Wawancara dengan Dilar Dirik Belajar Dar

Friday, 26 May 2017
BELAJAR DARI KURDI; BAGIAN PERTAMA

Dilar Dirik

Perjuangan

Rakyat

Kurdi:

Wawancara

dengan

Dilar

Dirik

Dilar Dirik berasal dari Kurdistan Utara (Turki). Dia adalah aktivis gerakan
perempuan Kurdi dan menulis tentang perjuangan kemerdekaan Kurdi untuk

masyarakat internasional. Dia saat ini sedang menyelesaikan gelar PhD di Jurusan
Sosiologi

Universitas

Pembunuhan

tiga

Cambridge

aktivis

perempuan

Kurdi

George Souvlis: Sebagai pengantar, bisakah Anda menjelaskan pengalaman pribadi
apa


yang

sangat

mempengaruhi

Anda,

secara

politis

dan

akademis?

Dilar Dirik: Sebagai seorang Kurdi, Anda tidak akan pernah bisa lari dari identitas
Anda, karena identitas Anda pada dasarnya bersifat politis dan tingkat kesadaran
politik Anda mengekspresikan pembelaan diri sebagai satu-satunya cara untuk
menjamin kelangsungan hidup dan eksistensi Anda. Itulah sebabnya mengapa


desakan untuk kebebasan ekspresi dari identitas diri Anda digambarkan sebagai
kontroversi politik, nasionalisme, atau terorisme oleh sistem negara kapitalis.
Sebagai perempuan Alevi-Kurdi, yang menjadi pengungsi saat kecil, dan tumbuh
sebagai orang Timur Tengah di Eropa, kisah pribadi saya sama sekali tidak spesial
atau unik saat dimasukkan ke dalam konteks sejarah Kurdi modern. Seperti banyak
orang lainnya, saya berasal dari keluarga sayap kiri yang sangat aktif dan politis.
Berada di antara mantan tahanan politik atau mereka yang masih menjadi tahanan
politik, di antara para militan, yang tumbuh bersama aksi-aksi demonstrasi dan protes
adalah bagian dari masa kecil saya, yang merupakan kasus bagi jutaan rakyat Kurdi.
Tumbuh dalam lingkungan politik seperti itu, di mana perempuan-perempuan Kurdi
memimpin di garis depan demonstrasi-demonstrasi di jantung modernitas kapitalis, di
kota-kota seperti Frankfurt, London, Paris. Menyaksikan keteguhan sikap mereka ,
pertempuran-pertempuran
pendidikan

yang

mereka,


kebulatan

membuat

tekad,

jelas

sesorang

memiliki

dampak

teradikalisir.

Tapi jika saya harus menunjukkan satu titik balik yang paling spesifik secara pribadi,
adalah saat terjadi pembunuhan terhadap tiga aktivis perempuan Kurdi; Sakine Cansiz
(Sara), Fidan Dogan (Rojbîn), dan Leyla Saylemez (Ronahî) pada tanggal 9 Januari
2013 di jantung kota Paris. Saya mengenal perempuan-perempuan ini secara pribadi

dan sejak pembunuhan mereka, seperti ribuan perempuan Kurdi lainnya, kami
menuntut jawaban atas pertanyaan ini: "Apa yang sangat berbahaya dari perempuanperempuan ini sehingga sistem itu harus menghilangkannya?"

Sakine Cansiz adalah salah satu pendiri PKK (Partiya Karkerên Kurdistanê-Partai
Buruh Kurdinistan) dan memainkan peran bersejarah dalam pemberontakan di penjara
Diyarbakir pada awal tahun 1980an. Keterlibatan dinas rahasia Turki dalam
pembunuhan ketiga perempuan merdeka ini sudah menjadi rahasia umum. Tapi jelas
bahwa serangan yang menargetkan perempuan-perempuan revolusioner semacam itu
merupakan tanda kelemahan sistem, mengekspos ketakutan terbesarnya: yaitu
perempuan yang terorganisir, berjuang dan merdeka. Itulah sebabnya gerakan
perempuan yang otonom dan radikal akan menjadi kekuatan pelopor untuk
membangun

kehidupan

yang

lebih

indah


dan

bebas.

Khusus untuk perempuan Kurdi, slogan "Resistance is Life (Melawan artinya Hidup)"
mempunyai makna secara historis, mengingat serangan empat negara fasis,
kolonialisme kapitalis barat, dan kelompok anti perempuan baru-baru ini seperti ISIS,
yang

melakukan

kekerasan

atas

dasar

konsep


kehormatan

yang

sesat.

