Strategi Perang Amerika Serikat dalam

(Tugas paper UTS Pengkajian Stratejik)
Nama : M Musa AL Hasyim
Kelas : HI/A
NIM : 1113113000049

Menguak Tabiat Perang Amerika Serikat
A. Di Balik Tragedi 9/11 dan Invasi AS terhadap Afghanistan
Peristiwa besar terjadi dan mengemparkan dunia ketika

pesawat misterius

menabrak gedung pusat perekonomian di pusat kota Washington DC. Gedung pencakar
langit dengan ribuan karyawan maupun rakyat sipil Amerika Serikat turut menjadi korban
kebengisan sebuah oknum yang melakukan aksi bom bunuh diri dengan cara keji. Bom
bunuh diri memang sering terjadi dewasa ini namun belum ada bom bunuh diri yang
mengakibatkan ribuan bahkan menabrakan diri di salah satu gedung tertinggi di Amerika
Serikat.
Jutaan warga di berbagai belahan dunia menyaksikan peristiwa tersebut lewat
media cetak maupun visual yang tentunya pada waktu itu menjadi Trending Topic dunia
mengalahkan berita bola atau berita manapun di dunia. Wartawan dari berbagai dunia
berbondong-bondong datang untuk melihat siapa sebenarnya dalang atas penyerangan

gedung WTC tersebut.
Berbagai ucapan bela sungkawa datang dari berbagai dunia sesaat setelah
penyerangan tersebut terjadi. Bahkan negara yang dikenal anti Amerika Serikat seperti
Cina, Rusia, dan Mesir. Presiden Cina Jiang Zemin mengirimkan surat simpati kepada
Presiden Georg W Bush sesaat setelah peristiwa tersebut terjadi. Presiden Rusia, Vladimir
Putin pun mengirimkan telegram dengan menyatakan bela sungkawa dan mengutuk
tindakan bejat oknum tertentu tersebut. (Jamiluddin dan Bien Pasaribu, 2001)
Selang beberapa hari setelah penyerangan tersebut tepatnya pada 20 September
2001, Presiden Georg W Bush dalam kongres menyatakan perang melawan terorisme
dalam hal ini Talibanlah yang menjadi tuduhan Pemerintah Amerika Serikat. Taliban di
Afghanistan dituduh melindungi teroris kelas kakap Osama Bin Laden. Bahkan Presiden
Georg W Bush pun menganggap negara-negara di dunia yang tidak mendukung tindakan
Amerika Serikat disebut sebagai negara pembela terorisme. Amerika Serikat lewat

Presiden Georg W Bushnya menyatakan ultimatum dan memerintahkan milisi Taliban
untuk segera menutup secara permanen setiap kamp latihan teroris di Afghanistan dan
menyerahkan seluruh teroris yang berada di Afghanistan.(Jamiluddin dan Bien
Pasaribu,2001)
Amerika Serikat tidak sendiri dalam meyikapi terorisme di Afghanistan. Pada 9
Oktober 2001, NATO melalui panglima tertingginya di Eropa, Jenderal Joseph Ralston

menambahkan tambahan pesawat radar AWACS ke AS. Bahkan para duta besar NATO
mengijinkan lima pesawatnya di Jerman ditransfer ke AS sebagai senjata tambahan AS
menyerang teroris.(Jamiluddin dan Bien Pasaribu,2001)
Setelah AS benar-benar melancarkan aksinya di Afghanistan dan malah
memperbesar militernya ke segala penjuru di Afghanistan membuat negara-negara yang
tadinya bersimpati menjadi antipati. Pasalnya, AS tidak hanya membasmi terorisme di
Afghanistan saja melainkan warga sipil pun turut menjadi korban kebengisan militer AS
yang mempumyai senjata lengkap mulai dari AL,AU, maupun AD. Hal tersebut seolaholah sebagai alat balas dendam AS terhadap dunia teroris bahkan dunia Islam pada
umumnya.
Melalui mimbar-mimbar khutbah jumat di Palestina, Mesir, Pakistan dengan tegas
mengutuk kebiadaban AS dalam aksi balas dendamnya yang seolah-olah ingin
menuntaskan warga sipil yang berada di Afghanistan. Hal ini dibuktikan dengan korban
yang berjatuhan justru lebih banyak dari peristiwa 9/11 sendiri. Selain itu mereka juga
menganggap AS sebagai teroris yang sebenarnya dan lebih berbahaya dari terorisme
Taliban maupun Al Qaeda itu sendiri.
Aksi-aksi warga di seluruh dunia mulai dari Rusia, Jerman, Swedia, Inggris,
bahkan AS sendiri melakukan aksi protes di jalan-jalan dengan menyebarkan selebaran
pamflet, poster, spanduk yang berisi ketidaksetujuan mereka terhadap aksi AS yang
malah menggunakan kekerasan berlebihan terhadap rakyat Afghanistan. Mereka juga
menganggap bahwa tidak semua warga Arab adalah teroris sehingga bisa dibunuh dengan

