Akad Istishna Paralel sebagai Alat dalam

AKAD ISTISHNÂ’ PARALEL SEBAGAI ALAT DALAM
MEREALISASIKAN MISI NEGARA KEMARITIMAN
PRESIDEN JOKO WIDODO

Disusun Oleh:
Muhammad Anif Afandi

(20120430178)

Rido Argo Mukti

(20140520098)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2015

i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Lengkap Penulis 1

: Muhammad Anif Afandi

Nama Lengkap Penulis 2

: Rido Argo Mukti

Nama Perguruan Tinggi

: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dengan ini menyatakan bahwa naskah/tulisan yang kami ikut sertakan dalam
“Paper Konferensi Sharia Economic Days 15 ” yang berjudul:
Akad Istishnâ’ Paralel sebagai Alat dalam Merealisasikan Misi Negara
Kemaritiman Presiden Joko Widodo,

merupakan hasil karya sendiri, bukan terjemahan, belum pernah diikutkan dalam
konferensi atau kompetisi lain, dan belum pernah dimuat dalam media apapun.
Kami bersedia menanggung segala tuntutan jika di kemudian hari ada pihak yang

merasa dirugikan, baik secara pribadi maupun secara hukum. Demikian surat
pernyataan ini. Apabila terbukti terdapat pelanggaran, kami bersedia untuk
didiskualifikasi dari konferensi ini.

Yogyakarta, 28 November 2014

Penulis 1

Penulis 2

Muhammad Anif Afandi

Rido Argo Mukti

ii

AKAD ISTISHNÂ’ PARALEL SEBAGAI ALAT DALAM
MEREALISASIKAN MISI NEGARA KEMARITIMAN
PRESIDEN JOKO WIDODO
Muhammad Anif Afandi, Rido Argo Mukti

ABSTRAK
Karya tulis ini membahas mengenai akad istishnâ’ paralel sebagai alat dalam
merealisasikan misi negara kemaritiman Presiden Joko Widodo yang
diaplikasikan pada produk perbankan syariah. Kajiannya dilatarbelakangi oleh
belum adanya produk perbankan syariah yang mendukung potensi sektor kelautan
khususnya pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok nelayan.
Akibatnya, terjadi permasalahan-permasalahan yang dihadapi nelayan, yaitu
kecilnya daya tangkap ikan karena kurangnya modal nelayan untuk melakukan
pembelian peralatan penangkapan ikan dan pembelian kapal besar untuk hasil
tangkapan yang lebih besar pula. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan
alternatif pembiayaan bagi kelompok nelayan. Landasan yang mendukung karya
tulis ini adalah Fatwa DSN-MUI Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli
istishnâ ‟ paralel. Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah
deskriptif-analisis yaitu penelitian yang berusaha menerangkan dan
menggambarkan peristiwa yang terjadi pada objek penelitian pada masa sekarang
kemudian dijelaskan, dianalisa, dan disajikan sedemikian rupa sehingga menjadi
gambaran yang sistematis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu
berupa statistik perbankan syariah OJK, publikasi Kementrian Kelautan dan
Perikanan, dan berbagai literatur lain yang mendukung penelitian ini. Sedangkan
hasil pembahasan menunjukkan bahwa akad istishnâ ‟ paralel dapat digunakan

sebagai akad pembiayaan kapal besar untuk kelompok nelayan karena tidak
membebani kedua belah pihak (perbankan syariah dan nasabah). Akad istishnâ ‟
paralel dapat dijadikan produk baru berbasis kelautan bagi bank syariah melalui
perluasan objek akad (pembelian kapal) dimana kelompok nelayan bertindak
sebagai (mustashni’), bank syariah sebagai penyedia jasa pembiayaan untuk
nelayan, dan produsen kapal sebagai (shâni). Kesimpulannya adalah sudah
sepantasnya perbankan syariah dapat menjadi partner bagi nelayan. Tentu, dalam
penerapannya dibutuhkan dukungan dari masing-masing pihak, terutama
perbankan syariah dan pemerintah sebagai realisasi misi pemerintahannya.
Keywords: Bank Syariah, Ekonomi Maritim, Istishnâ’ Paralel, Kapal Besar,
Kelompok Nelayan

iii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori.................................................................................................. 8
1. Pengertian Ekonomi Maririm ....................................................................... 8
2. Bank Syariah dan Perkembangannya di Indonesia ....................................... 9
3. Pengertian Akad Istishnâ’ Paralel ................................................................ 11
4. Istishnâ’ Paralel Menurut Hukum Islam ....................................................... 12
BAB III METODE PENULISAN
A. Pendekatan Penulisan ........................................................................................ 14
B. Jenis Penulisan .................................................................................................. 14
C. Jenis Data .......................................................................................................... 15
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 15
E. Teknik Pengolahan Data .................................................................................... 15


BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Aplikasi Akad Istishnâ’ Paralel di Indonesia ..................................................... 16
B. Akad Istishnâ’ Paralel sebagai Pembiayaan Pembelian Kapal

iv

Besar untuk Kelompok Nelayan ........................................................................ 18
C. Mekanisme Pembiayaan Pembelian Kapal Besar untuk Kelompok
Nelayan Menggunakan Akad Istishnâ’ Paralel................................................... 19
D. Urgensi Penerapan Akad Istishnâ ‟ Paralel Sebagai Pembiayaan
Pembelian Kapal Besar untuk Kelompok Nelayan ............................................. 22

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 24
B. Rekomendasi ..................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 27

v


DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perkembangan Nilai Tukar Nelayan Per Bulan Tahun 2014 ................... 2
Tabel 1.2. PDB Perikanan Atas Harga Berlaku dan Konstan 2000
(Triliun Rp) ........................................................................................... 3
Tabel 1.3. Perkembangan Pembiayaan Istishnâ’ Oleh Bank Umum
Syariah Juni 2014-Juni 2015 (Milyar Rp) .............................................. 5
Tabel 2.1. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah .................................. 10

vi

DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Skema Pembiayaan Rumah Menggunakan
Akad Istishnâ’ Paralel di Bank Syariah .............................................. 16
Gambar 4.2. Skema Pembiayaan Pembelian Kapal Besar untuk Kelompok
Nelayan Menggunakan Akad Istishnâ’ Paralel ................................... 20

vii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki
panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 pulau serta dua pertiga
wilayahnya berupa laut (Mulyadi, 2005). Menurut Sembiring (2013), potensi
sumber daya laut Indonesia adalah 6,18 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi
ikan pelagis besar 975,05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3,23 juta ton, ikan emersal
1,78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.
Sembiring (2013), menambahkan bahwa selain memiliki potensi perikanan yang
sangat besar, Indonesia juga memiliki pesisir pantai yang dapat dimanfaatkan
sebagai sarana budidaya yang memiliki luas sekitar 830 ribu hektar.
Selain itu, menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2014), dijelaskan
bahwa potensi sumber daya laut Indonesia dibedakan menjadi 2 jenis. Jenis
pertama, yaitu sumber daya terbaharukan (renewable resources) yang meliputi
perikanan, mangrove, terumbu karang, air laut, energi gelombang, pasang surut,
dan angin laut. Jenis kedua, sumber daya tidak terbaharukan (non-renewable
resources) yang meliputi minyak, gas bumi, dan berbagai jenis mineral.