Oleh karena itu, saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban
yang berarti dan memuaskan atas pertanyaan tentang makna hidup, keadilan,

kebebasan, dan untuk memahami diri sendiri dalam kaitannya dengan dunia adalah
dengan mencintai komunitas. Dan cara terbaik untuk mengekspresikan cinta ini
adalah

terlibat

dalam

perjuangan.

Rojava


Mari kita berdiskusi sedikit tentang Rojava. Bagaimana situasinya sehingga secara de
facto bisa menjadi daerah otonom? Pada tanggal 17 Maret sebuah sidang Majelis
Konstituante, "Sistem Federal Demokratik Rojava / Northern Syria" berlangsung.
Bisakah Anda berbicara sedikit tentang perkembangan politik ini? Mungkinkah
memiliki rezim demokratis tanpa sebuah negara? Apa kerangka intelektual, organisasi
dan politik yang menjadi dasar sistem federal yang baru? Mungkinkah model ini
diekspor ke dunia 'Barat'?

Revolusi Rojava memiliki sejarah panjang dan berakar dalam perjuangan Kurdi.
Untuk waktu yang lama, Rojava hanya dilihat sebagai perpanjangan tangan dari
Bakur (Kurdistan Utara / Turki) atau Bashur (Kurdistan Selatan / Irak). Banyak
pemimpin politik dan organisasi dari bagian lain mundur ke Rojava untuk
mendapatkan kembali kekuatan mereka dan memobilisasi perlawanan. Rojava adalah
bagian yang terkecil dari Kurdistan dan satu-satunya yang tidak pernah memimpin
sebuah perjuangan bersenjata melawan negara. Meskipun sekarang ini menjadi salah
satu pusat perhatian di Kurdistan, tapi sebenarnya yang paling tidak aktif sampai saat
ini.
Di zaman Ottoman, dan juga di awal dekade negara-bangsa Suriah di bawah mandat
Perancis dan segera sesudahnya, bagian pertama abad ke-20, yang selalu berkonflik

dengan pemerintah pusat, wilayah Kurdi di Suriah menikmati otonomi dan kebebasan
relatif dari waktu ke waktu. Hal ini sering terjadi karena kekuasaan politik yang tidak
stabil pada periode awal pembangunan negara di Suriah, yang ditandai dengan kudeta
militers dan kerusuhan Hal ini secara radikal berubah seiring dengan bangkitnya
partai Baath di tahun 1960an. Untuk mencegah pemberontakan Kurdi, negara
memberlakukan kebijakan demografi rasis terutama di wilayah Cizire dan dinas
rahasia secara aktif menghasut konflik antara suku Kurdi dan beberapa suku Arab.
Negara juga memahami seni mengadu kelompok politik dan suku Kurdi satu sama
lain untuk melemahkan hak kolektif Kurdi. Metode ini untuk menciptakan

kolaborator kelas untuk menghadapi perlawanan Kurdi, telah menjadi kebijakan
keempat negara di mana kaum Kurdistan berada.

Namun, dasar-dasar revolusi yang bisa kita lihat hari ini, harus dirunut kembali pada
tahun 1979, saat kedatangan PKK dan Abdullah Öcalan di Suriah. Kader PKK tidak
hanya menggorganisir perlawanan di Turki, tapi juga mengorganisir penduduk Kurdi
setempat. Öcalan secara pribadi memberikan pendidikan kepada ratusan anggota
masyarakat biasa. Yang terpenting, era ini menandai dimulainya keterlibatan
perempuan secara aktif dalam politik untuk pertama kalinya di Rojava. Saat itu,
ratusan perempuan bergabung dalam gerilyawan dari Rojava. Pengalaman dengan

budaya revolusioner yang diperkenalkan PKK di Rojava pada saat itu meletakkan
dasar bagi revolusi di Rojava, namun juga secara dialektik mempengaruhi lebih
banyak

pandangan

PKK

sendiri

mengenai

komunalistik.

Pada tahun 2004, setahun setelah PYD didirikan, ada upaya untuk melakukan sebuah
pemberontakan di Qamishlo, namun secara brutal diberantas oleh negara. Para aktivis
yang tak terhitung jumlahnya menjadi target penyiksaan, penghilangan, pemenjaraan,
intimidasi,

dan


pembunuhan

oleh

partai

Baath.

