media massa tersebut. Jika media mendukung kemerdekaan Timor-Timor (lepas dari Indonesia), sangat mungkin masyarakat akan mendukung gerakan kemerdekaan Timor-Timor. Coba anda perhatikan hal-hal yang kita anggap penting untuk dibicarakan dalam pertemuan pribadi. Hal-hal itu pulalah yang menjadi pusat perhatian media. Memang, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada peristiwa penting yang dapat terjadi tanpa liputan media massa. Jika memang media tidak meliputnya, hal itu berarti tidak penting. Sebenarnya, media mengarahkan kita untuk memusatkan perhatian pada subjek tertentu yang diberitakan media. Ini artinya, media massa menentukan agenda kita.

  Mengikuti pendapat Chaffee dan Berger (1997) ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini.

  1. Teori itu mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menganggap penting suatu isu.

  2. Teori itu mempunyai kekuatan memprediksi sebab memprediksi bahwa jika orang-orang mengekspos pada suatu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.

  3. Teori itu dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting. Sementara itu, Stephen W. Litteljohn (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut.

  1. Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda media itu terjadi pada waktu pertama kali.

  2. Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu memengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya.

  3. Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting bagi individu. Dengan demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa agenda media memengaruhi agenda publik, sementara agenda publik sendiri akhirnya memengaruhi agenda kebijakan.

  Untuk memperjelas ketiga agenda (agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijakan) dalam teori agenda setting ini, ada beberapa dimensi yang berkaitan, seperti yang dikemukakan oleh Mannheim (Severin dan Tankard Jr, 1992) sebagai berikut.

  Personal salience (penonjolan pribadi), yakni relevansi kepentingan individu dengan cirri pribadi.

  Freedom of action (kebebasan bertindak), yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.

  c.

  Likelihood of action (kemungkinan kegiatan), yakni kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.

  Support (dukungan), yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu b.

  a.

  3. Agenda Kebijakan terdiri atas dimensi-dimensi berikut.

  Favorability (kesenangan), yakni pertimbangan antara senang dengan tidak senang akan topik berita.

  c.

  b.

  1. Agenda Media terdiri atas dimensi-dimensi berikut a.

  Familiarity (keakraban), yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.

  a.

  2. Agenda Kahalayak terdiri atas dimensi-dimensi berikut.

  Valence (valensi), yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa.

  c.

  Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak), yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.

  b.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 31

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital - Implementasi dan Perbandingan Metode Alpha-Trimmed Mean Filter dan Adaptive Media Filter untuk Reduksi Noise pada Citra Digital

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Medan No 5 Tahun 2012 Dalam Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Medan

0 0 41

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Perceraian - Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai

0 0 43

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik 2.1.1 Pengertian Resin Akrilik - Kekuatan Impak Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Penambahan Serat Kaca Potongan Kecil 1% dengan Metode Berbeda

0 1 9

2.1 Kebiajakan Publik - Peranan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dan Pantai

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dan Pantai

0 0 8