Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang Down Syndrome di Komunitas "X" Bandung.

(1)

iii

Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini dilakukan kepada seluruh populasi yang berjumlah 30 orang ibu. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh Neff (2003), yang terdiri dari 26 item dan telah diterjemahkan oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si., Psikolog dan Eveline Sarintohe, M.Si. setelah dilakukan uji validitas dengan menggunakan rumus Pearson oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog pada 726 responden, maka diperoleh 26 item yang valid dengan validitas yang berkisar antara 0,323-0,606 dan reliabilitas alat ukur dengan Alpha Cronbach adalah 0,790. Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung menunjukkan derajat self-compassion yang rendah sebesar 76,7% yang artinya bahwa ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome tersebut tidak mampu untuk menghibur diri dan peduli ketika diri sendiri mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan. Saran yang diberikan peneliti adalah untuk melakukan penelitian korelasi mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Selain itu, perlu dilakukan penelitan dengan menambah pertanyaan yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhinya dan menambah jumlah sampel penelitian.


(2)

iv

Universitas Kristen Maranatha This research was carried out to the entire population of 30 mothers who have child with Down Syndrome. The method used in this research is descriptive method with survey techniques. Measuring instruments used in this research were made by Neff (2003), which consist 26 items and has been translated into Indonesian by Missiliana R., M.Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si., Psikolog and Eveline Sarintohe, M.Si. After testing the validity of the Pearson formula by Missiliana R., M.Si., Psikolog on 726 respondents, the obtained 26 valid items with validity ranging between 0,323-0,606 and reliability of measuring instrument with Alpha Cronbach is 0,790. Based on the results of data processing, it can be seen that the mothers who have child with Down Syndrome at “X” community Bandung shows a low degree of self-compassion at 76,7%, which means that the mothers who have child with Down Syndrome at “X” community Bandung are not able to comforting themselves and their own self-care when facing suffering, failures and imperfections. The advice given by the researchers is to conduct research on the correlation of self-compassion contributes to the factors that influence it. In addition it is necessary to research by increasing the questions of factors that influence self-compassion deeply and increasing the number of samples.


(3)

v

Universitas Kristen Maranatha Lembar Pengesahan

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN

Abstrak ……….………... iii

Abstract ………... iv

Kata Pengantar ……… v

Daftar Isi ………..………. viii

Daftar Bagan ... xii

Daftar Tabel ………. xiii

Daftar Lampiran ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Ilmiah ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11


(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

2.2 Komponen Self Compassion ... 31

2.2.1 Self-kindness vs Self-judgment ... 31

2.2.2 Common humanity vs Isolation ... 31

2.2.3 Mindfulness vs Overidentification ... 32

2.2.4 Korelasi Antar Komponen Self-Compassion……….. 32

2.3 Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Self Compassion ... 34

2.3.1 Personality ... 34

2.3.2 Attachment ………. 40

2.3.3 Jenis kelamin ... 41

2.3.4 The Role of Parents ... 43

2.3.5 The Role Of Culture ... 43

2.4 Dampak Dari Self Compassion ... 45

2.4.1 Emotion resilience ... 45

2.4.2 Opting out of the self-esteem game ... 45

2.4.3 Motivation and personal growth ... 45

2.4.4 Well Being ... 46

2.5 Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal (18-39 tahun) ……… 47

2.5.1 Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya (40-60 tahun) ………… 47

2.6 Down Syndrome ………. 50


(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 54

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 54

3.3.1 Variabel Penelitian ... 54

3.3.2 Definisi Konseptual ... 54

3.3.3 Definisi Operasional ... 55

3.4 Alat Ukur ... 56

3.4.1 Kuesioner Self-compassion ... 56

3.4.1.1 Kisi-kisi Alat ukur Self-compassion ... 56

3.4.1.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 58

3.4.1.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 58

3.4.1 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 60

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 60

3.4.2.1 Validitas Alat Ukur ... 60

3.4.2.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 61

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 61

3.5.1 Populasi Sasaran ... 61

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 61

3.5.3 Teknik Sampling ……… 61


(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

4.3 Pembahasan ………. 67

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……….. 78

5.2 Saran ……… 79

5.2.1 Saran Teoretis ……….. 79

5.2.2 Saran Praktis ……… 79

DAFTAR PUSTAKA ……… 81

DAFTAR RUJUKAN ………... 83 LAMPIRAN


(7)

ix


(8)

x

Universitas Kristen Maranatha Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ……….. 63 Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……….. 64 Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bergabung Di Komunitas “X”

………. 64

Tabel 4.4 Gambaran Self-compassion………. 65 Tabel 4.5 Pengelompokkan Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion 66


(9)

xi

Universitas Kristen Maranatha Lampiran 3 Kuesioner Survey Awal

Lampiran 4 Profil Komunitas “X”

Lampiran 5 Lembar Pengesahan Pengambilan Data Lampiran 6 Tabel Validitas Alat Ukur

Lampiran 7 Form Pengesahan Pengambilan Data Lampiran 8 Biodata Peneliti


(10)

1

Universitas Kristen Maranatha 1.1Latar Belakang Masalah

Anak yang lahir dalam keluarga merupakan harapan kedua orang tuanya. Orang tua menginginkan anaknya hidup dengan sukses di masa depan dengan menyediakan fasilitas terbaik agar anaknya dapat berkembang secara optimal. Anak ada yang dilahirkan dalam keadaan normal dan ada pula anak yang dilahirkan dengan kekurangan tertentu. Tak sedikit keluarga yang dianugerahi anak - anak yang spesial yang berbeda dari anak-anak lainnya yaitu anak berkebutuhan khusus salah satunya anak yang menyandang Sindroma Down atau Down Syndrome.

Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Down Syndrome terjadi disebabkan oleh kelebihan pada kromosom nomor 21 yaitu menjadi berjumlah 3 kromosom sehingga jumlah keseluruhan kromosom menjadi 47 dimana seharusnya berjumlah 46 kromosom (www.ndss.org, diakses pada 30 Juli 2013). Anak yang menyandang Down Syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang khas seperti wajah yang mirip dengan ras Mongoloid, tubuh mereka yang cenderung gemuk dan adanya otot-otot tubuh yang lemah (hipotonus) sehingga menghambat proses


(11)

Universitas Kristen Maranatha perkembangan fisik mereka. Selain itu, anak-anak penyandang Down Syndrome biasanya lahir disertai dengan penyakit jantung bawaan sehingga pemeriksaan jantung juga diperlukan serta adanya keterbatasan dalam perkembangan intelektualnya (Selikowitz, 1997). Keterbatasan yang dimiliki penyandang Down Syndrome, yaitu kemampuan intelektual rendah dan lemah secara fisik membuat orang tua sulit untuk mengajari anak keterampilan dasar sejak bayi seperti berguling, duduk, merangkak dan berbicara, keterampilan bantu diri seperti makan, mandi, berpakaian hingga kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan.

Adanya ciri-ciri khusus tersebut membuat anak penyandang Down Syndrome membutuhkan pelayanan khusus, seperti fisioterapi, terapi wicara, pelayanan medis, pelayanan pendidikan, serta latihan – latihan bantu diri yang menunjang mereka untuk menjadi lebih mandiri di masyarakat. Dalam membesarkan dan mengasuh anak penyandang Down Syndrome banyak hal yang harus dikorbankan oleh para orang tua, khususnya ibu, seperti waktu, pikiran, tenaga serta materi. Hal- hal tersebut membuat ibu, merasa khawatir, merasa bersalah, cemas serta marah. Menurut Hassal, Rose, & McDonald (2005) dalam Lopez (2008), yang merawat (caregivers) anak berkebutuhan khusus lebih mengalami stres daripada yang merawat anak normal.

Ketika ibu pertama kali mengetahui bahwa anaknya menyandang Down Syndrome mereka merasa terkejut, sedih, dan bersalah mengetahui bahwa Down Syndrome tidak dapat disembuhkan. Masa tersebut adalah masa tersulit yang dialami ibu yang melahirkan anak penyadang Down Syndrome saat harus


(12)

Universitas Kristen Maranatha menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang Down Syndrome. Para ibu kemudian mencari informasi mengenai terapi yang dibutuhkan untuk anak penyandang Down Syndrome, seperti terapi motorik dan terapi wicara. Dalam menjalani terapi, anak penyandang Down Syndrome dapat mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun ada masa dimana anak penyandang Down Syndrome tidak dapat menerima materi yang diberikan dalam terapi. Para ibu pun mulai merasakan kekhawatiran, kecemasan dan keraguan apakah mereka mampu menemani serta menghantarkan anak hingga mandiri dalam melakukan kegiatan bantu diri dan sosialisasi di lingkungan masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome pun berbeda sesuai dengan tahap perkembangan anak. Ketika anak penyandang Down Syndrome berusia balita, para ibu mengalami kesulitan saat anak mereka belum mampu untuk berbicara, duduk, merangkak, berjalan dan lain-lain seperti kebanyakan anak normal sehingga mereka merasa tertekan. Anak penyandang Down Syndrome pada usia sekolah belum mampu untuk melakukan kegiatan belajar seperti membaca dan menulis serta kegiatan bantu diri yaitu mandi, BAK, dan BAB. Anak penyandang Down Syndrome pada usia remaja belum mampu untuk mengontrol keinginannya ketika mengalami pubertas. Mereka bisa memeluk atau menyium lawan jenis yang mereka sukai.

Para ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome tidak ingin terus menerus berada dalam keterpurukan. Mereka sering bertemu saat mengantar terapi dan akhirnya berkumpul dengan ibu lain yang senasib. Mereka memilih


(13)

Universitas Kristen Maranatha untuk ikut serta dalam perkumpulan ibu yang juga memiliki anak penyandang Down Syndrome. Menghadiri berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi atau komunitas orang tua yang memiliki anak penyandang Down Syndrome membuat para ibu mendapatkan pengalaman dari ibu - ibu lain dalam mendidik dan membesarkan anak penyandang Down Syndrome.

Persamaan nasib dan keadaan membuat beberapa ibu membentuk Komunitas “X” di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2003 yang beranggotakan orang tua yang memiliki anak penyandang Down Syndrome. Tanggapan para orang tua yang memiliki anak penyandang Down Syndrome terhadap kegiatan Komunitas “X” cukup baik. Tidak jarang orang tua yang berada di luar kota Jakarta mendatangi kegiatan Komunitas “X” untuk mendapatkan informasi mengenai pengasuhan anak penyandang Down Syndrome. Oleh karena itu, Komunitas “X” membentuk Pusat Informasi dan Kegiatan (PIK) di beberapa kota di Indonesia, salah satunya di Bandung. Menurut pengurus Komunitas “X”, Pusat Informasi dan Kegiatan (PIK) Komunitas “X” di Bandung berdiri pada tahun 2012 dan beranggotakan para ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome yang berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya. Kegiatan rutin yang dilakukan tiga bulan sekali di PIK Komunitas “X” Bandung antara lain menyelenggarakan pertemuan dengan para orang tua anak penyandang Down Syndrome dan bekerjasama dengan para ahli seperti dokter yang membahas kesehatan fisik anak, psikolog membahas cara mengasuh anak, terapis membahas terapi-terapi


(14)

Universitas Kristen Maranatha yang menunjang perkembangan anak, dan lain-lain yang terkait dengan anak penyandang Down Syndrome.