Kendati demikian, menurut Jannah (2014), berdasarkan data dari Badan
Pusat Stastisitik 2011, dari total 31,02 juta jiwa penduduk miskin nasional, 7,87

juta jiwa diantaranya diumbang dari nelayan. Dengan kata lain, dari total
penduduk miskin nasional, 25,14 persen disumbang dari nelayan. Menurut
Juliantoro (2015), kemiskinan nelayan di Indonesia disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang tidak pro terhadap nelayan dan hilangnya keberadaan lembaga di
masyarakat nelayan seperti: koperasi nelayan dan tempat pelelengan ikan yang
digantikan dengan juragan kapal yang menguasai kehidupan nelayan. Menurut
Kementrian Kelautan dan Perikanan (2014),

isu utama dalam upaya

pengembangan ekonomi kelautan adalah pertama , rendahnya produktivitas dan
daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh struktur armada
yang masih didominasi oleh kapal berukuran kecil dan belum terintegrasinya
produksi yang dibangun. Menurut Abdurrahman (2014), jenis kapal nelayan yaitu

1

89,45 persen adalah kapal kecil tanpa motor/motor kurang dari 5 Gross Tonage
(GT). Kedua , belum diperolehnya dukungan permodalan dari perbankan dan
lembaga keuangan lainnya dalam rangka pengembangan usaha kelautan. Ketiga ,

bencana alam yang sering terjadi di wilayah pengembangan ekonomi kelautan dan
keempat, yaitu permasalahan lingkungan seperti pencemaran lingkungan,

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan kegiatan penangkapan
ikan ilegal dari negara lain yang merugikan nelayan Indonesia. Kemudian, secara
jelas potret kemiskinan nelayan dapat ditunjukkan melalui perkembangan Nilai
Tukar Nelayan (NTN) sebagai berikut:
TABEL 1.1.
Perkembangan Nilai Tukar Nelayan Per Bulan Tahun 2014
Komponen
Indeks Harga yang
Indeks Harga yang
Diterima Nelayan
Dibayarkan Nelayan
Januari
113,02
109,01
Februari
113,70
109,35

Maret
113,26
109,55
April
113,65
109,77
Mei
114,32
110,05
Juni
115,39
110,59
Juli
118,07
111,37
Agustus
118,96
111,77
September
119,22
112,07
Oktober
119,94
112,45
November
120,12
115,22
Desember
123,18
119,63
Rata-Rata
116,90
111,74
Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2014.
Bulan

Nilai Tukar
Nelayan (NTN)
103,69
103,98
103,38
103,53
103,89
104,34
106,02
106,44
106,38
106,66
104,26
102,97
104,63

Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (2014), dijelaskan bahwa
Nilai Tukar Nelayan (NTN) adalah indikator untuk mengukur kesejahteraan
nelayan yang diperoleh dari perbandingan besarnya harga yang diterima dengan
harga yang dibayarkan oleh nelayan. Harga yang diterima yang dimaksud adalah
harga komoditi kelautan seperti ikan di pasaran, sedangkan harga yang dibayarkan
adalah biaya produksi nelayan misalkan BBM (Bahan Bakar Minyak). Dari tabel
1.1. di atas dapat dijelaskan bahwa pada bulan juli indeks harga yang diterima

2

nelayan mengalami kenaikan yang disebabkan oleh kenaikan harga ikan yang
bertepatan dengan bulan Ramadhan dan menjelang Idhul Fitri, sehingga nilai
NTN terus meningkat sampai bulan Oktober yang berada pada angka 106.
Namun, pada bulan November nilai NTN mengalami penurunan yang drastis yaitu
sebesar 104,26 (2,25 persen) yang disebabkan kenaikan harga yang dibayarkan
nelayan akibat kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis solar dan
premium.
Kemiskinan nelayan merupakan ironi di negeri ini. Melihat potensi sektor
kelautan yang begitu besar, namun masyarakat tidak dapat merasakan kekayaan
negerinya. Padahal, melihat sumbangan sektor perikanan terhadap pembentukan
PDB (Produk Domestik Bruto) nasional, harusnya angka kuantitas tersebut dapat
dirasakan secara riil oleh nelayan sebagai subyek dalam industri kelautan. Berikut
adalah sumbangan sektor perikanan terhadap pembentukan PDB (Produk
Domestik Bruto) tahun 2014:
TABEL 1.2.
PDB Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 (Triliun Rp)
LAPANGAN USAHA
PERTANIAN, PETERNAKAN,
KEHUTANAN, DAN PERIKANAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB)
PDB TANPA MIGAS

Harga Berlaku
2014:3
2014:4
400,02

Harga Konstan
2014:3
2014:4

317,81

97,65

74,05

188,32
117,86
61,52
41,34
47,27
49,60
15,80
15,99
87,11
93,02
2622,61 2607,18
2443,58 2447,45
Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2014.

