Mengenal Linguistik Forensik Linguis seb

MENGENAL LINGUISTIK FORENSIK: LINGUIS SEBAGAI SAKSI AHLI
Oleh:
Iman Santoso
Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman
Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta
e-mail: iman_santoso@uny.ac.id

Abstract
Forensic linguistics is a newly emerging branch of applied linguistics. This branch of
linguistics embodies a systematic attempt to apply linguistic insights into the field of law.
Forensic linguistics examines legal documents, police language as law reinforcers, exchanges
in the courtroom, linguistic evidence, linguists as expert witnesses, authorship, plagiarism,
and identification of speakers through forensic phonetics. Linguists as expert witnesses are
often required to give their judgments about particular legal cases involving linguistic
interpretation. This article explores issues pertaining to linguists as expert witnesses, namely:
(1) criteria for expert witnesses, (2) ethics as expert witnesses, (3) criteria for measuring the
scientific level of linguistic evidence and (4) forms used for conveying linguistic evidence.
Keywords: expert witness, ethics, linguistic evidence
Abstrak
Salah satu cabang linguistik terapan yang relatif baru berkembang adalah linguistik forensik.
Cabang linguistik ini merupakan wujud pemanfaatan ilmu bahasa untuk mengkaji fenomena

kebahasaan dalam ranah hukum. Bidang kajiannya meliputi bahasa dari dokumen legal,
bahasa polisi dan penegak hukum, interaksi di persidangan, bukti-bukti linguistik, linguis
sebagai saksi ahli, kepengarangan dan plagiarisme, serta identifikasi penutur. Kehadiran
seorang ahli linguistik seringkali sangat diperlukan untuk memberikan pandangan berdasarkan
wawasan keahliannya terhadap kasus hukum tertentu. Dalam artikel ini akan dipaparkan halhal yang terkait dengan linguis sebagai saksi ahli, yaitu: (1) kriteria sebagai saksi ahli, (2)
etika sebagai saksi ahli, (3) kriteria untuk mengukur kadar keilmiahan bukti-bukti linguistik
dan (4) format penyampaian bukti-bukti linguistik.
Kata Kunci: saksi ahli, etika, bukti-bukti linguistik

1

PENDAHULUAN
Linguistik forensik merupakan salah satu bagian dari ilmu linguistik yang relatif masih
muda usianya. Ilmu ini adalah cabang dari linguistik terapan yang mengkaji interaksi antara
bahasa, kriminalitas dan hukum (Saletovic dan Kisicek, 2012). Olsson (2008) mengatakan
bahwa dalam linguistik forensik pengetahuan dan teknik-teknik linguistik diterapkan untuk
mengkaji fenomena kebahasaan yang terkait dengan kasus hukum atau pemeriksaan perkara;
atau sengketa pribadi antara beberapa pihak yang pada tahap berikutnya berdampak pada
pengambilan tindakan secara hukum. Jika diperinci lebih jauh, perhatian utama dari linguistik
forensik adalah: (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3)

interview dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi
dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6)
kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur (Coulthard
dan Johnson, 2007:5). Selain dari ketujuh aspek tersebut, linguistik forensik juga mengkaji
bahasa yang digunakan di penjara, pengembangan penerjemahan bahasa yang digunakan
dalam konteks peristiwa hukum, penyediaan bukti forensik linguistik berbasis pada
kepakaran, dan penyediaan kepakaran linguistik dalam penyusunan dokumen legal serta
upaya penyederhanaan bahasa hukum (Gibbons, 2007:12).
Dari paparan mengenai ruang lingkup linguistik forensik tersebut terlihat bahwa
dimensi kajiannya cukup luas dan melibatkan semua tataran linguistik, mulai dari fonetik,
morfologi, morfosintaksis, sintaksis hingga pragmatik. Salah satu aspek yang cukup penting
untuk diulas adalah ihwal pemanfaatan kepakaran di bidang linguistik dalam konteks
peristiwa hukum, seperti sebagai saksi ahli dalam persidangan atau sebagai konsultan bagi
pengacara. Bukti-bukti kebahasaan yang disajikan oleh ahli linguistik dapat menjadi
pertimbangan yang cukup penting baik bagi pihak yang sedang berperkara, maupun hakim
dalam menentukan keputusan yang adil. Hal ini misalnya terlihat di persidangan yang
melibatkan mantan presiden PKS dalam kasus suap impor daging sapi. Dua saksi ahli bahasa
yaitu ahli bahasa Arab dan bahasa daerah Makassar dihadirkan dalam sidang Tindak Pidana
Korupsi pada tanggal 19 Mei 2013 untuk menerjemahkan percakapan telepon antara Lutfi
Hasan Ishak dan Ahmad Fathanah, karena dalam percakapan tersebut muncul tuturan dalam

bahasa Arab dan bahasa daerah Makassar (Pembicaraan Luthfi-Fathanah soal Daging
diterjemahkan Ahli Bahasa, 2013). Informasi yang disampaikan oleh kedua ahli bahasa
2