seenaknya.
Beberapa demonstran tersebut memprotes kebijakan luar negeri AS dalam perang
melawan teroris. Sejatinya masih banyak jalan lain tanpa intervensi seperti negoisasi
damai dan aman. Karena tindakana AS justru bukan untuk menertibkan dunia atau
menstabilkan keamanan di dunia tapi malah merusak perdamaian dan keamanan di dunia.
AS yang dianggap sebagai polisi dunia pada akhirnya hanya sebutan untuk dirinya

sendiri. Polisi dunia yang suka ikut campur dan terlalu khawatir terhadap tindakan
terorisme yang sebetulnya belum jelas identifikasinya.
Kebijakan AS dalam mengintervensi Afghanistan tidak hanya menuai kontra dari
warga sipil di belahan dunia tapi juga datang dari pakar, akademisi, maupun sarjana
Hubungan Internasional yang menganggap tindakan AS terlalu ceroboh dan gegabah
tanpa melihat dampak negatif yang akan ditimbulkan olehnya. Hal ini diperkuat dengan
data-data baik data korban warga sipil Afghanistan yang turut menjadi korban, beberapa
gedung dan pusat pemerintahan Afghanistan yang ikut diserang dan beberapa tindakan
penyiksaan terhadap warga yang diduga sebagai anggota teroris dan ikut terlibat
menyembunyikan Osama Bin Laden.
Setelah peristiwa 9/11 ini berlalu banyak warga non muslim di berbagai belahan
dunia berbondong-bondong masuk Islam meskipun banyak juga dari mereka yang
menjadi anti Islam dan phobia terhadap Islam. Namun perang yang dikait-kaitkan dengan

agama ini sejatinya adalah setingan semata sehingga bagi mereka malah membuka
pikiran untuk mempelajari Islam yang sebenarnya. Apakah benar agama Islam
mengajarkan tindakan terorisme, kekerasan dan sebagainya merupakan pertanyaan besar
warga non muslim yang suka mengkaitkan perang 9/11 sebagai perang ideologi atau
agama.
B. Perang yang Tak Ada Gunanya (Studi Kasus Invasi AS di Irak)
Setelah langkah AS sebagai polisi dunia pada 9/11 yang bertujuan mentertibkan
keamanan dan stabilitas di dunia dinilai kurang efektif maka AS mengambil tindakan lain
yang berkaitan dengan kebijakan luar negerinya. Tindakan selanjutnya yakni dengan
melakukan invasi ke negara Irak atas nama menyelamatkan warga Irak di bawah
kediktatoran pemimpinnya yakni Saddam Husein. AS dinilai sebagai negara super power
pasca Perang Dingin membuat AS merasa yakin bisa menuntaskan warga-warga di bawah
kendali negara yang gagal Failed States.
Kebijakan AS dalam mengambil keputusan menginvasi Irak menuai kontra dari
para ahli salah satunya yakni John J. Mearsheimer yang merupakan profesor Ilmu Politik
dari Universitas Chicago dan Stephen M. Walt yang merupakan dekan dari Harvad’s John
F Kennedy School of Government. Ada dua pilihan yang menjadi prioritas AS dalam
menghadapi Irak yakni dengan Containment dan Preventive War. Namun AS melalui

Presiden Bush memilih Preventive War dikarenakan pilihan Containment adalah pilihan

yang lemah dan AS harus siap perang menghadapi Irak.
John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam artikelnya membantah secara
terang-terangan terhadap kebijakan luar negeri AS dalam melakukan operasi militer di
Irak pada tahun 2003. Preventive war menyatakan bahwa rezim Saddam Hussein dengan
sifatnya yang nekat,kejam, dan alasan yang kurang rasional atas kepemilikan senjata
nuklir menjadikan AS was-was dan mencegah kepentingan AS dalam mengambil langkah
kebijakan luar negerinya. Menurut AS Saddam Hussein akan mengekplorasi dan
mendominasi wilayah Timur Tengah padahal hal tersebut hanya akal-akalan AS dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya di Irak.
John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt mengungkapkan bahwa meskipun
Saddam Hussein kejam dan nekat hal tersebut bisa ditangkal karena Saddam Hussein
memiliki alasan yang rasional terhadap aksinya sedangkan AS menganggap hal tersebut
secara berlebihan. Ada tiga hal yang perlu dibandingkan mengenai tindakan Saddam
Hussein.
Pertama, kebijakan luar negeri AS dalam menjalankan operasi militernya
mengungkapkan bahwa Saddam Hussein bersifat kejam dan nekat terutama jika dikaitkan
dengan dua perang besar yakni Irak dan Iran serta Irak dengan Kuwait. Dalam perang
atau agresi Irak terhadap Iran adalah tindakan rasionalitas yang harus dipilih oleh Saddam
Hussein karena terdapat aksi mobilitas dari kaum Kurdi dan Syiah yang hendak
menjatuhkan rezimnya. Kemudian tindakan Irak terhadap Kuwait semata-mata hanyalah

tindakan National Interest karena Irak yang pada waktu itu dilanda krisis ekonomi
diacuhkan oleh Kuwait yang ekonominya lebih baik darinya.
Kedua, kebijakan luar negeri AS dalam menjalankan operasi militernya
mengungkapkan bahwa Saddam Hussein telah menggunakan senjata pemusnah massal
terhadap kaum Kurdi di Iran, dan dimungkinkan menyerang AS. Faktanya John J.
Mearsheimer dan Stephen M. Walt menunjukkan bahwa sekali lagi Irak dapat ditangkal
oleh Amerika Serikat. Penggunaan senjata pemusnah massal (senjata biologis atau kimia)
Irak tidak pernah terbukti.

Ketiga, kebijakan luar negeri AS dalam menjalankan operasi militernya
memprediksi bahaya transfer teknologi senjata pemusnah massal Irak kepada kelompok
teroris seperti Al Qaeda. Poinnya adalah kelompok ini bersifat lebih nekat dan irasional
untuk menyerang AS. Pendapat berbeda disampaikan John J. Mearsheimer dan Stephen
M. Walt bahwa terorisme nuklir kecil kemungkinannya terjadi, atau yang disebut Nuclear
Handoff. Hal ini berdasarkan dua argumen, pertama, transfer kepada teroris tidak akan
menambah keamanan rezim Saddam Hussein, kedua, jika transfer telah dilakukan
Saddam Hussein tidak dapat mendikte kelompok teroris untuk menargetkan serangan.
Namun Saddam Hussein sama sekali tidak menggunakan senjata pemusnah massal
tersebut karena Saddam Hussein sudah menduga akan menimbulkan polemik lebih besar
dari PBB dan akan membuat AS semakin was-was sehingga menambahkan pasukan

militernya di Irak. Meskipun begitu AS tetap melayangkan tuduhannya terhadap Saddam
Hussein. ( John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, 2003)
Kebijakan AS pada peristiwa di atas dianggap para ilmuwan politik sebagai
tindakan yang sia-sia karena bagaimanapun tindakan invasi tersebut memakan biaya yang
tidak sedikit. Biaya untuk menambahkan jumlah pasukan, biaya senjata, biaya akomodasi
dan sebagainya. Hal tersebut malah membuat opini baru di mata dunia kalau AS sedang
berbuat bully terhadap rakyat Irak. Rakyat Irak yang pada awal kedatangan pasukan
militer AS merasa bahagia karena diharapkan bisa mengatasi masalah kediktatoran
Saddam Hussein tersebut namun lama-kelamaan mereka lebih nyaman dengan
kediktatoran Saddam Hussein ketimbang keikutcampuran pasukan AS terhadap Irak
karena banyaknya jumlah korban yang berjatuhan justru datang dari pasukan AS.( John J.
Mearsheimer dan Stephen M. Walt, 2003)
Kebijakan AS dalam mengambil langkah yang katanya tepat ternyata
menimbulkan berbagai kecaman bahkan dari rakyat AS sendiri menolak adanya invasi
militer di Irak. Mereka meyakini bahwa langkah AS menginvasi Irak atas dalih kejam dan
sifat otoriter Saddam Hussein, tuduhan kepemilikan senjata nuklir yang mematikan
adalah salah besar. Buktinyapun tidak ditemukan. Presiden Georg W Bush sendiri
mendeklarasikan bahwa Irak, Iran dan Korea Utara adalah poros kejahatan dengan
sekutu-sekutunya. Negara tersebut mempersenjatai diri untuk mengancam perdamaian