Tujuan utama Komunitas “X” adalah memberdayakan orang tua anak

penyandang Down Syndrome agar selalu bersemangat untuk membantu tumbuh kembang anak secara maksimal sehingga anak mampu menjadi pribadi yang mandiri, bahkan berprestasi sehingga dapat diterima masyarakat luas. Visi

Komunitas “X” adalah menjadi pusat informasi dan konsultasi terlengkap tentang

Down Syndrome di Indonesia. Sementara misi Komunitas “X” adalah memiliki pusat informasi mengenai Down Syndrome yang bisa diakses kapan saja dan oleh siapa saja, menyediakan informasi terkini mengenai Down Syndrome kepada orang tua yang membutuhkan akses kesehatan, pendidikan dan terapi di Indonesia, menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan kegiatan mengenai Down Syndrome ke masyarakat agar lebih peduli dan menghargai penyandang Down Syndrome.

Tanggapan dari masyarakat terhadap anak penyandang Down Syndrome yang beragam juga menjadi tekanan bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome. Masyarakat ada yang memandang remeh, mencibir, serta menghina anak yang bertingkah laku berbeda dan dipandang aneh (Valentino, 2012, http://sosbud.kompasiana.com). Para ibu harus menyiapkan mentalnya dalam menanggapi berbagai respon terhadap anaknya yang menyandang Down Syndrome.


(15)

Universitas Kristen Maranatha Hal-hal tersebut dapat membuat ibu merasakan kelelahan fisik dan psikis karena banyak sekali tugas ibu dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome, seperti mengajarkan keterampilan belajar, keterampilan bantu diri serta mengantarkan anak melakukan berbagai terapi. Fokus ibu untuk mengasuh anak penyandang Down Syndrome membuat ibu mengabaikan kesehatan dirinya, tidak ada waktu untuk menghibur diri serta menahan keinginan untuk membeli barang-barang yang diinginkan karena uang tersebut digunakan untuk keperluan anak.

Berdasarkan hasil survei awal terhadap tujuh orang ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung, sebanyak dua orang ibu (28,5%) dapat menerima keadaan anak mereka yang terlahir dengan Down Syndrome. Para ibu awalnya merasa terkejut dan tertekan ketika tahu anaknya lahir menyandang Down Syndrome. Mereka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bangkit kembali dari keterpurukan dengan bergabung di Komunitas “X”. Sebanyak lima orang ibu (71,4%) tidak siap menerima keadaan anak mereka ketika mengetahui anaknya terlahir dengan Down Syndrome. Mereka menyalahkan diri karena melahirkan anak penyandang Down Syndrome dan mereka masih merasakan perasaan tertekan karena mengasuh anak penyandang Down Syndrome.

Sebanyak enam orang ibu (85,7%) menganggap banyak ibu lain juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakannya dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome. Mereka merasa dukungan pasangan, keluarga dan


(16)

Universitas Kristen Maranatha sahabat, serta ibu lain yang tergabung dalam komunitas orang tua yang memiliki anak Down Syndrome. Bentuk dukungan tersebut berupa kesediaan untuk membantu mengasuh anak ketika ibu sibuk, membantu mengantar anak ke sekolah dan tempat terapi, serta saling menguatkan ketika mengalami kesulitan dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome. Mereka juga mengabaikan perkataan negatif mengenai anaknya seperti tidak menghiraukan perkataan orang bahwa anaknya berbeda dari anak normal. Hal tersebut penting untuk membuat mereka bangkit dari keterpurukan. Sebanyak satu orang ibu (14,3%) masih merasa hanya dirinya yang menderita karena memiliki anak penyandang Down Syndrome. Ia merasa malu ketika membawa anaknya ke tempat umum.

Sebanyak enam orang ibu (85,7%) dapat berfokus tidak hanya pada kekurangan anak penyandang Down Syndrome tetapi juga kelebihan mereka seperti berbakat dalam bidang musik dan melukis. Mereka menganggap bahwa anak penyandang Down Syndrome memiliki kelebihan lain yang bisa dikembangkan dan ditampilkan ke masyarakat. Sebanyak satu orang ibu (14,3%) tetap terobsesi bahwa anaknya tidak dapat melakukan apa-apa hingga merasa sedih dan cemas bila anaknya tidak dapat berkembang dengan baik dan tidak diterima oleh masyarakat.

Para ibu dituntut untuk memberikan pemahaman, kebaikan, perlindungan, perhatian dan mengutamakan kepentingan anak – anaknya yang memiliki kebutuhan khusus di atas kepentingan pribadi. Tuntutan yang terus - menerus untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kebaikan sehingga para ibu


(17)

Universitas Kristen Maranatha lebih mengutamakan kepentingan anak – anaknya di atas kepentingan pribadi dapat menjadikan para ibu mengorbankan kepentingan dirinya sendiri dan tidak memerhatikan dirinya ketika mengalami kesulitan atau kegagalan dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak – anaknya yang menyandang Down Syndrome.

