Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Serenta

28

KO M PA S, M I N G G U, 3 0 A G U S T U S 2 01 5

SENI
B U KU

PUISI

Tantangan Demokrasi
dalam Pemilu Serentak
OLEH WASISTO RAHARJO JATI

HASTA INDRIYANA

HASTA INDRIYANA

Pepes Belida

Ngaliwet


Belida yang pipih
Dari cokelat kali Pelembang
Dibelit daun pisang dililit rempah
Yang dilumat dilumurkan di sekujur

Biarlah ketel mungil ini
Menampung nasi yang gosong
Di dasarnya. Lembar-lembar salam
Ikan asin, dan sejumput garam
Telah diaduk sesaat setelah mendidih
Setelah biji-biji beras mendedah

Daun selasih di sampingnya
Disimpangkan

Kita yang jauh dari Jawa
Telah berlidah Sunda

Aku menatapnya. Kau menatapnya
Sejenak kita susuri Musi seperti

Membaca Sriwijaya yang dilayari
Kapal dagang dan pelancong yang
Tanahnya mencuat beton yang
Menjulang dan mengangkang

Memilih memanjakan lidah dengan
Sambal lalapan. Memilih memanjangkan
Kerasan di rantau
Alas daun pisang, cobek yang datar
Dan alasan lain membikin kita betah
Membikin kosa kata kita lentur selentur
Leluhur bertutur

Baiklah, pepes kita buka
Belida yang disayat, beberapa bagian
Tubuhnya gosong

Cimahi, 2015

Entah siapa di antara kita memulai

Mengelupasi kulit dan menempelkan
Balutan bumbu di lidah kita yang
Tak lelah-lelah berlayar ke mana-mana
Palembang, 2003-2015

ASIAN WATER COLOUR EXPRESSION II 2014

Karya Seah Kang Chui — EMERALD HILL SINGAPORE

NI MADE PURNAMA SARI

NI MADE PURNAMA SARI

HASTA INDRIYANA

Sanur

Bayam Pasar Banjaran

Ayam Tangkap


Sebelum sampai di Bali, Le Mayeur dinujum mimpi:
Segala tanda hidup terdampar di semenanjung asing

Dua porsi bayam, asin seperti gerimis pagi hari
Hijau melayu saat tersaji pada piringku

Camar-camar melayang dari lain dunia
Memburu kepiting kecil di celah karang
Menyelinap ke dasar bumi, mengendap jadi lumut
Percaya ditakdirkan sebagai asal muasal
lahirnya zaman yang baru

Sejak kapan ia lama dimasak
Atau dipetik petani umur berapa;
Apa peduli waktu?

Di semak salam koja dan daun pandan
Kutangkap kau, segumpal daging
Berlumur asam sunti, batang serai yang

Serasa merica

Bagai dua karib lama
Ia saksikan seekor ikan berbagi maut
bersama segugusan rumput laut
di sela puing kapal yang karam

Bagaimana masa muda si lalat mati
Hinggap di sela daunnya
Gagal menyamar biji jagung dan irisan bawang putih;
Apakah maut mau tahu?
Suatu hari, bila kudapat sebuah takdir
Jadi tumbuhan bayam di kebun tua di manapun
atau liar di jalan-jalan di manapun
Kubiakkan diriku, sebanyak-banyaknya
Melawan usia waktu yang selalu pongah menatapku
Menepis kerling maut yang mengintai hidup matiku

Bulan di langit menerangi masa kecilnya
Di hutan musim dingin Belgia

Berpuluh-puluh tahun jauhnya dari situ
Bulan yang itu juga
Mengingatkan pada pesisir Italia
di mana layar dan temali bertaut mengenangkan
harum asin angin Asia
Atau teluk Benggala, teluk tanah jajahan
dengan seorang anak gembala
membagi roti dan susu kepadanya
dengan satu kuli angkut
terseok di jalan bawah menara
dalam kanvas yang tak kunjung terselesaikan

Kutunggu kau di simpang Ulee Kareng
Di samping kedai kopi arabika di serambi
Mekah bertanah merah
Ayo berdendang menyanyikan bungong
Jeumpa yang liriknya meletus-letus
Seperti suara gegap dari hutan yang jauh
Banda Aceh, 2009-2015


Daunku yang lebat, dipetik para petani
Dihidang sebagai sarapan pagi, di sini
Daunku yang hijau lebat
Dulu menaungi kumpulan sarang semut
Tidur berlindung di lelap akarku
Depok, 2015