46,33
18,46
11,68
4,53
16,66
745,15
712,04

27,89
12,23
12,00
4,51
17,42
734,68
703,10

Dari tabel 1.2. di atas, dapat dijelaskan bahwa PDB sektor perikanan atas
harga berlaku mengalami peningkatan pada triwulan IV-2014 sebesar Rp93,02
triliun dan mengalami peningkatan sebesar 6,79 persen dari kuartal III-2014. Hal
yang sama juga ditunjukkan pada PDB perikanan atas harga konstan 2000 pada
triwulan IV-2014 mencapai Rp17,42 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 4,48

3

persen dibandingkan dengan triwulan III-2014. Kenaikan pertumbuhan PDB dari
perikanan menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu menjadi andalan dalam
peningkatan perumbuhan ekonomi nasional (Kementrian Kelautan dan Perikanan,
2014).
Apabila melihat rendahnya kesejahteraan nelayan di atas, hal tersebut
nampaknya menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah mengingat salah
satu misi pemerintahan presiden Joko Widodo yaitu ingin mewujudkan Indonesia
menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan
nasional (Visi, Misi Jokowi-JK, 2014). Selain itu, sesuai amanat dalam UU No.
32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Pasal 13, bahwa pembangunan kelautan
dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan nasional, maka perlu dilakukan
stategi konkrit dalam upaya merealisasikan pembangunan kelautan tersebut.
Dalam upaya merealiskan misi negara maritim, maka disusunlah PERMEN No. 3
Tahun 2014 Tentang Rencana Stategis Kementrian Kelautan dan Perikanan Tahun
2010-2014 dijelaskan bahwa visi pembangunan kelautan dan perikanan tahun
2010-2014 adalah pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan
berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
Lembaga keuangan khususnya lembaga keuangan syariah dengan berbagai
keunggulannya dari perbankan konvensional, harusnya dapat menjadi partner
dalam upaya pengembangan sektor kelautan dalam upaya merealisasikan visi dan
misi pemerintah. Namun, hingga saat ini belum ada sinergi antara lembaga
keuangan syariah dan pengembangan sektor ekonomi kelautan. Selain itu,
lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah belum memiliki produk
berbasis kelautan yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapi nelayan selama ini.
Dalam upaya pengembangan sektor kelautan, perbankan syariah dapat
mengeluarkan produk istishnâ ‟ paralel berbasis kelautan yang dapat diajukan oleh
kelompok nelayan untuk kebutuhan akan pembelian kapal besar. Kapal besar yang
dimaksud adalah kapal dengan jenis dan kapasitas 15 GT dengan kisaran harga
Rp605.000.000,00 dan masa pembuatan selama 4 bulan (www.javaneseboat.com).
Kelompok nelayan yang dimaksud adalah kumpulan nelayan yang berjumlah

4

berkisar 10-15 orang untuk melakukan pembelian satu kapal besar. Kelompok
nelayan dipilih untuk mengurangi resiko pembiayaan (Non Performing
Financing) oleh perbankan, karena beban pembiayaan tidak dipikul oleh satu

nelayan.
Kemudian, pembiayaan istishnâ’ dipilih karena melihat penyaluran
pembiayaan istishnâ ‟ oleh bank syariah menunjukkan perkembangan yang cukup
baik dan akad tersebut dirasa cocok apabila diterapkan dalam rangka pembelian
kapal besar oleh kumpulan nelayan. Perkembangan penyaluran pembiayaan
istishnâ’ dapat dilihat pada tabel 1.3. dibawah ini:
TABEL 1.3.
Perkembangan Pembiayaan Istishnâ’ Oleh Bank Umum Syariah Juni 2014-Juni
2015 (Milyar Rp)
Periode
Jumlah
Juni 2014
563
Juli 2014
578
Agustus 2014
582
September 2014
585
Oktober 2014
598
November 2014
618
Desember 2014
633
Januari 2015
630
Februari 2015
645
Maret 2015
651
April 2015
664
Mei 2015
678
Juni 2015
678
Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK, 2015.
Sesuai gambar di atas, perkembangan pembiayaan istishnâ ‟ oleh bank
syariah periode Juni 2014-Juni 2015 menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, dimana dari bulan Juni 2014 total pembiyaan istishnâ ‟ yaitu Rp563
Milyar dan sampai dengan bulan Juni 2015 total pembiayaan istishnâ ‟ mencapai
Rp678 Milyar.
Di Indonesia, penggunaan akad istishnâ ‟ paralel diatur dalam Fatwa DSNMUI Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishnâ paralel. Namun,
dalam pelaksanaannya akad istishnâ’ paralel masih digunakan dalam pembiayaan

5

rumah atau KPR (Marduwira, 2010). Untuk itu, perlu dilakukan perluasan objek
akad dimana tidak hanya digunakan untuk akad dalam pembiayaan pembelian
rumah, namun dapat pula diterapkan pada usaha sektor kelautan sebagai
pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok nelayan. Inovasi produk
perbankan syariah dalam bidang kelautan khususnya produk pembelian kapal
untuk nelayan perlu dilakukan, karena pada dasarnya seluruh kegiatan pada sektor
kelautan baik pengelolaan maupun operasionalnya membutuhkan fasilitas
pendukung yaitu kapal. Inovasi produk perbankan syariah tersebut, tentunya dapat
menjadi solusi yang tepat ditengah permasalahan yang dihadapi nelayan
khususnya dalam permodalan, sehingga terjadi peningkatan dalam pemanfaatan
sumberdaya laut yang akhirnya dapat dijadikan modal Indonesia untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, pokok permasalahan dalam karya tulis
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa akad istishnâ’ paralel dapat digunakan sebagai akad pada
pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok nelayan?
2. Bagaimanakah mekanisme pembiayaan pembelian kapal besar untuk
kelompok nelayan menggunakan akad istishnâ’ paralel?
3. Mengapa akad istishnâ’ paralel perlu diterapkan sebagai produk pembiayaan
kapal besar untuk kelompok nelayan ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan alternatif pembiayaan untuk kelompok nelayan yang
dapat membantu meningkatkan pemanfaatan potensi ekonomi maritim
Indonesia.
2. Memberikan dukungan pada misi pemerintahan Presiden Jokowi yang
ingin mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri,
maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional melalui produk

6

pembiayaan pembelian kapal untuk kelompok nelayan menggunakan
akad istishnâ’ paralel.
3. Memberikan usulan pada pihak perbankan syariah untuk memiliki
produk-produk inovatif berbasis industri kelautan untuk mendukung
pemerintahan Presiden Jokowi dengan mengeluarkan produk istishnâ’
paralel untuk pembiayaan kapal besar untuk kelompok nelayan.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan karya tulis ini adalah
sebagai berikut:
1. Karya tulis ini dapat dijadikan terobosan baru yang konkrit dalam industri
kelautan khususnya permasalahan pembelian kapal besar oleh nelayan.
2. Karya tulis ini dapat dijadikan pendukung pemanfaatan petensi ekonomi
maritim Indonesia, karena seluruh kegiatan pada sektor kelautan baik
pengelolaan maupun operasionalnya membutuhkan fasilitas pendukung yaitu
kapal.
3. Karya tulis ini dapat dijadikan referensi atau informasi bagi penulis lain dan
pihak perbankan syariah untuk mengeluarkan produk berbasis kelautan yaitu
pembiayaan kapal besar untuk kelompok nelayan

menggunakan akad

istishnâ’ paralel.

