BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Korban Bencana Alam sebagai Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah kepulauan

  nusantara terdiri dari berbagai wilayah yang memiliki keanekaragaman dan perbedaan secara geografis, hidrologis, geologis, dan demografis. Indonesia terletak diantara dua benua yakni Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua yang sifatnya dinamis. Lempeng benua tersebut sewaktu waktu dapat bergeser akibat gerakan tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus.

  Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor nonalam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian materil, serta dampak psikologis. Namun hanya sedikit perhatian diberikan kepada perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) yang juga perlu disediakan dalam situasi khusus ini.

  Bencana alam akibat perbuatan manusia disebabkan terjadinya degradasi lingkungan

  1

  yang dapat disebut sebagai salah satu faktor kunci penyebab bencana. Manusia sebagai makluk sosial cenderung kurang bijaksana menyikapi dan menyiasati eksistensi alam sebagai habitatnya yang penuh dengan potensi sumber dayanya serta berpeluang menimbulkan bencana alam akibat kecerobohan dan kelalaian manusia dalam memanfaatkan kemajuan 1 teknologi canggih untuk mengekplorasi sumber daya alam.

  Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampoe. Agustus

  Akibatnya, Indonesia sering dilanda gempa bumi yang mengakibatkan korban jiwa, dan kerusakan. Letak geografis dan kondisi geologis menyebabkan Indonesia menjadi salah

  2

  satu negara yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, badai, dan letusan gunung berapi. Bencana-bencana tersebut diatas disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar

  3

  yang aktif yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Eurasia. Pemerintah harus melindungi setiap warga Negara sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Salah satu cara pemerintah melindungi korban gempa adalah dengan pemberlakuan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB).

  Gempa bumi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kepulauan Indonesia yang terletak di wilayah cicin api pasifik atau lingkaran api pasifik (ring of fire), yakni daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti kapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang

  4 40.000 km dan sering di sebut sebagai serbuk gempa bumi.

  Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini di Indonesia terdapat peristiwa bencana yang terjadi setiap tahun. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir

  5 satu abad (1900-1996).

  Tsunami, badai, dan gempa bumi yang menghantam sebagian negara di Benua Asia dan Amerika pada 2004/2005 telah menyoroti perlunya perhatian serius terhadap tantangan- tantangan HAM yang berlipat ganda yang mungkin dihadapi orang-orang yang terkena 2 dampak bencana-bencana semacam itu. Seringkali HAM mereka kurang diperhatikan. 3 Pusat Data dan Analisa, Indonesia Rawan Bencana, Jakarta: Tempo, 2006, hal.1. 4 Sukandarrumidi, Bencana Alam dan Bencana Anthropogene, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal.31.

  Masalah Bencana Alam (On-Line), tersedia di http://www.antara.co.id/masalahbencanaalam, 5 (25 Juni 2008). Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-dampak bencana- bencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; pemulangan atau pemukiman kembali yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti.

  Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi, tsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung. Dengan demikian sejumlah besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam ini atau akibat munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi lagi di masa depan.

  Pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural mungkin sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin lamanya situasi pengungsian berlangsung. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi HAM orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan diterapkan dengan sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat atau hasil dari kelalaian semata-mata.

  Kerentanan para korban seringkali terjadi akibat perencanaan dan kesiagaan menanggapi bencana yang kurang memadai. Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB, “Risiko dan potensi terjadinya bencana yang berkaitan dengan bahaya-bahaya alam sebagian besar ditentukan oleh tingkat kerentanan yang sudah ada sebelumnya dan oleh efektivitas langkah-langkah yang diambil untuk mencegah, mengurangi, dan bersiaga menghadapi bencana.” Namun, begitu orang-orang sudah terkena dampak sebuah bencana, mereka seringkali menghadapi pula tantangan-tantangan yang lebih berat untuk mendapatkan HAM mereka secara utuh. Tantangan-tantangan ini dapat dihadapi jika jaminan-jaminan atas HAM yang relevan diperhitungkan sejak awal oleh para pelaku bantuan kemanusiaan nasional maupun internasional. HAM merupakan dasar hukum yang menjadi pondasi semua kegiatan kemanusiaan yang berkaitan dengan bencana-bencana alam. Jika bantuan kemanusiaan tidak didasarkan pada kerangka HAM, ada bahaya fokusnya menjadi terlalu sempit dan tidak bisa menggabungkan seluruh kebutuhan dasar para korban ke dalam sebuah proses perencanaan yang menyeluruh.

  Cabang yang khusus membahas tentang korban sudah mulai menarik perhatian yaitu Viktimologi yang mencuat keluar dari induknya yang sering dianggap criminal centris itu.