Menurut Neff (2011), kemampuan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri dinamakan compassion for others yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan melihat secara jelas penderitaan orang lain, memberikan kebaikan, kepedulian dan pemahaman terhadap penderitaan mereka.Seseorang memerlukan self-compassion terlebih dahulu sebelum memberikan compassion for others secara penuh kepada orang lain (Neff, 2011). Self-compassion memiliki arti menghibur diri dan peduli ketika diri sendiri menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan (Neff,2011). Ketika ibu memiliki anak penyandang Down Syndrome, masyarakat menganggapnya sebagai penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan orang tua. Tak jarang masyarakat menganggapnya sebagai dosa dan kesalahan orang tuanya di masa lalu. Anggapan tersebut memberikan tekanan bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome namun di tengah kondisi tersebut mereka berusaha menerima dan memahami kondisi yang dialami.

Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan para ibu di Komunitas


(18)

Universitas Kristen Maranatha penyandang Down Syndrome. Memiliki anak penyandang Down Syndrome tidak berarti para ibu harus menjadi manusia sempurna dalam mengurusnya. Dukungan dari orang-orang terdekat serta orang-orang yang senasib dapat membantu para ibu membesarkan anak yang menyandang Down Syndrome secara optimal.

Fenomena yang tampak tersebut merupakan komponen – komponen self-compassion yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness (Neff,2011). Self-kindness yaitu kemampuan individu untuk bersikap hangat dan memahami diri saat menghadapi kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam hidupnya, common humanity yaitu adanya kesadaran bahwa kesalahan atau kegagalan merupakan kejadian yang pada umumnya dialami oleh semua orangdan mindfulness yaitu kemampuan untuk melihat secara jelas dan menerima kegagalan atau kesalahan yang dilakukan dalam kehidupan tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan kegagalan dan perasaan yang dirasakan. Adanya faktor internal seperti personality dan jenis kelamin serta faktor eksternal seperti role of culture yaitu budaya keluarga orang tua dan role of parents yaitu pola asuh yang diterima para ibu dari orang tua mereka ketika kecil, dan modeling of parents yang terkait dengan self-compassion dalam diri ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome. Self-compassion yang tinggi akan memberi manfaat bagi individu, yaitu memiliki emosi yang lebih stabil (emotional resilience), memiliki self-esteem yang tinggi, meningkatkan kepercayaan diri dan berorientasi pada


(19)

Universitas Kristen Maranatha perkembangan diri (motivation and personal growth), memiliki kebahagiaan hidup (well-being) serta self-compassion memengaruhi kesehatan fisik.

Berdasarkan fenomena di lapangan dan penelitian payung tentang compassion maka, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana gambaran derajat self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh derajat self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di


(20)

self-Universitas Kristen Maranatha compassion dan kaitan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat sebagai berikut :

Memberikan informasi dan masukan mengenai self-compassion bagi bidang ilmu Psikologi khususnya cabang ilmu Psikologi Klinis, Psikologi Kepribadian, Psikologi Sosial dan Psikologi Keluarga.

 Sebagai bahan rujukan untuk peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung mengenai derajat self-compassion yang dimilikinya untuk dapat memertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang mereka miliki.

 Memberikan informasi kepada pengurus Komunitas “X” Bandung mengenai

self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome dalam rangka menentukan tindakan pengembangan bagi para anggota


(21)

Universitas Kristen Maranatha komunitas dan menggunakan informasi ini dalam kegiatan seminar atau pertemuan orang tua.

1.5Kerangka Pemikiran

Memiliki anak dengan keterbatasan intelektual seperti Down Syndrome dapat membebankan masalah finansial, stres secara sosial dan fisik pada keluarga (Mak & Ho, 2007 dalam Lopez, 2008). Kewajiban para ibu untuk merawat anaknya yang menyandang Down Syndrome dengan baik hingga anak dapat hidup mandiri di masyarakat dapat membuat ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung lebih dituntut untuk memberikan compassion for others yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan melihat secara jelas penderitaan, memberikan kebaikan, kepedulian dan pemahaman terhadap penderitaan orang lain (Neff, 2003). Dalam hal ini ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome memberikan compassion for others kepada anaknya yang menyandang Down Syndrome.

Ibu dalam tahap perkembangan dewasa awal (20- 39 tahun) dan tahap dewasa madya (lebih dari 40 tahun) mengalami perkembangan kognitif, emosi dan psikososial. Menurut Piaget, masa dewasa awal dan dewasa madya termasuk dalam tahap operasional formal. Pada tahap ini perkembangan intelektual dewasa sudah mencapai titik akhir puncaknya yang sama dengan perkembangan tahap sebelumnya.


(22)

Universitas Kristen Maranatha Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome pada masa dewasa awal dan dewasa madya telah mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan universal yaitu dunia idealitas paling tinggi. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome dalam menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya dan mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkret. Ibu dapat melihat akibat langsung dari usaha - usahanya guna menyelesaikan masalah tersebut. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome mampu menyadari keterbatasan baik yang ada pada dirinya (baik fisik maupun kognitif) maupun yang berhubungan dengan realitas di lingkungan hidupnya. Orang dewasa dalam menyelesaikan masalahnya juga memikirkan terlebih dahulu secara teoritis. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada.

Berdasarkan perkembangan psikososial, Erikson mengemukakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain). Menurut Santrock (2003), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition,) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role


(23)

Universitas Kristen Maranatha trantition). Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting.