Mimpi debu dikubur laut pasir
Ia seketika terjaga di antara gaung lonceng
Kelasi kapal menambat sauh
usai bertahan melawan badai waktu
Denpasar, 2015

Hasta Indriyana lahir di Gunung
Kidul, DI Yogyakarta, 31 Januari 1977.
Buku puisinya berjudul Tuhan, Aku
Lupa Menulis Sajak Cinta (2003) dan
Piknik yang Menyenangkan (2014).
Ni Made Purnama Sari lahir di
Klungkung, Bali, 22 Maret 1989. Ia

lulus dari Jurusan Antropologi Universitas Udayana dan kini melanjutkan
studi di Universitas Indonesia. Puisinya
antara lain termuat dalam antologi
dwibahasa Couleur Femme (2010).

Masih Beranikah Menebar Uang?

P

Rekam jejak perilaku dan karakter
kepemimpinan yang baik kandidat
menjadi parameter penting yang harus
diketahui calon pemilih sebelum menentukan pilihannya. Sebab, lambat laun politik uang diyakini akan tumbang
ketika rakyat sadar dan memilih kandidat yang berintegritas serta memiliki
rekam jejak kepemimpinan yang terbukti sarat prestasi.
Berdasarkan hasil jajak pendapat,
uang bukan jaminan bagi para kontestan mendulang suara bagi dirinya.
Para calon kepala daerah yang akan
berkompetisi akan berhadapan dengan
sikap kritis masyarakat yang terus tumbuh. (ARI/LITBANG KOMPAS)


Politik uang mewarnai
pemilu atau pilkada di Indonesia

85,7 %
8,5 %
5,8 %

Penerima uang dalam pemilu atau
pilkada akan memilih kandidat
yang memberi uang

77,1 %
8,5 %
14,5 %

Pemilu atau pilkada yang
akan datang terbebas
dari praktik politik uang


72,1 %

I

Modus politik uang
Praktik politik uang dalam kajian buku ini dicontohkan dalam bentuk
dana aspirasi dan pengerahan proyek pemerintah terhadap geografi
maupun segmen konstituen tertentu (pork barrel), aksi jual-beli suara
(vote buying), aksi dagang suara (vote trading), dan pemberian bantuan
kepada kelompok sosial tertentu (club goods). Kedua pemahaman beserta
varian contoh politik uang itulah yang kemudian digunakan sebagai
perspektif analisis dalam memetakan dan mengelaborasi praktik politik
uang di 19 daerah sampel penelitian.
Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam buku ini terletak pada dua
premis penting. Pertama, sejauh mana aspek timbal balik (reciprocal
trust) antara politisi dan pemilih itu terjaga sampai hari H pemilu digelar.
Tidak ada jaminan 100 persen dari pemilih untuk tetap setia memilih
politisi yang melakukan praktik politik uang. Kondisi ketidakpastian
merupakan bagian dari ekses hubungan patrimonialisme baru di era
demokrasi. Hubungan patronase kini bersifat egaliter, dinamis, dan

rasional. Artinya, hubungan tersebut tidak mengikat pemilih dengan
politisi tersebut, baik secara materi maupun afeksi.
Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjadi pemilih pragmatis. Indikasinya bisa disimak dari istilah ora uwek ora obos, wani piro,
cempedak dibawa bilik, ado kendak baru uak balek, dan ana duit ya dipilih.
Munculnya berbagai macam ekspresi budaya politik lokal dari masyarakat tersebut sebenarnya juga terpengaruh pada sikap elite politisi
maupun partai politik yang setelah mendapatkan kursi, justru melupakan
konstituennya.
Kedua, sejauh mana praktik politik uang itu terus-menerus efektif
sebagai alat kampanye dalam ajang pemilu. Pemilu yang menganut
sistem proporsional terbuka membuat kompetisi sengit dan saling sikut
antarpolitisi kian kuat. Hal itu berimplikasi pada aksi jor-joran dalam
penggelontoran uang baik dalam bentuk club goods, vote buying, maupun
juga vote trading.
Dampak kompetisi terbuka tersebut memunculkan friksi, saling intrik,
bahkan intimidasi sesama calon satu partai maupun beda partai melalui
uang maupun kekerasan untuk saling berebut suara publik. Kejadian
yang sering terjadi di lapangan adalah munculnya swing voters yang
kemudian bisa berubah preferensi politiknya hanya karena menilai
besaran ”uang cendol” yang mereka terima dari politisi.
Kondisi demikian menjadi titik kritis dalam memahami politik uang.
Hanya kandidat yang memiliki kekuatan material dan karisma personal
memadai bisa mendapatkan dan mempertahankan kursi kekuasaan.
Sementara bagi kandidat politisi yang tidak memiliki kedua sumber daya
tersebut bisa jadi hanya menjadi pelengkap penderita dalam pemilu
ini.