tersebut cukup penting, karena dalam percakapan telepon tersebut diindikasikan terjadi
pengaturan impor daging sapi dan imbalannya.
Keterlibatan ahli linguistik (forensik) dalam peristiwa hukum seperti itu tentu menjadi
penting dalam rangka penegakan hukum. Namun, ada beberapa pertanyaan yang muncul
terkait dengan keberadaan saksi ahli, antara lain: (1) kriteria seperti apakah yang digunakan
untuk menentukan kepakaran seseorang sehingga bisa disebut sebagai saksi ahli? (2) Adakah
etika yang harus dipegang oleh seorang saksi ahli? (3) bagaimana kriteria yang dapat
digunakan untuk mengukur kadar keilmiahan bukti-bukti yang disajikan oleh saksi ahli? (4)
Bagaimana cara saksi ahli menyampaikan bukti-bukti, terutama bukti-bukti kebahasaan?
Berhubungan dengan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka
dalam artikel ini akan dibahas hal ihwal linguis sebagai saksi ahli. Referensi utama yang
digunakan untuk membahas persoalan tersebut berasal dari Coulthard & Johnson (2007),
Gibbons (2007) serta Olsson (2008). Tema yang disajikan oleh Coulthard & Johnson (2007)
dalam buku mereka adalah linguis sebagai saksi ahli. Pokok persoalan yang dibahas antara
lain mengenai bentuk penyampaian opini saksi ahli, kriteria saksi ahli, bukti yang bisa
diterima, serta ahli sebagai konsultan dimana opininya dapat digunakan untuk pengujian

silang. Gibbons (2008) lebih banyak memaparkan hal-hal terkait dengan bahasa sebagai bukti
yang digolongkan pada dua hal yaitu bukti komunikasi dan bukti kepengarangan. Sedang
Olsson (2008) menyajikan pandangan terhadap saksi ahli di berbagai negara.
PEMBAHASAN
Linguis sebagai Saksi Ahli
Dalam proses hukum, terutama dalam persidangan kehadiran saksi ahli seringkali
menjadi suatu keharusan. Saksi ahli dapat didefinisikan sebagai seseorang yang diijinkan
untuk memberikan pendapat kesaksian dalam persidangan yang didasarkan atas pengetahuan
khusus yang dimilikinya, pelatihan atau pengalaman, jika pendapat tersebut handal, relevan
dengan kasus yang ada dan membantu pencari fakta untuk menghasilkan keputusan
(Hutchinson, 2012). Sedang menurut Susanti (2012) - dengan mengutip British Medical
Asociation - saksi ahli merupakan orang yang memenuhi syarat dalam hal pengetahuan dan
pengalamannya untuk memberikan pendapat tentang isu tertentu ke pengadilan. Berdasarkan
KUHAP pasal 1 butir 28 disebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan

3

oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai

saksi ahli jika (1) memiliki pengetahuan khusus yang terkait dengan isu tertentu dan (2)
mampu menyampaikan opini yang reliabel. Berdasarkan definisi tersebut seorang linguis atau
ahli bahasa memenuhi syarat untuk disebut sebagai saksi ahli jika memiliki pengetahuan
khusus terkait dengan fenomena kebahasaan dan mampu memberikan pendapat (keterangan)
yang reliabel berdasarkan keahliannya serta berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang telah diuji
kebenarannya. Berikut ini akan disampaikan pandangan di beberapa negara mengenai
keberadaan saksi ahli.
Australia dan Inggris secara garis besar memiliki kesamaan pandangan mengenai
posisi saksi ahli. Berdasarkan Evidence Act 1995 Sec. 79, seorang saksi ahli harus memiliki
pengetahuan khusus yang berbasis pada pelatihan atau studi dan dapat menyajikan opini yang
secara substansial berbasis pada pengetahuan tersebut (Coulthard & Johnson, 2007:207).
Saksi ahli ditunjuk oleh pengadilan, dan mereka dapat memberikan keterangan ahli pada salah
satu pihak yang beperkara. Kesaksian ahli ini terikat pada aturan-aturan berikut: (1) bukti ahli
yang disajikan harus merupakan produk yang independen dari ahli dan tidak terpengaruh oleh
bentuk atau isi tuntutan dalam proses pengadilan, (2) seorang saksi ahli harus dapat
menyediakan bantuan yang independen ke pengadilan secara objektif, opini yang tidak bias
terkait dengan permasalahan dalam koridor kepakarannya dan tidak boleh berasumsi layaknya
seorang pengacara, dan (3) seorang saksi ahli harus menyatakan fakta-fakta dan asumsiasumsi yang menjadi dasar opininya. Dia tidak boleh menghilangkan fakta-fakta material
yang dapat mengurangi kesimpulan.
Pada tahun 1990an, Lord Woolf telah memulai untuk mereformasi sistem pengadilan

sipil di Inggris dan Wales. Salah satu perhatian dari Woolf adalah mengenai kontribusi bukti
ahli terhadap kualitas peradilan. Beberapa usulan penting dari Woolf antara lain (1) penetapan
saksi ahli untuk kedua belah pihak yang bersengketa, dan (2) pada kasus dimana kedua belah
pihak tidak sepakat akan adanya saksi ahli, pengadilanlah yang harus menunjuk saksi ahli
(Olsson, 2008:65 - 66). Apa yang diterapkan di Inggris ini, kemudian juga diterapkan di
banyak negara persemakmuran.