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Ekonomi Maritim.
Ekonomi maritim adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di
wilayah pesisir dan lautan serta menggunakan sumber daya alam dan jasajasa lingkungan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
umat manusia (Dahuri, 2012). Dahuri (2012) menambahkan bahwa dalam
sektor kelautan terdapat 11 sektor ekonomi, yaitu: perikanan tangkap,
perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri
bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral,
perhubungan laut, industri dan jasa maritim, coastal forestry (kehutanan
pesisir), sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan sumber daya dan
jasa-jasa lingkungan.
Menurut Mulyadi (2005), aktivitas di sektor kelautan tidak terlepas
dari seorang nelayan. Menurut Sekretariat Wakil Presiden Republik
Indonesia (2011) dijelaskan bahwa nelayan adalah orang yang secara aktif
melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/bintang air
lainnya/tanaman air. Nelayan pada umumnya terdiri dari beberapa
kelompok. Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa dilihat dari segi pemilikan
alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Nelayan Buruh, yaitu nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik
orang lain.
b. Nelayan Juragan, yaitu nelayan yang memiliki alat tangkap yang
dioperasikan oleh orang lain.
c. Nelayan Perorangan, yaitu nelayan yang memiliki peralatan tangkap
sendiri.
Kemudian, menurut Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia
(2011), dijelaskan bahwa berdasarkan waktu yang digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan, nelayan dapat dikelompokkan
menjadi 3, yaitu sebagai berikut:

8

1) Nelayan Penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya.
2) Nelayan Sambilan Utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan biota laut,
namun ia juga memiliki pekerjaan lain.
3) Nelayan Sambilan Tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan dan
biota laut lainnya.

2. Bank Syariah dan Perkembangannya di Indonesia.
Menurut Ascarya (2008), bank syariah adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain dalam
penghimpunan dana, penyaluran dana, dan kegiatan lain yang dinyatakan
sesuai syariah. Menurut Karim (2004), perkembangan perbankan syariah
di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992.
Menurut Antonio (2001), berdirinya Bank Muamalat Indonesia diprakarsai
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan diselenggarakannya
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan pada tanggal 18-20 Agustus 1990
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Antonio (2001) menambahkan bahwa pada
awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah belum
mendapatkan perhatian yang optimal dari industri perbankan nasional.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, Bank Umum Syariah
(BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS), berada di bawah UU No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan (Ascarya, 2008). Kedudukan operasi bank syariah di bawah UU
tersebut, artinya bank syariah merupakan bank universal yang dapat
melakukan kegiatann menghimpun dana, menyalurkan dana, dan jasa-jasa
lainnya.
Menurut Ascarya (2008), secara umum akad yang diterapkan pada
perbankan syariah dapat dibagi dalam 6 kelompok, yaitu sebagai berikut:

9

a. Pola titipan, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
b. Pola pinjaman, yaitu qardh dan qardhul hasan.
c. Pola bagi hasil, yaitu mudharabah dan musyarakah.
d. Pola jual beli, yaitu murabahah, salam, dan istishnâ’.
e. Pola sewa, yaitu ijarah dan ijarah wa iqtina .
f. Pola lainnya, yaitu wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Kemudian, bunga bank (riba) sudah sangat jelas diharamkan dalam
alqur‟an, yaitu terdapat pada Q.S Ar-Ruum ayat 39, An-Nisaa‟ ayat 160161, Al-Imran ayat 130, dan Al-Baqarah ayat 278-279. Selain itu,
beberapa organisasi Islam seperti MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama
(NU), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Mufti Negara Mesir, dan
lainnya juga telah mengharamkan bunga perbankan yang mengadung
unsur riba yang jelas merugikan (Antonio, 2001). Selain diharamkannya
riba

menurut

Alqur‟an,

keunggulan perbankan syariah

sehingga

membedakan dengan perbankan konvensional adalah sebagai berikut:
TABEL 2.1.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah
Kategori
Bank Konvensional
Fungsi dan Kegiatan Intermediasi, Jasa Bank
Bank

Bank Syariah
Intermediasi, Manager
Investasi,
Investor,
Sosial, Jasa Keuangan
Mekanisme dan Objek Tidak Anti Riba dan Anti Riba dan Anti
Usaha
Anti Maysir
Maysir
Prinsip Dasar Operasi - Bebas Nilai (Prinsip - Tidak Bebas Nilai
Materialis)
(Prinsip
Syariah
- Uang
sebagai
Islam)
Komoditi
- Uang sebagai Alat
- Bunga
Tukar dan Bukan
Komoditi
- Bagi Hasil, Jual
Beli, Sewa
Prioritas Pelayanan
Kepentingan Pribadi
Kepentingan Publik
Orientasi
Keuntungan
Tujuan
SosialEkonomi
Islam,
Keuntungan
Bentuk
Bank Komersial
Bank Komersial, Bank

10

Lanjutan Tabel 2.1.

Evaluasi Nasabah

Hubungan Nasabah
Sumber
Likuiditas
Jangka Pendek
Pinjaman
yang
Diberikan

Lembaga Penyelesaian
Sengketa
Resiko Usaha

Struktur
Organisasi
Pengawas

Investasi
Sumber: Ascarya, 2008.

Pembangunan, Bank
Universal atau MultiPuspose
Kepastian
Lebih Hati-hati Karena
Pengembalian Pokok Partisipasi
Dalam
dan
Bunga Resiko
(Creditworthiness dan
Collateral)
Terbatas
Debitor- Erat Sebagai Mitra
Kreditor
Usaha
Pasar
Uang,
Bank Pasar Uang Syariah,
Sentral
Bank Sentral
Komersial dan Non Komersial dan Non
Kemersial, Berorientasi Komersial,
Laba
Berorientasi Laba dan
Nirlaba
Pengadilan, Arbitrase
Pengadilan,
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasionel
- Resiko Bank Tidak - Dihadapi Bersama
Terkait Langsung
Antara Bank dan
dengan
Debitur,
Nasabah
dengan
Resiko
Debitur
Prinsip Keadilan
Tidak
Terkait
dan Kejujuran
Langsung dengan - Tidak
Mungkin
Bank
Terjadi Negative
- Kemungkinan
Spread
Terjadi
Negative
Spread
Dewan Komisaris
Dewan
Komisaris,
Dewan
Pengawas
Syariah,
Dewan
Syariah Nasional
Halal dan Haram
Halal