Pada masa dewasa madya menghadapi persoalan yang signifikan, yaitu generativitas vs stagnasi. Menurut Erikson, tugas perkembangan yang utama pada dewasa madya adalah mencapai generativitas. Generativitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain, mencakup rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome dapat mencapai generativitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan dalam interaksi sosial dengan generasi berikutnya. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome gagal mencapai generativitas akan terjadi stagnasi, yakni ketika individu merasa bahwa mereka tidak melakukan apa-apa bagi generasi selanjutnya. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau perilaku merusak anak-anaknya dan masyarakat (Santrock, 2010).

Menurut Neff (2011) seseorang memerlukan self-compassion terlebih dahulu sebelum memberikan compassion for others secara penuh kepada orang lain. Dalam hal ini, para ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome memerlukan self-compassion agar dapat lebih optimal dalam merawat dan membesarkan anak penyandang Down Syndrome serta tetap bersikap secara


(24)

Universitas Kristen Maranatha positif dalam menghadapi situasi yang membuatnya terdiskriminasi di lingkungan sosial.

Self-compassion berarti keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami oleh semua manusia (Neff, 2003). Pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome hal ini tercermin dalam kemampuannya untuk memiliki kesadaran akan permasalahan dan kesulitan yang dihadapinya sebagai ibu saat mengasuh dan membesarkan anak yang menyandang Down Syndrome tanpa menghindarinya dan tanpa menghakimi dirinya sendiri.

Self-compassion terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self-kindness merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menyadari ketidaksempurnaan, kegagalan dan kesulitan hidup yang tidak bisa dihindari, sehingga individu akan cenderung bersikap ramah terhadap diri ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan daripada marah dan mengkritik diri atas pengalaman yang menimpanya. Apabila derajat kindness rendah, hal tersebut dinamakan self-judgement. Self-judgement adalah bersikap tidak toleran, mencela, dan menghakimi kekurangan dan ketidakmampuan-ketidakmampuan yang dimilikinya.


(25)

Universitas Kristen Maranatha Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang mempunyai self-kindness tinggi akan cenderung bersikap hangat, lembut dan ramah terhadap dirinya, mengerti kelemahan diri dan kegagalan yang dialami ketika mengasuh dan membesarkan anak yang menyandang Down Syndrome. Saat ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung mengalami kesulitan dalam mengasuh anaknya, ibu tidak akan mengkritik secara berlebihan terhadap kekurangan yang dimilikinya. Sebagai contoh, ibu yang menganggap dirinya tidak berguna akan cenderung menerima dan memahami kekurangannya serta menoleransi kegagalan tersebut.

Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat self-judgement tinggi akan mengkritik dan menyalahkan dirinya secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan dalam mengasuh anaknya. Ibu akan cenderung marah, stres, frustrasi dan mengkritik diri secara berlebihan, mengatakan pada dirinya bahwa hal tersebut memalukan atau menganggap dirinya bodoh karena tidak dapat menghindari kesalahan terutama dalam melahirkan, mengasuh dan membesarkan anaknya yang menyandang Down Syndrome.

Komponen lainnya yaitu common humanity. Common humanity merupakan kemampuan individu untuk memandang dan merasakan bahwa kesulitan hidup dan kegagalan dialami oleh semua orang. Apabila komponen common humanity rendah, hal tersebut dinamakan isolation. Isolation yaitu


(26)

Universitas Kristen Maranatha merasa sendirian ketika dirinya mengalami kegagalan serta merasa orang lain dapat mencapai sesuatu dengan lebih mudah dari dirinya.

Dalam mengasuh dan membesarkan anak penyandang Down Syndrome, perlu menyadari bahwa kegagalan dan keberhasilan merupakan kejadian yang pada umumnya dialami oleh semua orang, bukan hanya dia yang pernah mengalaminya. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung dengan derajat common humanity tinggi akan

cenderung melihat ketidaksempurnaan dan kesulitan dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome adalah sesuatu yang dapat dialami oleh sebagian ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome dan bukan sesuatu yang hanya terjadi pada dirinya saja. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung dengan derajat isolation tinggi akan menganggap bahwa

hanya dirinya saja yang menderita, ceroboh, bodoh, membuat kesalahan dalam melahirkan dan mengasuh anak penyandang Down Syndrome sedangkan ibu lain tidak pernah merasakannya. Ibu akan mencari-cari alasan atau mencari kekurangannya dibandingkan dengan ibu lain yang juga merasakan hal yang sama dalam melahirkan dan mengasuh anak penyandang Down Syndrome serta merasa bahwa dirinya yang paling banyak memiliki kekurangan.

Komponen berikutnya adalah mindfulness. Mindfulness merupakan kemampuan untuk melihat secara jelas dan menerima kegagalan atau kesalahan yang dilakukan dalam kehidupan tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan kegagalan dan perasaan yang dirasakan. Derajat mindfulness rendah dinamakan


(27)

Universitas Kristen Maranatha over-identification yaitu, menganggap bahwa dirinya akan melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang sehingga merasa takut, cemas dan merasa dihantui oleh kesalahannya.

Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat mindfulness tinggi ketika mengalami suatu kegagalan dalam mengasuh anaknya akan menghayati ketidaksempurnaan yang terjadi dengan menerima dan tidak membesar-besarkannya, dimana ibu menyadari kesalahannya dengan rasa sedih dan kecewa yang tidak dilebih-lebihkan, ibu akan cenderung menyadari bahwa kesalahan yang dia perbuat saat ini tidak akan terjadi kembali di masa yang akan datang. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat over-identification tinggi akan bereaksi melebih - lebihkan kegagalan atau kesalahan yang dialaminya.