  Dalam perjalannya

  the victim’s rights movement atau gerakan untuk hak-hak korban. Di

  Amerika serikat telah melahirkan banyak rekomendasi untuk mendapatkan banyak energinya dari sindrom cerita horor akibat kejahatan yang menyimpang dan menyalahi sistem peradialan dan peraturan perundang-undangan yang gagal mencegah dan jatuhnya korban

  6 tersebut.

  Di Amerika serikat pernah dibentuk the

  president’s tax force on victim of crime yang

  mengajukan berbagai usulan antara lain: Diadakannya perlindungan bagi korban dan saksi dari intimidasi, mempersyaratkan ganti kerugian bagi korban di setiap kasus, membangun

  

guldelines untuk perlakuan yang adil bagi korban kejahatan dan saksi, melarang pelaku

  kejahatan membuat cerita tentang kejahatannya, serta menyediakan crime victim

  7 compensation fund (dana kompensasi korban kejahatan).

  Dalam perkembangan, studi viktimilogi yang hanya memfokuskan pada korban kejahatan nampaknya kurang memuaskan. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa penderitaan atau kerugian dapat juga diakibatkan oleh sebab-sebab lain di luar kejahatan, sehingga study special victimology berkembang dalam bentuk general victimology yang 6 mempelajari korban kecelakaan dan bencana pada umumnya. Dengan demikian mereka yang 7 Topo Santoso, Krisis dan Kriminalitas Pasca Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm.106.

  mengalami penderitaan akibat dari kecelakaan lalu lintas dan akibat bencana masuk dalam

  8 lingkup pembahasan general victimology.

  Fakta yang ada pada saat ini, perhatian dalam hal perlindungan terhadap hak-hak korban bencana alam gempa bumi sangat kecil jika dibandingkan dengan perhatian yang selalu dicurahkan terhadap perlindungan korban kejahatan dan perlindungan hak asasi para pelaku kejahatan. Hal tersebut jelas kelihatan dari penanganan yang dilakukan Pemerintah untuk menangani korban bencana alam sangat lamban dan tidak maksimal. Padahal akibat dari korban bencana alam gempa bumi lebih banyak menelan korban dibandingkan dengan korban kejahatan.

  Korban bencana bisa dikatakan sama dengan pengungsi. Pengungsi berarti hidup dalam penampungan dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok

  9

  seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Perlindungan IDPs (Internally Displaced Persons) dalam masa tanggap darurat serta jaminan pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental mereka sangat bergantung pada sikap, tindakan, kebijakan, efektifitas, dan kemauan pemerintah. Perlindungan yang harus di berikan oleh pemerintah nasional, termasuk pemerintah RI, kepada IDPs mencakup dua bidang utama. Pertama, keselamatan (yang meliputi keselamatan jiwa, keamanan fisik dan mental dan integritas fisik dan moral). Kedua, pelaksanaan hak asasi dan kebebasan fundamental (yang sangat dasar dan paling di butuhkan oleh IDPs sesuai dengan kondisi mereka).

  Secara umum dapat dikatakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang memperhatikan atau melindungi korban bencana alam masih sangat minim. Kalaupun ada undang-undang yang dalam ketentuannya cukup memberikan perhatian dan perlindungan pada korban kejahatan nonkonvensional seperti kejahatan ekonomi atau tindak pidana 8 lingkungan, dan korban kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian,

  G Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas 9 Atmajaya Yoyakarta, 2009), hlm. 3-4.

  pemerkosaan sudah ada undang-undang perlindungan terhadap korban yaitu Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan untuk perlindungan korban bencana alam belum ada satupun undang-undang yang khusus mengatur tentang perlindungan korban secara khusus yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

  Pada setiap korban bencana alam gempa bumi akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan jiwa korban, kematian, kehilangan harta dan sanak saudara, kehilangan tempat tinggal, hilangnya kepercayaan diri dan kepercayaan hidup, luka dan cacat seumur hidup, yang mengakibatkan trauma dan keputusasaan yang menghampiri disepanjang hidup mereka.

  Memang melindungi warga Negara adalah tugas Negara sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Untuk itu Negara harus tanggap dan bertanggung jawab dalam menanggulangi korban bencana alam gempa bumi agar korban tidak bertambah banyak, akibat dari keterlambatan bantuan dan keterbatasan fasilitas, dan keterbatasan dana yang disediakan oleh Negara.

  Undang-Undang Penangulangan Bencana sebenarnya telah mengakomodir prinsip HAM (aspek non diskirminasi dan perlindungan atas hak hidup dan kelangsungan hidup) dalam draft pasal prinsip-prinsip penanggulangan bencana. namun, prinsip ini dikaburkan dengan tujuan dari pembuatan UU ini sendiri melalui peminimalisiran peran dan tanggung

  • – jawab negara dalam urusan bencana dengan dalih mempertahankan nilai-nilai lokal (gotong

  

10

  royong, kesetiakawanan dan kedermawanan). UU PB selanjutnya justru lebih menekankan aspek teknis penanggulangan bencana ketimbang memuat jaminan hak asasi manusia para korban atau penduduk yang rentan terkena dampak bencana.

  Patut dicermati dari UU PB lagi adalah tentang definisi bencana “Bencana adalah suatu gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh 10 faktor alam diantaranya bencana gempa bumi, tsunami, longsor, angin topan, banjir, letusan

   gunungapi, kekeringan, epidemi, dan wabah penyakit, bencana karena faktor nonalam diantaranya kebakaran dan gagal teknologi, dan bencana karena faktor manusia mencakup peristiwa kerusuhan sosial, teroris, dan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa manusia.”

  Definisi bencana ini seakan membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana.

  Pasal-pasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana. mekanisme address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara.

  Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan resiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat dinikmati para korban atau penduduk yang rentan terkena bencana. Dalam pasal 33

  • – 39 diatur secara jelas prioritas penanganan, standart minimum bagi pengungsi (tempat penampungan, sanitasi,bantuan pangan dan non pangan) maupun langkah-langkah penanganan darurat. Namun jaminan ini
tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal ini.

  Penanganan gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006 mengungkapkan, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari Pemerintah kurang lebih 1 minggu. Sementara bantuan penampungan sementara dan non pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi.

  Akibatnya, banyak penduduk khususnya anak-anak, perempuan dan lansia mengalami berbagai macam penyakit. Banyak korban yang mengalami luka parah menjadi cacat permanen dikarenakan lambatnya penanganan medis oleh negara. Kegagalan-kegagalan ini praktis tidak bisa dituntut atau diklaim oleh para korban yang mengandung unsur pertanggungjawaban dari aparat penyelenggara negara.

  Otoritas negara justru lebih kentara pada aspek pelaksanaan teknis dan koordinasi, termasuk menentukan daerah rawan bencana. Namun, tanpa jaminan HAM bagi penduduk yang terkena atau rentan terhadap bencana, hal ini justru berpotensi memunculkan kasus pelanggaran HAM baru. Sebagai contoh, negara berwenang untuk menghilangkan sebagian atau keseluruhan hak kepemilikan penduduk di daerah yang ditetapkan rawan bencana. program-program relokasi di daerah rawan bencana sebagian besar ditolak penduduk karena tidak ada jaminan akan retitusi (penggantian) atas hak kepemilikan dan properti, termasuk jaminan penghidupan. Kewenangan besar dalam menetapkan suatu wilayah sebagai daerah rawan bencana bisa disalahgunakan untuk menggusur penduduk yang tinggal di bantaran sungai atau menggambil alih lahan bagi kepentingan komersial.

  Terdegradasinya jaminan HAM pada penduduk yang terkena atau rentan terhadap bencana dalam UU Penanggulangan Bencana dikhawatirkan berimplikasi luas pada kegagalan capaian perbaikan kehidupan mereka. Untuk itu, masyarakat sipil khususnya para korban perlu membangun kesadaran dan menempuh upaya-upaya politik hukum agar UU Penanggulangan Bencana compliance dengan standar HAM. Upaya yang masih mungkin adalah membuat gugatan di Mahkamah Konsititusi untuk melihat sejauh mana aspek penegakan HAM dalam UU Penanggulangan Bencana. Sudah saatnya para korban bencana di Aceh, Yogyakarta, Pangandaran, Jakarta, Papua dan penduduk rentan terhadap bencana dilindungi agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, bukan dengan menempatkan mereka sebagai obyek yang hanya dipandang pantas menerima bantuan.

  Ada risiko faktor-faktor penting bagi pemulihan dan rekonstruksi akan luput dari perhatian di kemudian hari. Lagi pula, mengabaikan HAM mereka yang terkena dampak bencana-bencana alam berarti tidak memedulikan fakta bahwa mereka tidaklah hidup di dalam sebuah kevakuman hukum. Mereka tinggal di negara-negara yang mempunyai undang- undang, peraturan-peraturan, dan institusi-institusi yang semestinya melindungi hak-hak mereka. Indonesia mempunyai Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, itu artinya secara hukum korban bencana alam seharusnya sudah mendapat perlindungan di negara Indonesia.

  Negara secara langsung bertanggungjawab menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan HAM warga negara mereka dan siapapun yang hidup di wilayah atau yurisdiksi mereka. Jika organisasi-organisasi kemanusiaan nasional terikat hukum-hukum nasional, maka organisasi-organisasi kemanusiaan internasional mengakui bahwa HAM merupakan pondasi seluruh kegiatan mereka walaupun tidak terikat traktat-traktat HAM internasional. Oleh sebab itu mereka harus melakukan yang terbaik untuk menjamin bahwa seluruh hak dilindungi

  —bahkan melampaui rumusan kalimat-kalimat yang kaku di dalam mandat mereka dan demi kepentingan orang-orang yang secara langsung terkena dampak. Setiap organisasi kemanusiaan wajib tidak mendukung, aktif berpartisipasi di dalam, atau dengan cara apapun ikut melakukan hal, atau menyetujui seluruh kebijakan atau kegiatan yang menimbulkan atau bisa menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM oleh Negara-negara. Tantangan yang seringkali dihadapi adalah bagaimana menerapkan semua aturan itu dalam konteks operasionalnya, apalagi terdapat berbagai dilemma kemanusiaan dan HAM yang secara potensial dihadapi dalam berbagai situasi bencana-bencana kemanusiaan.

  HAM sama pentingnya dengan pangan dan pernaungan sebagai kebutuhan hidup para korban yang harus kita bantu dan lindungi secara hukum.

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merasa perlu untuk membahas lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul

  “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Bencana Alam Sebagai Hak Asasi Manusia ”.

  B.

  Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis merumuskan :

  Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban bencana alam berdasarkan ketentuan hukum HAM? C.

  Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan ini: Untuk mengetahui konsistensi ketentuan-ketentuan hukum, tentang perlindungan korban bencana alam sebagai HAM.

  D.

  Manfaat Penulisan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis, maupun praktis. a.

  Segi Pemerintah Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bahan kajian sebagai suatu usaha mengembangkan konsep pemikiran secara lebih logis dan sistematis terkait masalah- masalah hukum terkait perlindungan hukum terhadap korban bencana alam berdasarkan ketentuan hukum HAM dan agar lebih memperhatikan aturan-aturan yang ada.

  b.

  Segi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan kepada masyarakat terutama untuk korban bencana alam untuk mendapatkan hak dan perlindungan dari negara.

  c.

  Segi Kepentingan Akademik Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum.

E. Metode Penelitian

  11 a.

  Tipe penelitian hukum yang dilakukan Penelitian ini adalah penelitian hukum.

  12

  adalah yuridis normative dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap perlindungan hukum terhadap korban bencana alam sebagai bagian dari HAM.

  b.

  Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tipe pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

  11 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 10-11.

  

Johny Ibrahim, teori dan metodologi penelitian hukum normative, Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005, c.

  Bahan hukum Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari atauran hukum:

  Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum.

  Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

  d.

  Tehnik Pengumpulan data Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan di

  13 klasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk di kaji secara komprehensif.

  e.

  Tehnik Analisis Data Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menaruh kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada di analisis untuk melihat perlindungan hukum terhadap korban bencana alam berdasarkan ketentuan hukum hak asasi manusia.

  13

Dokumen yang terkait

BAB II PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Tinjuan Pustaka - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana Denda bagi Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat: Studi Kasus Putu

0 0 60

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Pengaturan tentang Pidana Kebiri Kimia di Indonesia dan Australia Barat

0 0 11

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Pengaturan tentang Pidana Kebiri Kimia di Indonesia dan Australia Barat

0 0 54

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi Ketentuan-Ketentuan Konvensi Asean tentang Pemberantasan Terorisme dalam Hukum Nasional Indonesia

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS A. Konsep Tentang Terorisme - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi Ketentuan-Ketentuan Konvensi Asean tentang Pemberantasan Terorisme dalam Hukum Nasional Indonesia

0 0 50

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG MASALAH - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Hukum yang Terjadi pada Transaksi E-Commerce Model C2C

0 0 12

BAB II TRANSAKSI E-COMMERCE DI TOKOPEDIA A. Hukum E-Commerce Di Indonesia Sebagai Dasar Tokopedia Dalam Layaan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Hukum yang Terjadi pada Transaksi E-Commerce Model C2C

0 1 27

40 BAB III HUBUNGAN HUKUM YANG TERJADI DALAM SITUS TOKOPEDIA A.Hubungan Hukum Yang terjadi Di Dalam Situs Tokopedia

0 0 23

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh Suami Isteri

0 0 17

A. TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh Suami Isteri

0 0 60