3. Pengertian Akad Istishnâ’ Paralel.
Menurut Antonio (2001), istishnâ’ diartikan sebagai kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Menurut Karim (2004),
istishnâ’ diartikan sebagai transaksi jual beli cicilan seperti murabahah
muajjal. Sementara itu, yang dimaksud istishnâ’ paralel menurut Fatwa

DSN-MUI Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 adalah akad jual beli yang

11

dilakukan oleh nasabah dan lembaga keuangan syariah (LKS), kemudian
untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak
lain sebagai shâni (pembuat).
Akad istishnâ’ paralel umumnya sama dengan akad istishnâ’ biasa,
namun yang membedakannya adalah karena lembaga keuangan syariah
(LKS) tidak dapat membuat barang sesuai permintaan atau pesanan
nasabah, maka lembaga keuangan syariah dapat melakukan akad istishnâ’
lanjutan (paralel) dengan shâni (pembuat). Perbedaan antara keduanya
yaitu terletak pada penggunaan sub-kontraktor, yakni bisa saja pembeli
mengizinkan pembuat menggunakan sub-kontraktor untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak
istishnâ’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama.
Kontrak yang baru ini kemudian dikenal dengan istishnâ’ paralel
(Antonio, 2001).

4. Istishnâ Paralel Menurut Hukum Islam.
Akad istishnâ’ merupakan akad yang hampir menyerupai akad
salam. Sehingga, aturan-aturan yang berlaku pada akad salam juga berlaku

pada akad istishnâ’. Dalam kedua akad tersebut barang yang
diperjualbelikan belum ada, namun harus ditentukan spesifikasi dan harga
tertentu. Menurut ulama fiqh, diperbolehkannya akad istishnâ’ didasarkan
pada firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 182, yaitu:

‫يا أيّها الّ ين آم وا إ ا ت اي تم ب ين إلى أجل مسمى فاكتبو‬
‫ ل ت‬.

‫ب م كات ٌ بال‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….” (Q.S Al-Baqarah 282).
Meskipun para ulama membolehkan akad istishnâ’ paralel, namun
menurut Fatwa DSN-MUI Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli

12

istishnâ’ syarat sahnya akad istishnâ’ paralel harus memenuhi ketentuanketentuan seperti pada akad istishnâ’ biasa yaitu sebagai berikut:
a. Ketentuan Tentang Pembayaran.
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

b. Ketentuan Tentang Barang.
1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5) Pembeli (mustashni ‟) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.

c. Ketentuan Lain.
1) Akad kedua antara perbankan dan subkontraktor terpisah dari akad
pertama antara bank dan pembeli akhir.
2) Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

13

BAB III
METODE PENULISAN
A. Pendekatan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Leksono (2013), menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
temuan-temuan yang dihasilkannya tidak bisa diselesaikan melalui prosedur
statistik maupun cara-cara kuantifikasi (hitungan) lainnya. Menurut Bungin
(2004), ciri-ciri penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah sebagai berikut:
1. Sumber data bersifat ilmiah, artinya sehari-hari masyarakat.
2. Peneliti merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data
dan menjelaskan arti data (interpretasi).
3. Penelitian kualitatif bersifat pemerian (deskriptif), artinya mencatat secara
teliti segala fenomena yang dilihat, didengar, serta dibaca.
4. Penelitian harus dilakukan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping)
atau kasus.
Dalam karya tulis ini, penelitian difokuskan untuk menjelaskan akad
istishnâ’ paralel pada perbankan syariah yang dijadikan model pembiayaan kapal
besar (kapal kapasitas 15 GT) untuk kelompok nelayan di Indonesia.

B. Jenis Penulisan
Karya tulis ini merupakan jenis penelitian deskriptif analisis, yaitu
penelitian yang berusaha menerangkan atau menggambarkan peristiwa yang
terjadi pada obyek penelitian pada masa sekarang kemudian dijelaskan, dianalisa,
dan disajikan sedemikian rupa sehingga menjadi gambaran yang sistematis
(Soeharto, 2004). Dalam karya tulis ini, penulis menggambarkan langsung tentang
keadaan nelayan di Indonesia, lalu berusaha memberikan gagasan solutif yaitu
melalui perluasan objek akad stishnâ’ dimana dapat pula dilakukan untuk
pembiayaan kapal besar, sehingga tercipta pemanfaatan hasil sumber daya laut
dengan optimal.

14

C. Jenis Data
Karya tulis ini menggunakan jenis data sekunder. Menurut Sanusi (2011),
data sekunder adalah data-data yang sudah tersedia dan dikumpulkan oleh pihakpihak lain. Dalam karya tulis ini, data diperoleh dari publikasi Kementrian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan metode yang dilakukan oleh peneliti
untuk memperoleh data penelitian. Oleh karena data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis data sekunder yang telah dikumpulkan oleh lembagalembaga, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pencarian data melalui kontak langsung. Menurut Kuncoro (2009),
“yang dimaksud dengan pencarian data melalui kontak langsung adalah peneliti
menggunakan terminal komputer dan dapat mencari data yang diperlukan secara
langsung”.
Dalam

praktiknya,

teknik

pengumpulan

data

dilakukan

dengan

mengunduh data secara langsung yang tersedia pada website Kementrian Kelatuan
dan Perikanan serta Otoritas Jasa Keuangan yaitu, www.kkp.go.id/ dan
www.ojk.go.id/ yang dilakukan masing-masing pada tanggal 08 November 2015.

E. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam karya tulis ini menggunakan pola kualitatif
deskriptif. Menurut Leksono (2013), pola kualitatif deskriptif adalah sebuah
pengolahan data terhadap suatu perilaku, fenomena, peristiwa, masalah atau
keadaan tertentu, yang menjadi objek penyelidikan yang hasil temuannya berupa
uraian kalimat bermakna yang menjelaskan pemahaman tertentu. Dalam karya
tulis ini, dilakukan analisis mendalam mengenai objek penulisan (istishnâ’
paralel) dari segi hukum Islam dan konteks penggunaan, lalu dilakukan
perancangan mekanisme pembiayaan pembelian kapal untuk kelompok nelayan
menggunakan akad istishnâ’ paralel.