Menurut Barnard dan Curry (2011), ketiga komponen ini saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain. Pertama, self-kindness dapat membantu perkembangan common humanity dan mindfulness. Jika individu memberikan perhatian, kelembutan, pemahaman, dan kesabaran terhadap kekurangan dirinya (self-kindness), mereka tidak akan merasa malu karena kekurangannya dan tidak akan menarik diri dari orang lain (Brown, 1998 dalam Curry & Barnard, 2011). Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung akan lebih memilih untuk mengakui dan menceritakan kekurangannya dengan orang lain sehingga mereka tidak merasa malu dan menarik diri dari lingkungan (common humanity) dan memungkinkan ibu yang memiliki anak penyandang


(28)

Universitas Kristen Maranatha Down Syndrome untuk mengadopsi pandangan yang seimbang ketika menghadapi permasalahan dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome (mindfulness).

Kedua, common humanity dapat menumbuhkan self-kindness dan mindfulness. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung merasa terhubung dengan pasangan, keluarga, sahabat,

dan ibu lain yang memiliki anak penyandang Down Syndrome. Mereka dapat menilai diri sendiri dengan lembut terhadap kelemahan karena ibu menerima bahwa menjadi tidak sempurna adalah bagian dari menjadi manusia (common humanity). Selain itu, ibu menyadari bahwa mereka tidak akan menyalahkan orang lain atas kegagalan yang dialami dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome dan harus memerlakukan diri sendiri dengan empati dan kebaikan seperti yang diberikan kepada orang lain (self-kindness), mereka akan memerhatikan kegagalannya tetapi dengan mengadopsi sudut pandang yang seimbang dan bukan melebih-lebihkan bahwa kegagalan tersebut akan terjadi kembali di masa depan (mindfulness).

Ketiga, mindfulness dapat membantu perkembangan common humanity dan self-kindness. Saat ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung melihat kesalahan atau kegagalan yang dialami secara apa adanya (mindfulness), mereka akan menghindari pemberian kritik yang berlebihan (self-kindness) dan akan menyadari bahwa ibu lain yang memiliki anak penyandang Down Syndrome juga pernah mengalami hal yang sama atau melakukan kesalahan (common humanity). Jika ibu yang memiliki anak


(29)

Universitas Kristen Maranatha penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung melebih – lebihkan kegagalan yang dihadapi (over-identification), hal tersebut akan membuat ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung memiliki perspektif yang sempit bahwa hanya dirinya yang mengalami kegagalan dan membuatnya menarik diri dari orang lain. Saat ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung melihat kegagalan atau kesalahan pada umumnya dilakukan oleh semua manusia (common humanity), mereka tidak akan merasa terancam oleh kekurangannya sehingga tidak akan bereaksi secara berlebihan atau melupakan kesalahan dan kegagalan yang dialami (mindfulness).

Self-compassion dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal self- compassion yaitu personality, attachment, dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal yaitu role of parents dan role of culture. Personality digambarkan dengan the big five personality. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI (Neff, Rude et al., 2007), menunjukkan bahwa self compassion memiliki hubungan yang kuat dengan neuroticism, yaitu semakin tinggi self compassion semakin rendah level dari neuroticism. Hubungan tersebut dapat terjadi karena mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Menurut Robbins (2001) dalam Mastuti (2011), individu dengan derajat yang rendah dalam neuroticism cenderung berciri tenang, bergairah, dan aman, sedangkan individu derajat tinggi dalam neuroticism cenderung tertekan, gelisah, dan tidak


(30)

Universitas Kristen Maranatha aman. Individu dengan derajat neuroticism tinggi cenderung memiliki derajat self-compassion yang rendah sehingga hal ini dapat terjadi pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat neuroticism tinggi.

Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness, extroversion, dan conscientiousness (Neff, Rude et al., 2007). Individu dengan extroversion cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk memertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan (Robbins, 2001 dalam Mastuti, 2005) dan agreeableness merujuk kepada kecenderungan individu untuk tunduk kepada orang lain (Robbins, 2001 dalam Mastuti, 2005). Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat tinggi pada agreeableness dan extroversion akan berorientasi pada sifat sosial dan tidak terlalu khawatir dengan pandangan orang lain tentang mereka karena hal itu dapat mengarah pada rasa malu dan perilaku menyendiri. Hal itu dapat membuat individu melihat pengalaman negatif sebagai pengalaman yang pada umumnya dialami semua manusia yang berkaitan dengan derajat self-compassion tinggi (Neff, Rude et al., 2007).

Begitu pula dengan conscientiousness. Menurut Costa dan McCrae (1997) dalam Mastuti (2005), conscientiousness mendeskripsikan control terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peaturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memrioritaskan tugas. Hal ini dapat membantu individu untuk lebih memerhatikan kebutuhan mereka dan


(31)

Universitas Kristen Maranatha merespon situasi yang suit dengan sikap yang lebih bertanggungjawab (Costa & McCrae, 1997 dalam Mastuti, 2005). Dengan demikian individu dapat merespon situasi itu dengan tidak memberikan kritik berlebihan yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff, 2009). Hal ini dapat terjadi pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat conscientiousness tinggi.

Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome dengan derajat conscientiousness tinggi cenderung memiliki self-compassion tinggi. Ibu yang merespon situasi sulit dengan sikap yang lebih bertanggungjawab akan cenderung memahami kekurangannya. Ketika mengalami kesulitan dalam mengasuh anak yang menyandang Down Syndrome, ibu tersebut akan memberikan respon yang lebih baik dengan melakukan introspeksi diri tanpa menghindari atau melebih-lebihkan kegagalannya tersebut.