dunia. AS sebagai negara Super Power menjadikan rakyat di belahan dunia tidak terlalu
mencampuri urusannya dan lebih mempercayainya meskipun tidak secara penuh. Selain
itu peran AS dalam mempengaruhi dunia akan bahayanya terorisme terutama setelah
peristiwa 11 September 2001 sangatlah besar sehingga banyak masyarakat di seluruh
dunia mengutuk tindakan terorisme tersebut. Hal tersebut dijadikan AS sebagai batu
loncatan dalam menginvasi Irak pada 2003.
Para ilmuwan meyakini bahwa ada misi khusus yang dijalankan oleh militer AS
apalagi kalau bukan kekayaan sumber daya alam Irak terutama di sektor perminyakan.
Terdapat konspirasi antara AS dengan PBB yang mana pada waktu itu PBB melalui
Dewan Keamanannya menyetujui tindakan AS dalam mengambil kebijakan luar
negerinya. Bahkan Dewan Keamanan PBB menambah jumlah pasukan militer salah satu
militer yang bergabung adalah militer Inggris. PBB yang pada hakikatnya adalah
menjaga perdamaian dunia malah ikut terlibat menyalakan api peperangan semakin besar.
Padahal peperangan tesebut sejatinya sudah terkonsep matang-matang sebelumnya.
Meskipun sudah ditutup-tutupi tetap saja dunia tidak buta. Kini orang-orang tahu
sebenarnya yang salah siapa, dan apa kepentingannya.

C. Kegagalan Dewan Keamanan PBB
Beberapa tindakan invasi AS baik ke Afghanistan dalam rangka membasmi
terorisme maupun invasi ke Irak dalam rangka menyelamatkan warga Irak dari

kediktatoran Saddam Hussein sebenarnya belum sepenuhnya mendapatkan ijin dari
Dewan Keamanan PBB. Tokoh-tokoh utama dibalik perang tersebut seperti Presiden
Georg W Bush, Donald Rumsfeld, Condoleeza Rice, dan Paul Wolfowitz tidak ingin
politik luar negeri AS dikalahkan hanya oleh aturan-aturan multilateral karena aturan
multilateral tersebut hanya akan melemahkan pihak AS semata. Sehingga mereka tidak
peduli dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Dewan Keamanan justru Dewan Keamanan
lah yang harus menuruti kehendak AS tersebut.
PBB dinilai gagal dalam mengatasi perang yang dilakukan oleh AS padahal dalam
piagam PBB pasal 51 disebutkan bahwa PBB menolak tindakan agresi menyerang ke

negara lain kecuali untuk membela diri dari serangan musuh. Meski di Afghanistan dan di
Irak tidak ditemukan terdapat ancaman musuh yang besar dan tidak adanya senjata
pemusnah masal di Irak membuktikan bahwa invasi AS bisa disalahkan di mata hukum
internasional namun lagi-lagi PBB dinilai gagal setalah nyawa-nyawa hilang begitu saja.
(Makarim Wibisono,2006)
Para sarjana berharap agar dilakukan pembenahan di badan Dewan Keamanan
PBB karena tugas pokok Dewan Keamanan PBB yang tak lain adalah menjaga
perdamaian dunia dan stabilitas keamanan. Perlu adanya transparansi hak veto, sistem
kerja, dan faktor memaksa agar PBB tidak dikalahkan oleh hegemoni utama AS di
kemudian hari. Setalah Perang Irak, kreadibilitas PBB perlu dibangun kembali meskipun

hal tersebut bukanlah hal mudah. PBB harus bisa lebih terampil dalam diplomasi serta
keberanian untuk menegakkan keadilan di atas dunia. (Makarim Wibisono,2006)