Tiga pola

PUBLIK BICARA

olitik uang hampir selalu ada
dalam pemilu atau pilkada. Tidak
hanya dalam proses menjelang
pemungutan suara, tetapi hingga pasca
pemungutan suara aroma politik uang
masih terasa. Kapan Indonesia bisa
terbebas dari praktik jual beli suara
itu?
Pusat Riset Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, menguraikan empat bentuk politik uang dalam tahapan pemilu
atau pilkada (Politik Uang di Indonesia:
2015). Pertama, pemberian uang tunai
dan jasa yang didistribusikan oleh politisi, baik yang berasal dari dana pribadi maupun dana publik. Kedua, aksi
jual beli suara atau vote buying. Ketiga,
aksi dagang suara atau vote trading.
Keempat, pemberian bantuan kepada
kelompok sosial tertentu atau club
goods.
Fakta bahwa politik uang (money
politics) itu ada dan diyakini akan masih
terus ada mendapat penegasan hasil
jajak pendapat Litbang Kompas. Hanya
8,5 persen responden yang masih ragu
ada tidaknya politik uang dalam
pemilu atau pilkada. Sebaliknya, 85,7 persen responden
mengaku yakin bahwa politik uang mewarnai penyelenggaraan pemilu
dan pilkada selama
ini.
Meski transaksi jual beli
suara dalam pilkada biasa dilakukan
antara para kandidat kepala daerah dan
calon pemilih, sikap kritis masyarakat
tampak cukup besar. Jajak pendapat
mengungkapkan,
tiga
perempat
responden (77,1 persen) tidak yakin
rakyat akan memilih kandidat yang
memberi uang. Bahkan, sekitar 90,5
persen responden—dari mereka yang
mengaku pernah menerima uang—tidak yakin mereka yang menerima uang
atau barang dalam bentuk apa pun akan
begitu saja memberikan suaranya ke-

ndonesia pasca otoritarianisme diwarnai dengan munculnya reorganisasi elite masa lalu yang hendak menjaga dominasi dalam era
demokrasi baru (Hadiz & Robison, 2004). Hal tersebut berimplikasi
pada maraknya perilaku predator politik yang dilakukan elite, baik dalam
tingkat politik nasional maupun politik lokal.
Perilaku predator politik yang fenomenal adalah perilaku politik uang,
yang menggurita di setiap level pemerintahan melalui skema political
budget cycle (Farhan, 2013). Perilaku politik uang, terutama dalam pemilu
itulah yang kemudian menjaga eksistensi dan menyuburkan patronase
dan klientelisme dalam era demokrasi.
Hasil penelitian kolaboratif yang diselenggarakan oleh Coral Bell
School of Asia Pacific Affairs di Australian National University dan
Politics and Government Research Center di Universitas Gadjah Mada
tahun 2013-2014 ini melihat adanya relasi politik uang dalam pemilu yang
kemudian menyuburkan praktik patronase dan klientelisme dalam
demokrasi lokal. Patronase dimaknai sebagai bentuk distribusi materi
atau keuntungan politik yang dilakukan oleh politisi kepada pemilih atau
pendukungnya. Sedangkan klientelisme dipahami sebagai karakter relasi
antara politisi dengan pemilih atau pendukung (hal 4).

6,4 %
21,6 %
Yakin
Tidak Yakin
Tidak Tahu/Tidak Jawab
Sumber: Litbang Kompas
Keterangan:
Jajak pendapat diselenggarakan oleh
Litbang ”Kompas” pada 19–21 Agustus 2015
dengan jumlah responden 519 orang berusia
minimal 17 tahun, tersebar di 12 kota besar
di Indonesia. Dengan tingkat kepercayaan 95
persen, nirpencuplikan penelitian + 4,4
persen.
INFOGRAFIK: SALOMO