4

Dari paparan tersebut, tampak bahwa di Australia dan Inggris, peraturan mengenai
saksi ahli belum mengarah pada persyaratan keilmiahan bukti atau opini yang disajikan. Satu
hal yang berbeda dengan di Amerika, karena sudah menerapkan aturan yang ketat terkait
dengan kadar keilmiahan bukti ahli. Aturan ini sering disebut dengan Daubert Rule. Meskipun
demikian saat ini di Australia sudah ada tekanan untuk memberi tempat pada persyaratan yang
terkait dengan relevansi dan reliabilitas bukti yang disajikan ahli (Olsson, 2008:65)
Di Amerika pada awalnya diterapkan sebuah tes yang disebut Frye Test

untuk

menguji bukti ilmiah di pengadilan. Ini merupakan tes sederhana yang berprinsip: providing a

method had acceptance from the scientific community it could be held to be valid in a court
of law (Olsson, 2008:64). Dalam perjalanannya kriteria keberterimaan oleh komunitas ilmiah
ini menjadi persoalan, karena pada faktanya sesuatu yang sudah diterima oleh komunitas
ilmiah tidak selalu dapat dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, sejak adanya kasus
Daubert melawan Merrel Dow Pharmaceuticals muncul kriteria lain untuk mengukur kadar
keilmiahan bukti ahli. Kriteria tersebut adalah: (1) apakah teori yang digunakan sudah diuji,
(2) apakah teknik yang digunakan sudah dikaji oleh rekan sejawat dan dipublikasikan, (3)
apakah rerata kesalahan diketahui, dan (4) apakah teori tersebut sudah diterima oleh
komunitas ilmiah (Coulthard & Johnson, 2007:211). Kriteria inilah yang kemudian dikenal
sebagai Daubert Rule.
Menurut Olsson (2008:64) kriteria Daubert ini tak lain merupakan hasil interpretasi
terhadap aturan yang sudah ada yaitu Rule 702 tentang kesaksian oleh ahli. Di sana disebutkan
bahwa dalam kasus peradilan, seseorang dapat diminta menjadi saksi ahli jika memiliki
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan atau pendidikan terkait dengan subjek
permasalahan dari sebuah kasus. Saksi tersebut dapat memberikan keterangan ahli dalam
bentuk pendapat atau sejenisnya, jika (1) kesaksian berdasarkan fakta atau data yang cukup,
(2) kesaksian tersebut merupakan produk dari prinsip atau metode yang reliabel dan (3) saksi
telah menerapkan prinsip dan metode yang reliabel pada fakta-fakta yang ada dalam sebuah
kasus.
Dengan adanya Daubert Rule ini kemudian timbul pertanyaan masih adakah ruang

bagi linguis untuk memberikan kesaksian? Tiersma dan Solan (via Coulthard & Johnson,
2007: 210) memiliki pandangan yang optimistik tentang hal itu. Menurut mereka peradilan
telah mengijinkan linguis untuk memberikan kesaksian pada isu-isu tertentu seperti
5

menentukan kemungkinan asal seorang penutur, seberapa jauh sebuah teks bisa dipahami,
apakah terdakwa memahami Miranda Warning dan kemiripan secara fonetis dari dua merek
yang bersaing. Satu hal yang harus menjadi perhatian dari aturan Daubert adalah ‘rerata
kesalahan’. Ini dapat menjadi ganjalan bagi ahli linguistik untuk bisa memenuhi persyaratanpersyaratan tersebut. Kriteria ini cukup sulit untuk dipenuhi, terutama apabila seorang linguis
tidak bisa menyajikan data kebahasaan dalam bentuk statistika.
Etika Seorang Saksi Ahli
Sebagai saksi ahli, seorang linguis terikat pada etika tertentu. Ainsworth (2010)
mengidentifikasikan beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang saksi ahli linguistik
forensik sebagai berikut. Pertama, saksi ahli dapat memberikan kesaksian pada salah satu
pihak yang bertikai, maupun pada pihak lainnya. Acuan yang harus dipegang adalah ahli
hanya bertugas secara loyal untuk keilmuannya. Hal ini berbeda dengan pengacara yang loyal
pada kliennya. Kedua, terkait dengan kompensasi, saksi ahli tidak diperbolehkan menghitung
honornya sebagai saksi menggunakan model contingency fee. Satu hal yang wajar dikenakan
pada pengacara. Ketiga, saksi ahli mempunyai kewajiban untuk melakukan analisis yang
objektif. Ainsworth (2010) menyebutnya dengan ungkapan ‘tell it like it is’. Oleh karena itu

saksi ahli harus bersumpah untuk mengatakan kebenaran, tidak ada yang lain selain hal yang
benar. Keempat, semua draft dan catatan yang dibuat oleh ahli saat menyelesaikan laporan
finalnya hendaknya disimpan, sehingga dapat dipergunakan jika diperlukan pengujian silang.
Kelima, saksi ahli hendaknya tidak melakukan kontak di luar pengadilan dengan partisipan
yang terlibat peradilan.
Format Penyampaian Bukti Linguistik
Seorang ahli linguistik dapat menjadi saksi di pengadilan melalui dua tahap. Pertama,
biasanya ia akan diminta untuk membuat laporan secara tertulis yang berisi opininya.
Selanjutnya, ada kemungkinan ia akan diminta untuk datang ke pengadilan dan menjelaskan
serta mempertahankan pendapatnya. Coulthard & Johnson (2007) menyebutkan ada dua cara
bagi ahli linguistik untuk memaparkan pendapatnya. Pertama, adalah opini dipaparkan secara
semantis dan kemungkinan kedua, opini tersebut dijelaskan secara statistik.
Pilihan pertama sering dilakukan oleh sebagian ahli linguistik forensik dan fonetik.
Secara tradisional para ahli lingustik merasa tidak dapat menyajikan temuannya secara
statistik dalam bentuk probabilitas matematis, sehingga opini lebih banyak dikodekan secara
6

