Re interpretasi Kedaulatan Negara dalam

Re-interpretasi Kedaulatan Negara dalam Hukum
Internasional

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas
Hukum
Universitas Gadjah Mada
Disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal : 26 Juni 2014
Di Yogyakarta

Oleh :
Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M.

2
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Yang Terhormat;
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar,

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik,
Rektor, Para Wakil Rektor,Para Dekan, Wakil Dekan dan Ketua
Lembaga di Lingkup Universitas Gadjah Mada,
Segenap Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada,
Serta tamu undangan dan hadirin yang saya mulyakan
Pertama-tama ijinkanlah saya dengan segenap kerendahan hati
mengucapkan syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT. Atas berkat
hidayah, rahmat dan karunia-Nya, pada pagi hari ini saya
berkesempatan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru
Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
Pidato yang akan saya sampaikan ini merupakan hal yang
elementer, namun perlu direnungkan dan tidak mudah untuk
diabaikan begitu saja di tengah perkembangan masyarakat yang
makin maju, dan posisi,serta peran negarayang makin dinamis. Perlu
saya sampaikan lingkup pembahasan dalam pidato ini terbatas pada
bidang ilmu yang saya tekuni, yakni Hukum Internasional.

RE-INTERPRETASI KEDAULATAN NEGARA
DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Hadirin yang saya mulyakan,
Kedaulatan negara merupakan konsep yang sangat menarik
dan inspiratif dalam wacana akademisbidang hukum dan politik

3
internasional. Dari waktu-ke waktu dapat dicatat perdebatan yang
sangat dinamis dan provokatif tentang konsep kedaulatan negara
dalam sistem hukum internasional. Mencermati perkembangan
mutakhir tentang posisi dan peran negara secara internal maupun
eksternal tampaknya, diperlukan re-interpretasimakna kedaulatan
negara dalam konteks sistem hukum internasional.
Kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting dalam
tertib hukum domestik maupun internasional, dan merupakan titik
persinggungan
antara kedua sistem tertib hukum tersebut.
Kedaulatan negara merupakan salah satu norma fondasional dalam
sistem hukum internasional. Konsekuensinya, konsep tentang negara
yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada
pihak manapun merupakan penyangga sistem tata hukum
internasional yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, nonintervensi dan kesepakatan (consent) negara. Namun demikian,

dalam wacana dan praksis mutakhir konsep kedaulatan negara telah
mengalami perubahan; sehingga kedaulatan negara dalam
pengertian yang absolut tidak dapat dipertahankan lagi ( Struet,
2005).
Sekurang-kurangnya
ada
dua
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan dalam hal menemukan makna baru tentang
kedaulatan negara dalam sistem hukum internasional kontemporer.
Pertama, perkembangan dan penyebarluasan nilai-nilai kemanusiaan
(spreading of humanity values) dan implementasinya oleh Negara,
Organisasi Internasional, individu dan Non-State Actors lainnya di
seluruh dunia. Kedua, terjadinya proses globalisasi dan liberalisasi
ekonomi dan perdagangan internasional yang makin marak dan
intensif di berbagai wilayah dunia. Globalisme dan globalisasi,
menimbulkan implikasi berupa keleluasaan pergerakan lintas batas
(negara) bagi orang, objek, maupun ide, dan atau konsep.

Pada saat bersamaan, kini juga makin deras aliran pemikiran
yang memposisikan negara sebagai instrumen yang melayani
kepentingan warga dan bukan sebaliknya.Dalam wacana
kontemporer, pemahaman tradisional tentang konsep kedaulatan

4
negara dapat dianggap sebagai kendala bagi pemecahan masalah
kemanusiaan secara efektif dan perlindungan kepentingan dan hakhak mendasar warga negara. Secara ilustratif pemaknaan kedaulatan
bagaikan pergerakan pendulum kepada dua arah yang berbeda,
yakni: kedaulatan dengan makna mengarah pada absolutisme atau
kedaulatan dengan makna yang mengarah pada relativisme. Kini
negara-negara sebagai subyek hukum internasional par excellence
dihadapkan pada pilihan untuk menemukan konsensus tentang
makna kedaulatan dalam hubungan di antara mereka maupun
dengan non state actors lainnya.
Kedaulatan Negara sebagai Konsep
Hadirin yang saya mulyakan,
Istilah kedulatan negara sering digunakan untuk merujuk pada
pengertian: “kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah
negara”. Kedaulatan juga diberi makna sebagai kewenangan politik

paripurna (tertinggi) yang dimiliki suatu negara untuk mengatur dan
menentukan dirinya. Dalam wacana akademik tampaknya tidak dapat
ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Terminologi
kedaulatan memiliki beragam makna dan penapsiran. Istilah
kedaulatan seringkali diberi makna berbeda-beda oleh akademisi,
jurnalis, politisi, pejabat internasional, juris, dan kalangan lain dengan
latar belakang profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga
berbeda-beda (Nagan& Hammer, 2004). Istilah ini dapat memiliki
makna yang berbeda bagi orang yang berbeda yang masing-masing
memiliki latar belakang yang beragam pula. Istilah kedaulatan
mungkin memiliki makna yang berbeda dalam ilmu hukum, ilmu
politik, sejarah, filsafat dan bidang-bidang lain yang berkaitan
dengannya.
Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai
variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat
merujuk pada kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi,
kedaulatan hukum internasional dan kedaulatan negara yang absolut.

5
Kedaulatan sebagai konsep yang menunjuk pada kekuasaan utama

dan tertinggi untuk memutuskan, dapat dianalisis dan dikualifikasikan
berdasarkan perspektif unsur-unsur yang berhadapan (diametral)
sebagai berikut: kedaulatan hukum atau kedaulatan politik;
kedaulatan internal atau eksternal; kedaulatan yang tunggal atau
kedaulatan yang dapat dibagi; kedaulatan pemerintah atau rakyat
(Krasner, 2004;).
Pemahaman tentang konsep kedaulatan Negara ini sangat
membantu dalam mencermati dan mengevaluasi kedudukan negara
dalam konteks hubungan internasional yang sangat dinamis. Ajaran
filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah bahwa,
kedaulatan merupakan kekuasaan absolut atas suatu wilayah
tertentu. Kekuasaan absolut atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi
pembentukan negara .
Dalam kaitannya dengan kedaulatan, dapat dikemukakan
catatan bahwa hukum merupakan aspek yang sangat penting. Hukum
merupakanfondasi atau landasan bagi terciptanya ketertiban politik .
Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum merupakan
“the sole guarantor of the continuity of 'civilization “(Sheehan, 2006).
Tata hukum dapat menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan
keberadaban.

Kristalisasi teoritik tentang hubungan antara hukum dengan
kedaulatan dapat ditemukan dalam doktrin tentang kedaulatan
sebagaimana dikemukakan oleh Jean Bodin pada abad keenambelas.
Dalam hal ini Jean Bodin mengemukakan doktrin bahwa kedaulatan
merupakan sumber utama untuk menetapkan hukum. Kedaulatan
merupakan sumber otoritas yang berada pada aras tertinggi dalam
hirarki hukum (legalhierarchy).
Konsep kedaulatan negara juga menjadi dasar salah satu
doktrin hukum yang dikenal dengan Act of State Doctrine atau “the
Sovereign Act Doctrine”. Doktrin hukum yang muncul pada abad ke
sembilan belas (XIX) ini menegaskan: “Every sovereign State is bound
to respect the independence of every sovereign State, and the courts
of one country will not sit in judgment on the acts of the government

6
of another done within its own territory”.Menurut Act of State
Doctrine, setiap Negara berdaulat wajib mengormati kemerdekaan
Negara berdaulat lainnya. Pengadilan domestik suatu Negara tidak
berwenang mempertanyakan tindakan pemerintahan Negara
berdaulat lain yang dilakukan di wilayahnya.

Pendapat lain, menyatakan bahwa kedaulatan merupakan
suatu status hukum (legal status)yang melekat kepada aktor politik;
dan atau diberikan oleh aktor politik yang lain atau diklaim oleh aktor
yang bersangkutan. Sebagai suatu gejala hukum, kedaulatan
bukanlah suatu realitas fisika, kedaulatan merupakan konsep dan
simbolisme, atau lebih tepatnya merupakan isi dari pemikiran dan
simbol-simbol. Status hukum ini dibentuk dan didefinisikan oleh teks
hukum, bersama-sama dengan praktik yang diterima dan diakui,
meskipun kedaulatan dapat merujuk dimensi kekuasaan pra-legal.
Status semacam ini menimbulkan konsekuensi hukum tertentu;
khususnya hak dan kewajiban bagi yang bersangkutan. Status hukum
kedaulatan dibentuk oleh hukum, status ini merefleksikan dan
menggabungkan konsep politik, praktik sosial,
dan budaya.
Khususnya hukum dan politik, keduanya saling menentukan
(mutually constitutive); oleh karena itu status hukum juga berarti
status politik. Kadaulatan merupakan konsep garis batas (borderline)
di mana terdapat tekanan dan irisan nyata antara hukum dan politik
(Peters, 2009).
Salah satu pandangan menarik tentang kedaulatan

(sovereignty), adalah sebagaimana dikemukakan oleh James J
Sheehan. Pakar sejarah asal Amerika ini mengemukakan pandangan
kritis,bahwa salah satu permasalahan terkait dengan konsep
kedaulatan adalah tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep
politik, namun demikian, tidak seperti halnya dengan konsep tentang
demokrasi atau monarki; kedaulatan bukanlah tentang tempat di
mana kekuasaan itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan
parlemen atau birokrasi; karena kedaulatan tidak menggambarkan
institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan.Kedaulatan juga tidak
dapat disamakan dengan tertib hukum (order) maupun keadilan

7
(justice); karena kedaulatan tidak menggambarkan tujuan dari
pelaksanaan kekuasaan. Kedaulatan adalah suatu hal dan meliputi
banyak hal (the one or the many) ( Sheehan, 2006).
Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan
dengan hubungan antara kekuasaan politik dengan bentuk-bentuk
otoritas lainnya. Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati
bahwa;Pertama, kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka
organisasi atau otoritas lain di dalam masyarakat seperti religius,

kekeluargaan dan ekonomi. Kedua, kedaulatan menegaskan bahwa
otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat
luas(autonomous and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior)
dari institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan
independen atau bebas dari pihak luar.
Pada awalnya, konsep dan nilai-nilai kedaulatan negara-bangsa
diterima dan dikembangkan di benua Eropa.Suatu konsep di mana
suatu negara harus memiliki controlatas kebijakan eksternal dan
bebas dari struktur otoritas eksternal; merupakan invensi bangsabangsa Eropa sejak abad ke-16 dan ke-17.Telah tiga ratus tahun
kedaulatan eksternal itu di asosiasikan dengan keberhasilan politik;
catatan sejarah keberhasilan orang-orang Eropa (Keohane,
2008).Namun, dalam perkembangannya konsep bahwa negara harus
memiliki kontrol mutlak atas kebijakan eksternal dan bebas dari
struktur otoritas eksternal telah mengalami transformasi. Contoh
faktual dalam hal ini adalah sebagaimana ditperlihatkan dengan
pembentukan organisasi Uni Eropa (European Union: EU).
Adanya berbagai variasi tentang makna dan penggunaan
konsep kedaulatan negara tidak mengurangi arti penting konsep ini
dalam sistem hukum internasional dan teori hubungan internasional.
Kedaulatan merupakan salah satu konsep yang mendasar dalam

hukum internasional(one of the fundamental concepts in
international law). Dalam kerangka hubungan antar negara,
kedaulatan
juga
merujuk
pada
pengertian
kemerdekaan(independence) dan vice versa. Suatu negara merdeka

8
adalah negara yang berdaulat. Negara yang berdaulat adalah negara
merdeka dan tidak berada dibawah kekuasaan negara lain.
Kedaulatan negara (state sovereignty) dan kesederajatan
(equality) antar negara merupakan konsep yang diakui dan menjadi
dasar bagi bekerjanya sistem hukum internasional. Secara tradisional
hukum internasional mengakui bahwa negara sebagai entitas yang
merdeka dan berdaulat; artinya negara tidak tunduk pada otoritas
lain yang lebih tinggi. Kedaulatan dan kesederajatan negara
merupakan atribut yang melekat pada negara merdeka sebagai
subyek hukum internasional.Pengakuan terhadap kedaulatan negara
dan kesederajatan antar negara juga merupakan dasar bagi
personalitas negara dalam sistem hukum internasional. Sejak awal
perkembangan hukum internasional, negara diakui sebagai subyek
yang berdaulat dan sederajat vis a vis negara lain. Konsep tradisional
hukum internasional menyatakan bahwa Negara merupakan suatu
kesatuan mandiri
dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi
kedudukannya yang harus diikuti olehnya. Berdasarkan pandangan
ini, hukum internasional muncul jika negara-negara berdaulat
menyetujui untuk terikat kepada hukum kebiasaan atau perjanjian.
Hukum internasional merupakan aturan koordinatif di antara
kesatuan-kesatuan berdaulat dan lebih cenderung sebagai kontrak.
Bahkan perjanjian multilateral yang dibuat diantara negara-negara
sekalipun, pada akhirnya tergantung kepada persetujuan negara. Hal
ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum alam. Secara
tradisional, kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting
dalam tertib hukum domestik maupun internasional. Kedaulatan
merupakan titik persinggungan antara kedua sistem tertib hukum
tersebut. Konsekuensinya dalam era hukum internasional klasik,
konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas
yang tidak tunduk pada pihak manapun merupakan penyangga
sistem hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip nonintervensi dan kesepakatan (consent) negara (Kahn, 2004). Dalam
sistem PBB, kedaulatan negara merupakan nilai dasar dan pilar yang
menyangga hubungan antara organisasi
dengan anggota-

9
anggotanya, maupun dalam hubungan antar sesama anggota. Hal ini
dengan tegas dirumuskan dalam Piagam PBB.
Dalam kerangka hubungan internasional, khususnya dalam hal
keanggotaan di dalam organisasi internasional, kedaulatan negara
menjadi dasar dan tercermin dalam keputusan negara untuk
memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri pada organisasi
internasional. Dalam konteks ini, consent atau persetujuan negara
adalah keputusan suatu Negara sebagai subyek yang mandiri dan
bebas untuk menjadi anggota organisasi internasional (Raustiala,
2003). Organisasi internasional mempunyai kewenangan karena
adanya persetujuan secara tegas dan terbuka dari negara-negara
pihak yang membentuknya atau para anggotanya. Persetujuan yang
diberikan oleh negara dalam hal semacam ini tidak bersifat
permanen, karena sewaktu-waktu negara dapat menarik kembali
persetujuan yang telah diberikan.
Kedaulatan negara yang semula merupakan salah satu norma
fondasional dalam sistem hukum internasional, telah mengalami
transformasi. Kini kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut
tidak dapat dipertahankan lagi. Organisasi Uni Eropa yang dibentuk
pada paruh kedua abad ke-20;mulai melakukan institusionalisasi
konsep kedaulatan terbatas dan terpusat (limited and pooled
sovereignty); pada saat yang sama memberikan ruang bagi negaranegara untuk menentukan pilihan bagi kebijakan otonom, politik
internasional dan menjaga keunikan, karakter, dan kenyamanan
(decent) warganya. Konsep kedaulatan terbatas dan terpusat yang
dilembagakan oleh Uni Eropa telah mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan warga Eropa; dari sistem peradilan pidana hingga
kebijakan internasional.
Pada konteks lebih luas, transformasi makna kedaulatan
Negara,
dapat ditemukan pada kesepakatan masyarakat
internasional untuk melakukan pemberdayaan institusi internasional
dengan memberikan otoritas (hingga proses peradilan) yang dapat
menjangkau orang, benda, maupun peristiwa hukum yang terjadi di
wilayah negara-negara yang berdaulat. Pada dasarnya otoritas

10
semacam itu semula merupakan hak dan kewajiban prerogatif suatu
negara berdasarkan konsep kedaulatan.
Hak Asasi Manusia dan Re-interpretasi Kedaulatan Negara
Hadirin yang saya mulyakan,
Dikaitkan dengan eksistensi negara dalam sistem hukum
internasional, kedaulatan dapat dilihat dalam makna ganda, yakni
internal dan eksternal. Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal
harus dipahami bukan sebagai dua hal yang berbeda, tetapi
merupakan dua dimensi dari suatu atribut yang melekat kepada
negara. Secara internal , kedaulatan mengindikasikan adanya otoritas
eksklusif atas penduduk dan wilayah (dihadapkan pada non-state
actors); sementara secara eksternal dihadapkan dengan negara lain.
Dalam batas tertentu, kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal
saling berhubungan dan saling mendukung. Pada satu sisi,
penghormatan terhadap kedaulatan eksternal (larangan nonintervensi), merupakan prasyarat bagi pengembangan struktur
internal bagi otoritas nasional, dan kontrol ke dalam suatu negara.
Pada sisi yang lain, suatu entitas politik harus menunjukkan
penguasaan nyata atas wilayah dan warga di dalamnya, untuk dapat
dianggap sebagai pihak berdaulat secara eksternal oleh pihak
berdaulat lainnya.
Sejak akhir abad ke-19, secara berangsur muncul institusiinstitusi internasional yang didirikan oleh Nation-States untuk
memperlancar hubungan antar Nation-States dalam berbagai
bidang. Pada akhir Perang Dunia I, masyarakat internasional
membentuk suatu organisasi internasional yakni the League of
Nations atau Liga Bangsa-Bangsa dengan tujuan utama untuk
menjaga
kelangsungan
perdamaian
internasional.
Dalam
perkembangannya, Liga Bangsa Bangsa merupakan preseden untuk
mendirikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Dalam kerangka organisasi internasional PBB,
tampak jelas bahwa konsep kedaulatan juga diakui sebagai

11
aspekmendasaryang tak terpisahkan dari prinsip kesederajatan antar
negara, kemerdekaan politik dan integritas wilayah. Namun, perlu
dicatat juga bahwa salah satu tujuan utama PBB adalah
penghormatan dan pemajuan nilai-nilai hak asas manusia. Hal ini
tercermin di dalam ketentuan Piagam PBB, Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia dan ditindak-lanjuti dengan berbagai
instrumen internasional multilateral lain yang mengatur hak asasi
manusia. Berbagai instrumen internasional hak asasi manusia seperti
Konvensi-Konvensi tentang: Anti Penyiksaan; Genosida; Status
Pengungsi; Perlindungan Anak; Anti Diskriminasi Rasial; Anti
Diskriminasi Perempuan; Hak-Hak Sipil dan Politik; serta Hak-Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya, telah membatasi kedaulatan negara
secara internal;ada pembatasan kekuasaan negara vis-a-vis
warganya.
Kini negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional
tidak dapat menghindar dan harus menerima gejala di mana normanorma hak asasi manusia dikembangkan dan disebarluaskan ke
seluruh dunia oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil, organisasi
kemanusiaan, maupun organisasi internasional yang relevan.
Gerakan-gerakan
semacam
ini
juga
mempertanyakan
pandangan“status quo” yang menempatkan kedaulatan negara
sebagai konsep yang absolut. Pemajuan dan perkembangan normanorma hak asasi manusia, dengan demikian, juga merupakan bagian
dari proses globalisasi yang melanda setiap negara. Seperangkat
norma dan nilai-nilai yang bersumber pada kemanusiaan dan
perlindungan hak asasi manusia telah diakui dan diterima sebagai
gejala universal, meskipun terdapat perbedaan dan variasi dalam
implementasinya antara negara satu dengan lainnya.
Pada dua dekade terakhir abad keduapuluh dan memasuki
abad ke duapuluh satu, dapat disaksikan bahwa pemahaman tentang
kedaulatan sebagai konsep yang absolut harus dipertimbangkan
kembali. Kegagalan ortoritas nasional dalam mengelola dinamika
politik dan melindungi hak asasi warganya sebagaimana yang terjadi
di wilayah-wilayah Myanmar, Angola, Afghanistan, Somalia, Irak dan

12
bekas Yugoslavia, merupakan fakta bahwa negara tidak dapat
menutup diri dari bantuan masyarakat internasional dengan dalih
atau atas nama kedaulatan. Kedaulatan negara tidak dapat dijadikan
perisai (shield) oleh otoritas nasional untuk mencegah bantuan
eksternal kepada warga di negara yang bersangkutan yang
memerlukan bantuan kemanusiaan dan perlindungan internasional.
Regulasi dan penegakan hak asasi manusia yang dilembagakan
masyarakat internasional mencerminkan komitmen dan kepedulian
terhadap nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. Muncul
paradigma baru dalam masyarakat internasional, bahwa hak asasi
manusia lebih utama daripada kedaulatan. Paradigma ini telah
mendorong perkembangan hukum kebiasaan internasional tentang
pembatasan kedaulatan negara dalam kerangka upaya perlindungan
hak asasi manusia. Lebih lanjut, upaya ini diteguhkan dan diperkuat
dengan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional; baik yang
bersifat ad-hoc (ICTY & ICTR) maupun yang permanen (ICC).
Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia lebih diutamakan
dari pada kedaulatan negara. Perlindungan hak asasi manusia
menjadi landasan moral dan legal yang sahih bagi tindakan intervensi
kemanusiaan dalam sistem hukum internasional kontemporer.
Internasionalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal hak
asasi manusia dapat dipahami dengan melihat pengakuan dan
implementasinya secara global. Prinsip-prinsip universal hak asasi
manusia diterima dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga
internasional, trans-nasional dan supra nasional. Implementasi nilainilai universal hak asasi manusia secara internasional tidak
tergantung pada adanya persetujuan (consent) dari negara manapun,
tetapi, mengacu pada kebenaran nilai-nilai universal hak asasi
manusia. Gejala-gejala tersebut diprediksi akan menimbulkan
tantangan baru dan menumbuh-kembangkan norma-norma hukum
yang harus diperhatikan dan ditaati oleh negara-negara. Pada saat
yang bersamaan interpretasi tradisional yang menganggap
kedaulatan negara sebagai konsep yang absolut juga mulai
dipertanyakan. Hak prerogatif negara-bangsa (nation-state) yang

13
ditumpukan pada konsep kedaulatan akan berhadapan dengan dan
dipengaruhi oleh norma-norma yang diartikulasikan, disebarluaskan
dan diterapkan secara trans-nasional ataupun internasional.
Berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia, kini diakui bahwa setiap negara memiliki kepentingan dan
kewajiban untuk melaksanakannya. Penghormatan dan perlindungan
hak asasi manusia merupakan kewajiban erga omnes bagi setiap
Negara; konsekuensinya, ketika terjadi pelanggaran hak asasi
manusia di manapun, setiap negara berhak mempertanyakan
peristiwa tersebut. Hal ini di dukung dan diperkuat oleh doktrin
hukum maupun keputusan badan peradilan internasional (case law)
dalam sistem hukum internasional Suatu negara yang melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi
atas kedaulatannya. Dalam konteks semacam ini, di mana muncul
kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan;
terdapat tata-kelola yang bersifat multi-level untuk mewujudkan
tanggungjawab masyarakat internasional dalam rangka melestarikan
hak asasi manusia dan humanitarianisme.
Proses yang sedang berlangsung dalam menyeimbangkan
antara kedaulatan dengan humanitarianisme dan atau menapsirkan
kembali makna kedaulatan secara positif dan terbuka, merupakan
penanda terjadinya transformasi hukum internasional yang semula
merupakan sistem hukum yang berpusat kepada negara (Statecentered system); mengarah pada sistem hukum yang berpusat pada
individu (individual-centered system). Pada dasa warsa terakhir abad
ke-20 sistem hukum internasional telah mengalami transformasi
lebih lanjut menuju ke arah sistem hukum yang perpusat pada
individu (individual-centered system) dan lebih humanis (humanized
system). Perubahan ini terjadi sebagai kelanjutan dari kodifikasi dan
institusionalisasi hak asasi manusia yang telah dimulai setelah
berakhirnya Perang Dunia dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia.
Globalisasi dan Gerusan terhadap Kedaulatan Negara

14
Hadirin yang saya mulyakan,
Keberadaan Negara sebagai unsur terpenting dalam sistem
masyarakat internasional tetap tidak terbantahkan. Namun demikian,
perlu dikemukakan bahwa telah terjadi perubahan pada sifat
kedaulatan yang melekat pada keberadaan negara-negara tersebut.
Gejala semacam ini telah dimulai di negara-negara anggota Uni Eropa
(European Union). Di wilayah internal Uni Eropa, manusia, barang
dan modal dapat bergerak secara bebas dan tidak dapat dilakukan
limitasi berdasarkan batas-batas teritorial negara-negara. Negaranegara anggota Uni Eropa telah mengintegrasikan sistem moneter di
antara mereka, serta mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian
internasional regional yang berlaku di seluruh wilayah negara
anggota. Batas-batas wilayah (boundaries) yang semula merupakan
hal esensial dari kedaulatan negara, secara simbolik maupun praktis
telah hilang. Penanda terpenting transformasi kedaulatan negara di
antara negara-negara anggota Uni Eropa adalah aspek hukum yang
berlaku di negara-negara anggota organisasi tersebut. Mahkamah
Eropa merupakan bukti integrasi legal di antara sesama anggota Uni
Eropa. Di sampingMahkamah Eropa, integrasi sistem hukum juga
dimanifestasikan dengan rules danregulations yang menetapkan
common standards danprocedures bagi seluruh negara anggota.
Pada lingkup yang lebih luas kita menyaksikan pada terjadinya
proses liberalisasi ekonomi di seluruh dunia yang diprakarsai dan
difasilitasi oleh Organisasi Perdagangan Internasional ( World Trade
Organizations; WTO). Di penghujung abad ke 20, utamanya sejak
didirikannya WTO pada akhir tahun 1994, proses globalisasi dan
liberalisasi ekonomi dan perdagangan internasional makin marak dan
intensif di berbagai wilayah dunia. Globalisasi dan liberalisasi
ekonomi diseluruh dunia merupakan proses internasionalisasi
komunikasi, perdagangan dan organisasi ekonomi. Proses seperti ini
merupakan gejala yang harus dihadapi oleh negara-negara dan
bangsa-bangsa di seluruh dunia. Gejala ini terjadi karena dorongan
perkembangan kapitalisme internasional dan di dalamnya juga
menyertakan
transformasi budaya dan struktur sosial bagi

15
masyarakat yang semula merupakan masyarakat non kapitalis, dan
bahkan masyarakat yang masuk dalam kategori pre-industrial
societies. Globalisasi juga ditandai dengan ekspansi besaran serta
kekuatan (power) perusahaan-perusahaan multinasional.
Globalisasi, menimbulkan implikasi berupa keleluasaan
pergerakan lintas batas (negara) bagi orang, objek, ide, dan atau
konsep. Implikasi lebih lanjut adalah menguatnya tata dunia baru
yang terbangun dan didasari oleh jaringan-jaringan transnasional.
Pada saat bersamaan, investasi dan perdagangan internasional kini
menjadi kekuatan utama yang menggerakkan dan mengintensifkan
hubungan internasional. Senyampang dengan fenomena itu, kini juga
terjadi proses interdependensi legal antara sistem hukum domestik
dengan sistem hukum multilateral yang dibangun dan diterima oleh
masyarakat internasional pada aras regional maupun internasional.
Proses globalisasi pada aspek ekonomi dapat dicermati pada
perjanjian perdagangan internasional yang berlaku pada level
hubungan antar negara, sistem hukum nasional, maupun kerangka
relasi individual. Pada saat yang sama juga ditandai dengan
meningkat-pesatnya volume perdagangan internasional serta
meningkatnya interdependensi ekonomi di antara negara-negara.
Modal, pangsa pasar, dan korporasi telah mendorong terjadinya
kompetisi yang merujuk pada prinsip “equal treatment”. Hubungan
perdagangan dan ekonomi internasional mengacu pada kerangka
hubungan yang bersifat “rule of law oriented” yang didasari oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang proses pembentukan dan
implementasinya difasilitasi oleh WTO. Hubungan ekonomi antar
negara dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip “legal certainty”;
dan “due process through judicial procedures”. Dari perspektif
ekonomi internasional pendekatan yang mengedepankan “rule of law
oriented” tersebut dianggap lebih menjamin security dan
predictability bagi para pihak.
Hadirin yang saya mulyakan,

16
Gejala tersebut menjadi penanda menguatnya konsep
“Multilateral Pooled Sovereignty” sertainternasionalisasi prinsipprinsip universal. Berdasarkan konsep“Multilateral Pooled
Sovereignty”; berarti negara-negara berdaulat bertindak bersama
dengan cara-cara dimana kedaulatan yang dimiliki oleh masingmasing negara, secara bersamaan disatukan melalui badan, institusi,
organisasi, dan jaringan (networks) baik secara formal maupun
informal. Institusi, badan, atau regulator yang mengambil tindakan
yang diperlukan adalah suatu badan yang dibentuk secara
multilateral, tetapi memiliki satu otoritas yang mandiri. Konsep
semacam ini, dewasa ini dimanifestasikan oleh berbagai badan internasional yang telah diakui dan diterima otoritasnya oleh masyarakat
internasional seperti World Health Organisastion (WHO), dan badanbadan internasional lainnya seperti, World Trade Organisation,
International Bank for Reconstruction and Development (the World
Bank) dan International Monetary Fund ( IMF).
Konsep dan aplikasi Multilateral Pooled Sovereignty, yang
ditandai dengan menguatnya pengaruh organisasi internasional dan
melemahnya pengaruh negara, harus dilihat dengan kritis karena
didalamnya terdapat implikasi serius yakni: terjadinya gejala “defisit
demokrasi” atau melemahnya demokrasi deliberatif. Keputusan dan
tindakan organisasi internasional yang awalnya didorong oleh
semangat liberalisme dan penghormatan hak-hak individu, namun,
pada saat yang sama juga melanggar hak-hak warga yang semestinya
dilindungi oleh Negara. Hal inilah yang mendasari gugatan tentang
legitimasi keputusan dan tindakan organisasi internasional(O Hagan,
2013; Chimni , 2004; Sato, 2009).
Globalisasi mencerminkan kenyataan bahwa kita hidup pada
suatu masa di mana tembok-tembok kedaulatan tidak dapat menjadi
pelindung menghadapi pergerakan modal, orang, informasi, dan ide,
bahkan tidak mampu melindungi dari hal-hal negatif dan
membahayakan. Gambaran ini juga mencerminkan tata kelola global
di masa depan. Ada anggapan bahwa globalisasi sebagai kenyataan
akan menggerus bahkan mengeliminasi kedaulaan negara-bangsa.

17
Ada tiga modus di mana globalisme dan globalisasi ekonomi
mempengaruhi kedaulatan. Pertama, meningkatnya perdagangan
dan pasar modal internasional telah mempengaruhi kapabilitas
negara-bangsa untuk mengontrol ekonomi domestiknya. Kedua,
negara-negara merespon proses globalisasi dengan mendelegasikan
otoritasnya kepada organisasi internasional. Ketiga, hukum
internasional “baru” yang sering dianggap sebagai “New Frontier of
International Law” yang diproses dan dilembagakan oleh organisasi
perdagangan internasional telah membatasi sedemikian rupa
independensi kebijakan domestik yang seharusnya ditetapkan oleh
otoritas nasional (Howse, 2008; Ku & Yo, 2013).
Diskursus tentang sifat dan makna kedaulatan negara serta
implementasinya dalam masyarakat internasional, terutama pada
akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21; tampaknya telah mengalami
transformasi yang perlu dicermati. Perubahan-perubahan sosial,
kerangka institusional, dan kemajuan teknologi, serta intensitas
aktivitas ekonomi antar negara, telah mendorong terjadinya
pembaharuan makna kedaulatan negara di hadapan sistem
internasional. Dari sudut historis, praktik negara-negara dalam
memaknai konsep kedaulatan dalam konteks hubungan internasional
memang telah lama diperdebatkan dan perdebatan tentang hal ini
masih berlangsung hingga sekarang.
Catatan Akhir
Hadirin yang saya mulyakan,
Untuk mengakhiri materi pidato ini ijinkanlah saya menyampaikan
catatan akhir.
Globalisasi dan globalisme hukum hak asasi manusia dan
ekonomi internasional merefleksikan dua model pendekatan yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Paradigma
hukum internasional yang berwatak “realist” dapat dilihat dalam
konteks hukum internasional yang menjadi kerangka hubungan

18
ekonomi internasional beserta institusi yang dibangun untuk
mengawal implementasi norma hukum yang telah disepakati oleh
masyarakat internasional. Dalam hal ini, hukum internasional lahir
dari perilaku negara dalam rangka memaksimalkan kepentingannya,
dengan memperhitungkan kepentingan negara-negara lain.
Sementara paradigma “idealist/ internationalist” dapat ditemukan
dalam konteks pelembagaan dan implementasi hukum hak asasi
manusia. Norma hukum hak asasi manusia diterima, dikembangkan
dan ditaati oleh masyarakat internasional karena masyarakat
internasional percaya bahwa di dalam norma hukum internasional
itu ada nilai-nilai moral dan legal yang relevan bagi keberlanjutan
masyarakat dan martabat kemanusiaan yang harus dipertahankan
dan dipelihara. Hukum internasional mengakui kedaulatan Negara,
namun, Negara wajib mempertanggungjawabkan kedaulatan itu
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Globalisasi dan globalisme hak asasi manusia dan ekonomi
merupakangejala umum di seluruh dunia, namun, globalisasi
ekonomi memiliki pengaruh berbeda-beda di antara negara-negara.
Globalisasi hukum hak asasi manusia dan ekonomi menegaskan
paradigma “law beyond sovereignty”; hukum melampaui kedaulatan
negara. Gejala ini mendorong redefinisi watak dan peran hukum
pada tingkat domestik maupun global. Norma hukum telah
mengalami de-teritorialisasi yang berimplikasi pada melemahnya
kedaulatan negara secara internal maupun internal (Teitel, 2008).
Hak prerogatif negara-bangsa (nation-state) yang ditumpukan pada
konsep kedaulatan telah digerus dan dibatasi oleh norma-norma
hukum yang diartikulasikan, disebarluaskan dan ditegakkan secara
trans-nasional dan internasional. Melemahnya kedaulatan negara
secara internal termanifestasikan pada berkurangnya otonomi
otoritas nasional, sementara secara eksternal merujuk pada
hilangnya monopoli sistem negara berdaulat di arena politik
internasional. Pengambilan keputusan yang semula ada di tangan
otoritas nasional (negara) kini telah ditransfer ke tangan organisasi
internasional dan aktor-aktor non pemerintah .

19
Dari perspektif akademik, perlu dikembangkan wacana visioner
untuk menemukan pemaknaan yang sahih mengenai konsep
kedaulatan negara pada saat sistem internasional telah memasuki
era interdependensi di antara negara-negara maupun dengan non
state actors lainnya.Kedaulatan ditempatkan ditangan rakyat,vis a vis
pemerintah dan dikaitkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan
peradaban universal. Negara sebagai elemen utama dalam
masyarakat internasional tidak tergantikan, namun, otoritas nasional
mengemban mandat dan tanggungjawab untuk memajukan
warganya, meningkatkan kemakmuran dan menjaga kebebasannya,
mengelola konflik, serta mengembangkan kerjasama internasional.
Dalam bahasa yang lain adalah merekonstruksi kedaulatan sebagai
tanggung jawab (sovereignty as responsibility); menempatkan negara
sebagai agen dan manifestasi dari kedaulatan rakyat, yang
mengemban tugas untuk menghadirkan kesjahteraan dan
kebahagiaan
bagi
warganya,dan
mempertanggungjawabkan
mandatnya secara internal maupun secara eksternal. Negara,harus
melakukan penyesuaian struktural, tata kelola yang baik, dan
responsif terhadap kecenderungan dan perubahan global menuju
perbaikan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia serta
menyesuaikan dengan tata ekonomi global.
Salah satu tugas akademisi hukum internasional adalah
melakukan pemetaan akademik-ilmiah dengan mempertimbangkan
hubungan yang saling menyuburkan (cross-fertilization) antara
hukum internasional dengan hubungan internasional dan ekonomi
internasional. Mengkaji kembali kesetaraan Negara vs Non State
Actors, utamanya dalam hal perancangan norma hukum dan standar
baru di bidang hak asasi manusia, lingkungan, ekonomi &
perdagangan internasional serta penyelesaian sengketa.
Majelis Guru Besar dan hadirin yang saya mulyakan,
Sebelum mengakhiri pidato ini, ijinkanlah saya sekali lagi
mengungkapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT.Dengan perkenan

20
dan ridho Nya-lah semua cita-cita dapat terwujud.Anugerah Guru
Besar dan kesempatan berdiri di podium ini tercapai juga karena
bantuan, dukungan, dan do’a, berbagai pihak.Namun, karena
keterbatasan ruang dan waktu, mohon maaf; hanya sebagian yang
dapat saya sebutkan pada kesempatan ini.
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin menyampaikan
terimakasih kepada orang-orang hebat dan tulus yang mendidik saya
di SDN Tawang I (1970-1976); SMPN I Karangdowo-Klaten (19761979) dan SMAN I Surakarta (1979-1982); Fakultas Hukum UGM
(1982-1987); University of Nottingham (1993-1994) dan Program
Doktor Fakultas Hukum UGM (2006-2009) .
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada kolega di
Bagian Hukum Internasional FH UGM: Prof. Dr. M. Burhantsani, SH.,
MH.; Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH.,LL.M.; Ibu Hj. Endang
Purwaningsih, SH.,MH. Dr. Harry Purwanto, SH., M.Hum.; Prof. Dr.
Agustinus Supriyanto, SH., M.Si.; Bp. H Jakatriyana, SH., LL.M., MA;
Ibu Lindayanti Sulistiawati, SH, MSc.,Ph.D dan Ibu Agustina
Merdekawati, SH., LL.M.atas kebersamaan dan segala bantuannya.
Secara khusus, saya menghaturkan terima kasih dan rasa
hormat kepada (alm) Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri ,SH; dan
(alm) Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH; yang masing-masing bertindak
sebagai pembimbing ketika saya menyelesaikan Program S1 dan
Program S3 (yang dilanjutkan oleh Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo,
SH.,LL.M.); beliau berdua telah memberikan teladan, motivasi dan
inspirasi untuk menekuni pekerjaan sebagai dosen di Fakultas Hukum
UGM.
Untuk kedua orangtua Bp. Supardi Wignyosuparmo dan ibu
Suparmi yang saya cintai dan hormati serta kedua mertua Bp
Suryono, S.Pd., dan ibu Alimah, saya sampaikan terimakasih yang tak
terhingga atas kasih sayang, didikan, doa, dan restunya.
Ucapan terimakasih yang teristimewa kepada istri saya: Srihadi
Asmaraningsih, dan ketiga anak-anakku: Arifa Widyasari, Abiyoga
Rahman Riyanto dan Rayhan Alam Riyanto.Empat orang inilah yang
selalu
mendampingi,
menguatkan,
membanggakan
dan

21
membahagiakan saya. Terima kasih atas doa, kepedulian, dukungan
dan cintanya. Kepada kalian berempat capaian ini saya dedikasikan.
Akhirnya, kepada seluruh hadirin yang dengan sabar mengikuti
prosesi pidato pengukuhan Guru Besar ini, terimakasih atas
kesabaran dan kebaikan hati anda semua. Mohon maaf atas khilaf
dan salah kata, maupun hal lain yang kurang berkenan. Semoga
pidato ini ada manfaatnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

22

BIODATA GURU BESAR UGM
1.
2.
3.
4.
5.

Nama Lengkap & Titel
Tempat & Tanggal Lahir
Status
Tanggal SK Guru Besar
Pendidikan
S1
S2

S3
6. Alamat Kantor
55281. Telp/Fax

7. Alamat Rumah
Sleman.
Telp

: Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH.,LL.M.
: Sukoharjo 15 Februari 1964
: Guru Besar Aktif
: 3 Februari 2014.
: Sarjana Hukum ( UGM: 1987)
: Master of Laws/LLM ( University
Of Nottingham: 1994).
: Doktor Ilmu Hukum ( UGM : 2009)
: No1 Bulaksumur, Yogyakarta.
: ++62-274 512781

: Jl. Salak Km 3 Pendeman Trimulyo
: ++62 274 4538378

23
HP
E-mail
riyanto@gadjahmada.edu/

: 0811 252843
:

sigit.riyanto@law.ugm.ac.id.
8. Bidang Ilmu
: Hukum Internasional
9. Disertasi
:
“ Kajian Hukum Internasional tentang Pengaruh Kedaulatan Negara
terhadap Perlindungan Pengungsi Internal”
10. Publikasi/Karya Ilmiah

:

 “Ketrampilan Hukum” ( Buku : Gadjah Mada University Press,
2013);
 “Kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional Kontemporer”
(dimuat dalam Jurnal Hukum Justisia- UNS, Desember 2012) ;
 “Challenges and Hopes for Humanitarian Operations in Indonesia” (
Book Chapter in Cultures of humanitarianism: Perspectives from
the Asia-Pacific - ANU College of Asia & Pacific, The Australian
National University, Canberra, 2012);
 “Principle of Non-Refoulement and its Relevance in International
Legal System” ( dalam the Indonesian Journal of International Law
Volume 7 No. 4: July 2010. University of Indonesia , 2010);
 “Guiding Principles on Displacement: Institusionalisasi Nilai-Nilai
Kemanusiaan dalam Instrumen Internasional” (dalam MIMBAR
HUKUM, Vol: 20 No. 01. 2008 : Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada , 2008 )

24

11. Penghargaan

:

Foreign and Commonwealth Office Scholarships and
Awards Scheme, Government of The United Kingdom ( 19931994) ;
The British Chevening Award ( 1995);
The Heuzer Faundation untuk program International
Human Rights and Humanitarian Law di Graduate Institute of
International Studies, Geneva - Switzerland ( 1998).
Yogyakarta, 25 Mei 2014.

Prof. Dr. Sigit Riyanto.SH.,LL.M.