ABSTRACT : Due to a number of problems pertaining to

5
PARADIGMA IJTIHAD KONTEMPORER:
Studi Terhadap Metode Ijtihad Majmu’ al-Buhuts
M. Syadli
Prodi HES Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muara Bulian Jambi
info@stai-muarabulian.ac.id

ABSTRACT: Due to a number of problems pertaining to
the quality of scholarship and the emergence of the more
complicated social problems, collaborative reasoning (ijtihad
jama‟i) is nowadays considered to have been able to give a
more comprehensive legal answer than that of individual
reasoning (ijithad fardi). This type of reasoning has been
developed organizationally and institutionally by Majmu‟ alBuhuts al-Islamiyyah. Founded by Muhammad Ali Pasya,
this institution is productive in giving legal opinion and has
become reference for Moslem all over the world. In its
reasoning, both al-Qur‟an and the Prophet Traditions are the
primary source of law, while the methods used are not far
difference from the previous ones such as maslahah, sadd aldzari‟ah, istihsan and etc. The implementation of this
methods is clearly seen in such legal opinion as the questions
of Ahmadiyyah, breath banking, defining the beginning of the

lunar month, baitul mal as the heir and ihtikar.
Keywords: Jtihad Jama‟i, Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah,
Islamic Law.
Pendahuluan
Perkembangan pemikiran hukum Islam ikut dipengaruhi oleh
perubahan sosial dan budaya. Hal itu semakin nyata ketika dirunut
sejak masa awal Islam, dimana sebagian besar ayat dan hadis sebagai
sumber pokok muncul dalam rangka merespon persoalan yang tengah
dihadapi oleh umat Islam. Begitu pula masa-masa sesudah itu,

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 84

khazanah fiqh hadir dengan nuansa yang lebih kaya dan progresif yang
tercermin dalam berbagai alternatif pendapat hukum dengan
pendekatan dan metode yang beragam. Terciptanya khazanah
pemikiran hukum yang begitu kaya, tentunya seiring dengan suasana
adanya kebebasan berpikir dan berijtihad.
Namun demikian, dalam beberapa dekade ijtihad sebagai
upaya penalaran dalam peng- galian hukum sempat mengalami
kemunduran dan kemandekan yang diakibatkan oleh kejumudan

berfikir. Terbentuknya opini bahwa ijtihad telah tertutup merupakan
titik kul- minasi dari keadaan jumud tersebut sehingga muncul kultur
taqlid dikalangan umat Islam yang bermuara pada fanatisme mazhab.
Efeknya berkembang persepsi bahwa sulitnya men capai kompetensi
berijtihad, yang sebelumnya terbuka bagi juris Islam sebagai refleksi
atas munculnya tema-tema yang belum pernah ada masa sebelumnya
(Wahbah al-Zuhaili: 2005: 1061 dan 1170).
Baik pada masa keemasan maupun kemunduran
kecenderungan ijtihad dilakukan secara perseorangan dan belum
terorganisir dan terlembaga, yang ditandai dengan lahirnya banyak
tokoh ilmu hukum dari berbagai daerah, kemudian diikuti dengan
munculnya mazhab. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini
ijtihad yang dilakukan secara individual seperti yang berlaku pada
masa klasik dipandang tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan secara
komprehensif karena kemampuan seseorang sangat terbatas dalam
penguasaan keilmuan. Apalagi dengan kecenderungan spesialisasi dan
pembidangan keilmuan yang semakin tajam. Kepakaran seseorang
diakui hanya dalam satu bidang. Tentunya, berbeda dengan masa lalu,
ketika pengkotomian ilmu belum seperti sekarang. Kepakaran
seseorang sangat dimungkinkan tidak hanya dalam satu bidang

tertentu saja, tetapi bisa dua atau lebih dari rumpun keilmuan yang
berbeda. Sebutlah misalnya, al-Ghazali, selain kepakarannya diakui
dalam bidang hukum, juga ahli dalam tasawuf dan filsafat.
Begitu pula ibn Rusyd, ahli dalam bidang hukum sekaligus
sebagai ahli kesehatan dan filsafat. Selain itu, masalah yang muncul
saat ini semakin berkembang dan komplit, yang membutuhkan
penyelesaian secara komprehensif. Tambah lagi dengan eksistensi umat
Islam yang tidak hanya hidup pada kultur Padang Pasir, namun
melintasi semua ras, suku dan budaya. Sebagiannya hidup di wilayah
yang mayoritas muslim tetapi berada di bawah kekuasaan sekuler dan
sosialis. Kemudian ada pula yang hidup di tengah mayoritas umat lain

85 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

dengan sistem yang jauh dari nilai-nilai Islam dan bahkan diantaranya
hidup di tengah antipati terhadap Islam.
Kompleksitas persoalan yang semakin rumit seperti yang
dideskripsikan di atas tentunya memerlukan penyelesaian dengan
multi pendekatan, dituntut adanya ijtihad yang melibatkan banyak
bidang dan keahlian. Pendekatan yang dimaksud, tentunya tidak boleh

lepas dari pondasi dasar yang sudah dibangun Nabi Muhammad saw
kendatipun beliau sudah berlalu selama 14 abad lamanya. Interval
waktu yang cukup panjang demikian dapat dipastikan bahwa dalam
banyak hal secara sosiologis akan muncul perbedaan terhadap
keberlakuan hukum hukum yang ditetapkan pada masa itu dengan
kondisi kekinian. Begitu pula fiqh dan fatwa imam-imam mazhab
ditulis dan muncul atas respon denyut perkembangan sosial dan
kehidupan yang mengitari pada masa para mujtahid tersebut berada.
Menyikapi kondisi keterbatasan ulama dalam merespon
persoalan yang semakin komp lit dan kompleks itu dibutuhkan ijtihad
yang progresif dan kolektif. Pendekatan secara kolektif, yang dikenal
dengan ijtihad jama‟i, melibatkan berbagai disiplin ilmu tidak hanya
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu sosial dan eksak dipandang lebih
dapat memberikan jawaban hukum yang lebih komprehensif. Hal ini
tentunya memiliki korelasi dengan kehadiran Islam yang ditujukan
kepada manusia yang secara fitrah cenderung untuk selalu berubah.
Islam dalam konteks demikian hadir tidak diruang yang hampa, tetapi
akan bergelut dengan dinamika dan perubahan tersebut.1
1