The Arab Spring, yang dimulai pada tahun 2011, merupakan momen yang sangat kuat
dan radikal di Timur Tengah, memberikan harapan besar untuk adanya perubahan dan

kebebasan bagi rakyat. Namun, segera, kekuatan lokal dan internasional mengerti
bagaimana memanipulasi unsur-unsur dari situasi revolusioner ini demi kepentingan
mereka sendiri. Salah satu hasil yang paling menghancurkan dari manipulasi kejam
ini adalah perang yang sedang berlangsung di Suriah, yang menyebabkan jutaan orang
mengungsi, ratusan ribu orang terbunuh, dan beberapa situs paling kuno dan habitat
alami

hancur

total

dan

hilang

selamanya.

Kita harus menghormati tekad dan dedikasi para aktivis di seluruh Suriah, yang
menentang kurangnya kesadaran masyarakat internasional dalam pekerjaan mereka
diantara debu dan abu. Tetapi juga penting untuk dicatat bahwa secara umum tidak
ada rencana politik yang dipikirkan dari sisi gerakan demokratis ini, di samping
pembunuhan massal yang menyebabkan tercerai-berai dan melemahkan kekuatan
mereka

dan

bangkitnya

kekuatan

jihadis.

Pada tanggal 19 Juli 2012, orang Kurdi di Rojava memanfaatkan kesempatan tersebut
dan mengusir pasukan rezim keluar dari daerah mereka. Tidak ada perang yang aktif
di wilayah tersebut pada waktu itu, karena rezim lebih memprioritaskan pertempuran
dengan pemberontak di bagian lain Syria. Organisasi dewan-bawah tanah awalnya
sudah dimulai pada tahun 2011, namun baru setelah 2012, untuk pertama kalinya,
orang Kurdi Rojava dapat bebas secara politik. Foto-foto ini benar-benar bersejarah –
dulu bendera Kurdi dilarang , sebagaimana bahasa Kurdi yang sekarang digunakan
secara resmi. Perempuan termasuk yang pertama menjatuhkan rezim dan mengangkat
senjata untuk melindungi wilayah mereka. Unit pertahanan diri di Rojava sudah ada
sejak 2011. Namun YPG (Unit Pertahanan Rakyat) baru dibentuk secara resmi pada
tahun 2012, sementara para perempuan di YPJ (Unit Pertahanan Perempuan)
kemudian membentuk struktur otonom mereka, pada bulan Januari 2013.
Namun kemudian, dalam waktu singkat, terutama karena kepentingan politik Turki,
gelombang terorisme Islam mulai menyerang Rojava. Ada banyak bukti yang
menunjukkan kolaborasi antara negara Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan dan
kelompok-kelompok seperti Jabhat al Nusra dan juga kemudian dengan ISIS.
Serekaniye (Ras al Ayn) adalah medan pertempuran yang luas dengan kekuatan jihad
ini

terutama

pada

tahun

2013.

Pada waktu itu, masyarakat internasional tengah mempersiapkan konferensi Jenewa
yang kedua untuk mencari solusi damai bagi perang. Namun, jelas bahwa "oposisi"
Suriah yang terlibat dalam konferensi tersebut, justru yang dilindungi oleh negara
Turki, dan tidak mewakili orang-orang Suriah. Konferensi tersebut mengecualikan

Kurdi, meskipun mereka merupakan bagian penting dari masyarakat Suriah. Dengan
demikian, pada musim gugur tahun 2013, sistem otonom demokratik diumumkan
secara terbuka di Rojava, sebagai tindakan untuk menentang tatanan sistem kekuasaan
internasional yang dengan sengaja membungkam mereka. Pada minggu yang sama
dengan konferensi Jenewa II, pada bulan Januari 2014, tiga wilayah juga
mendeklarasikan diri – yaitu: Afrin, Kobane, dan Cizire. Kontrak sosial wilayah
Rojava dipublikasikan saat itu.

Tahun 2014 juga menandai tahun ketika ISIS memasuki panggung dunia, meskipun
rakyat di Rojava telah lama melawan mereka. Terutama pembantaian pada bulan
Agustus di Ezidis di Sinjar (Shengal di Kurdi) yang memperlihatkan metode
pemerkosaan yang brutal dan menjijikkan dari kelompok pembunuh ini. Namun,
ketika ISIS menyerang Kobane pada bulan September 2014, ia bertemu dengan
musuh yang sangat berbeda. Di sini, rakyat Kobane menunjukkan kepada dunia
bahwa komunitas politik yang terorganisir dan sanggup memobilisasi diri, tidak dapat
dikalahkan. Kobane menjadi garis pertahanan pertama perjuangan kemanusiaan
melawan fasisme. Para perempuan membebaskan Kobane dari pemerkosa ISIS.
Kejadian ini bergema diantara orang-orang yang berjuang di seluruh dunia.

Ketika mencoba memahami apa karakter "revolusioner" dari Rojava, pertama-tama
penting untuk menekankan kondisi di mana orang-orang mencoba untuk membangun
sebuah alternatif – sebuah populasi yang terdiri dari jutaan orang yang tertindas,
miskin, terjajah, dan sengit berperang melawan pemerkosa jihadis, berperang
melawansebuah rezim yang haus darah, negara-negara yang bermusuhan seperti
Turki, perilaku reaksioner di komunitas mereka sendiri, di mana semua orang
menderita karena embargo politik dan ekonomi, dan berada di jantung perang dunia
ketiga,

di

antara

cakar

kekuatan

imperialis

lama

yang

masih

sama.

Dalam konteks ini, rakyat Rojava memutuskan untuk mengatakan tidak pada sistem
negara-bangsa dan menolak dua opsi yang diberikan kepada orang-orang di Suriah
oleh sistem (status quo yang diwujudkan oleh kediktatoran Assad atau sebuah
perubahan rezim yang didikte oleh asing atau dengan karakter jihad) dan rakyat
Rojava memutuskan untuk memperjuangkan "jalan ketiga". Semua usulan sebagai
jalan keluar bagi Rojava, menekankan untuk menolak mentalitas irrasional "memilih
yang terbaik dari yang terburuk" dan bertumpu pada kekuatan sendiri. Ini
diilustrasikan dalam sistem federalis dan kontrak sosialnya, serta kekuatan pertahanan
multikultural yang membebaskan wilayah ini dari ISIS dan mendorong pembentukan
dewan

rakyat

di

daerah

bebas.

Orang terkadang lupa bahwa sebelum perang di Kobane, semua kekuatan imperialis
merasa senang melihat orang Kurdi di Suriah dibantai. Jika hari ini, tentara mereka
yang kuat membantu Kurdi di lapangan, itu karena yang rakyat Kurdi telah
menunjukkan kemampuan mereka dalam pertempuran. Intervensi di Kobane adalah
kesempatan bagi Obama untuk menunjukkan bahwa konsep anti-ISIS-nya bekerja,
setelah semua kegagalannya. Namun kenyataannya, komunitas Kobane, termasuk
perempuan-perempuan yang berusia 60an telah menunjukan komitmen perjuangan
hidup atau mati dengan mempersenjatai diri untuk melindungi rumah mereka, bahkan
beberapa bulan sebelum koalisi terbentuk. Kekuatan mereka tidak terletak pada
peralatan militer mereka, tapi kesadaran politik, organisasi, dan komitmen mereka
untuk

membela

diri

dan

komunitas

mereka.

Kerjasama militer taktis dengan beberapa negara dalam situasi hidup atau matia, tanpa
pilihan lain untuk bertahan hidup adalah hal yang berbeda dengan kolaborasi politik
strategis yang didasarkan pada kepentingan bersama. Banyak diantara kaum kiri yang
sangat dogmatis mengenai masalah ini. Sebagai warisan historis kolonialisme Barat di
Kurdistan, Kurdi akan bunuh diri jika mempercayai kekuatan yang sama untuk masa

depan mereka. Tidak banyak pilihan mewah yang tersedia dalam perang melawan
ISIS. Yang penting adalah melindungi revolusi dari rongrongan dan kooptasi oleh
imperialisme dan kapitalisme. Inilah saatnya di mana solidaritas internasional masuk.

Percobaan besar membangun sosialisme justru telah menghasilkan institusi
pembunuhan massal, penyensoran, dan penindasan yang sangat hirarkis. Mereka
mengkhianati cita-cita sosialisme dan pemulihan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat

menjanjikan seperti solidaritas, keadilan dan kebebasan. Pada saat yang sama, kaum
kiri radikal, lebih tepatnya, kaum anarkis sering ingin menghindari pertanyaan tentang
kekuasaan seperti menghindari kentang panas. Atas nama menentang otoritarianisme
dan hierarki, beberapa kaum anarkis menolak untuk mengkoordinasikan kekuasaan
sama sekali, yang malah justru menghasilkan jalan bagi makhluk individualis, apolitis
dan

anti-sosial.