semantis (Coulthard & Johnson, 2007:202). Jika dilihat dari paradigma penelitian ilmiah,
kajian di bidang linguistik memang lebih banyak bersinggungan dengan paradigma penelitian
kualitatif, meskipun pada kondisi tertentu bisa pula didekati dengan pendekatan kuantitatif.

Penyampaian opini secara semantis pernah dilakukan Coulthard pada tahun 2002
terhadap kasus yang melibatkan Stuart Campbell. Dia merupakan tersangka dalam
pembunuhan keponakannya – Danielle. Salah satu alat bukti dalam kasus tersebut adalah
pesan tertulis yang dikirim ke telepon Campbell dari Danielle setelah ia hilang. Pesan tersebut
diduga dikirim oleh Campbell menggunakan telepon Danielle. Coulthard diminta untuk
membandingkannya dengan pesan singkat yang pernah dikirimkan Danielle tiga hari sebelum
hilang. Berikut adalah pesan singkat yang diduga berasal dari Danielle.
HIYA STU WOT U UP 2.IM IN SO MUCH TRUBLE AT HOME AT MOMENT
EVONE HATES ME EVEN U! WOT THE HELL AV I DONE NOW? Y WONT U
JUST TELL ME TEXT BCK PLEASE DAN XXX
Pesan tertulis via telepon tersebut berisi pilihan bentuk linguistik yang jarang sekali
muncul atau bahkan tidak ada pada korpus pesan tertulis dari Danielle yang digunakan
sebagai pembanding. Diantaranya penulisan huruf kapital pada keseluruhan kalimat, ejaan
‘what’ dengan ‘wot’ dan penulisan morfem ‘one’ secara penuh pada ‘EVONE’ daripada
penggunaan penggantinya yaitu angka ‘1’. Saat memberikan keterangan ahli pada kasus ini
Coulthard menggunakan skala semantik tetap (fixed semantic scale) yang terentang mulai dari
‘paling positif’ hingga ‘paling negatif’, seperti yang tampak dalam tabel berikut.
Most positive
5
4

3
2
1
0
-1
-2
-3
-4
-5
Most negative

‘I personally feel quite satisfied that X is the author’
‘it is in my view very likely that X is the author’
‘it is in my view likely that X is the author’
‘it is in my view fairly likely that X is the author’
‘it is in my view rather more likely that X is the author’
‘it is in my view fairly likely that X is the author’
‘it is in my view rather more likely than not that X is not the author’
‘it is in my view fairly likely that X is not the author’
‘it is in my view likely that X is not the author’
‘it is in my view very likely that X is not the author’
‘I personally feel quite satisfied that X is the not author’

Tabel 1. Skala Semantik Tetap dari Coulthard (Coulthard & Johnson, 2007)

7

Berdasarkan hasil kajiannya, Coulthard lalu mengajukan pendapat bahwa pesan
tertulis yang diklaim oleh Campbell sebagai pesan dari Danielle oleh Coulthard diberi skala
‘-2’ yang bermakna it was fairly likely that Danielle had not written the text message.
Metode dengan menggunakan skala semantik tetap tersebut tidak lepas dari beberapa
permasalahan. Skala yang dibuat sedemikian rinci – seperti yang tampak dalam tabel 1 – pada
dasarnya merupakan keputusan yang bersifat kategoris, yaitu apakah X pelakunya atau bukan.
Kritik lain, menyebutkan bahwa penilaian seperti ini bersifat subjektif. Penggunaan skala
semacam itu oleh dua orang ahli bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda padahal data
yang dianalisis sama. Menurut Broeder (via Coulthard & Johnson, 2007:203) persoalan
sebenarnya bukan terletak pada subjektivitas atau objektivitas, tetapi apakah opini tersebut
dapat diandalkan benar. Selanjutnya, jika kesaksian ahli diterima oleh pengadilan, bagaimana
juri atau hakim akan memiliki pandangan yang sama dengan ahli lingustik forensik. Para
hakim akhirnya juga akan bekerja dengan pilihan atau keputusan yang sifatnya biner yaitu
‘bersalah’ (Guilty) atau ‘tidak bersalah’ (Not Guilty).
Pilihan kedua yang dapat dilakukan oleh ahli linguistik forensik adalah menyajikan
pendapatnya secara statistik. Menurut Broeder, serta Rose (via Coulthard & Johnson,
2007:204) ada dua pendekatan yang dapat digunakan, pertama pada probabilitas sebuah
hipotesis, yaitu memperkuat bukti yang dianalisis – misal pada hipotesa bahwa tersangka
adalah si penutur / penulis. Kedua, pada probabilitas bahwa bukti akan muncul dalam bentuk
dan kuantitas dimana hal itu terjadi, opini yang diberikan berupa dua hipotesis yaitu tersangka
adalah penutur / penulis, atau sebaliknya bukan penutur / penulis. Bentuk yang kedua ini yang
lebih disarankan oleh Broeder dan Rose.
Melalui cara ini opini yang diajukan oleh saksi ahli forensik linguistik memiliki
keuntungan, karena dapat diwujudkan secara matematis sehingga lebih terukur. Metode ini
terutama melihat kemiripan (likehood) antara data mentah dengan beberapa bentuk bahasa
yang diuji. Ukuran yang diperoleh disebut dengan rasio kemiripan (likehood ratio). Sebagai
contoh, pada sebuah surat yang tidak dikenal penulisnya ditemui ejaan yang tidak standar
yaitu ‘ofcourse’. Temuan yang mendukung dugaan tuduhan adalah dalam tulisan tersangka
ejaan tersebut muncul 80 persen. Untuk mendukung hipotesa pembelaan bahwa tersangka
tidak menulis surat tersebut, ditemukan bahwa pada populasi ejaan yang keliru tersebut hanya
muncul 10 persen. Rasio kemiripan diperoleh dengan cara membagi presentase yang satu
8

dengan yang lainnya, sehingga pada kasus ini diperoleh rasio kemiripannya 8. Broeder (via
Coulthard & Johnson, 2007:204) menyatakan: To the extent that the likehood ratio exceeds 1
the evidence lends greater support to the [prosecution] hypotesis, [while] if it is smaller than
1 it supports the alternative hypothesis. Interpretasi ini masih menyisakan pertanyaan, karena
sulit untuk menentukan seberapa besar dukungan yang diperoleh dari rasio kemiripan 8 ini.
Solusi dari persoalan ini adalah dengan mengkombinasikan beberapa bukti bahasa atau
beberapa rasio kemiripan yang lain untuk memperoleh rasio kemiripan gabungan. Angka rasio
kemiripan gabungan ini akan turun jika semua rasio lebih besar daripada 1. Sebaliknya angka
ini akan turun jika semua rasio lebih kecil daripada 1.
Seperti juga cara penyampaian opini ahli secara semantis, penggunaan metode
statistika ini juga tidak lepas dari kritik. Pertama, terdapat kesulitan untuk menentukan
populasi pembanding yang relevan dari penutur atau teks, dan kalupun ada seringkali cukup
sulit untuk mengaksesnya. Saat ini telah terdapat beberapa korpus data yang bisa digunakan
sebagai pembanding, seperti Australian National Corpus, the British National Corpus, the
Collins Bandk of English dan the American National Corpus.

Kedua, bagaimana cara

mengevaluasi signifikansi dari hasil rasio kemiripan gabungan tersebut, terutama bagi hakim
atau juri ketika harus memaknai rasio tersebut. Rose (via Coulthard & Johnson, 2007: 206)
kemudian mengajukan kriteria untuk memaknainya, seperti yang terlihat dalam tabel 2.
Likehood ratio
10,000+
1,000 – 10,000
100 – 1,000
10 – 100
1 -10

Semantic Gloss
Very strong
Strong
Moderate strong
Moderate
Limited

Tabel 2. Pemaknaan Angka Ratio Kemiripan dari Rose (dikutip dari Coulthard & Johnson,
2007:206)
Bukti-Bukti Linguistik dan Keberterimaannya
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya fenomena kebahasaan dapat dijadikan bukti
di pengadilan. Sejauh mana bukti linguistik yang diajukan dapat diterima akan tergantung
pada tiga hal yaitu kepakaran, validitas dan relaibilitas. Aspek kepakaran berkenaan dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang linguis. Dua aspek berikutnya terkait dengan kriteria
keilmiahan, yaitu apakah bukti yang disajikan relevan dengan isu yang diperkarakan dan
apakah bukti tersebut berbasis pada metode ilmiah sehingga bisa dipercaya.
9

Terkait dengan bukti linguistik, Gibbons (2007) membedakannya dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah bukti-bukti yang terkait dengan peristiwa komunikasi, dan kedua,
bukti-bukti yang terkait dengan kepengarangan.
Bukti Komunikasi
Dalam suatu peristiwa komunikasi terdapat 3 elemen penting yang saling terkait yaitu
bentuk-bentuk linguistik, situasi dimana komunikasi tersebut berlangsung dan latar belakang
pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan komunikasi. Ketiga elemen tersebut menjadi
pijakan agar suatu komunikasi berjalan dengan baik. Komunikasi yang efektif mencakup
pemilihan rangkaian kata yang paling tepat untuk mengkomunikasikan makna yang dimaksud
kepada partisipan tertentu dalam konteks tertentu, dengan tetap memperhitungkan efek jarak
dari konteks.
Berdasarkan hal itu, maka metodologi dalam linguistik forensik akan melibatkan empat
aspek (Gibbons, 2007:285). Pertama, analisa terhadap rangkaian kata yang digunakan dalam
berkomunikasi. Analisa ini melibatkan suara, kata, tatabahasa dan wacana serta interaksinya
dalam konteks sosial tertentu. Kedua, analisis terhadap makna yang mungkin ada dalam
bentuk-bentuk linguistik tersebut. Aspek ketiga adalah pengukuran kemampuan berbahasa
dari para partisipan. Keempat adalah aspek konteks dimana peristiwa komunikasi itu terjadi.
Beberapa aspek yang berhubungan erat dengan penyajian bukti-bukti linguistik antara lain
meliputi:

grafofonologi,

transkripsi,

leksikal,

morfologi,

sintaksis,

wacana,

dan

sosiolinguistik.
Kasus yang memerlukan pertimbangan seorang ahli linguistik forensik pada tataran
grafonologi erat kaitannya dengan nama dua merek yang membingungkan konsumen karena
sulit dibedakan. Di Indonesia, pernah muncul perseteruan antara dua produsen sepatu.
Produsen sepatu bermerek Logo merasa dirugikan oleh kompetitornya karena di pasaran
beredar merek sepatu yang sangat mirip yaitu Loggo. Kemiripan nama merek dari dua produk
juga bisa membingungkan karena adanya kesulitan dalam pengucapan untuk membedakan
dua produk tersebut. Hal ini biasanya terjadi pada merek yang menggunakan kata-kata yang
jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Kesalahan dalam komunikasi juga dapat muncul dari persilangan antara bahasa tulis
dan lisan yaitu pada transkripsi kesaksian dan materi pengamatan oleh polisi dan pengadilan.
Penyimpangan dalam penyusunan transkripsi sering terjadi dan menjadi kajian yang intens
10

dari ahli linguistik forensik. Di Indonesia, seringkali dijumpai peristiwa pencabutan berita
acara pemeriksaan (BAP) di pengadilan, karena saksi atau terdakwa merasa tidak menyatakan
seperti apa yang terungkap dalam BAP. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidakakuratan polisi
dalam menyusun transkripsi. Ketidakcermatan dalam penyusunan transkripsi sangat mungkin
akan mengaburkan fakta yang sebenarnya terjadi, sehingga keputusan yang adil sulit
diperoleh.
Tataran leksikal juga merupakan aspek penting untuk mengungkap makna dalam
berkomunikasi. Tataran ini melibatkan penggunaan kata-kata dan frekuensinya, serta
kolokasi. Salah satu kasus yang berkenaan dengan aspek leksikal pernah didokumentasi oleh
McMenamin (via Gibbons, 2007: 288). Isu yang dibahas adalah perbedaan makna antara
syndrome, accident dan disease di sebuah polis asuransi. Seorang anak dari sebuah keluarga
meninggal karena Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) pada usia 18 bulan. Kehidupan anak
tersebut dilindungi oleh asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan ayahnya. Pihak asuransi
menolak untuk membayarkan asuransi, karena polis tersebut tidak mencakup kematian karena
penyakit (illness atau disease). MecNamin kemudian melakukan penelusuran ke literatur
medis dan kamus. Ia akhirnya bisa membuktikan bahwa kata syndrome dari sisi makna lebih
dekat kepada accident dibandingkan dengan makna kata disease.
Pada tataran morfologi, sumbangan linguis sebagai saksi ahli dapat dilihat pada kasus
McSleep Inns (Lentine & Shuy dalam Gibbons, 2007:291). Prefiks Mc- pada nama
penginapan tersebut berasosiasi dengan hemat, kebersihan gaya orang skotlandia. Namun,
penginapan ini mendapat gugatan dari McDonald’s yang banyak menggunakan prefiks
tersebut dalam produk-produknya seperti McFries dan McNuggets. Nama Mc- sebenarnya
sudah mengakar dalam tradisi skotlandia sebagai nama keluarga. Lentine dan Shuy
melakukan penelusuran di majalah-majalah dan menemukan produktivitas penggunaan
prefiks Mc- yang tidak identik dengan McDonald’s, sehingga klaim dari McDonald’s tidak
dapat diterima.
Dalam ranah sintaksis peran ahli linguistik juga cukup penting. Di Amerika pernah
dijumpai adanya pemberitahuan yang menyangkut kepentingan warga sulit dipahami karena
konstruksi kalimat yang rumit. Hal ini yang dijadikan dasar gugatan class action oleh
penerima Aid to Families with Dependent Children terhadap The Illinois Departement of
Public Aid (Levi dalam Gibbons, 2007:292).

Alasan yang mereka gunakan adalah
11

pemberitahuan yang dikirim kepada keluarga penerima bantuan tersebut dinilai sulit dipahami
sehingga mengakibatkan mereka tidak memperoleh informasi yang tepat mengenai hak-hak
mereka. Penyebabnya adalah kerumitan susunan kalimat yang ada dalam pemberitahuan
tersebut. Hal itu dapat dilihat pada kalimat berikut.
‘If you do not request a new hearing date and do not appear at the scheduled hearing
date, your appeal wil be dismissed, unless you show good cause for failure to appear
Kalimat tersebut mengandung lima buah unsur penegasian, yaitu not request, not appear,
dismissed, unless sehingga sulit dipahami.
Pada tataran wacana, kehadiran ahli linguistik juga diperlukan terutama untuk
menguraikan kode-kode dari ungkapan linguistik atau tulisan yang tidak dikenal guna
mengidentifikasikan makna berdasarkan konteksnya. Hal ini terjadi pada Gibbons (2007)
ketika ia diminta untuk menguraikan pembicaraan yang direkam antara seorang laki-laki dan
perempuan, karena polisi tidak memahaminya. Dengan mengacu pada konteks, Gibbons
berhasil menemukan bahwa pembicaraan tersebut merupakan bahasa rahasia yang merupakan
hasil modifikasi dari bahasa Inggris sehari-hari. Demikian pula ketika ia diminta untuk
mendeskripsikan catatan akhir dari seorang yang melakukan bunuh diri. Makna dalam catatan
terakhir pelaku bunuh diri tersebut dapat diungkap dengan melihat konteks situasi yang ada
pada pelaku (Latar belakang keluarga, kondisi kejiwaan dll).
Dalam ranah sosiolinguistik, aspek yang bisa dikaji antara lain bahasa rahasia, register,
sosiolek, aspek kultural yang mempengaruhi seseorang untuk memahami bahasa hukum –
seperti yang terjadi pada masyarakat aborigin di Australia. Berdasarkan catatan Eads (via
Gibbons, 2007:296), terjadi salah komunikasi antara orang Aborigin dengan aparat hukum,
karena kesulitan dalam memahami pertanyaan langsung. Problematika yang kurang lebih
sama juga dapat ditemui di Hongkong, dimana masyarakatnya bilingual. Berdasarkan hsil
kajiannya, Ng (2009) menegaskan bahwa kajian terhadap praktik dan kepercayaan lokal
dalam setting poskolonial akan membantu peneliti mendapatkan jalan dimana institusi hukum
yang bergaya Anglo-Amerika disusun kembali.
Bukti Kepengarangan
Isu dasar terkait dengan bukti atas kepengarangan adalah apakah seseorang (A)
memproduksi sebuah teks (Z) yang bisa berwujud sebuah lukisan, ujaran lisan atau teks
tertulis. Kasus yang sering ditemui adalah untuk menentukan siapa diantara dua pengarang
12

yang benar-benar memproduksi sebuah teks. Prinsip

dasar yang digunakan untuk

mengidentifikasi kepengarangan adalah variabel kemiripan dan perbedaan dari teks-teks
yang dibandingkan.
Ranah linguistik yang cukup pesat perkembangannya ada pada identifikasi bunyi /
suara. Bunyi atau suara menjadi salah satu bukti linguistik yang penting, karena setiap
individu memiliki karakteristik suara yang khas yang berbeda dengan individu lain – layaknya
sidik jari. Meskipun keakuratanya tidak setinggi identifikasi DNA, identifikasi suara banyak
digunakan dalam proses peradilan. Fitur-fitur yang digunakan untuk mengidentifikasi suara
antara lain: frekuensi fundamental percakapan – terutama pada

bunyi yang bersuara,

artikulasi, kualitas suara, prosodi, waktu pengucapan, pola intonasi, halangan dalam
pengucapan, intensitas, dialek / sosiolek, pengucapan dan pola bahasa yang idiosinkretik,
serta penggunaan penekanan yang tidak wajar. Usaha untuk mengidentifikasi penutur dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan mesin atau menggunakan telinga
(earwitnessing).
Selain suara, bahasa tulis juga merupakan bidang yang terkait langsung dengan
identifikasi kepengarangan. Hal itu mencakup analisis tulisan tangan, tipografi serta
karakteristik tulisan yang lain. Tulisan tangan merupakan bentuk teks yang sangat potensial
untuk digunakan sebagai alat identifikasi kepengarangan. Seperti halnya sidik jari ataupun
suara, tulisan tangan setiap individu juga sangat khas. Ada tiga ciri yang dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan penulis, yaitu ciri kelas, ciri individual dan ciri idiosinkratik. Alat
identifikasi lain yang dapat digunakan adalah ejaan dan tanda baca.
Selain tulisan tangan, aspek

lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

kepengarangan adalah pilihan kata. Pilihan kata ini sering kali terkait dengan kosakata khusus
yang lazim digunakan oleh kalangan tertentu. Salah satu kajian mengenai penggunaan kata,
dilakukan oleh Coulthard (via Gibbons, 2007:303) yang menemukan adanya fabrikasi ketika
polisi menyusun transkripsi hasil interview dengan tersangka. Para polisi sering ‘tergelincir’
dengan menuliskan jargon kepolisian atau melakukan elaborasi yang berlebihan sehingga
terlihat janggal. Itulah yang memberi bukti bahwa keterangan tersangka pada bagian tertentu
telah dimodifikasi. Jeremiah (2009) dalam kajiannya menemukan bahwa seorang hakim –
dalam hal ini Greg Mathis – menggunakan rangkaian variasi linguistik yang khas meliputi
kosakata, serta ciri gramatis dan fonetis yang khusus.
13