Kedua pertanyaan penting di atas digunakan dalam menganalisis kasus
di 19 daerah dalam mempraktikkan patronase dan klientelisme melalui
politik uang. Secara garis besar, temuan riset yang dihasilkan dalam
bunga rampai tulisan di buku ini menghasilkan pola menarik.
Pola pertama, patronase dan klientelisme berbasis etnisitas dan agama.
Pola tersebut berlaku dalam kasus Aceh (Bener Meriah dan Bireuen),
Sumatera Utara (Medan), Sumatera Selatan (Palembang), dan Bangka
Belitung. Pola kedua, patronase dan klientelisme berbasis makelar politik
(brokerage), baik itu organisasi sosial maupun organisasi massa seperti
dalam kasus Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi dan Cirebon), Jawa
Tengah (Pati dan Blora), Jawa Timur (Jombang dan Madiun).
Pola ketiga adalah patronase dan klientelisme berbasis pelayanan
konstituen (constituency services) dalam kasus Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jayapura (Papua).
Khusus mengenai broker politik, kajian Aspinall (2014) berjudul When
Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in
Indonesia mempertajam aspek broker politik pemilu dalam ketiga varian.
Varian tersebut adalah activist broker, opportunist broker, juga patrimonial broker yang dibedakan menurut sikap militan atau pragmatis
broker dalam mendukung calonnya.
Ketiga pola patronase dan klientelisme tersebut merupakan intisari
utama dalam buku ini. Politik uang dalam pemilu terjadi karena faktor
mutualisme dan ketergantungan, baik dari sisi politisi maupun pemilih.
Politisi ingin mempertahankan kursi jabatan dengan jalan instan dan
cepat. Pemilih ingin dihargai hak dan keinginannya oleh politisi sehingga
menjadikan suara sebagai alat penekan dan komoditas utama.
Kontribusi penting buku ini adalah menganalisis fenomena politik
uang di Indonesia dalam pemilu yang selama ini hanya dilihat dari
perspektif institusional. Melalui pendekatan behavioral, analisis politik
uang menjadi dinamis mengenai peran dan aksi aktor, baik itu politisi,
broker, ormas, maupun juga publik dalam memainkan peran.
Meski demikian, buku ini kurang berhasil menangkap adanya fenomena neo-populisme yang terjadi di Indonesia pasca desentralisasi.
Kajian Mietzner (2015) dalam Reinventing Asian Populism melihat sosok
Jokowi secara makro sebagai anomali dalam politik nasional Indonesia.
Kemenangan dalam pemilu tersebut bukanlah karena politik uang,
melainkan karena semangat melayani sebagai abdi publik.
Efek populisme dalam pemilu di era desentralisasi kini juga memunculkan pemimpin populis daerah lainnya, seperti Tri Rismaharini
(Wali Kota Surabaya) dan Ridwan
Kamil (Wali Kota Bandung). Oleh
karena itulah, penerapan pemilu serentak yang dimulai akhir tahun
2015 menjadi tahun penting untuk
melihat kontestasi awal antara politik uang berbasis patronase dan
klientelisme dengan munculnya gelombang populisme ini. Sejauh mana tingkat pendalaman demokrasi
masyarakat dipertaruhkan dalam
membangun sistem politik dan pemerintahan yang baik.

WASISTO RAHARJO JATI
Peneliti P2P LIPI

pada kandidat yang memberi uang.

Edukasi pemilih
Meski masyarakat memiliki kesadaran kritis, mayoritas responden (72,1
persen) tetap meyakini bahwa politik
uang masih akan mewarnai pilkada.
Praktik bagi-bagi uang atau barang sebagai cara atau strategi mendulang suara dukungan akan masih ada.
Upaya untuk menyelenggarakan pemilu ”bersih” atau meminimalkan politik uang sesungguhnya sudah dilaku-

kan banyak pihak. Namun, edukasi atau
penyadaran publik, khususnya para calon pemilih, untuk berpartisipasi aktif
menciptakan pilkada ”bebas politik
uang” perlu terus dilakukan.
Rakyat harus berani menentukan
pilihan calon pemimpinnya yang sungguh-sungguh berintegritas dan kapabel.
Pemilih harus berani menolak dan tidak memilih calon pemimpin yang hanya mengandalkan uang. Sebab, politik
uang merupakan bentuk perilaku yang
membodohi rakyat. Segala sesuatu diukur dengan uang sehingga ”kursi kekuasaan” sebagai kepala daerah pun
dibeli dengan uang.

DATA  Judul: Politik Uang
di Indonesia: PatroBUKU
nase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014
 Editor: Edward
Aspinall dan Mada
Sukmajati
 Penerbit: Penerbit
PolGov, Yogyakarta
 Cetakan: 1, 2015
 Tebal: xviii + 562
halaman
 ISBN:
978-602-71962-0-9
KOMPAS/AGUS SUSANTO