15

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Aplikasi Akad Istishnâ’ Paralel di Indonesia
Di Indonesia penggunaan istishnâ’ paralel diatur di dalam Fatwa DSNMUI Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishnâ’ paralel. Dalam
penerapannya pihak perbankan mengaplikasikan akad istishnâ’ paralel dalam
bentuk pembiayaan rumah. Aplikasi pembiayaan rumah tersebut didasarkan
keadaan selama ini bahwa pembiayaan pengadaan rumah belum terakomodasi
sesuai dengan pola transaksi dan kesyariahaannya, untuk itu dimunculkan produk
pembiayaan tersebut sebagai terobosan baru dalam pengembangan produk yang
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut Surat Edaran Bank Syariah Mandiri (2006), dijelaskan bahwa
produk pembiayaan rumah menggunakan akad istishnâ’ paralel hadir dengan
didasari oleh kecenderungan dari pengembang/developer untuk tidak melakukan
stock atas rumah jadi (ready stock) dalam jumlah besar karena keterbatasan modal

dan mahalnya biaya pemeliharaan. Untuk itu, produk pembiayaan rumah
menggunakan akad istishnâ’ paralel dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar
tersebut. Mekanisme pembiayaan rumah pada bank syariah dapat dijelaskan pada
gambar 4.1. sebagai berikut:
BANK
SYARIAH

6
2&7
&&

1

3

5

6

9
8
NASABAH

DEVELOPER

Sumber : Erdi Marduwira, 2010.

GAMBAR 4.1.
Skema Pembiayaan Rumah Menggunakan Akad Istishnâ’ Paralel di Bank Syariah

16

Keterangan:
: Alur Barang
: Alur Uang
: Alur Perjanjian

Dari gambar 4.1. diatas, alur pembiayaan rumah menggunakan akad
istishnâ’ paralel dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembiayaan rumah menggunakan akad istishnâ’ paralel antara nasabah dan
bank syariah.
2. Pembayaran uang muka oleh nasabah ( down payment) bila dibayarkan melalui
bank.
3. Perjanjian pembuatan rumah untuk nasabah oleh developer.
4. Bank melakukan pencairan dana sebagai modal pembangunan rumah oleh
developer.
5. Penyerahan

dokumen

persentase/progress

pembangunan

rumah

oleh

developer kepada bank (minimal 1 kali/bulan).
6. Penyerahan dokumen persentase/progress yang diserahkan developer pada
bank, kemudian bank menyerahkan dokumen tersebut pada nasabah.
7. Pembayaran angsuran oleh nasabah melalui bank.
8. Penyerahan rumah jadi oleh developer pada nasabah.
9. Pelunasan pembayaran rumah oleh nasabah.

Dari mekanisme pembiayaan rumah menggunakan akad istishnâ paralel di
atas dapat dilakukan modifikasi. Modifikasi yang dimaksud adalah menambah
objek akad dimana tidak hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan rumah, namun
juga dapat ditambah menjadi pembiayaan pengadaan pembiayaan kapal besar
untuk kelompok nelayan. Penambahan objek akad tersebut di rasa penting,
mengingat permasalahan-permasalahan yang dihadapi nelayan selama ini tidak
hanya peralatan penangkapan ikan yang kurang memadai, namun peralatan
penunjang (kapal) yang kapasitasnya kurang besar tentu juga mempengaruhi
jumlah penangkapan ikan itu sendiri. Oleh karena itu, pihak perbankan syariah

17

tentunya dapat mengembangkan produk berbasis usaha kelautan menggunakan
istishnâ paralel dan diterapkan untuk pembiayaan pengadaan kapal untuk

kelompok nelayan. Tidak hanya perbankan syariah yang harus melakukan inovasi
produk untuk pengembangan sektor kelautan, namun pemerintah saat ini yang
mengarahkan program kerjanya dalam pemanfaatan potensi kelautan, tentunya
harus memberikan dukungan dalam mewujudkan produk pembiayaan pembelian
kapal besar untuk kelompok nelayan mengunakan akad istishnâ paralel untuk
mendukung terlaksananya program kerja, sehingga Indonesia dapat menjadi
negara yang memiliki sektor potensial di bidang kelautan sebagai modal dalam
pembangunan ekonomi.

B. Akad Istishnâ Paralel sebagai Pembiayaan Pembelian Kapal Besar untuk
Kelompok Nelayan
Istishnâ paralel merupakan konsep istishnâ ‟ pada umumnya, namun

karena pihak perbankan syariah tidak mampu memenuhi barang pesanan atau
permintaan nasabah, maka perbankan syariah melakukan akad istishnâ lanjutan
pada shâni, tetapi akad tersebut harus terpisah dari akad istishnâ ‟ pertama dan
dapat dilakukan apabila akad pertama sudah sah. Akad istishnâ sudah lazim
dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dan sekarang banyak diaplikasikan
pada industri perbankan syariah melalui produk pembiayaan rumah. Dinamakan
ba’i istishnâ’ karena sang pembeli (mustashni ‟) melakukan pemesanan terlebih
dahulu pada pembuat (shâni) yang ditentukan spesifikasi dan harga tertentu.
Umumnya pembeli (mustashni‟) akan melakukan pembayaran di awal (down
payment) sebagai modal awal pembuatan barang dan dilakukan pelunasan ketika

barang 100 persen jadi.
Akad istishnâ paralel dapat dijadikan produk pembiayaan berbasis usaha
kelutan melalui pembiayaan kapal besar untuk kelompok nelayan pada perbankan
syariah. Dari mekanismenya diketahui pelaksanaan akad istishnâ paralel tidak
membebani kedua belah pihak (perbankan syariah dan nasabah) karena proses
pembayarannya dapat dilakukan dengan pembayaran down payment terlebih
dahulu oleh nasabah, dan pelunasannya dapat dilakukan dengan cara diangsur

18

setelah barang 100 persen jadi. Berbeda apabila menggunakan skim murabahah,
bank syariah harus

melakukan pembelian barang secara penuh pada

pemasok/produsen baru dapat diperjualbelikan pada nasabah. Apabila bank
syariah belum melakukan pembelian pada barang pada pemasok/produsen secara
penuh, maka jual beli tersebut dilarang dalam Islam, karena memperjualbelikan
barang yang belum menjadi haknya.
Sudah saatnya industri perbankan syariah dapat menjadi partner bagi
nelayan-nelayan di Indonesia. Bukan tidak mungkin, apabila akad istishnâ’ paralel
ini diterapkan sebagai pembiyaan kapal besar untuk kelompok nelayan akan
terjadi pemanfaatan potensi ekonomi maririm yang lebih efisien karena didukung
oleh peralatan penunjang (kapal) yang mempunyai kapasitas yang lebih besar
yang tentunya dapat menghemat modal para nelayan pada saat melakukan
penangkapan ikan, karena kapasitas kapal yang besar tidak membuat nelayan
bolak-balik menuju daratan karena kapasitas kapal yang tidak memadai sehingga

dapat menghemat penggunaan bahan bakar minyak.
Untuk mengurangi resiko pembiayaan bermasalah pada perbankan, maka
dibentuklah kumpulan nelayan yang terdiri dari 10-15 orang sehingga beban
pembiayaan tidak dipikul oleh satu orang nelayan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah hendaknya dapat melakukan dukungan terlaksananya akad istishnâ
paralel ini melalui jaminan pembiayaan untuk kelompok nelayan tersebut,
sehingga tidak terjadi anggapan selama ini bahwa nelayan tidak mampu
mengelola usahanya dan perbankan enggan menyalurkan pembiayaannya.