Hukum Islam sebagai aturan yang dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam
meskipun belum atau tidak masuk dalam aturan negara telah menjadi
diskursus panjang tidak hanya internal umat Islam, tetapi juga dilakukan oleh
para ilmuan barat. Secara internal diskursus dimaksud mengalami dinamika yang
inheren dengan pengaruh sosial, bahkan juga dilakukan oleh para ilmuan yang
secara hirarki keilmuan yang sebelumnya tidak pernah bergumulan langsung
dengan tema-tema tersebut. Wacana yang mereka gulirkan mendapat respon para
ilmuan yang sejak dari awal memang bergumulan dengan hukum Islam. Hal itu
karena berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan mendasar dan sekaligus
krusial. Salah seorang dari ilmuan tersebut adalah M. Syahrur dari Syiria. Dalam
diskursus dimaksud persoalan metodologis pemikiran hukum Islam yang selama
ini sudah dianggap mapan oleh para juris Islam menjadi sasaran kritiknya. Ujung
dari kritik tersebut Syahrur memberikan alternatif dengan membangun teori
berupa
“teori
batas”. Gagasan dan diskursus tersebut dapat disimak dari
tulisannya seperti al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, Dirasah Islamiyah
Mu‟ashirah Nahwu Ushul Jadidah lilfiqh al-Islamiy dan al-Islam wa al- Iman; Manzumat

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 86


Pada ranah yang lebih taktis dan teknis telah muncul
dengan banyak model dan ke- lompok. Di Indonesia misalnya, ada
Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nah- dhatul Ulama),
Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi Fatwa (MUI). Hasil dari ijtihad
institusi ini berfungsi memberikan tuntunan kepada masyarakat
terutama yang tergabung atau simpatisan dalam organisasi tersebut
meskipun hal itu tidak mengikat secara hukum. Dalam banyak hal,
fatwa lembaga ini sudah memberikan kontribusi nyata dalam
perkembangan hukum Islam ditanah air dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Selain itu, fatwa hukum yang dikeluarkan oleh
Lembaga tersebut baik secara langsung maupun tidak sebagian
mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Model ijtihad jama‟i ini di beberapa dunia Islam lain,
tampaknya telah lama eksis seperti Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyyah di
Mesir. Lembaga yang berada di bawah Universitas al-Azhar Mesir ini
termasuk lembaga kajian hukum yang produktif dalam melahirkan
fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam.
Dalam hal itu, tulisan ini merupakan upaya memahami dan
menganalisa latar belakang munculnya lembaga ini, metode ijtihad

yang digunakan dengan menganalisis beberapa fatwa yang sudah
dipublis kemasyarakat.

Sejarah dan Latar Belakang
Eksistensi Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah sudah ada sejak lama
bersamaan dengan keluarnya Mesir dari wilayah kekuasaan Turki
Utsmani, meskipun dengan nama dan ruang lingkup yang terbatas
seiring dengan situasi dan perkembangan politik. Pada mulanya
lembaga ini didirikan pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya
(1765-1849) dengan nama al-Bi‟sah al-„Ilmiyyah al-Azhariyyah (Harun
Nasution: 1994: 34). Latar belakang berdirinya lembaga ini memiliki
korelasi langsung dengan keadaan Mesir yang pada saat itu berada
dalam keterbelakangan baik pada bidang ekonomi, sosial, politik
maupun pendidikan.
Menyadari kondisi masyarakat Mesir yang sedang berada
al-Qiyam. Buku-buku ini sebagian diantaranya sudah dapat diakses dan di download
melalui internet dan sebagian lagi sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
(Muhyar Fanani: 2009).

87 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106


pada transisi, Muham- mad Ali Pasya sebagai kepala pemerintahan
mengambil langkah-langkah taktis dan strategis. Secara politik, Mesir
baru saja dapat pengakuan dari Turki Usmani (1805M), di samping itu
masyarakat Mesir juga sedang menghadapi penjajahan Napo-leon
Bonaparte dari Perancis. Dalam pan-dangan Muhammad Ali Pasya
keadaan transisi ini memerlukan penanganan serius dan taktis,
bilamana tidak atau salah urus Mesir tidak mustahil akan mengalami
instabilitas politik yang akan mengancam eksistensinya. Bila kondisi
ini terjadi, tentunya yang paling diuntungkan adalah pihak penjajah
yang menginginkan Mesir berada dalam keadaan lemah.
Sedangkan secara sosiologis, perpindahan kekuasaan dari Turki
Usmani dan kedatangan Napoleon Bonaparte akan berdampak pada
perubahan budaya Mesir. Jika hal itu tidak disikapi dan antisipasi
dimungkinkan kebudayaan Mesir akan tergerus oleh perubahan
yang dibawa dari luar sehingga masyarakatnya akan tercerabut dari
akar budayanya.
Salah satu kebijakan taktis dan strategis yang diambil
Muhammad Ali Pasya adalah dengan membentuk sebuah lembaga
yang ber- fungsi sebagai think thank. Lembaga tersebut mesti

difungsikan secara maksimal dengan memanfaatkan sumber daya
terutama dari kalangan ulama. Oleh karena ulama menjadi unsur
terpenting dan paling berpengaruh bagi masyarakat Mesir. Lembaga
yang dimaksud adalah al-Bi‟sah al-„Ilmiyyah al-Azhariyyah. Dalam
menjalankan fungsinya, lembaga ini sangat produktif memberikan
masukan bagi kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan
kepentingan publik termasuk mengawal budaya Mesir dari pengaruh
luar.
Bersamaan dengan itu, Ali pasya secara besar-besaran merekrut
anak-anak muda Mesir untuk disekolahkan keluar negeri terutama
Perancis dan Italia. Negara ini dipandangnya sebagai kekuatan besar
dan sangat kondusif untuk meningkatkan sumber daya manusia Mesir
terutama dalam bidang kedokteran, ekonomi, administrasi negara dan
penterjemahan. Anak-anak muda yang disekolahkan tersebut secara
akademik diberikan kebebasan untuk bergerak dan didorong agar
menyelesaikan studinya tepat waktu. Untuk mewujudkan target
tersebut pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap
mahasiswa yang sedang studi (Harun Nasution: 1994: 34). Selain
kebijakan tersebut, Ali Pasya juga menyadari bahwa untuk melakukan
pembenahan, perubahan dan membangun kekuatan baru serta


M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 88

melepaskan Mesir dari belenggu keterbelakangan tidak cukup hanya
dengan menghandalkan dua kebijakan tersebut. Oleh karena itu,
kebijakan yang diambil selanjut nya adalah dengan melakukan
gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku-buku ilmu
pengetahuan yang didatangkan dari dan berbahasa Barat kedalam
bahasa Arab.
Pada mulanya semangat dan upaya ini pada tataran teknis
belum didukung oleh sumber daya sehingga mengalami kemandekan.
Namun demikian, semangat Ali Pasya tidak pernah surut dan
berhenti meskipun banyak kendala. Hal itu ditandai dengan
didirikannya sekolah khusus penterjemahan pada tahun 1836 (Harun
Nasution: 1994: 34). Pengelola lembaga ini terutama direkrut dari
ilmuan muda yang sudah menyelesaikan studinya dari Perancis.
Sekolah khusus tersebut memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu; tempat
bekerja para ilmuan muda yang sudah pulang dari studi dan sarana
yang produktif dalam mencerdaskan masyarakat Mesir melalui
penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan yang sudah dan sedang

berkembang di barat. Sejak itu, gerakan penerjemahan berjalan
lancar dan sukses sehingga buku-buku yang diterjemahkan kedalam
bahasa Arab cukup memadai bagi masyarakat sebagai referensi di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
Selanjutnya mahasiswa yang sudah sele- sai studinya dari Eropa
selain ditempatkan di sekolah khusus penterjemahan ter-sebut
sebagian besarnya ditempatkan di Universitas al-Azhar
guna
memperkuat
dan
mengembangkan ilmu pengetahuan serta
penerjemahan. Kehadiran para ilmuan muda tersebut semakin
memperkuat Universitas al-Azhar sehingga eksistensinya sampai sekarang masih cukup kuat. Bahkan universitas ini dalam jumlah yang
fantastis mampu mendis- tribusikan para ilmuannya keberbagai dunia
Islam termasuk ke Indonesia tidak hanya dalam bidang keilmuan
keislaman tetapi juga dalam bidang sosial dan eksak. Al-Bi‟sah sebagai
lembaga ilmiah dan pusat kajian kebijakan berjalan dan bergerak
seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir.
Pada tahun 1961, pemerintah Mesir dan Universitas al-Azhar
berupaya melakukan kaji an ulang terhadap lembaga ini baik dari sisi
eksistensi maupun manajemennya di tengah perkembangan sosial dan
politik Mesir. Akhir kajian tersebut merekomendasikan namanya
dirubah menjadi Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah dan cakupan kerja
dari lembaga ini juga diperluas. Dari sisi pengakuan negara diatur

89 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

dalam undang- undang Mesir Nomor: 103 Tahun 1961 (Abdul
Azis Dahlan: 1996: 1068).
Lahirnya undang-undang ini tentunya terobosan baru sebagai
landasan yuridis. Sedangkan perluasan cakupan yang dimaksud
meliputi keislaman, sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan dan
peradaban. Secara rinci tugas dan wewenang tersebut adalah:
1. Melakukan pembahasan yang luas dan men dalam masalahmasalah parsial keislaman.
2. Berupaya untuk memperbaharui kebudayaan dan peradaban
Islam serta member sihkannya dari berbagai pengaruh asing,
sehingga tercipta kebudayaan dan peradaban Islam yang
sesungguhnya.
3. Menggali kekayaan ilmiah Islam dan menyebarluaskannya.
4. Menjadi penengah dalam berbagai masalah keislaman bilamana
terjadi perbedaan maz- hab, sosial, ekonomi.
5. Melakukan amr ma‟ruf nahi mungkar dengan cara yang baik
dan bijaksana.
6. Melakukan kajian-kajian ilmiah keislaman dengan
menggali
sumber-sumber asli dan klasik baik didalam maupun di luar
negeri.
7. Memperluas dan mengembangkan ilmu ke- islaman dan
kebudayaan Islam.
8. Mengirim para utusan Universitas al-Azhar keberbagai dunia
Islam untuk membantu mengembangkan ilmu dan kebudayaan
Islam serta membantu para mahasiswa yang menuntut ilmu di
Universitas al-Azhar.
9. Membuka kelas khusus bagi para mahasiswa yang ingin
memperdalam ilmu keislaman melalui program pascasarjana.
10. Menyusun peraturan dan menertibkan pemberian penghargaan
ilmiah dan hadiah ilmiah untuk mendorong para peminat
mengkaji dan mendalami masalah-masalah keislam an (Abdul
Azis Dahlan: 1996: 1068). Selain perubahan nama dan perluasan
cakupan, pengelolanya juga diperluas dengan penambahan
anggota menjadi 50 orang yang terdiri dari lintas mazhab dan 20
orang diantaranya berasal dari ulama luar al-Azhar.
Meskipun demikian, referensi yang terkait dengan
perkembangan lembaga ini dari periode keperiode masih sangat
terbatas sehingga menyulitkan dalam menelusuri sejarah dan
perkembangannya termasuk kesulitan di dalam mengakses informasi
dari pihak Majmu‟ al-Buhuts sendiri. Masyarakat luas tampaknya

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 90

belum bisa berinteraksi secara langsung termasuk untuk mengakses
fatwa-fatwa yang terbaru secara lengkap karena belum lagi
memanfaatkan teknologi.2
Kalaupun didapatkan informasi fatwa seperti pernyataanpernyataan ulama al-Azhar, informasi tersebut tidak secara utuh dan
lengkap.
Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang saat ini
cukup memberikan ruang informasi kepada publik untuk mengetahui
informasi perkembangan termasuk produk pemikirannya melalui
website. Dar al-Ifta‟ misalnya, sudah menggunakan teknologi sebagai
media komunikasi dan mempublikasikan fatwanya keberbagai belah
an dunia, bahkan lembaga fatwa ini sudah menye- diakan delapan
bahasa termasuk didalamnya bahasa Indonesia (www.darifta. com dan
www.alazhar.agu.com). Jadi, sangat dimungkinkan orang dari belahan
dunia dengan delapan bahasa tersebut mengikuti perkembangannya
dan mengakses fatwa-fatwa terbaru atau menanyakan secara langsung
kepada pengelola.

Karakteristik Metode Ijtihad Majmu’ Al- Buhuts Al-Islamiyyah
Majmu‟ al-Buhuts sebagai lembaga ilmiah yang berada di
bawah naungan Universitas al-Azhar dalam perjalanannya telah
memberikan konstribusi besar dalam memberikan tuntunan kepada
umat Islam diberbagai dunia terutama bagi masyarakat Mesir. Lembaga
ini menjadi referensi di dunia Islam terutama dibidang hukum Islam.
Pengelolanya terdiri dari banyak orang yang meliputi multidisiplin
ilmu dan lintas mazhab.
Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan
2

Sejauh pelacakan penulis disitus belum ditemukan website khusus tentang
lembaga fatwa ini termasuk di website Universitas al-Azhar sendiri sehingga tidak
banyak informasi yang dapat digali agak lebih memadai tentang profil termasuk
aktifitas dan fatwanya. Hasil keputusan lembaga yang terbaru juga tidak bisa
langsung di akses dari sumbernya, kecuali dari tangan kedua atau pemberitaan
dari media lain. Hal ini disebabkan karena lembaga ini belum meman
faatkan teknologi dalam mensosialisasikan fatwanya. Akibatnya bagi masyarakat
yang membutuhkan penjelasan tentang masalah-masalah hukum belum bisa secara
langsung menyampaikannya ataupun putusan- putusan yang sudah ada tidak
diketahui oleh publik. Ini berbeda dengan Dar al-Ifta‟, MUI, Majlis Tarjih
Muhammadiyah, Bahtsul Masil, Dewan Hisbah dan lembaga fatwa lainnya
termasuk fatwa perorangan seperti Yusuf Qardhawi.

91 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

secara kolektif dengan melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai
bidang. Model ijtihad ini merupakan salah satu terobosan dalam
sejarah hukum Islam karena sebelumnya dilakukan secara individual.
Tentunya, terobosan ini merupakan jawaban terhadap kondisi riil
yang dihadapi umat Islam mengingat pada masa kini adanya
keterbatasan para juris Islam.
Keterbatasan yang dimaksud boleh jadi disebabkan karena
kemampuan dalam pengua- saan berbagai disiplin ilmu yang
berhubungan langsung dengan masalah yang muncul. Sebagai-mana
diketahui bahwa kecenderungan sekarang adanya spesialisasi (at-takhashush) keilmuan yang semakin tajam termasuk dalam Islam seperti
yang digagas al-Murtadha Muthahhar. 3 Spesialisasi
tersebut
meliputi bahasa Arab, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan lain
sebagainya. Pada bidang masing-masing itupun terjadi pembidangan
lagi. Padahal di antara syarat-syarat ijtihad yang disebutkan oleh para
ushuliyun adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman
(Muhammad Hasan: 1981: 496-500) yang hampir nyaris sempurna,
tetapi sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu, perbedaan pendapat
diantara cendikiawan muslim semakin tidak bisa dihindari karena
masalahnya didekati dengan spesialisasi ilmu yang berbeda. Bila hal
itu tetap dipaksakan dikuatirkan cara memandang suatu persoalan
akan seperti “mata kuda” tanpa memandang kiri kanan. Artinya, tidak
melibatkan bidang-bidang lain sehingga pendapat hukum yang muncul
tidak komprehensif.
Tambah lagi dalam mengartikulasikan ide dan merespon
perubahan yang terjadi terutama sejak munculnya paradigma baru di
dalam melakukan pendekatan ilmu-ilmu keislaman seperti pendekatan
historitas-empirik di samping pendekatan normativitas-idealistik (Amin
Abdullah: 1999: v-vii). Hal itu menyebabkan munculnya kritik tajam
terhadap tradisi yang sedang berjalan hingga muncul gagasan progresif
pentingnya membongkar kembali apa yang sudah dianggap mapan
selama ini. Selain itu, persoalan yang terjadi di tengah masyarakat
semakin rumit dan komplit akibat dari perkembangan dan kemajuan
tekhnologi. Interaksi dan aktivitas perbankan, perda- gangan bursa,
variasi jenis asuransi, transaksi ekonomi modern, bio-teknologi, isu
3

Gagasan spesialisasi keilmuan umum juga terjadi didalam tradisi keilmuan
Islam. Para pakar hukum Islam hanya memilih satu bidang khusus yang
dipelajarinya secara intensif dan mendalam (Murtadha Muthahhari: tt: 29)

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 92

gender, HAM dan politik global adalah contoh-contoh masalah
kontemporer yang tidak cukup dibahas dan ditentukan hukumnya
hanya dengan ijtihad individual. Oleh karena perubahan tersebut telah
mempengaruhi pola hidup dan interaksi sosial umat Islam di tengah
pluralisme budaya dan agama (Ilyas Supena dan M. Fauzi: 2002: 5).
Bilamana persoalan-persoalan tersebut hanya diijtihadkan
secara individual dan didekati dengan satu disiplin ilmu tidak akan
mungkin menyelesaikan dan menghasilkan pendapat hukum yang
lebih komprehensif karena keterbatasan. Dalam hal itu, diperlukan
lembaga ijtihad yang berang-gotakan ulama dari berbagai disiplin ilmu
seperti agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hukum dan
sebagainya (Harun Nasution: t.th: 115). Sebab putusan bersama dari
para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati
kebenaran dan lebih kuat daripada putusan yang diambil secara
sendiri-sendiri oleh ang- gota-anggota yang memiliki satu bidang
keahlian (Nadiah Syarif al-Imari: 1981: 115). Pada ranah itu,
meminjam istilah Syamsul Anwar, ijtihad yang bersifat integratifinterkonektif.4 Antar bidang ilmu dan disiplin.5 Adalah jalan
terbaik untuk menghasilkan hukum yang kompre-hensif sehingga
persyaratan yang dituntut didalam kitab-kitab ushul fiqh tersebut dapat
terpenuhi secara kolektif. Dilihat dari sisi sejarah tuntutan ijtihad
yang bersifat holistik ini sudah disadari oleh banyak cendikiawan Islam
sejak paruh abad ke-20, (dalam Tholhatul Chaoir dan Ahwan
Fanani: 2009: viii).
Dalam konteks demikian Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah,
4

5

Pendekatan integratif-interkonektif memiliki dua sisi yang terpisah. Dalam
integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, yaitu;
dengan mengadakan perubahan menyangkut paradigm, teori, metode, dan
prosedur-prosedur teknis dalam ilmu bersangkutan. Sedangkan didalam
interkoneksi tidak terjadi restruktisasi semacam itu, melainkan yang ter- jadi
adalah perluasan perspektif dengan menyerap informasi pelengkap dari ilmu lain.
Dengan kata lain interkoneksi merupakan proses pengkajian dalam suatu disiplin
ilmu terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan
sendiri
dalam rangka komplementasi, konfirmasi, kontribusi atau komparasi
(Syamsul Anwar: 2011: 2-3)
Dalam meghadapi derasnya perubahan sosial yang terjadi dewasa ini bilama
didekati hanya dengan menghandalkan monodisiplin
umat Islam akan
menghadapi kesulitan didalam mengembangkan tradisi ka- rena akan kesulitan
ketika berhubungan, bersentuhan dan berkomunikasi dengan tradisi keilmuan
sosial, humaniora dan eksakta yang berkembang pesat diberbagai tempat, lebihlebih dibelahan bagian Barat, China, Jepang dan berbagai tempat yang lain
(Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani: 2009: viii)

93 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

yaitu satu lembaga ilmiah yang berada di bawah Universitas alAzhar, Mesir (Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani:2009: viii) lahir
dengan pendekatan yang berbeda. Selain mempertimbangkan
pendapat yang berkembang dalam mazhab hukum tertentu, juga
mengkaji perdebatan yang terjadi pada lintas mazhab (Jalaluddin
Rahmat:1996: 42). Artinya, fatwa dan hasil ijtihad ulama yang berasal
dari berbagai mazhab sebelumnya menjadi pertimbangan untuk
melahirkan fatwa baru. Sejauh hasil ijtihad masa lalu dipandang masih
sangat relevan untuk kondisi kekinian, pendapat tersebut menjadi
pertimbangan utama bahkan dengan alasan tertentu kembali
diperkuat. Jauh dari itu, pertimbangan disiplin ilmu lain dipandang
sangat penting karena semakin kaya dengan pengayaan dan
pendekatan tentunya semakin tepat keputusan hukum yang akan lahir.
Salah satu perbedaan penting dari ijtihad yang dilakukan
secara individual adalah keterlibatan banyak orang dan multi disiplin
ilmu. Ijtihad model ini dipandang lebih tepat dalam menjawab
persoalan yang sedang diha- dapi umat Islam. Bilamana hal ini bisa
ter- wujud, maka hasilnya dalam pandangan Majmu‟ sampai pada
tingkat mutlak (dalam Jalaluddin Rahmat: 1996: 42). Oleh karena
pendekatannya lebih kaya dan terintegratif. Gagasan ini pada konteks
Indonesia sudah terimplementasi pula dengan munculnya beberapa
lembaga di organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nahdhtul Ulama), Dewan Hisbah
(Persis) dan Komisi Fatwa (MUI).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majmu‟ al-Buhuts
secara kelembagaan sudah mempelopori terjadinya ijtihad secara
kolektif sebagaimana yang terdapat dalam keputusan muktamar
Maret 1964 di Khairo yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan secara
kolektif
(dalam
Jalaluddin
Rahmat:
1996:
42
dan
http://media.isnet.org).

Fatwa dan Analisis Istimbat Hukum
Aliran Qadiyaniyah (Ahmadiyah)
Pada tanggal 26 Desember 2007M, Majmu‟ al-Buhuts
mengeluarkan fatwa tentang ajaran yang dikembangkan oleh
Ahmadiyah. Hal itu, dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian besar
umat Islam diberbagai belahan dunia terutama Mesir. Selain ajaran
yang dibawanya menyentuh hal-hal yang bersifat fundemental dan

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 94

krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang bekerjasama
dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandang
musuh.
Fatwa tersebut memberikan penjelasan bahwa ajaran yang
dibawa dan dikembangkan oleh Ahmadiyah Qadian adalah keliru dan
menyimpang bahkan difatwakan berada di luar Islam. Hal itu,
disebabkan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah dipandang sudah
menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya (Majmu‟ al-Buhuts
al-Islamiyah: 2010: 71). Wahyu yang dipahami oleh Ahmadiyah
adalah keliru (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah:2010: 74) oleh karena
turunnya wahyu telah berakhir dengan berakhirnya para nabi. Berbeda
halnya dengan ilham, yang bisa didapatkan oleh siapapun. Wahyu
yang dimaksudkan didalam QS. An-Nahl: 68 adalah dalam artian
ilham (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010: 75).
Kemudian yang dimaksud dengan term khatam al-anibiyyin
yang terdapat didalam QS. al-Ahzab: 40 adalah penutup. (Majma‟ alBuhuts al- Islamiyah: 2010: 75). Dengan demikian jelas keyakinan
Ahmadiyah keliru karena ini adalah kesesatan yang nyata yang tidak
boleh dibiarkan
(Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 71)
sebagaimana yang dijelaskan dalam (Qs. Al Imran: 178).
Begitu juga pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa alMasih, al-Mahdi dan jihad berada dalam kekeliruan karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Jihad didalam Islam
sangat dan amat diperlukan bahkan berperang sekalipun jika
kondisinya menuntut untuk itu baik dalam rangka untuk
mempertahankan agama maupun tanah air. Berbeda dengan Ahmadiyah, jihad tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, salah satu poin
penting dalam hal ini adalah ketundukan dan loyalitasnya terhadap
pemerintah yang sedang berkuasa (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah:
2010:76) sekalipun penjajah seperti kolonial Inggris dimasa
kelahirannya
Ajaran yang disebarkan oleh Mirza tersebut menimbulkan
masalah diinternal Islam karena perbedaannya tidak hanya terkait
dengan wilayah ijtihadiyah, tetapi sudah memasuki ranah yang krusial,
yaitu aqidah. Begitu juga didalam menjalankan gerakannya lebih
memilih menggandeng pihak penguasa daripada sesama muslim
meskipun penjajah, yang oleh umat Islam lain menjadi musuh.
Berdasarkan hal itu, Majmu‟ memfatwakan bahwa Mirza

95 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

Ghulam Ahmad tidak obah seperti Musailamah al-Kazab di masa Nabi
Muhammad saw (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:71) dan
kehadirannya tidak lepas dari kepentingan politik kolonial Inggris
bahkan mereka dilindunginya (Maj-ma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:
75).
Fatwa ini dikeluarkan selain didasarkan kepada al-Qur‟an dan
as-Sunnah dengan merujuk kepada mainstream tafsir ulama klasik serta
analisis terhadap pendapat ulama sebelumnya terutama Imam Akbar
al-Syeikh Jad al-Haq, Syeikh al-Azhar, yang menegaskan bahwa orang
Islam yang masuk kedalam kelompok ini dipandang sudah keluar dari
Islam (murtad). Oleh karena itu, mereka tidak dibolehkan masuk
kedalam mesjid umat Islam. Apabila mereka meninggal dunia tidak
dibolehkan dimakamkan di pemakaman umat Islam (Majma‟ alBuhuts al- Islamiyah: 2010:76). Hal ini didasarkan kepada QS. alTaubah: 17. Bersamaan dengan itu, Majmu‟ dalam fatwanya itu
merujuk pula kepada fatwa yang sudah dikeluarkan Dar al- Ifta‟. Bila
dilihat dari sisi proses keluarnya fatwa tersebut lahir setelah melalui
proses kajian dari berbagai perspektif terutama bidang bahasa
Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan sejenisnya.
Di antara ulama yang terlibat secara aktif dalam pengkajiannya
baik sebagai narasumber maupun peserta aktif adalah Muhammad alKhudariy Husein, Syeikh al-Azhar; Husnaini Makhluf, Mufti al-Diyar
al-Misr; Muhammad Abu Zahrah, Ulama Besar al-Azhar; Said
Muhammad al-Murshafa, dosen ulumul hadis Universitas al-Azhar;
Muhammad al-Kha- syau‟iy, dosen ulumul hadis Universitas al-Az har;
Muhammad Yusra Ibrahim, Wakil Rektor Universitas Amrikiyah alMaftuhah (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 79-88).

Bank ASI
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan (nutrisi) yang terbaik bagi
bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam
tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih
dahulu. Begitu anak itu lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan.
Oleh sebab itu, lembaga kesehatan dunia merekomendasikan agar
setiap anak yang dilahirkan mestinya diberikan ASI. Karena begitu
sangat pentingnya air susu ibu bagi anak, beberapa NGO
berinisiatif mendirikan bank susu. Bank ASI ini tentu akan
bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi anak. Hanya saja,

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 96

masalahnya didalam Islam persoalan susu tidak hanya sekedar
pemenuhan nutrisi bagi pertumbuhan pisik dan psikis anak, tetapi
akan menimbulkan masalah hukum baik bagi anak itu sendiri maupun
terhadap orang yang menyusui dan saudara sesusuannya.
Pada ranah demikian Majmu‟ mengeluarkan fatwa tidak
membolehkan
adanya bank asi karena dipastikan akan
menimbulkan kemudharatan (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010:
79-88). Kemudharatan yang dimaksud dapat terlihat dari beberapa
indikator berikut: Pertama, sulit mengetahui susu itu berasal dari
siapa, apalagi kalau terjadi pencampuran dari berbagai tempat.
Kondisi seperti ini akan menimbulkan masalah larangan pernikahan
seperti yang ditegaskan dalam QS. An-nisak: 23.
Dalam hal ini Muhammad Hilmiy, Sekretaris Jenderal Majmu‟
menjelaskan bahwa pendirian bank susu memiliki maslahat bagi anakanak, yaitu tersedianya nutrisi baginya, namun mafsadahnya lebih
besar daripada kerusakan, yaitu terjadinya pencampuran nasab
(Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243).
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara- saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” (Lajnah min
asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 251).
Kedua, dampak kerusakan terhadap akhlak. Susu sebagai nutrisi
yang terbaik bagi anak (bayi) secara langsung akan mempengaruhi
prilaku dan karakter anak. Oleh karena bank susu mengumpulkan
susu dari berbagai sumber (donor) atau mungkin dibeli tidak lagi
mempertimbangkan asalnya baik muslim maupun non muslim serta
kemungkinan ada susu yang tidak sehat. (Lajnah min asatazah qism
al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 262). Dalam kaitannya dengan itu, Majmu‟
berpendapat tidak boleh mendirikan bank ini, karena sejak didirikan
menimbulkan kemudharatan (dharar) yang besar dan kemafsadatan
(mafsadah) yang serius, yaitu pencam puran nasab, dimana tidak
mungkin penjual dan pembeli bisa memilahnya secara ketat.
Mendasar (krusial) di dalam Islam, oleh karena masuk kedalam alKuliyat al-khams (al-Syatibi: t.th: 326) yang oleh syara‟ wajib dipelihara.
Lebih lanjut Muhammad Hilmy mengemukakan bahwa apabila

97 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

terdapat dua hal yang berbeda didalam satu masalah antara
kemaslahatan dan kemudharatan, maka didahulukan menghilangkan
yang mafsadah. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th:
244) “ menolak kemafsadatan lebih utama daripada mengambil
kemaslahatan.” Oleh sebab itu, bila terjadi benturan mafsadah dan
maslahah lebih utama menghilangkan mafsadah daripada mengambil
maslahah.
“Apabila kamu dihadapkan oleh suatu masalah dengan masalah
yang lain, maka ambilah daripadanya mana yang kamu mampu.
Apabila kamu dilarang tentang sesuatu, maka hendaklah
menjauhinya.”
Kebutuhan anak terhadap nutrisi (susu) merupakan kemaslahatan,
sedangkan yang di- larang adalah terjadinya pencampuran nasab.
Bilamana anak-anak sampai meminum susu yang berasal dari bank
susu menimbulkan mudharat yang lebih besar (Lajnah min asatazah
qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243). Keharamannya juga berlaku bagi
orang yang memberikan susunya pada bank susu karena ia telah
memberikan kemafsadatan pada orang lain (Lajnah min asatazah qism
al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 245)
Selanjutnya susuan yang sampai menimbulkan keharaman
pernikahan menurut Majmu‟ bukan dilihat dari sisi pengertian radha‟ah secara lughawi seperti yang dipahami oleh mazhab al-Zahiri, tetapi
dilihat dari subtansi dari susu tersebut, yaitu kemanfaatan nutrisi
(Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 243). Dengan
demikian haram hukumnya nikah orang yang sesuan meskipun
tidak menyusu pada tetek perempuan itu (Lajnah min asatazah qism
al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 259).
Berbeda dengan pendapat Majmu‟, sebagian ada yang
berpendapat bahwa mendirikan bank susu itu boleh. Hal ini
didasarkan pada pengertian radha‟ itu sendiri seperti yang
dikemukakan oleh ulama Zhahiri bahwa yang dimaksud dengan
radha‟ah didalam bahasa Arab adalah isapan langsung pada tetek ibu
yang terkandung di dalam susu dan meminum susunya. Oleh
menumbuhkan daging dan penguatan tulang. Jadi, yang dimaksudkan
dengan radha‟ itu adalah sampainya susu itu kepada rongkongan dari
mulut, hidungnya (as-sa‟uth) atau lainnya. Artinya, sama saja ada atau
tidak adanya isapan. Isapan itu adalah sebab untuk sampainya susu
tersebut. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibn
Mas‟ud ia berkata: Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Tidak ada

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 98

susuan kecuali sesuatu yang memperkuat tulang dan menumbuhkan
da- ging.” (HR. Abu Daud dan al-Daruqutni).
Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan
Muslim dari „Aisyah ra bahwa seorang laki-laki masuk di samping Nabi
saw dan laki-laki itu berubah wajahnya. Ia berkata: sesungguhnya ini
adalah saudara- ku. Nabi saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya
susuan itu adalah me- ngenyangkan”.(Lajnah min asatazah qism alFiqh al-Muqaran: t.th: 243)
Berikutnya hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan asSyafii dari Ummi Salamah ia berkata: Rasulullah saw bersabda yang
artinya: karena itu, meminum susu tidak dengan cara bukanlah
disebut radha‟ (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th:
246).
“Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”.
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan Majmu‟ di atas
kelihatan bahwa ketidak bolehan mendirikan bank susu didasarkan
pada al-Qur‟an dan hadis-hadis tentang radha‟ah juga didasarkan
kepada pertimbangan maslahat dan mudharat. Hadis-hadis tentang
susuan menyebutkan bahwa radha‟ adalah sampainya susu itu kepada
rongga anak sehingga membawa efek terhadap pertumbuhan pisik dan
psikisnya tanpa mempersoalkan melalui apa susu itu sampai. Inilah
yang menyebabkan adanya larangan nikah. Berbeda dengan
pandangan ulama Zahiri yang berangkat dari makna radha‟, yaitu
isapan susu dari al-sady (tetek) perempuan. Jadi, dalam pemahaman
yang seperti ini yang terpenting adalah isapannya itu. Oleh sebab
itu, yang menimbulkan larangan nikah adalah isapan dan meminum
susunya itu. Selain berdasarkan hadis, Majmu‟ juga lebih
mempertimbangkan kepada mudharat ketimbang kemaslahatan yang
ditimbulkannya, yaitu akan mengaburkan nasab. Nasab didalam Islam
termasuk masalah yang sangat krusial karenanya masuk pada adhdharuriyat.
Berdirinya bank ASI pada hakikatnya mendatangkan manfaat
(kemaslahatan), yaitu terpenuhinya nutrisi anak sehingga
perkembangan pisiknya tidak terganggu karena kekurangan nutrisi.
Akan tetapi, persoalannya begitu sangat rumit ketika menelusuri asal

99 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

dari susu tersebut apalagi dengan adanya pencampuran karena
dihimpun dari berbagai sumber. Kerumitannya itu akan menimbulkan
masalah 20 tahun yang akan datang pada saat si anak akan
melangsungkan pernikahan. Besar kemungkinan tidak akan bisa
tertelusuri siapa ibu yang memiliki susu ketika dia kecil dulu termasuk
saudara sesuannya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa ijtihad dilakukan Majmu‟ melalui proses kajian berbagai
disiplin ilmu termasuk ilmu gizi.
Dari sisi metode ijtihad Majmu‟ memposisikan al-Qur‟an dan
hadis sebagai sumber pokok sedangkan maslahah digunakan dalam
pertimbangan. Dengan demi kian dapat dikatakan, Majmu‟ dalam
fatwa ini konsisten menggunakan bangunan teori yang dibangun
sebelumnya.

Penentuan Awal bulan Qamariah
Penentuan awal bulan qamariah adalah persoalan klasik yang
selalu aktual. Disebut demikian karena hampir setiap tahun
persoalannya selalu mengemuka dan selalu menjadi topik hangat
dibicarakan masyarakat luas. Kadang nuansanya tidak lagi murni
persoalan agama-ilmu pengetahuan, tetapi didominasi oleh
kepentingan politik. Perbedaan dan perdebatan tersebut berada
diseputar rukyat dan hisab. Dalam kaitannya dengan itu Muktamar
Majmu‟ Al-Buhuts ketiga yang diadakan pada tahun 1966 M,
menetapkan bahwa:
1) Pada dasarnya yang dipakai untuk mengetahui masuknya
bulan qamariyah apa pun, adalah rukyah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang shahih. (Al-Haria ibn Abi
Usamah:1992:409). Jadi, rukyah adalah yang pokok, tetapi
tidak bisa dijadikan sandaran apabila terdapat faktor lain yang
mempengaruhi akurasi rukyah ini.
2) Penetapan
rukyah
harus
bersifat
mu- tawatir dan
menyeluruh, meski bisa juga dengan berita dari satu orang
(khabarul wahid) baik laki-laki maupun perempuan selama
informasinya akurat dan tidak diragukan dikarenakan sebab
tertentu. Di antara sebab yang meragukan, yaitu jika informasi
rukyah dari perorangan ini menyalahi hisab falak yang sudah
diakui kredibilitasnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang
kredibel.

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 100

3) Informasi dari perorangan berlaku bagi orang tersebut dan
orang yang percaya kepadanya. Adapun menyuruh semua
orang untuk mengikuti, maka hal ini tidak bisa dilakukan
kecuali setelah ada penetapan rukyah dari pihak yang
ditunjuk oleh negara untuk menangani masalah ini.
4) Hisab bisa dijadikan pegangan dalam penetapan masuknya
bulan Ramadhan apabila tidak bisa dilakukan rukyah dan
tidak memungkinkan untuk menggenapkan bulan
(Sya‟ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
5) Muktamar memandang, bahwa perbedaan tempat munculnya
bulan (ikhtilaful ma-tha- li‟) tidak bisa dijadikan alasan,
sekalipun wilayah-wilayah itu berjauhan letaknya, selama
masih ada sebagian malam yang sama pada saat rukyah,
meskipun sedikit. Perbedaan tempat munculnya bulan ini
baru berlaku jika letak antar negeri itu sangat jauh dan
tidak ada bagian malam yang dilalui bersama.
6) Muktamar menghimbau kepada masyarakat
dan
pemerintahan negara-negara Islam, agar hendaknya masingmasing memiliki lembaga keislaman yang diakui yang
berwenang menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan tetap
menjalin hubungan antara satu dengan lainnya. Selain itu,
lembaga ini juga mesti bekerja sama dengan para
astronom dan ahli falak yang bisa dipercaya (CD Room: alMaktabah al-Syamilah, Fatawa al-Azhar.
Berdasarkan hal itu, dapat dipahami bahwa fatwa ini
menggunakan hadis-hadis yang
berkaitan
dengan
perintah
melaksanakan rukyat hilal dalam menetapkan rukyat. Akan tetapi,
didalam fatwanya tidak mengungkapkan bagaimana hubungannya
dengan hadis yang berkaitan dengan kondisi umat Islam yang dalam
keadaan ummi dan belum menguasai ilmu hisab sebagaimana yang
digunakan oleh pendukung hisab (Yusuf al- Qardawi: 1993: 208).
Dalam pada itu, Majmu‟ didalam fatwanya tidak hanya terpaku
kepada rukyat an-sic walaupun dikatakan rukyat adalah pokok.
Keberadaan ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu falak tampak
dipertimbangkan bahkan rukyat bisa jadi tidak dilaksanakan termasuk
menggenapkan bulan (Sya‟ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
Pada saat dilakukan rukyat ada yang mengklaim bahwa hilal kelihatan,
tetapi menurut ilmu hisab mustahil dapat dilihat, maka rukyat yang
seperti itu tidak dapat dijadikan sandaran.

101 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

Baitul Mal sebagai Ahli Waris
Baitul Mal adalah lembaga keuangan yang dikelola oleh
negara sudah tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi saw.
Fungsinya lebih nyata sejak masa Umar bin Khatab menjadi kepala
pemerintahan (khalifah). Salah satu pemasukan Baitul Mal adalah dari
harta orang yang sudah meninggal dunia. Dalam kaitannya dengan itu,
ulama fiqh berbeda pendapat tentang status Baitul Mal sebagai salah
satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Berkaitan dengan itu, Mujma‟
memetakan perdebatan itu kepada tiga kelompok besar, yaitu;
Pertama, Baitul Mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak,
baik yang terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal
dunia dan tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi
harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab mewarisi yang
telah disepakati, maka Baitul Mal berhak mewarisi harta peninggalan
tersebut serta mengguna-kannya untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Sebab kaum muslimin pun dibebani kewa-jiban membayar diyat
(denda) untuk saudaranya sesama muslim yang tidak berkerabat.
Dengan demikian, kedudukan mereka
bagaikan
„ashabah (golongan yang mewarisi) dalam lingkungan kerabat.
Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Maliki-yah dan Imam Syafii
dalam qaul qadim, pendapat lamanya di Baghdad (Komite Fakultas
Syari‟ah Universitas al-Azhar: 2011: 41).
Kedua, Baitul Mal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan
demikian, andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris sama sekali, harta peninggalan tersebut diserahkan ke Baitul
Mal, bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi
untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ashabah. Pendapat ini
dikemukakan Imam Syafii dalam qaul jadid. Kalangan Malikiyyah dan
Syafiiyah yang bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan
sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Daud: “Aku adalah
ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku mengerti tentang
dia dan aku mewarisinya.”(as- Shan‟ani: t.th: 101)
Meskipun Rasulullah saw. menjadi ahli waris orang yang tidak
mempunyai ahli waris, beliau tidak mewarisi untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi, harta peninggalan yang beliau warisi dibagikan untuk
kepentingan kaum muslimin, karena kaum muslimin juga dibebani
kewajiban membayar diyat untuk simayit, seperti „ashabah dalam
lingkungan kerabat. Dengan demikian, penguasa dapat menyimpan

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 102

seluruh atau sisa harta peninggalan di Baitul Mal kepada orang
yang dikehendakinya (as-Shan‟ani: t.th: 101).
Ketiga, Baitul Mal bukan menjadi pe- nyebab mewarisi secara
mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak. Ini adalah penda- pat
kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah. Kalangan ulama yang
berpegang pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Anfal: 75: “(daripada
yang bukan kera-bat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
Majmu‟ dalam hal ini lebih memilih pendapat yang ketiga ini,
karena inilah dipandang yang lebih kuat. Oleh sebab itu, sisa harta
waris dikembalikan kepada ash- habul furudh atau diwariskan kepada
dzawi al-arham. Jika tidak ditemukan seorang pun dari as-shabul
furud, „ashabah, atau dari dzawi al-arham, warisan dialihkan ke Baitul
Mal. Pengalihan ini bukan berdasarkan ang- gapan bahwa Baitul Mal
merupakan ahli waris, tetapi Baitul Mal adalah sebagai pe- nyimpan
(penjaga) harta waris hingga ahli waris si mayit diketahui (as-Shan‟ani:
t.th:101).
Pendapat ini didasarkan pada QS. Al- Anfal: 75 di atas. Lebih
lanjut Majmu‟ menggunakan alasan bahwa pihak yang berhak menjadi
ahli waris yang disebut didalam nash disebabkan karena; Pertama,
memiliki hubungan nasab dengan pewaris seperti yang disebutkan
didalam QS. An- Nisak: 11. Dalam hal ini Majmu‟ berpendapat bahwa
sebab-sebab yang mewarisi yang paling kuat adalah nasab, karena;
pertama, keberadaan nasab lebih awal dan utama daripada yang
lainnya. Ketika seseorang lahir, secara otomatis dia menjadi anak atau
saudaranya si fulan. Kedua, sebab mewarisi karena nasab tidak bisa
hilang, senantiasa utuh sampai akhir hayat. Ketiga, sebab nasab
dapat menghalangi sebab nikah secara nuqshab. Ke-empat, nasab
dapat mewarisi warisan “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu
kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagi- annya lebih berhak terhadap sesamanya dengan cara fardh
(bagian tetap) dan ta‟shib (as-Shan‟ani: t.th: 44). Kedua, memiliki
hubungan perkawinan, suami istri. Suami menjadi ahli waris bagi
istrinya dan sebaliknya istri menjadi ahli waris bagi suaminya.
Kedudukan suami dan istri sebagai ahli waris dijelaskan didalam
QS. An-Nisak: 12. Dengan begitu keberadaan Baitul Mal karena
ketiadaan ahli waris adalah untuk kemaslahatan bukan sebagai ahli
waris.

103 Muamalah, Volume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106

Dengan demikian dapat dipahami bahwa fatwa ini didasarkan
pada sumber pokok hukum, yaitu al-Qur‟an dan hadis sebagaimana
diposisikan sejak semula. Kemudian pendapat ulama dari berbagai
mazhab dijadikan sebagai pertimbangan dengan melakukan
pentarjihan terhadap pendapat-pendapat tersebut. Oleh sebab itu,
fatwa ini lebih memperkuat salah satu pendapat yang berkembang
dalam wacana hukum Islam.

Ihtikar
Ihtikar sebagai perbuatan menimbun kebutuhan masyarakat
yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dari pasar sehingga
harga melonjak secara drastis disepakati oleh ulama fiqh merupakan
perbuatan yang dilarang (mahzur) oleh syara‟. Larangan tersebut
disebabkan karena
menimbulkan mudharat bagi masyarakat.
Berbeda dengan ulama klasik (Hanafiyah, Hanabilah, Syafi‟ yah,
Malikiyah dan Zahiriyah), Majmu‟ berpendapat bahwa ihtikar itu tidak
hanya terbatas kepada makanan, hewan dan pakaian saja, tetapi
meliputi semua yang menjadi kebutuhan (hajat) orang banyak (Lajnah
min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306) termasuk didalamnya
jasa. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306).
Dalam pada itu, pada ihtikar terdapat dua kepentingan yang
berlawanan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemas- lahatan
konsumen (orang banyak). Ditinjau dari sisi tujuan syara‟ didalam
menetapkan hukum apabila terjadi pertentangan antara kepentingan
orang banyak dengan kepen- tingan pribadi, maka kepentingan
orang banyak harus didahulukan.
Artinya, untuk memelihara kepen- tingan orang banyak,
kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena kepentingan pribadi dapat mere-sahkan masyarakat banyak. Pada dasarnya pedagang
(pemilik barang) boleh menjual barangnya sesuai dengan
keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan itu orang banyak
mendapat mudharat.
Apabila ihtikar terjadi, maka peme- rintah harus turun dalam
menstabilkan pasar bahkan pemerintah berhak untuk memaksa
pedagang untuk menjualnya sesuai dengan harga normal. Sekiranya
para pedagang terse- but enggan untuk menjualnya, peme-rintah
boleh menyita barang tersebut dan membagi- bagikan kepada
msyarakat.

M. Syadli – Paradigma Ijtihad Kontemporer 104

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Majmu‟
dalam kasus ihtikar selain bertumpu pada keumuman hadis-hadis
yang berkaitan dengan larangan melakukan penimbunan juga dengan
mempertimbangkan kemudharatan yang ditimbulkannya. Pada
ihtikar terdapat dua kepentingan kemasla- hatan yang saling
bertentangan, yaitu kemas- lahatan pedagang dan masyarakat.
Oleh karena kepentingan pribadi jutru menimbul- kan mudharat bagi
kepentingan masyarakat, maka kepentingan pribadi harus
ditinggalkan. Dalam ranah seperti itu, tentunya peran pemerintah
sangat diperlukan untuk kestabilan barang dan harga sehingga
kemaslahatan dapat dicapai.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Majmu‟ dalam
fatwanya ini menggu- nakan hadis sebagai sumber pokok hukum.
kemudian maslahah dijadikan sebagai pertim- bangan setelah terlebih
melakukan kajian kri- tis terhadap pendapat ulama maz-hab
sebelumnya. Jika dalam ijtihad ulama mazhab yang termasuk
ihtikar hanyalah berkaitan de- ngan kebutuhan makanan pokok,
Majmu‟ jus- tru memperluas cakupannya menjadi kebutuh- an hajat
orang banyak dengan menggunakan keumuman hadis tentang
larangann ihtikar.