A. TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh Suami Isteri
BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Di dalam Bab II akan membahas mengenai hasil penelitian serta analisis mengenai topik yang dipilih. Di dalam Bab ini akan menjawab permasalahan- permasalahan yang diangkat penulis dari topik yang dipilih. Dari permasalahan- permasalahn tersebut akan disusun sebuah proposisi yang nantinya sebagai acuan terhadap kesimpulan dari setiap masalah. Dengan disusunnya proposisi-proposisi tersebut, kemudian akan dijawab dengan tesis statmen oleh penulis. Dengan tesis tersebut akan digunakan sebagai analisis terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun atau dikemukakan sehingga menemukan jawaban atau kesimpulan akhir. Di dalam Bab ini akan berisikan mengenai teori-teori yang dibahas dalam tinjauan pustaka sebagai pendukung penelitian serta hasil penelitian dan analisis.
A. TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teori-teori hukum yang terkait dan mendukung terhadap topik yang akan dibahas. Teori- teori tersebut akan melihat kesesuaian aturan-aturan hukum serta menjawab atas kekosongan hukum dan penafsiran aturan-aturan yang menimbulkan problematika terhadap topik yang dipilih. Di dalam tinjauan pustaka, nantinya akan menjelaskan teori hukum mengenai subjek hukum, menjelaskan mengenai perjanjian pada umumnya untuk melihat dari sisi keabsahan perjanjian yang dibuat oleh suami isteri dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT), lalu teori mengenai harta kekayaan dalam Di dalam tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teori-teori hukum yang terkait dan mendukung terhadap topik yang akan dibahas. Teori- teori tersebut akan melihat kesesuaian aturan-aturan hukum serta menjawab atas kekosongan hukum dan penafsiran aturan-aturan yang menimbulkan problematika terhadap topik yang dipilih. Di dalam tinjauan pustaka, nantinya akan menjelaskan teori hukum mengenai subjek hukum, menjelaskan mengenai perjanjian pada umumnya untuk melihat dari sisi keabsahan perjanjian yang dibuat oleh suami isteri dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT), lalu teori mengenai harta kekayaan dalam
1. Subjek Hukum
Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda rechtssubject . Kata subject dalam bahasa Belanda dan Inggris berasal dari bahasa Latin subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi). 1
Berdasarkan pengertian dari bahasa Latin, Franken menyatakan, bahwa kata subject memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima kewajiban daripada mempunyai hak. Oleh karena itu istilah subjek hukum sebenarnya kurang
tepat jika istilah itu diperuntukan bagi mereka yang mempunyai hak. 2 Menurut Paton yang dikutip oleh P eter Mahmud Marzuki di dalam bukunya berjudul “
Pengantar Ilmu Hukum ”, istilah person berasal dari bahasa Latin persona yang ekuivalen dengan bahasa Yunani prosopon. Baik persona maupun prosopon pada awalnya merujuk kepada topeng yang dikenakan oleh pemain untuk menggambarkan dewa atau pahlawan dalam suatu drama. Barulah pada abad VI Boethius mndefinisikan persona sebagai sosok makhluk yang rasional. Pada perkembangannya, person diartikan sebagai sesuatu yang dapat mempunyai hak
dan kewajiban. 3 Istilah subjek hukum atau dalam bahasa Belanda rechtssubject sudah menjadi kajian dalam pendidikan hukum Indonesia maupun Belanda. Dalam
memahami subjek hukum dalam ilmu hukum dikenal dalam 2 hal, adapun subjek
1 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 205 2 Ibid, h. 206 3 Ibid.
hukum yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum. Hal ini dijelaskan dalam pernyataan Salmond yang berbunyi:
“so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is person, whether a human being or not, and no being that is so capable is a person, even thought he be a man ”.
Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau
istilah Salmond person kalau dimungkinkan oleh hukum. 4
Subjek hukum adalah salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang dipelajari oleh teori hukum. Untuk menjelaskan tentang pengertian pokok dari subjek hukum akan diperoleh suatu batasan ( definisi) dan ini perlu didasari melalui teori dari hukum positif tersebut, dengan membuat analisa dan gambaran fakta- fakta dalam masyarakat dan mengadakan induksi serta kemudian membuat perumusan ( omschrijving) isi dari suatu gambaran yang umum, yang memuat
segala gejala dari hal yang sehari-harinya disebut subjek hukum. 5 Dengan melihat fakta-fakta serta analisa dalam masyarakat maka subjek hukum manusia yang
adalah persoon merupakan persoalan hubungan – hubungan manusia satu dengan yang lain, sehingga kesadaran akan hukum akan muncul. Kata Paul Scholten yang
dikutip oleh Chidir Ali dalam bukunya yang berjudul “ Badan Hukum” mengandung dua dalil yaitu : 6
4 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 5 Chidir Ali Op.Cit., h. 5. 6 Ibid, h. 6.
- Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas hak-hak subjektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum objektif. Di sini perkataan manusia bagi hukum mempunyai nilai etis. Yang menjadi persoalan di sini ialah suatu sollen dan juga dinyatakan suatu asas hukum. Dengan demikian hal ini juga menjadi dasar arti dalil kedua yaitu :
- Dalam hukum positif manusia yang merupakan persoon adalah subjek hukum, mempunyai wewenang. Dalil ini mengandung petunjuk di mana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan demikian dinyatakan suatu kategori hukum.
Atas kedua dalil diatas, maka untuk menjawab siapakah subjek hukum tersebut. Pertama, subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subektif dan pelaku dalam hukum objektif. Kedua, siapa subjek hukum dalam hukum positif adalah orang (persoon). Namun atas pendapat ini tidak semerta-merta mengatakan subjek hukum (orang) yang dianggap manusia sebagai satu-satunya subjek hukum dalam hukum positif. Terkait dengan fakta-fakta serta analisa di masyarakat, hukum sebagai norma tentu akan berdampingan dengan hukum sebagai peristiwa yang ada. Sebagaimana dimaklumi bahwa gejala-gejala dari hal yang sehari-hari disebut subjek hukum menurut kenyataannya dalam masyarakat ialah tidak hanya terbatas pada orang saja tetapi juga muncul peristiwa subjek hukum yaitu badan hukum (rechtspersoon). Hal ini sebagaimana terkonsepkan dalam negara hukum yaitu “ Ubi societes ibi ius ” yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada masyarakat disitu ada hukum” perkataan ini diutarakan oleh filsuf ternama yaitu
Marcus Tullius Cicero yang masih berlaku hingga sekarang. 7 Perpaduan antara subjek hukum dengan asas ini untuk melihat bahwa hukum tidak hanya tercipta
sebagaimana adanya yang sudah tertuang dalam norma sehingga masyarakat hanya tinggal mematuhinya. Konsep ini untuk melihat bahwa peristiwa dimasyarakat dapat memunculkan hukum baru. Kemunculan tersebut tidak semerta-merta hanya dari sisi individu, harus ada keterikatan antara dua individu atau lebih yang disebut sebagai masyarakat. Dengan hubungan-hubungan inilah akan memunculkan peristiwa hukum yang kemudian dalam masyarakat akan diadopsi. Contoh konkrit ialah subjek hukum yang bukan sebagai manusia (persoon) tetapi subjek hukum dalam artian badan hukum (rechtspersoon).
Menurut L.J. Van Apeldoorn dalam Chidir Ali, bahwa orang dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum. Wewenang hukum ialah kecakapan untuk menjadi subjek hukum. Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam memberikan kedudukan sebagai subjek hukum, hukum terikat hanya sampai pada manusia saja, karena hanya manusia saja yang dapat memiliki hak-hak subjektif artinya wewenang dan kewajiban. 8 Pendapat ini hanya bertitik tumpu pada manusia
saja sebagai subjek hukum. Merupakan kenyataan bahwa dalam pergaulan hidup manusia tentu akan adanya pergaulan hukum sehingga masyarakat telah menerima adanya subjek hukum lain disamping manusia. Hal untuk membedakan subjek hukum ini disebut dengan (badan hukum). Menurut penulis adanya badan hukum ini merupakan salah satu peristiwa hukum yang muncul dalam kehidupan hukum di masyarakat. Hal ini semata mata muncul bukan karena tiba-tiba melainkan akibat
7 Teguh Prasetyo, MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA, Jurnal Hukum dan Peradilan, Universitas Kristen Satya Wacana, Vol. 3 No. 3, 2014, h. 1
8 Chidir Ali Op.Cit, h. 7.
peristiwa hukum yang ada masyarakat. Peristiwa hukum dimasyarakat yang menjadikannya ada badan hukum karena adanya perkumpulan manusia yang bersama-sama dapat mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dari hubungan hukum. Sekumpulan ini kemudian dinamakan dengan badan hukum dan badan hukum ini sebagai subjek hukum yang baru serta mandiri. 9 Kehadiran badan hukum
ini sebagai realitas di samping manusia sebagai subjek hukum
Pengertian lainnya mengenai subjek hukum adalah pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. 10 Hal ini memiliki kesamaan dari beberapa pendapat
ahli hukum yang telah diutarakan. Sebagaimana subjek hukum, untuk mengenal pertama kali adalah yang dapat memiliki hak dan kewajiban untuk berkehendak hukum.
Manusia ( natuurlijk persoon ) menurut hukum adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama, selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 BW, bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal menerima pembagian warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum ( tidak
menerima pembagian warisan). 11
9 Ibid, h. 10. 10 Marwan Mas, Op.Cit, h. 23. 11 Ibid.
Manusia sebagai subjek hukum yang dianggap natural dalam memiliki kehendak atas perbuatannya merupakan hal yang istimewa. Bahkan manusia dalam kandungan sekalipun sudah memiliki hak dan kewajiban seperti halnya dalam
hukum waris. Dari sudut pandang filsafati, manusia disebutkan dalam 3 definisi : 12
- Defenisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi
atau animal rationale. Bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan hewan yang hanya ditambah dengan budi. Dalam aksi-reaksi biologis ada persamaan, walaupun hanya dalam suatu momen saja dari totalitas atau keseluruhan. Namun dalam aksi-reaksi psikologis, manusia dengan hewan sama sekali berbeda.
- Geist-in-welt. - Manusia dipandang dari sudut sungguh-sungguh sebagai barang dunia
yang badani, oleh karena memiliki sifat-sifat badani juga. - Esprit incarne. Manusia adalah roh yang telah menjelma menjadi
daging. Maksudnya bahwa manusia betul-betul bersifat jasmani, stoffelijk .
Dengan 3 jenis pandangan secara filsafat diatas bahwa manusia sebagai subjek hukum memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lain yaitu akal budi serta sudah diakuinya sebagai subjek hukum sejak dalam kandungan. Dengan memiliki akal budi serta pengakuan ini maka manusia dapat berkehendak dan dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang diinginkannya.
Oleh Notohamidjojo juga menjelaskan mengenai dari subjek hukum sendiri sebagai berikut :
Menyatakan bahwa manusia meliputi objek, subjek dan relasi. Manusia sebagai objek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah yang memiliki tubuh, mengisi suatu ruang sehingga dapat dicandra. Manusia selain sebagai objek juga mewujudkan subjek yang berarti mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang bebas. Manusia bukanlah subjek yang berdiri sendiri, melainkan senantiasa dalam perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula
12 Dyah Hapsari Prananingrum, TELAAH TERHADAP ESENSI SUBJEK HUKUM: MANUSIA DAN BADAN HUKUM, Jurnal Ilmu Hukum: Refleksi Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana, Vol.
8 No. 1, 2014, h. 3.
kebebasan saja, namun kebebasan dalam tanggung jawab. Manusia hidup dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya, dan masyarakatlah lingkungan di mana manusia hidup. Dengan demikian, hakikat manusia dapat dilukiskan sebagai objek-subjek relasi. 13
Ketika manusia sebagai subjek hukum, yang oleh hukum dijamin kebebasannya serta melakukan suatu perbuatan hukum, terdapat batasan-batasan bagi manusia untuk mulai dapat melakukan perbuatan hukum. Tidak semua manusia dapat melakukan suatu perbuatan hukum, tetapi semua manusia dianggap sebagai subjek hukum. Pada dasarnya manusia dapat melakukan perbuatan hukum yang dengan kata lain memiliki kecakapan kecuali undang-undang menyatakan lain. Dari ini dapat ditemukan poin penting bahwa, manusia walaupun sebagai subjek hukum, namun terdapat batas-batas kecakapan untuk melalakukan perbuatan hukum. Beberapa manusia yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum ialah anak yang masih dibawah umur, orang yang dinyatakan pailit, dan orang yang berada dibawah pengampuan. Hal ini digolongkan untuk bertujuan melihat sah dan tidaknya dalam melakukan suatu perbuatan hukum serta pertanggungjawaban hukumnya.
Dalam penjelasan diatas dikatakan bahwa manusia sebagai subjek hukum sudah dari dalam kandungan, akan tetapi terdapat pengecualian dimana bila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal maka dia dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada status sebagai subjek hukum. Selain terkait dengan bayi yang meninggal dunia sehingga tidak ada statusnya sebagai subjek hukum, terdapat subjek hukum (manusia) yang dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan
13 Ibid, h. 4.
hukum. Mereka disebut personae miserabile, 14 sehingga mengakibatkan tidak dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibanya, yang menjadikan perlunya
adanya wali atau pengampu atau dalam kepailitan disebut dengan kurator untuk dapat memenuhi hak-hak dan kewajiban mereka. Golongan-golongan manusia yang disebut dalam personae miserabile adalah : 15
a. Anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa (belum berusia
21 tahun), dan belum kawin/nikah. Aturan mengenai batasan umur ini diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:
- Pasal 330 KUHPerdata ( batas usia 21 tahun atau telah nikah (kawin) atau pernah nikah (kawin). - Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Namun pada Pasal 6 ayat (1) yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.
- Pasal 45 KUHPidana berbunyi, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun. Namun pada Pasal 46 KUHPidana, apabila hakim tetap mepidanakan maka dapat memilih tiga putusan yaitu dikembalikan ke orang tua si anak, memasukan dalam pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana yang dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal dan dipenjara khusus penjara anak.
- Pasal 28 Undang-Undang No 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), hak untuk memilih adalah usia 17 tahun, atau sudah/pernah kawin.
b. Selain anak yang dibawah umur orang dewasa pun dapat dikatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum sehingga butuh wali / pengampu yaitu :
- Sakit ingatan : gila, orang dungu, penyakit suka mencuri (kleptomania), khusunya penyakitnya. - Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam peralihan hak di bidang harta kekayaan)
Di atas adalah beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur batasan-batasan usia bagi anak yang belum dewasa dan cakap melakukan
14 Marwan Mas Op.Cit h. 24. 15 Ibid, h. 24-25.
perbuatan hukum serta orang-orang dewasa yang digolongkan tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Secara yuridis ada beberapa alasan tentang manusia sebagai subjek hukum. Pertama, manusia mempunyai hak-hak subjektif. Kedua, kewenangan hukum yang berarti kecakapan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan karena status sebagai subjek hukum yang melekat pada manusia adalah kodrat yang dibawa dari lahir sedangkan hukum hanya mengakuinya saja. Pengecualian atas hak tersebut terdapat di dalam Pasal BW yang mengatur bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada. Pengecualian atas hak ini disebut dikenal dengan fiksi hukum. Tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang cakap menurut hukum. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). 16
Dikatakan bahwa selain subjek hukum manusia yang diakui secara keseluruhan oleh hukum, terdapat entitas subjek hukum lainnya yang disebut badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum sendiri merupakan hasil dari peristiwa hukum di masyarakat yang kemudian memunculkan pemahaman hukum baru. Secara otomatis badan hukum sebagai subjek hukum tentu memiliki kewenangan
16 Dyah Hapsari Prananingrum Op.Cit h. 4 16 Dyah Hapsari Prananingrum Op.Cit h. 4
BW menggunakan istilah rechtspersoon yaitu pada saat diadakannya pengaturan tentang kanak-kanak (kinderwetten). Menurut Pasal 292 Ayat (2) dan Pasal 302 Buku I BW serta sejak diadakannya buku Titel 10 Buku III BW (lama) pada tahun 1838 terdapat banyak ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan rechtspersoonen tetapi istilah yang digunakan adalah zedelijk lichaam (badan susila). Mengenai istilah ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam
Dyah Hapsari Prananingrum berpendapat sebagai berikut : 18
Dalam menejermahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, lichaam itu benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah, karena arti sebenarnya susila. Oleh karena itu, istilah zadelijk lichaam dewasa ini sinonim dengan rechtspersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi hukum.
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum, memang banyak sekali perdebatan yang menganggap bahwa badan hukum bukanlah subjek hukum. Namun dalam Buku Ketiga BW Pasal 1653 dan 1654 menyinggung beberapa ketentuan yang dapat menjadi dasar sahnya badan hukum. Pada Pasal 1653 BW berbunyi :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan
perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau
17 Ibid, h. 6. 18 Ibid 17 Ibid, h. 6. 18 Ibid
undang atau kesusilaan baik ”.
Kemudian pada Pasal 1654 BW berbunyi : “Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan
orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukan pada acara-acara tertentu ”.
Dari rumusan diatas ditemukan 3 macam perkumpulan dalam Pasal 1653 yang bisa dijadikan landasan yuridis keberadaan badan hukum: 19
a. Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum
b. Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu tidak berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Dalam bahasa Inggris manusia disebut sebagai natural person, sedangkan badan hukum disebut legal person. Salmond menjelaskan mengenai badan hukum
yang berbunyi :
“a legal person is any subject matter other than human being to which the law attributes personality ’
Maksud dari pernyataan ini bahwa karakteristik badan hukum adalah didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan
19 Ibid, h. 7.
pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari hak dan kewajiban pendiri atau pengurusnya. 20
Namun, perdebatan mengenai badan hukum masih saja ramai dibicarakan. Salah satu poin penting perdebatan tersebut terkait dengan eksistensinya. Ketika manusia menjadi subjek hukum maka hak dan kewajibannya jelas tersirat sebagaimana ia berkehendak. Eksistensi dan keberadaan manusia sebagai subjek hukum jelas terlihat nyata. Lain hal dengan badan hukum, ketika badan hukum tercipta tentulah dibutuhkan pengakuan. Ketika pengakuan belum diajukan ke lembaga yang berwenang dalam ini belum didaftarkan maka entitas dirinya sebagai badan hukum belum dapat diakui. Permasalahan kemudian yang muncul terkait dengan badan hukum adalah subjek hukum yang dianggap fiktif. Hal ini dikarenakan keberadaannya berada dibayang-bayang subjek hukum manusia sehingga hak dan kewajiban serta kehendak subjek hukum badan hukum dianggap sama sebagai subjek hukum manusia.
Marwan Mas di dalam bukunya yang berjudu l “Pengantar Ilmu Hukum” menjelaskan syarat badan hukum untuk menjadi subjek hukum. Terdapat empat
teori sebagai syarat menjadi badan hukum menjadi subjek hukum: 21
a. Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia (orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan kewajiban.
b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaannya dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah dari harta kekayaan para pengurusnya atau anggotanya.
c. Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan hukum menjadi milik bersama para pengurusnya atau anggotanya.
20 Peter Mahmud Marzuki Op.Cit, h. 207 21 Marwan Mas, Op.Cit, h. 25-26.
d. Teori organ, yaitu badan hukum itu harus mempunyai organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan aset (modal) yang dimiliki.
Empat teori diatas dianggap sebagai syarat badan hukum bisa mendapatkan statusnya sebagai subjek hukum dan entitas badan hukumnya bisa diakui. Selain itu penulis juga menambahkan bahwa status sebagai badan hukum harus didaftarkan ke Menkumham sebagai bentuk pengesahan badan hukum.
Badan hukum dalam hal ini dibedakan menjadi 2 jenis baik publik maupun privat. Badan hukum publik lebih pada lingkup pemerintahan baik pusat maupun daerah, sedangkan badan hukum privat terlepas dari unsur pemerintahan karena didirikan hanya untuk mencari keuntungan salah satunya adalah Perseroan Terbatas
(PT). 22
Terdapat beberapa pendapat mengenai badan hukum. Oleh Dyah Hapsari Prananingrum di dalam jurnal refleksi hukum yang berjudul “Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia Dan Badan Hukum ”, menurut Apeldoorn, yang
dimaksud dengan purusa hukum (badan hukum) adalah : 23
a. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia suatu purusa yang tunggal
b. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu purusa (yayasan).
Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum atau rechtspersoon adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti
22 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 207. 23 Dyah Hapsari Prananingrum, Op.Cit, h. 8.
orang-orang pribadi. 24 Wirjono Prodjodikoro menyatakan badan hukum sebagai badan di samping manusia perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum
dengan orang lain maupun badan lain. 25
Dengan pendapat ahli hukum diatas maka pemikiran serta pengertian badan hukum sebagai subjek hukum dapat diterima dan tak dianggap fiktif lagi. Badan hukum yang merupakan subjek hukum tentu dibuat oleh sekumpulan-sekumpulan subjek hukum (manusia) untuk suatu kepentingan tertentu. Dengan begitu entitas perkumpulan tersebut untuk membuat suatu badan yang dapat menampung kepentingan-kepentingan para subjek hukum dapat diakui. Sama halnya dengan subjek hukum manusia, subjek hukum badan hukum tentu memiliki hak dan kewajibannya sendiri, terdapa harta kekayaannya sendiri yang terpisah dari para pengurus badan hukum, adanya kepentingan berkaitan dibuatnya badan hukum tersebut, serta dapat dipailitkan. Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu contoh badan hukum yang memiliki legal entitynya sendiri. Perseroan Terbatas yang dimana terbentuk dari sebuah perjanjian antara para pihak untuk memenuhi kepentingan tertentu. Kemudian adanya kepengurusan atau organ-organ yang menopang jalannya badan hukum tersebut sehingga siklus bisnis akan terus berputar sehingga badan hukum tersebut tidak berhenti.
Terdapat unsur-unsur mengenai badan hukum, menurut Scholten badan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur : 26
24 Ibid, h. 9. 25 Ibid. 26 Ibid, h. 10.
a. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum pemisahan.
b. Mempunyai tujuan tertentu sendiri.
c. Mempunyai alat perlengkapan atau organisasi. Menurut Ali Rido, untuk menentukan kriteria sebagai badan hukum, doktrin
memberikan syarat sebagai berikut : 27
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah.
b. Mempunyai tujuan tertentu
c. Mempunyai kepentingan.
d. Adanya organisasi yang teratur.
Menurut Soenawar Soekowati, badan hukum harus memenuhi unsur-unsur : 28
a. Ada harta kekayaan yang terpisah lepas dari kekayaan anggota- anggotanya ( pendiri)
b. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, serta bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.
c. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil)
d. Harus dapat ditunjukan suatu harta kekayaan yang tersendiri, yang tidak saja untuk objek tuntutan tetapi juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-kepentingan badan hukum yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya (pendiri).
27 Ibid, h. 11. 28 Ibid.
Dari beberapa pendapat para ahli hukum diatas memiliki kesamaan besar untuk menjelaskan mengenai subjek hukum. Poin penting yang muncul mengenai subjek hukum adalah adanya pendukung dirinya untuk dapat memiliki hak dan kewajiban dalam kewenangannya bertindak menurut tata cara yang dibenarkan oleh hukum, kemudian adanya kecakapan hukum sebagai dasar bahwa subjek hukum dapat bertindak atas dirinya sendiri, dan adanya pengakuan oleh hukum, dengan demikian hal tersebut meliputi subjek hukum (natuurlijk person) dan (rechtsperson).
2. Perjanjian
a. Pengertian
Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dihasilkan dari perikatan. Dalam kamus hukum perikatan di definisikan berupa “kesepakatan atau persetujuan untuk memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesutu”. Sedangkan perjanjian dalam kamus hukum berbunyi “ persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau lebih di mana masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama; persetujuan atau kesepakatan resmi antara dua orang atau pihak atau negara atau lebih dalam bidang-bidang
tertentu”. Dalam Buku ke III BW Pasal 1233 dan 1234 menjelaskan perikatan pada umumnya yang berbunyi :
Pasal 1233 : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang ”.
Pasal 1234 : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu ”.
Sedangkan definisi perjanjian terdapat pada Pasal 1313 BW yang berbunyi:
Pasal 1313: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ”.
Dalam kedua Pasal tersebut telah menjelaskan mengenai definisi dari perikatan dan perjanjian. Namun secara jelas bahwa perikatan tidak sama dengan perjanjian. Perjanjian adalah sumber dari perikatan. Bila digambarkan bahwa perikatan bisa muncul karena perjanjian dan Undang-Undang. Dari Undang- Undang sendiri muncul memang karena Undang-Undang dan karena perbuatan manusia ( sesuai hukum maupun melawan hukum). Perjanjian sendiri memiliki beberapa istilah seperti: perjanjian, persetujuan, kontrak, dan perutangan. Namun dalam hal ini kebanyakan para pihak menyebutnya sebagai kontrak. Hal ini didasari dengan kepentingan bisnis yang dimana ada tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan dalam perjanjian tidak sepenuhnya hal tersebut untuk mencari keuntungan. Kontrak merupakan salah satu istilah yang sering digunakan dalam perbuatan hukum. Klausul-klausul yang ingin dicapai pun dapat dibuat sedemikian rupa untuk menjadikan sebuah keuntungan. Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Untuk mencapai suatu kesepakatan biasanya dilakukan negosiasi untuk menciptakan bentuk kesepaatan yang telah disetujui.
Perkembangan hukum kontrak dalam praktiknya terkadang masih dipahami secara rancu. Pelaku bisnis kebanyakan mencampuradukan pengertian tersebut seolah berbeda. Dalam BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel
Kedua Tentang “ Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu : “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana antara lain : Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J.Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrick, dan Tirtodiningrat yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
pengertian yang sama. 29 Namun menurut Subekti mempunyai pendapat lain mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurutnya
istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 30
Peter Mahmud Marzuki memberikan penjelasan mengenai istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan dengan sistem Anglo-American sebagai berikut :
Sistematika Buku III tentang verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada buku III BW Indonesia tentang hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan( Vermogen ). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di
29 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2014, h. 13.
30 Ibid, h. 14.
dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda- nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal- hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedang untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. 31
Dengan pendapat demikian, penulis akan menggunakan istilah perjanjian dalam membahas topik, hasil penelitian dan analisis. Tujuannya adalah lingkup bahasan yang digunakan terkait perjanjian oleh suami isteri yang terikat dalam perkawinan dalam hal mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Otomatis lingkup yang dibahas adalah perjanjian karena aspek yang dilihat tidak hanya sebatas bisnis.
Dilihat bahwa Pasal 1313 BW memberikan rumusan mengenai perjanjian. Oleh Subekti memberikan definisi dari perjanjian itu sendiri dengan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 32 Sedangkan oleh KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. 33
Dengan demikian definisi mengenai perjanjian menjadikan suau perbuatan seseorang dengan orang lain atau lebih untuk melakukan suatu hal yang menimbulkan akibat hukum sehingga pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut harus melaksanakannya dengan itikad baik. Namun dalam rumusan Pasal 1313 BW terdapat kekurangan terkait perbuatan hukumnya. Dalam Pasal 1313 BW,
31 Ibid,h. 14-15. 32 Ibid, h. 15-16. 33 Ibid, h. 16.
persetujuan tersebut hanya menyebutkan persetujan sepihak saja. Definisi tersebut menurut Purwahid Patrik terdapat kelemahan sebagai berikut : 34
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “ satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih darinya ”. Kata “mengikatkan “ merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming)
melanggar hukum (onrechtmatigedaad ). Hal ini menunjukan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum.
dan
perbuatan
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dengan begitu perlunya dilengkapi kekurangan dari definisi dalam Pasal 1313 BW, sehingga pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap pihak lainnya. Di dalam Nieuw Burgelijk Wetboek (NBW) Pasal 1313 KUHPerdata mengalami perubahan yang diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6:213, yaitu : “a contract in the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an obligation towards one or more other parties ”. Menurut NBW kontrak merupakan perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. 35 Jelas dalam perubahan Pasal 1313 di NBW mengenai definisi perjanjian yang dimana harus adanya timbal balik dari pihak untuk melakukan suatu perjanjian.
34 Ibid, h.17-18. 35 Ibid, h. 18-19.
b. Keabsahan suatu perjanjian
Mengenai perjanjian yang akan dibuat tentulah diperlukan adanya syarat- syarat khusus untuk sahnya sebuahnya perjanjian tersebut. Ketentuan itu diatur dalam Buku III BW pada Bab ke dua bagian ke dua mengenai “tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian” pada Pasal 1320 BW , untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Ketentuan mengenai Pasal 1320 BW merupakan syarat yang harus ada di dalam setiap perjanjian. Ketentuan mengenai syarat sah tersebut juga dibarengi dengan adanya kehendak yang tidak cacat. Maksud dengan kehendak yang tidak cacat adalah bahwa perjanjian tersebut memang dibuat dengan jasmani dan rohani para pihak tanpa ada hal lain yang memaksa. Hal ini diatur dalam Pasal selajutnya yaitu Pasal 1321 BW yang berbunyi :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan ”.
Hal ini sebagaimana adanya itikad baik dalam membuat perjanjian sehingga tidak adanya cacat kehendak dalam pelaksanaannya atau prestasinya dapat dilakukan. Itikad baik tertuang di dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, sehingga segala perjanjian yang dibuat oleh para pihak perlu memperhatikan ketentuan Pasal tersebut. apabila ketentuan dasar syarat sahnya suatu perjanjian tentu mengakibatkan perjanjijan tersebut dapat dibatalakan ataupun batal demi hukum ( dianggap tidak pernah adanya suatu perjanjian tersebut).
c. Asas-asas di dalam perjanjian
Di dalam perjanjian sendiri memiliki asas-asas yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian tersebut serta akibat yuridisnya setelah perjanjian itu telah disahkan. Di dalam perkembangnya asas hukum perjanjian di bagi menjadi beberapa bagian. Asas-asas hukum perjanjian tersebut berkaitan dengan lahirnya, isi, kekuatan mengikatnya dan pelaksanaan perjanjian. Beberapa asas tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a. Asas konsensualisme Asas ini berkaitan dengan lahirnya perjanjian . Asas ini menceritakan bahwa
perjanjian pertama kali lahir dari kata sepakat. Pihak-pihak ataupun para pihak tersebut saling mengikatkan dirinya satu sama lain dalam bentuk tertulis dengan apa yang mereka janjikan sekalipun belum terlaksana. Dengan adanya kata sepakat terlebih dahulu sudah memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat. Christiana Tri Budhayati dalam Mariam Darus mengutip adanya empat
teori yakni : 36
- Teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan.
- Teori penerimaan (verzendtheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
- Teori pengetahuan (vernemingstheorie), mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
- Teori kepercayaan (vertrouventstheorie), mengajrakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
36 Dyah Hapsari Prananingrum, ed., Dinamika Hukum Kontrak,Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, h. 47.
Dengan teori-teori yang dikemukakan maka dapat disusun bahwa teori kehendak sebagai mulanya kata sepakat dalam membuat suatu perjanjian. Adanya kehendak dari masing-masing pihak sebagai itikad baik serta kecakapan hukum bahwa dirinya dapat melakukan suatu perjanjian tanpa ada paksaan. Kemudian dengan teori kedua yaitu teori penerimaan merupakan langkah kedua dari kehendak. Ketika kehendak telah dilakukan maka secara otomatis tawaran-tawaran serta bentuk-bentuk dari perjanjian akan dapat diterima. Dengan mengkonfirmasi seperti di dalam jual beli online maka dalam melakukan persetujuan yaitu dengan menekan tombol beli atau mengkonfirmasi apapun untuk mengirim pemberitahuan bahwa seseorang ingin membeli maka teori yang kedua telah terpenuhi. Teori yang ketiga merupakan teori pengetahuan sebagai akibat dari teori penerimaaan. Hal ini bisa dikatakan dengan konfirmasi atas tawaran yang telah diajukannya dan telah diterima. Teori kepercayaan sebagai teori yang terakhir merupakan kehendak masing-masing yang melakukan perjanjian tahu akan isi dari perjanjian tersebut dan dapat diterima serta saling adanya itikad baik.
b. Asas Kebasan Berkontrak Asas ini berkaitan dengan dengan isi perjanjian atau kontrak. Asas ini
memberikan kepada siapapun yang cakap melakukan perbuatan hukum dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan siapa saja yang juga cakap hukum. Dengan begitu asas ini memberikan kebebasan bagi para pihaknya melakukan suatu perjanjian dengan pihak manapun asalkan adanya kesepakatan dan terpenuhinya unsur-unsur dalam pembuatan perjanjian baik itu unsur subjek serta unsur objek. Selain dengan siapapun pihak dapat membuat sebuah perjanjian atau kontrak, mengenai isi perjanjian atau kontrak pun masing-masing pihak dapat menentukan memberikan kepada siapapun yang cakap melakukan perbuatan hukum dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan siapa saja yang juga cakap hukum. Dengan begitu asas ini memberikan kebebasan bagi para pihaknya melakukan suatu perjanjian dengan pihak manapun asalkan adanya kesepakatan dan terpenuhinya unsur-unsur dalam pembuatan perjanjian baik itu unsur subjek serta unsur objek. Selain dengan siapapun pihak dapat membuat sebuah perjanjian atau kontrak, mengenai isi perjanjian atau kontrak pun masing-masing pihak dapat menentukan
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya ”.
Kata “semua” mengandung makna meliputi seluruh perjanjian baik yang telah diatur dalam KUHPerdata (dikenal dengan perjanjian bernama) maupun
perjanjian yang belum didaftar dalam KUHPerdata, yang muncul karena kebutuhan masyarakat (lebih dikenal dengan istilah perjanjian tidak bernama). 37
Kemudian dari asas ini tidak ditafsirkan bahwa kebebasan berkontrak dianggap sebagai sebebas-bebasnya, karena harus ada ketentuan dalam membuat perjanjian apapun modelnya. Dengan memperhatikan Pasal 1337 BW yang memberikan batasan bebas terhadap asas kebebasan berkontrak yang berbunyi :
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum ”.
Dengan bunyi seperti diatas maka perlu memperhatikan bahwa perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
c. Asas Pacta Sun Servanda Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian atau kontrak
yang telah dibuat para pihak. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 BW yang berbunyi :
37 Ibid, h. 48-49.
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya ”.
Asas ini melihat bahwa adanya jaminan kepastian hukum pada para pihak yang berjanji, para pihak akan “terikat” pada apa yang diperjanjikan, terkandung makna bahwa ia tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan,
pengingkaran tentu akan mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan. 38
Selain para pihak terikat dengan apa yang telah mereka perjanjikan, mereka juga harus memperhatikan pada kebiasaan dan kepatutan di masyarakat. Jangan sampai perjanjian yang dibuat berbenturan dengan kebiasaan dan kepatutan di dalam masyarakat. Hal ini diatur di dalam Pasal 1339 BW yang berbunyi :
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang ”.
Di dalam Pasal ini terdapat mengenai asas kepatutan yang akan menjadi dasar bagi pihak yang akan membuat perjanjian.
d. Asas Itikad Baik Asas ini terkait dengan pelaksanaan dari isi perjanjian nantinya. Itikad baik
merupakan asas untuk melihat apakah pihak-pihak yang terkait membuat kontrak benar-benar melakukan kewajiban hukumnya dengan apa yang diperjanjikan. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
38 Ibid, h.50.
Secara tegas dari bunyi Pasal tersebut bahwa pihak-pihak yang terafiliasi di dalam perjanjian yang dibuat terikat untuk melakukan kewajiban hukumnya atau sering disebut dengan (prestasi). Dengan demikan asas itikad baik juga bersumber dari rasa saling percaya antara yang membuat perjanjian.
Kriteria itikad baik tidak ditemukan dalam peraturan perundangan, oleh karena itu hakim mempunyai kewenangan untuk menetapkan apakah suatu perjanjian dibuat atau dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dilihat dari sikap tingkah laku yang nyata dari subyek pembuat perjanjian, dapat pula bersifat mutlak dengan penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan dengan ukuran yang
obyektif. 39
Ridwan Khairandy dalam Christiana Tri Budhayati, menjelaskan bahwa pengertian itikad baik mempunyai dua dimensi: 40
- dimensi subyektif yang berarti itikad baik mengarah pada makna kejujuran. - dimensi yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.
Dengan dua dimensi tersebut maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah terkait dan memiliki kedua unsur dimensi diatas, selayaknya sebuah perjanjian yang dibuat maka kepatutan dan kerasioanalan harus jelas terlihat. Demikian, maka rasa adil bagi para pihak dapat terjamin.
39 Ibid, h. 52. 40 Ibid.
3. Perjanjian Terkait dengan Pendirian Perseroan Terbatas (PT)
untuk melihat mengenai perjanjian terkait dengan pendirian Perseroan Terbatas (PT) maka harus melihat dari tahap inkorporasi Perseroan Terbatas (PT). Dalam pra inkorporasi, aktivitas pendirian Perseroan Terbatas (PT) dapat dipilah
menjadi 3 langkah : 41
a. Discovery, merupakan langkah-langkah yang meliputi upaya untuk menemukan kesempatan bisnis apa yang akan dikembangkan, bagaimana prospek bisnis tersebut, apa tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan bisnis tersebut.
b. Investigation, merupakan analisis terhadap rencana bisnis yang telah dipilih untuk mendapatkan kepastian apakah suatu aktivitas bisnis tertentu itu memiliki kelayakan ekonomis atau tidak.
c. Assembly, merupakan langkah terakhir yang mencakup pada tindakan konkrit sebagai tahapan (steps) mewujudkan berdirinya Perseroan Terbatas. Langkah ini mencakup bagaimana kebutuhan modal (baik modal tetap maupun modal berjalan) diperoleh, bagaimana menyediakan kebutuhan tenaga kerja, perencanaan detail maupun lanjutan dari suatu perusahaan.
Di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan terlebih dahulu definisi dari Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi :
“adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya ”.
41 Tri Budiyono, Op.Cit, h. 35-36.
Dari penjelasan tersebut dapat ditemui beberapa unsur-unsur klasifikasi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Unsur-unsur ini sebagai berikut : 42
- Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal - Didirikan berdasarkan perjanjian - Melakukan kegiatan usaha - Seluruh modalnya terbagi dalam bentuk saham - Memenuhi persyaratan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas (PT) memiliki status sebagai badan hukum (legal entity) dengan penekanan sebagai persekutuan modal. 43 Ketika sudah dikatakan sebagai
badan hukum maka termasuk dalam subjek hukum sehingga dapat menimbulkan hak dan kewajiban, dapat dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun dengan tak terbentuk secara alamiah maka dibutuhkannya organ-organ sebagai mengaktualisasikan badan hukum tersebut. Dengan melihat jenisnya sebagai persekutuan modal maka modal sebagai hal penting untuk melihat hubungan hukum di dalamnya. Dengan pemilik modal yang lebih besar maka akan memberikan partisipasinya lebih banyak ketimbang yang sedikit modalnya ada di Perseroan Terbatas (PT) itu.
Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Dalam Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) diatur bahwa untuk mendirikan Perseroan Terbatas (PT) sekurang-kurangnya harus mengikutkan 2 (dua) orang. Dua orang atau lebih tersebut membuat perjanjian untuk bersama-sama mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa teori yang dianut oleh pembentuk Undang-Undang ini disebut teori perjanjian, dimana pihak yang terlibat sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. Teori perjanjian ini
42 Tri Budiyono, Loc.Cit. 43 Ibid.
tidak hanya dianut ketika Perseroan Terbatas (PT) akan didirikan saja, tetapi juga setelah Perseroan Terbatas (PT) berdiri dan beroperasi. 44
Pengaturan mengenai pendirian oleh minimal dua orang dan berdasarkan perjanjian dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) di dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:
“Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia ”
Di dalam pendapat ahli hukum lain pun juga menjelaskan mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT) harus didirikan oleh paling sedikit 2 orang. Hal merupakan ketentuan
yang bersifat umum. 45 Namun terdapat juga pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh 1 orang namun hal tersebut berkaitan dengan negara. Dalam hal
ini konteks yang diambil adalah yang didirikan oleh person ( subjek hukum ) manusia, sehingga aturan tersebut harus diperhatikan.
Hal tersebut menjadikannya penting dikarenakan masuk dalam pra inkorporasi / sebelum Perseroan Terbatas (PT) terbentuk dan beroprasi. Sehingga apabila tahap dasar tersebut tak terpenuhi maka akibat yuridis selanjutnya akan menjadi sebuah masalah.