C. Mekanisme Pembiayaan Pembelian Kapal Besar untuk Kelompok
Nelayan Menggunakan Akad Istishnâ’ Paralel
Mekanisme pembiayaan pengadaan kapal besar untuk kelompok nelayan
pada dasarnya sama dengan pembiayaan pengadaan rumah pada perbankan
syariah. Sesuai dengan penjelasan diatas, produk pembiayaan kapal besar untuk
kelompok nelayan merupakan inovasi produk istishnâ paralel pembiayaan rumah
dengan melakukan perluasan objek akad, dimana tidak hanya dapat dilakukan
untuk pembelian rumah, namun dapat juga dilakukan untuk pengadaan

19

pembiayaan kapal besar untuk kelompok nelayan. Dalam mekanisme akad
istishnâ’ paralel sebagai pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok
nelayan,

kelompok

nelayan

bertindak

sebagai

pembeli/pemesan

kapal

(mustashni’), bank sebagai penyedia jasa pembiayaan untuk nelayan, dan
produsen/perusahaan pembuat kapal bertindak sebagai ( shâni).
Penggunaan akad istishnâ paralel sebagai pembiayaan pembelian kapal
besar untuk kelompok nelayan dapat dilakukan dengan kombinasi akad wa’d
(perjanjian). Penggunaan akad wa’d terjadi pada saat dilakukan akad istishnâ
lanjutan (paralel) antara bank dan produsen kapal, dimana produsen kapal harus
berjanji akan melakukan pembuatan kapal yang telah ditentukan spesifikasinya
oleh mustashni ‟ (pembeli) yaitu nelayan agar tidak terjadi ketidakjelasan dalan
proses jual beli (gharar ).
Mekanisme

pembiayaan

kapal

besar

untuk

kelompok

nelayan

menggunakan akad istishnâ’ paralel dapat dijelaskan pada gambar 4.2. sebagai
berikut :

(6)
Penyerahan
dokumen
progress dari
bank ke
kelompok
nelayan

BANK
SYARIAH

(1)
Akad
istishnâ’
paralel antara
bank dan
(9)
(2&7) nasabah
Pelunasan
Pembayara
Pembayaran oleh
n DP dan
kelompok
nelayan
angsuran
melalui
bank
melalui
bank

(8)
Penyerahan barang pesanan
(kapal) oleh produsen kapal
pada kelompok nelayan

NASABAH/
KELOMPOK
NELAYAN

(3)
Perjanjian
pembuatan
kapal oleh
produsen
kapal

(4)
Pencairan
dana
untuk
produsen
kapal

(5)
Penyerahan
dokumen
progress
pembuatan
kapal

PRODUSEN
KAPAL

Sumber: Analisis Penulis.

GAMBAR 4.2.
Skema Pembiayaan Pembelian Kapal Besar untuk Kelompok Nelayan
Menggunakan Akad Istishnâ’ Paralel

20

Keterangan:
: Alur Barang
: Alur Uang
: Alur Perjanjian
Dari gambar diatas dapat dijelaskan mekanisme pembiayaan pembelian
kapal untuk kelompok nelayan sebagai berikut :
1. Nasabah/kelompok nelayan bertindak sebagai mustashni‟ (pembeli).
2. Bank Syariah bertindak sebagai shâni ‟ (pembuat) untuk nasabah/kelompok
nelayan. Namun, karena bank syariah tidak mampu membaut kapal sendiri,
maka ia melakukan akad istishnâ’ lanjutan (paralel) pada produsen kapal
setelah akad istishnâ’ pertama sah.
3. Nasabah/kelompok nelayan melakukan akad istishnâ’ pada bank syariah dan
menyepakati besarnya margin pembiayaan oleh perbankan.
4. Nasabah/kelompok nelayan melakukan pembayaran uang muka (down
payment) bila dibayarkan melalui bank.

5. Setelah akad istishnâ’ pertama sah, pihak bank melakukan akad istishnâ ‟
lanjutan (paralel) pada produsen kapal dan produsen kapal berjanji (wa’d)
akan melakukan pembuatan kapal sesuai spesifikasi yang telah ditentukan oleh
nasabah/kelompok nelayan.
6. Bank melakukan pencairan dana sebagai modal pembuatan kapal oleh
produsen kapal.
7. Produsen kapal wajib menyerahka dokumen persentase/progress atau
Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pembuatan kapal pada bank syariah
minimal 1 kali/bulan.
8. Bank syariah melakukan penyerahan dokumen persentase/progress atau
Rancangan Anggaran Biaya (RAB) yang diserahkan produsen kapal pada
bank kepada nasabah/kelompok nelayan sebagai bukti progress pembuatan
kapal.
9. Pembayaran angsuran oleh nasabah/kelompok nelayan melalui bank.
10. Penyerahan

kapal

100

persen

jadi

oleh

produsen

kapal

pada

nasabah/kelompok nelayan.