Satu trait yang tidak berhubungan secara signifikan dengan self-compassion adalah openness to experience. Trait ini mengukur karakteristik seseorang yang memiliki imajinasi aktif, kepekaan secara estetik dan memiliki pilihan yang bervariasi untuk bisa membuat pikiran (Costa & McCrae, 1992) dan mungkin dimensi ini yang tidak sesuai dengan self-compassion. Penafsiran ini didukung oleh fakta bahwa self-compassion secara signifikan terkait dengan rasa ingin tahu dan eksplorasi (Neff, et. al, 2007).

Self-compassion dapat dipengaruhi oleh attachment. Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara individu dan pengasuhnya


(32)

Universitas Kristen Maranatha (Bowlby, 1969 dalam Santrock, 2003). Attachment dengan orang tua dapat memengaruhi derajat self-compassion individu (Neff, 2011). Attachment secure dicirikan dengan individu yang merasa dapat memercayai orang lain dan merasa aman untuk percaya bahwa ia layak untuk mendapatkan kasih sayang. Perasaan diri berharga dan layak untuk mendapatkan kasih sayang dapat membuat individu juga merasa layak untuk menyayangi dirinya sendiri yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff & McGehee, 2009). Hal tersebut dapat terjadi pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas

“X” Bandung dengan secure attachment.

Selain itu terdapat insecure attachment yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang rendah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sikap individu dengan insecure attachment yang cenderung membutuhkan pembenaran yang kuat dari orang lain tentang dirinya sendiri (Wei, Mallinckrodt, Larson & Zakalik, 2005 dalam Wei, Liao, et al., 2011). Ketika individu bergantung pada pembenaran dari orang lain, mereka akan sulit untuk melihat potensi di dalam dirinya yang mengarah kepada self-compassion (Neff & McGehee, 2010 dalam Wei, Liao, et al., 2011). Individu tersebut akan melebih-lebihkan masalah yang mereka hadapi (Mikulincer et al., 2003 dalam Wei, Liao, et al., 2011) dimana hal ini akan membuat mereka melihat pengalaman negatif sebagai pengalaman yang hanya dialami oleh mereka dan terjebak dalam pikiran sertaperasaan yang menyakitkan.

Self-compassion juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Penelitian mengindikasikan bahwa perempuan lebih sering merenungkan dirinya daripada


(33)

Universitas Kristen Maranatha laki- laki, sehingga wanita lebih banyak menderita depresi dan kecemasan yang lebih besar dibandingkan dengan pria. Perempuan juga menunjukkan kepedulian yang lebih, empati, dan memberi lebih banyak kepada orang lain dibandingkan dengan laki- laki. Perempuan cenderung bertindak sebagai caregivers, membuka hati mereka untuk orang lain tanpa pamrih, namun mereka tidak menanamkan rasa peduli untuk diri sendiri (Neff, 2011). Demikian pula yang terjadi pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung. Mengingat sampel pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung maka jenis kelamin tidak dibahas mengenai pengaruhnya terhadap self-compassion secara mendalam.

Self-compassion secara eksternal dapat dipengaruhi oleh role of parents yang terdiri dari maternal criticism, dan modeling of parents. Maternal criticism dapat memengaruhi self-compassion yang dimiliki ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan orang tua mereka, serta menerima dan compassion kepada orang tua mereka, mereka cenderung akan memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Sedangkan ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang diasuh oleh orang tua yang dingin dan sering mengkritik, cenderung akan memiliki self-compassion yang rendah.


(34)

Universitas Kristen Maranatha Model pengasuhan dari orang tua para ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung juga dapat mempengaruhi self-compassion yang dimiliki ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung, yaitu model orang tua yang sering mengkritik diri dan orang tua yang self-compassion saat mereka menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua mereka yang sering mengkritik diri akan menjadi model bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung untuk melakukan hal itu saat ia mengalami kegagalan.

Faktor budaya atau role of culture memengaruhi derajat self-compassion. Indonesia termasuk negara dengan budaya kolektivis, dimana individu diharapkan menyesuaikan diri dengan idealisme masyarakat tempatnya tinggal dan memandang keluarga sangat penting (Hofstede, 1991). Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dituntut untuk lebih berkomitmen kepada keluarganya dan mengutamakan kepentingan keluarga khususnya anak penyandang Down Syndrome di atas kepentingan sendiri. Hidup dalam budaya kolektivis menawarkan bantuan dari orang lain saat mengalami masa – masa sulit yang dapat membantu ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung bersikap lebih toleran terhadap dirinya dan akan meningkatkan self-compassion. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas

“X” Bandung sangat menuntut diri mengutamakan orang lain hingga melupakan


(35)

Universitas Kristen Maranatha dan akhirnya membuat self-compassion menjadi rendah. Di sisi lain, terdapat budaya yang memfokuskan pada kepentingan individu. Pada budaya individualisme, kelemahan hidup dalam budaya yang menekankan etika kemandirian dan prestasi individual adalah bahwa jika individu tersebut tidak mencapai tujuannya yang ideal, individu merasa bahwa dirinya hanya pantas untuk disalahkan (Neff, Pisitsungkagarn, dan Hseih, 2008). Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980). Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung sangat menuntut diri mengutamakan dirinya sendiri, mereka lebih mudah menyalahkan diri bila keadaan tidak sesuai harapannya dan akhirnya membuat self-compassion menjadi rendah.