Kajian dari sudut pandang sosiolinguistik juga berperan dalam identifikasi
kepengarangan yang meliputi dialek, sosiolek dan register. Gibbons (2007:306) pernah
diminta untuk mengidentifikasi apakah seseorang yang terlibat dalam kasus pengungsian di
Australia berbicara menggunakan bahasa Inggris dialek Kanada. Dengan menganalisa ciri-ciri
yang distingtif terutama aksennya, Gibbon dapat menentukan bahwa orang tersebut berasal
dari daerah Kanada Barat atau utara barat Amerika.
Ilmu linguistik juga dapat membantu peradilan untuk mendeskripsikan profil seorang
penulis atau penutur. Melalui pengkajian bahasa yang digunakan, akan dapat diketahui profil
seseorang seperti umur, jenis kelamin, kelas sosial, tingkat pendidikan dan asal daerah,
bahkan profesi. Bukti jenis ini sangat membantu polisi untuk melakukan investigasi, karena
dapat mempersempit fokus penyidikan.
Penutup
Sistem peradilan di berbagai negara telah memberi ruang bagi seorang ahli untuk
memberi kesaksian, termasuk ahli linguistik forensik. Meski keterlibatan mereka tidak
seintensif ahli forensik lainya seperti kedokteran forensik, namun peran ahli linguistik
forensik pada beberapa kasus sangat membantu proses penegakan hukum. Ahli linguistik
forensik berperan untuk memberikan informasi tentang

fenomena kebahasaan yang

berhubungan dengan isu yang sedang disengketakan agar menjadi lebih jelas di mata hakim,
jaksa, pengacara dan pihak-pihak yang berperkara.
Untuk bisa menjadi saksi ahli, seorang linguis harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang ilmu bahasa, dapat menyajikan
keterangan ahli yang reliabel dan relevan dengan isu perkara. Khusus di Amerika, persyaratan
tersebut diperluas dengan kriteria keilmiahan (Scientific-ness) yaitu teori dan teknik yang
digunakan sudah teruji, dipublikasikan serta dikaji oleh teman sejawat; teori tersebut harus
sudah diterima oleh komunitas ilmiah dan rerata kesalahan sudah diketahui.
Ahli linguistik forensik dapat menyajikan opininya dalam dua bentuk. Pertama,
pendapat ahli tersebut dijelaskan secara kualitatif berdasarkan fakta dan data. Salah satu
teknik yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan skala semantis. Kedua, opini ahli
linguistik dipaparkan dengan menggunakan teknik statistika berupa probabilitas matematis.
Secara garis besar bukti-bukti linguistik yang dapat disajikan oleh ahli linguistik
forensik meliputi dua hal, yaitu bukti yang terkait dengan peristiwa komunikasi dan bukti
14

kepengarangan. Kedua jenis bukti tersebut melibatkan semua tataran linguistik mulai dari
fonetik, grafofonologi, morfologi, sintaksis, hingga wacana. Dengan kata lain, semua bidang
ilmu yang berada dalam payung linguistik dapat dijadikan landasan untuk melakukan analisa
bahasa hukum.
Daftar Pustaka
Ainsworth, Janet. (2010) “A Lawyer Perspective: Ethical, Technical, and Practical
Considerations in the Use of Linguistic Expert Witnessess” dalam The
International Journal of Speech language and The Law. Vol. 16, no. 2 (2010).
Diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1604594 pada
tanggal 5 Juni 2013.
Coulthard, Malcom., dan Johnson, Alison. (2007). An Introduction to Forensic Linguistics,
Language in Evidence. New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Gibbons, John. (2007). Forensic Linguistics, an Introduction to Language in the Justice
System. Oxford: Blackwell Publishing.
Hutchinson, Clifton T. (2012) “What is an Expert Wittnes? (Rule 702)” dalam Expert Wittnes
Answer
Book
2012.
Diakses
dari
http://www.pli.edu/product_files/EN00000000145819/89208.pdf pada tanggal
7 Juni 2013.
Jeremiah, Milford A. (2009). “Linguistic Variation in Judge Greg Mathis’ Courtroom” dalam
The Western Journal of Black Studies, Spring 2009, 33, 1; ProQuest. Diakses
dari
http://search.proquest.com/docview/200394066/fulltextPDF/13E90AB847F76
37E3E0/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Juni 2013.
Ng, Kwai Hang. (2009). “ ‘If I lie, I tell you, may heaven and earth destroy me’ Language and
Legal Consciousness in Hong Kong Bilingual Common Law” dalam Law and
Society Review; Juni 2009; 43, 2; ProQuest. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/226933859/13E90AC9AAF518EDA06/1?
accountid=31324 pada tanggal 5 Juni 2013.
Olsson, John. (2008). Forensic Linguistics: second Edition. London: Continuum International
Publishing Company.
Pembicaraan Luthfi-Fathanah soal Daging diterjemahkan Ahli Bahasa. (29 Mei 2013).
www.metronews.com.
Diakses
dari
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/05/29/1/157536/Pembicaraan-Luthfi-Fathanah-soal-Daging-Diterjemahkan-Ahli-Bahasa pada
tanggal 7 Juni 2013.
Saletovic, Lucia M., dan Kisicek, Gabriejela. (2012). “Contribution to the Analysis of Witness
Statements in the Croatian Language”, dalam Suvremena Lingvistika, Vol.38,
No.73,
Juli
2012.
Diakses
dari
http://search.proquest.com/docview/1348259625/fulltextPDF/13E36717F5571
BB9DA5/2?accountid=31324 pada tanggal 23 Mei 2013.
15

Susanti, Rika. (2013) „Peran Dokter sebagai Saksi Ahli di Persidangan“ dalam Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013, 3 (3), pp. 101 – 104. Diakses dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_2no_2/101-104.pdf pada tanggal 7 Juni
2013.

16