Di Rojava—jika anda mau, kita bisa melihat usaha yang jelas untuk menjawab
pertanyaan tentang kekuasaan, bukan dengan cara menghancurkannya, tapi
mengkomunalkannya. Tidak ada gunanya menyangkal bahwa kekuasaan itu ada,
sama seperti tidak ada gunanya membicarakan kesetaraan jender, tanpa mengakui
warisan patriarki yang sudah berusia 5000 tahun. Oleh karena itu, komune, dewan,
koperasi, akademi, unit pertahanan, kotamadya, dan organisasi baru lainnya dan
monumen perlawanan adalah metode untuk menemukan kembali kekuasaan, dengan
menyebarkannya, mendesentralisasikannya, dan akhirnya mendemokratisasikannya.
Sementara komune adalah monumen demokrasi langsung untuk mempraktikkan
kewarganegaraan anda melalui partisipasi aktif dalam masalah kehidupan sehari-hari
yang menyangkut keberadaan anda, meluai delegasi ke dewan di tingkat desa,
kecamatan, kota, regional, wilayah yang lebih luas (canton), dan sekarang federal,
disanalah ada rencana aksi dibuat dan mengkoordinasikan kebijakan yang diadopsi
dalam

struktur

demokrasi

langsung.

Di akademi, orang-orang, tanpa batas usia, belajar tentang sistem yang baru,
mendiskusikannya, mengkritiknya, mengubah, dan mengujinya. Dalam koperasi ,
mereka menjalankan bentuk ekonomi komunal, dengan fokus pada isu-isu ekologis,
dengan menciptakan situasi mereka secara mandiri, berdasarkan solidaritas,
penghargaan terhadap tenaga kerja, dan nilai-nilai bersama. Sebuah masyarakat
madani yang dinamis, sebuah seni budaya baru, sebuah kebangkitan dalam karya
budaya, yang sekarang mendekorasi kehidupan di Rojava.
Jika kita memikirkan tentang swakelola secara politis dari warga negara yang aktif,
bebas, dan rasional dalam asosiasi sukarela dengan nilai-nilai pembebasan
didalamnya

dan

sumber

daya

yang

dipelihara

secara

umum,

semacam

"mempertahankan diri sendiri", kita dapat membantu mengatasi keragu-raguan
kalangan
Untuk

kiri
menghapuskan

untuk
negara

berurusan
dengan

dengan

meminimalkan

kekuasaan.

relevansinya,

untuk

mendesentralisasi kekuasaan sedemikian rupa sehingga tidak lagi mampu membangun

hierarki, untuk meradikalisasi demokrasi sedemikian rupa sehingga beralih dari
politik klasik—perwakilan dan voting-- menjadi budaya sosial, ini harus menjadi
tempat di mana pemahaman kita tentang revolusi harus berbasis pada tatanan
ekonomi kapitalis global saat ini, yang dilegitimasi oleh negara-bangsa dan yang
menopang

patriarki.

Tapi tidak ada solusi yang sama persis saat kita melihat kemungkinan adanya
penerapan otonomi demokratis di luar Kurdistan dan Timur Tengah. Misalnya,
otonomi demokratis di Rojava bekerja secara berbeda dari Bakur (Kurdistan Utara /
Turki). Setiap wilayah di Rojava memiliki struktur yang berbeda. Tidak ada komune
yang sama. Inti otonomi demokratis adalah bahwa ada konteks yang berbeda-beda
untuk mengetahui kondisi, kebutuhan, keinginan, masalah, dan solusinya yang
terbaik.
Oleh karena itu, tidak mungkin ada buku manual tentang masalah ini. Standardisasi
masyarakat adalah konsep yang muncul dari negara-bangsa. Jadi, gagasan bahwa
otonomi demokrasi sebagaimana diimplementasikan di Rojava dapat diterapkan
dengan cara yang persis sama di tempat lain seperti misalnya disebuah metropolitan di
Eropa bertentangan dengan gagasan tentang otonomi demokratis, karena itu akan
menolak lembaga masyarakat yang bersangkutan dengan semua kompleksnya. ,
dengan keunikannya sendiri, dan dimensi tertentu yang membutuhkan solusi kreatif
dan fleksibel.
Prinsip-prinsip otonomi demokratis memang memiliki daya tarik universal, namun
penerapannya memerlukan usulan, adaptasi, dan tindakan lokal.