D. Sarjana HI pun Berbicara
Thomas Hobbes, tokoh realis klasik berpendapat bahwa keadaan alamiah seorang
manusia bagi manusia lainnya sangat tidak bersahabat. Manusia satu dengan lainnya
dianggap saling mementingkan dirinya untuk bisa bertahan. Keadaan alam ini berbahaya
bagi setiap sendi-sendi kehidupan. (Robert Jacskon dan Georg Sorensen,2009). Hal
tersebut sama halnya dengan keadaan dunia, yang mana antara negara satu dengan yang
lainnya saling curiga dan memendam rasa ketakutan yang berlebihan hal ini sama dengan
peristiwa dimana AS menginvasi Afghanistan pasca 9/11 runtuh. Invasi AS ini didasari
oleh rasa takut AS terhadap terorisme yang mengancam kedaulatan AS dan berbahaya
bagi dunia pada umumnya. Sehingga atas dasar ini AS yang mengaku sebagai polisi
dunia berhak atas invasi tersebut.
Jika Thomas Hobbes berbicara mengenai keadaan alam manusia, maka
Morgenthau berbicara mengenai sebuah keadaan alam manusia adalah untuk mencapai
puncak kekuasaan. Morgenthau dengan yakin menyebut bahwa Politik Internasional
seperti semua politik lainnya yang merupakan perjuangan demi kekuasaan. Apapun
tujuan akhir Politik Internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan.


(Robert Jacskon dan Georg Sorensen,2009). Sehingga baik Perang Irak maupun Perang
Afghanistan merupakan hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan bagi AS.
Kekuasaan ini ingin direalisasikan oleh AS sehingga negara-negara lain di dunia akan
tunduk terhadap kebijakan AS. Tak hanya itu kekuasaan lain yang dimaksud adalah
kekuasaan untuk memenuhi kepentingan nasional bagi AS. Kepentingan nasional tersebut
tercermin dalam maksud yang terselubung AS dalam melancarkan aksi invasinya baik di
Irak maupun di Afghanistan.

E. Kesalahan Besar Strategi Perang AS
AS sebagai satu-satunya negara Super Power yang ditandai dengan runtuhnya Uni
Soviet pasca Perang Dingin membuat AS merasa sebagai satu-satunya polisi di dunia dan
berhak melakukan invasi maupun intervensi ke negara lain atas dasar kemanusiaan dan
keadilan. Seperti pasca peristiwa 9/11 yang mana AS menganggap bahwa terorisme
adalah monster yang sangat berbahaya dan mengancam kedaulatan di seluruh dunia.
Kekhawatiran tersebut membuat AS melakukan berbagai kebijakan luar negerinya
dengan melaksanakan invasi ke negara yang dianggap sebagai sarang teroris. Tak hanya
peristiwa 9/11 pada 2001, invasi AS di Irak 2003, Perang Vietnam, Arab Spring menjadi
bukti nyata bahwa AS memiliki strategi perang yang dinilai ampuh oleh AS sendiri.
Meskipun beberapa negara di dunia justru menanggap bahwa strategi perang AS dinilai
ceroboh dan sia-sia belaka.
Beberapa kesalahan strategi perang AS dan menjadi pelajaran besar bagi AS
ditinjau dari para ahli yakni:
1. Strategi perang AS dinilai boros
Pengalaman AS dalam memperkuat militernya di berbagai negara baik dari Perang
Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua, Perang Dingin, Perang Teluk maupun perang
dalam teror lainnya dinilai memakan biaya yang tidak sedikit. AS dalam membuat
pangkalan militer baik darat, udara, maupun laut membuat AS harus mengeluarkan
biaya yang cukup banyak sementara hasil dari perang tersebut kurang memuaskan.
Seperti dalam Perang Teluk jumlah korban yang ditargetkan lebih sedikit sementara
peralatan perang yang digunakan lebih banyak. (Stephen M Walt, 2005)
2. Munculnya kekuatan aliansi baru Rusia dan Cina

AS sebagai kekuatan Single Power pasca Perang Dingin membuat beberapa negara
merasa was-was. Apalagi AS membuat sebuah strategi perang baru yang mana
melalui tudingan tertentu sehingga AS bisa memasuki wilayah negara lain di dunia
dengan mudah seperti kasus Irak, Afghanistan, Vietnam maupun negara-negara lain di
dunia. Kekhawatiran ini membuat Rusia dan Cina membuat sebuah traktat
persahabatan pada 2001 yang bertujuan untuk menentang dan membuat tameng
masuknya AS ke kedua negara tersebut. (Stephen M Walt, 2005)
3. Adanya pengakuan negatif dari mantan tentara AS
Militer AS dalam melancarkan aksi invasinya di Afghanistan dengan menyiksa
tahanan, merusak berbagai bangunan, melukai rakyat sipil bahkan sampai membakar
jasad yang diduga sebagai anggota Taliban. Hal tersebut membuat image di mata
dunia bahwa militer AS sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan
Pemerintah AS menilai hal tersebut bukanlah suatu kejahatan melainkan sebuah
keharusan. (Jerry D Gray, 2007)
Menurut pengakuan Jerry D Gray yang merupakan mantan anggota militer Angkatan
Udara AS menuturkan bahwa selama AS melakukan perang melawan teror, militer
AS tidak segan-segan menyiksa anak-anak muda yang berumur 13-15 dengan cara
mengikat tubuhnya lalu diinjak-injak kepalanya. Lalu adanya beberapa mayat tahanan
yang tidak diketahui identitasnya di Afghanistan dikeluarkan begitu saja dari
konteiner dan dilemparkan begitu saja ke tanah. Hal ini tentu menodai kaidah-kaidah
terutama melanggar pasal 3 dari Konvensi Jenewa yang mengatakan bahwa
kekerasan,pembunuhan, perlakuan kejam atau penyiksaan lainnya terhadap tahanan
merupakan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan. Sedangkan pasal 20 Konvensi
Jenewa megatakan bahwa tahanan perang harus dilakukan secara manusiawi.
4. Tuduhan Tanpa Dasar
Investigasi AS setelah peristiwa 9/11 menuduh bahwa Osama Bin Laden adalah
tersangka utama dalam aksi teror tersebut. Namun lagi-lagi yang melakukan investigasi
adalah dari pihak AS dan sekutunya. Bahkan Pemerintah Afghanistan tidak percaya atas
tudingan AS yang mengarah pada keterlibatan Taliban dalam aksi teror tersebut.
Pernyataan Pemerintah Afghanistan bukan tanpa dasar karena sebelumnya kasus
pengeboman di Oklahama pun sama AS menuding kelompok teroris Afghanistanlah yang
bersalah namun selang beberapa hari ternyata tudingan tersebut salah dan pelakunya
merupakan warga AS sendiri.

Pejabat senior AS pun mengakui sendiri bahwa terdapat ketidakjelasan dalam
daftar nama-nama sebagai teroris yang diperoleh oleh FBI. Pejabat senior AS tersebut
menyelidiki apakah daftar nama-nama tersebut merupakan identitas palsu atau tidak.
Bahkan setelah itu media Israel menyatakan bahwa terdapat 4000 warganya yang bekerja
di gedung juga turut menjadi korban 9/11 namun ternyata tak ada satupun warga Israel
yang turut menjadi korban bahkan disebutkan dalam media Al watan yang mana orangorang Israel yang bekerja di gedung tersebut absen ketika pesawat menabrakkan diri di
gedung tersebut. Hal ini juga yang menjadi kecurigaan bagaimana mungkin Pemerintah
Israel yang menjadi mitra utama AS bisa mempelajari insiden tersebut. Tentunya banyak
opini publik mengatakan bahwa insiden 9/11 hanya setingan belaka. (Jamiluddin dan
Bien Pasaribu,2001).

Daftar Pustaka
Fukuyama,Francis dkk.Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2005.
Jackson,Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
D Gray, Jerry. Demokrasi Barbar ala Amerika. Depok: Sinergi, 2008.
Wibisono, Makarim. Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.
Ritonga, M Jamiluddin dan Bien Pasaribu. Perang, Bush Memburu Osama. Jakarta:Papas Sinar
Sinanti, 2001.
Mearsheimer, John J dan Stephen M Walt. An Unnecesarry War. Foreign Policy, 2003.

Mearsheimer, John J dan Stephen M Walt. Keepimg Saddam Hussein in a Box. New York Times,
2003.
http://www.theglobal-review.com diakses pada 18 Mei 2015 pukul 19.00 WIB