21

11. Pelunasan pembayaran kapal oleh nasabah/kelompok nelayan melalui bank.

D. Urgensi

Penerapan

Akad

Istishnâ’

Paralel

sebagai

Pembiayaan

Pembelian Kapal untuk Kelompok Nelayan
Kemiskinan seolah-olah menjadi bagian yang inheren bagi nelayan
tradisional di Indonesia. Keterbatasan sarana dan rendahnya kualitas sumber daya
manusia

menjadi

penangkapan

ikan

penghambat
dan

kemajuan

kecilnya

kapasitas

nelayan.
kapal

Minimnya
dapat

peralatan

mempengaruhi

produktivitas nelayan yang gilirannya akan mempengaruhi pendapatan dan
ujungnya adalah kesejahteraan nelayan.
Penderitaan nelayan diperparah lagi dengan adanya anggapan oleh pihak
perbankan bahwa nelayan tradisional tidak mampu mengelola usaha, maka pihak
perbankan enggan melakukan penyaluran pembiayaan untuk nelayan. Sebagai
negara maritim terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang yang
sangat besar menjadi negara produsen uanggulan di bidang perikanan. Namun,
kekayaan laut yang terkandung di Indonesia tidak dapat membuat kesejahteraan
untuk masyarakat khususnya nelayan.
Ekonomi Islam sebagai konsep ekonomi yang menerapkan prinsip-prinsip
Islam dimana salah satu prinsip Islam yaitu ta’awun (tolong menolong) sudah
sepantasnya melihat fakta tersebut, sehingga dapat menjadi solusi permasalahanpermasalahan yang dihadapi nelayan selama ini. Upaya yang dapat dilakukan
ekonomi Islam melalui perbankan syariah adalah mengeluarkan produk
pembiayaan berbasis kelautan yaitu pembiayaan pembelian kapal besar untuk
kelompok nelayan menggunakan akad istishnâ ‟ paralel dalam upaya pemanfaatan
potensi ekonomi maritim Indonesia dimana selama ini akad istishnâ ‟ paralel
hanya diaplikasikan untuk pembiayaan rumah. Pembiayaan pembelian kapal
untuk kelompok nelayan tersebut sangat penting untuk diterapkan mengingat
permasalahan yang dihadapi nelayan tradisional selama ini adalah kecilnya
kapasitas kapal sehingga nelayan tidak dapat melakukan penangkapan ikan yang
lebih banyak. Apabila kapasitas kapal lebih besar tentunya nelayan dapat
melakukan penangkapan ikan yang lebih besar pula.

22

Untuk mengurangi pembiayaan bermasalah, maka dibutuhkan sosialisasi
dan edukasi oleh pihak perbankan pada nelayan. Selain itu, pengelompokan
nelayan yaitu 10-15 orang dimaksudkan untuk mengurangi beban pembiayaan
oleh nelayan. Peran pemerintah juga sangat dibutuhkan dalam penerapan
pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok nelayan menggunakan akad
istishnâ ‟ paralel ini melalui penjaminan pembiayaan untuk merealisasikan

misinya yang ingin mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri,
maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Misi tersebut dapat tercapai
apabila didukung oleh sarana penunjang yaitu pengadaan kapal, karena pada
dasarnya

kegiatan

pengelolaan

maupun

operasional

industri

kelautan

kelompok

nelayan

membutuhkan kapal sebagai peralatan penunjang.
Apabila

pembiayaan

pembelian

kapal

untuk

menggunakan istishnâ ‟ paralel ini benar-benar diterapkan oleh perbankan syariah,
bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi epicentrum industri kelautan dunia,
kesejahteraan nelayan meningkat, ekspor meningkat, dan akhirnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

23

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dari pokok permasalahan,
yaitu sebagai berikut:
1. Akad istishnâ ‟ paralel dapat digunakan sebagai akad pada pembiayaan
pembelian kapal untuk kelompok nelayan atau produk istishnâ ‟ paralel
berbasis kelautan sebagai inovasi produk pada perbankan syariah. Akad
istishnâ ‟ paralel dipilih karena tidak membebani kedua belah pihak

(perbankan syariah dan nasabah) karena proses pembayarannya dapat
dilakukan dengan pembayaran down payment terlebih dahulu oleh nasabah,
dan pelunasannya dapat dilakukan dengan cara diangsur setelah barang 100%
jadi. Berbeda apabila menggunakan skim murabahah, bank syariah harus
melakukan pembelian barang secara penuh pada pemasok/produsen baru dapat
diperjualbelikan pada nasabah. Apabila bank syariah belum melakukan
pembelian pada barang pada pemasok/produsen secara penuh, maka jual beli
tersebut dilarang dalam Islam, karena memperjualbelikan barang yang belum
menjadi haknya. Untuk mengurangi resiko pembiayaan bermasalah, maka
dibuat

kelompok

nelayan

10-15

orang

yang

dimaksudkan

untuk

meminimalisir beban pembiayaan, karena beban pembiayaan tidak dipikul
oleh satu nelayan.
2. Akad istishnâ ‟ paralel dapat dijadikan produk baru berbasis kelautan bagi
bank syariah. Dalam mekanismenya akad istishnâ ‟ paralel diaplikasikan sama
dengan pembiyaan rumah, namun dilakukan perluasan objek kapal yaitu dapat
pula dilakukan sebagai akad pembiayaan pembelian kapal untuk kelompok
nelayan dan dilakukan kombinasi akad yaitu akad wa’d (perjanjian) bahwa
produsen kapal bersedia membuatkan kapal sesuai spesifikasi dan harga yang
telah ditentukan pada kelompok nelayan.
3. Akad istishnâ ‟ paralel sangat penting untuk diterapkan sebagai akad
pembiayaan

pembelian

kapal

untuk

kelompok

nelayan

mengingat

24

permasalahan-permasalahan yang dihadapi nelayan selama ini selain
keterbatasan sarana dan terbatasnya sumber daya manusia juga kecilnya
kapasitas kapal yang membuat penangkapan ikan tidak efisien. Oleh karena
itu, perlu bantuan oleh lembaga keuangan untuk mengeluarkan pembiayaan
pembelian kapal untuk kelompok nelayan menggunakan akad istishnâ ‟ paralel
sebagai upaya pemanfaatan potensi ekonomi maritim Indonesia dengan lebih
optimal.

B. Rekomendasi
Mengacu pada hasil analisis dan pembahasan, berikut rekomendasi terkait
penggunaan akad istishnâ ‟ paralel sebagai akad dalam pembelian kapal besar
untuk kelompok nelayan sebagai berikut:
1. Perbankan syariah selaku lembaga keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip
Islam dimana salah satu prinsip Islam yaitu ta’awun (tolong-menolong) sudah
sepantasnya melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi nelayan
selama ini yaitu sulitnya mendapatkan pembiayaan dari perbankan khususnya
dalam pembiayaan pembelian kapal besar dengan mengeluarkan produk
berbasis usaha kelautan dengan mengeluarkan akad istishnâ ‟ paralel sebagai
pembiayaan pembelian kapal besar untuk kelompok nelayan dalam upaya
pemanfaatan potensi ekonomi maritim Indonesia.
2. Pemerintah saat ini yang mengarahkan program kerjanya untuk mewujudkan
Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat d