RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN E

RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN EKOWISATA
PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI
Oleh: Nasrun
1.1 Latar Belakang
Wakatobi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara
yang menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam pembangunan.
Pengembangan pariwisata di Wakatobi berdasarkan alasan bahwa Wakatobi
memiliki kondisi alam dan kekayaan budaya yang sangat beragam. Air laut yang
sangat jernih, terumbu karang yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan
laut menjadikan Wakatobi dijuluki “Surga nyata bawah laut” (Balai TNW, 2013).
Wakatobi adalah akronim dari beberapa pulau yaitu Wangi-Wangi (Wa),
Kaledupa (Ka), Tomia (To), dan Binongko (Bi) yang letak dan luas wilayahnya
sama persis dengan letak dan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW)
yaitu seluas 1.390.000 Ha. Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah
perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan daratan berupa pulau-pulau.
Berdasarkan kondisi dan potensi wilayahnya, ditetapkan sebanyak 6 kawasan
pariwisata di Kabupaten Wakatobi, antara lain 1) kawasan pariwisata Matahora,
2) kawasan pariwisata Hoga, 3) kawasan pariwisata Peropa, 4) kawasan
pariwisata Untete, 5) kawasan pariwisata Tolandono, dan 6) kawasan pariwisata
Palahidu. Kawasan-kawasan tersebut memiliki karakteristik atau label sesuai
dengan potensi yang dimilikinya (Rippda Kab. Wakatobi, 2008). Selanjutnya,

pola perkembangan pariwisata di Wakatobi umumnya diarahkan pada prinsipprinsi ekowisata sesuai dengan Visi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Wakatobi yakni “Terwujudnya Wakatobi sebagai Daerah Tujuan Wisata Ekologi
(Ecotourism) Dunia 2010 (Rippda, 2008).
Sejak ditetapkannya Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996,
jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara (wisman) maupun
wisatawan nusantara (wisnus) mulai berkembang. Jumlah kunjungan wisatawan
berkembang pesat pada tahun 2008. Secara rinci, jumlah kunjungan wisman
maupun wisnus di Kabupaten Wakatobi dari tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah kunjungan wisatawan di Kabupaten Wakatobi tahun
2008-2012
Tahun
Wisman
Wisnus
Jumlah
2008
1.883
2.772
2009

1.446
3.474
2010
1.910
4.883
2011
2.274
5.424
2012
2.312
3.534
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi 2013

4.655
4.920
6.793
7.698
5.846

Harus diakui bahwa perkembangan pariwisata di suatu daerah merupakan

bentuk keseriusan pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daya tarik
wisatanya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), memperluas
kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan antar wilayah. Oleh karenanya,
sewajarnya pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi mengembangkan sektor
pariwisata pada beberapa pulau berpenghuni termasuk Pulau Kapota yang terletak
di kawasan pariwisata Matahora, Taman Nasional Wakatobi.
Pulau Kapota secara administratif berada pada Kecamatan Wangi-Wangi
Selatan Kabupaten Wakatobi dengan luas kawasan ±1.805 Hektar (Balai TNW,
2009). Menurut data dari aparat desa, jumlah penduduk Pulau Kapota sebanyak
±5.520 jiwa yang terdiri dari 5 Desa yaitu Desa Kapota, Desa Kabita, Desa
Kapota Utara, Desa Kabita Togo dan Desa Wisata Kollo. Secara umum,
masyarakat Kapota berprofesi sebagai petani dan nelayan, sebagian PNS dan
perantau hingga ke Malaysia dan Singapura. Penduduk Pulau Kapota merupakan
etnis Wakatobi asli dan kepercayaan terhadap hal-hal mistis masih dipercaya dan
dilakukan dalam kehidupan masyarakatnya.
Pengembangan pariwisata khususnya ekowisata di Pulau Kapota dimulai
sejak tahun 2009 oleh Balai Taman Nasional Wakatobi. Berbagai produk dan jasa
wisata ditawarkan kepada pengunjung atau wisatawan. Seperti halnya Damanik
dan Weber (2006) mengungkapkan bahwa penawaran wisata sering disebut
dengan triple A’s yang terdiri dari atraksi, amenitas dan aksesibilitas. Atraksi

yang menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengembangan
ekowisata Pulau Kapota meliputi atraksi budaya dan atraksi alam. Atraksi budaya

berupa kegiatan adat yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu oleh
lembaga adat bekerjasama dengan dinas pariwisata dan kebudayaaan Kabupaten
Wakatobi. Sedangkan atraksi alam berupa caving, trekking di hutan mangrove,
snorkling, diving dan sebaginya dikelola oleh Balai Taman Nasional Wakatobi.

Dalam upaya pengembangan ekowisata, Balai Taman Nasional Wakatobi
meluncurkan program Model Desa Konservasi (MDK) pada beberapa pulau di
Wakatobi. Pulau Kapota termasuk salah satu dari 5 MDK yang telah
dikembangkan. MDK dikelola bersama masyarakat melalui Sentral Penyuluhan
Kehutanan Perdesaan (SPKP). Pengelolaan MDK bertujuan untuk memberikan
stimulus kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi aktif demi perkembangan
ekowisata. Berbagai fasilitas disediakan seperti alat transportasi, pusat informasi
obyek wisata, homestay, rest area , dan warung/kios milik warga. Salah satu
bentuk pengelolaan pariwisata (ekowisata) di Pulau Kapota terlihat pada Gambar
1.

Gambar 1. Model Desa Konservasi Pulau Kapota, TNW

Harus diakui bahwa dalam mengembangkan sektor pariwisata, banyak hal
yang perlu diperhatikan. Hal ini disadari bahwa pariwisata bukanlah suatu sektor
yang beroperasi dalam ruang hampa, akan tetapi pariwisata terkait dengan
masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya, termasuk institusi
sosial yang mengaturnya. Pengembangan sektor pariwisata dapat menimbulkan
perubahan yang merasuk hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakt. Namun,
perubahan dalam masyarakat itu sendiri tidak dapat sepenuhnya dipandang
sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini karena pariwisata terjalin erat

dengan berbagai aktivitas lain yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah
berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Untuk mengetahui perkembangan pariwisata di suatu daerah, masalah
respon atau tanggapan masyarakat lokal sangat penting untuk dikaji karena
pengembangan suatu daerah akan dilihat oleh masyarakat secara berbeda
tergantung dari apa yang dilihat, dirasakan dan dipahami masyarakat mengenai
hal itu. Secara keseluruhan respon seseorang atau kelompok terhadap situasi fisik
dan non fisik dapat dilihat dari tiga tingkatan yaitu persepsi, sikap, dan tindakan.
Munculnya ketiga hal respon tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya, pengetahuan, pengalaman, kepentingan, dan harapan. Guna
mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, maka penelitian

lapangan ini sangat perlu dilakukan terutama pada respon masyarakat di daerahdaerah yang belum lama menggiatkan sektor pariwisata.
2.2 Rumusan Masalah
Pengembangan pariwisata di Kawasan Taman Nasional Wakatobi tidak
tidak terlepas dari campur tangan pemerintah setempat. Hal itu karena
pembangunan pariwisata memang sangat dibutuhkan. Dengan melihat banyaknya
potensi daya tarik wisata, dan kondisi wilayah yang masih tertinggal dalam hal
pembangunan, pemerintah daerah menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan
yang

dianggap

mampu

membawa

perubahan-perubahan

positif

dalam


pembangunan termasuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di Kawasan Taman Nasional
Wakatobi turut menggiatkan sektor pariwisata sejak tahun 2009. Pengembangan
pariwisata khususnya ekowisata diluncurkan oleh Balai Taman Nasional
Wakatobi melalui Sentral Penyuluhan Kehutanan Perdesaan (SPKP) Pulau
Kapota. Hal ini berdasarkan atas keanekaragaman sumber daya alam dan budaya
yang terdapat di daerah tersebut. Harus diakui bahwa berbagai pendekatan dan
metode diterapkan oleh stakeholders demi perkembangan ekowisata. Tentu tidak
dapat dipungkiri bahwa pendekatan dan metode yang digunakan akan mampu
menimbulkan perubahan-perubahan, baik perubahan ke arah positif maupun

negatif dalam proses kehidupan masyarakatnya. Apalagi secara umum,
masyarakat Wakatobi masih memegang teguh sistem adat seperti halnya
masyarakat adat lain di Indonesia, dan kepercayaan terhadap hal-hal mistis masih
dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakatnya. Fenomena perubahan
yang terjadi dalam masyarakat yang mengembangkan sektor pariwisata memang
sangat penting untuk diketahui karena masyarakat juga merupakan bagian dari
stakeholders pariwisata.


Untuk melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat Pulau Kapota
yang mengembangkan ekowisata, tentu membutuhkan suatu penelitian lapangan
yang lebih mengarah kepada masyarakat. Oleh karena itu dalam penelitian
lapangan ini akan dilihat bagaimana respon masyarakat terhadap pengelolaan
ekowisata di daerahnya hubungannya dengan pengetahuan, pengalaman,
kepentingan dan harapan masyarakat terhadap perkembangan ekowisata tersebut.
Berikut dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1.

Bagaimana model pengelolaan ekowisata Pulau Kapota, Taman Nasional
Wakatobi?

2.

Sejauhmana faktor-faktor pengetahuan, pengalaman, kepentingan

dan

harapan masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata Pulau Kapota, Taman
Nasional Wakatobi?

3.

Bagaimana respon masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata Pulau Kapota,
Taman Nasional Wakatobi ?

2.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu:
1.

Mengetahui model pengelolaan ekowisata Pulau Kapota, Taman Nasional
Wakatobi.

2.

Mengetahui tentang pengetahuan, pengalaman, kepentingan

dan harapan

masyarakat Pulau Kapota dalam pengelolaan ekowisata di daerahnya.
3.


Menyusun model pengembangan ekowisata Pulau Kapota, Taman Nasional
Wakatobi yang berkelanjutan.

2.4 Manfaat penelitian
Merujuk pada tujuan penelitian, maka sekurang-kurangnya penelitian ini
diharapkan memberikan tiga manfaat, yaitu:
1.

Memperlihatkan pengetahuan, pengalaman, kepentingan

dan harapan

masyarakat dalam pengelolaan ekowisata.
2.

Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi stakeholders pariwisata
dalam mengembangkan sektor pariwisata khususnya ekowisata.

3.


Dapat menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten
Wakatobi dalam menelaah kembali upaya untuk mengembangkan ekowisata
di Pulau Kapota yang menekankan pada kesejahteraan masyarakat sebagai
tuan rumah. Sehingga kedepannya manfaat pariwisata dapat dirasakan oleh
seluruh masyarakat Pulau Kapota.