Secara garis besar, ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome

di Komunitas “X” Bandung yang dikatakan memiliki derajat self-compassion

tinggi akan memahami kekurangannya dalam mengasuh dan membesarkan anak yang menyandang Down Syndrome, berempati terhadap hal tersebut, dan menggantikan kritikan terhadap dirinya dengan memberikan respon yang lebih baik. Ibu dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada dirinya dan menyadari bahwa kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian dari


(36)

Universitas Kristen Maranatha kehidupan. Ibu lebih terhubung dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan. Pada saat yang bersamaan, ibu bisa melepaskan keinginannya untuk menjadi lebih baik dari orang lain sehingga bisa melihat kekurangan atau kegagalan yang dihadapi secara objektif tanpa menghindari atau melebih-lebihkan hal tersebut.

Derajat self-compassion yang tinggi akan memberi manfaat bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome, yaitu ibu akan memiliki emosi yang lebih stabil (emotional resilience) dalam mengurus anak penyandang Down Syndrome, memiliki self-esteem yang tinggi sehingga meningkatkan kepercayaan diri dalam merawat anaknya dan berorientasi pada perkembangan diri (motivation and personal growth), memiliki kebahagiaan hidup (well-being)

Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung dengan derajat self-compassion rendah akan terus-menerus mengkritik diri saat mengalami kegagalan atau saat menghadapi kekurangan diri dalam kehidupannya, misalnya saat mengetahui anaknya menyandang Down Syndrome dan saat gagal mengajari anaknya kemampuan bantu diri. Ibu juga menghindar dari kekurangan yang dimiliki atau kegagalan yang dihadapi agar tidak terus-menerus merasakan perasaan sedih atau kecewa serta juga dapat melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi dengan fokus pada kegagalan yang dilakukan di masa lalu, tanpa memerhatikan kegagalan yang dihadapinya saat ini.

Kerangka pemikiran tersebut dapat dijabarkan dalam bagan sebagai berikut :


(37)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Faktor-faktor yang memengaruhi : Faktor Internal

Personality Attachment Faktor Eksternal

The Role of Parents -Maternal Criticism -Modelling parents The Role of Culture

Komponen :

Mindfulness VS Identification Komponen :

Common humanity VS Isolation

Komponen :

Self-Kindness VS Self-Judgement

Rendah Ibu yang memiliki anak

penyandang Down

Syndrome di Komunitas “X” Bandung

Tinggi Self-Compassion


(38)

Universitas Kristen Maranatha 1.6Asumsi

1. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang berbeda-beda.

2. Self- compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung dipengaruhi oleh faktor internal yaitu personality.

3. Self- compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di

Komunitas “X” Bandung dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu role of parents

yang di dalamnya terdiri dari attachment, modeling of parents dan maternal criticism, serta role of culture.

4. Ketiga komponen self-compassion saling memengaruhi satu sama lain. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen self-kindness, common humanity dan mindfulness maka ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung memiliki self-compassion yang tinggi. Jika ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari ketiga komponen tersebut maka ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas


(39)

78 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung, maka diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang rendah. 2. Pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas

“X” Bandung dengan derajat self-compassion rendah, memiliki derajat yang sama (ketiga komponen rendah) dan sebagian lagi bervariasi pada ketiga komponennya.

3. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion rendah, sebagian besar memiliki trait extraversion, conscientiousness, dan extraversion-conscientiousness, memiliki orang tua yang sering mengkritik, orang tua memberi contoh sering mengkritik diri saat mengahadapi kegagalan serta tetap mendapatkan secure attachment dari orang tuanya.


(40)

Universitas Kristen Maranatha 4. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion tinggi, sebagian besar memiliki trait kepribadian tipe extraversion, mendapatkan kehangatan dan dukungan dari orang tuanya, memiliki model orang tua yang melakukan self-compassion saat mengalami kegagalan atau kesulitan, mendapatkan secure attachment dari orang tuanya serta memiliki budaya yang cenderung collectivist.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai studi hubungan antara komponen self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.

2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah pertanyaan yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhinya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion rendah, khususnya yang memiliki derajat rendah pada ketiga komponen, disarankan untuk lebih menyayangi diri ketika mengahadapi permasalahan dalam mengasuh anaknya, meyakini bahwa dirinya tidak sendirian dan ada


(41)

Universitas Kristen Maranatha ibu-ibu lain yang juga mengalami kesulitan dan kegagalan yang serupa serta menampilkan emosi yang seimbang ketika mengahadapi masalah dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome.

2. Bagi pengurus Komunitas “X” Bandung disarankan menghimpun seluruh anggota Komunitas “X” Bandung untuk mengikuti konseling, konsultasi dan sharing yang dilaksanakan secara teratur agar mereka dapat berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapi ibu. Hal tersebut dilakukan agar ibu dapat memertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang dimiliki.


(42)

81

Universitas Kristen Maranatha Birnie, K., Speca, M., Carlson, L. E. 2010. Exploring Self-compassion and Empathy in the Context of Mindfulness-based Stress Reduction (MBSR). Stress and Health, 26, 359-371.

Cynthia, Meyna. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Self-compassion pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Hassall, Rose, & McDonald. Parenting Stress in Mothers of Children with an Intellectual Disability: The Effects of Parental Cognitions in Relation to Child Characteristics and Family Support. Journal of Intellectual Disability Research, volume 49.Important For Survival. London : Harper Collin Business.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. 1980. Jakarta: Erlangga.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Lopez, Vicki, T. Clifford, P. Minnes, H.O. Kuntz. 2008. Parental Stress and Coping in Families of Children With and Without Developmental Delays. Journal on Developmental Disabilities, volume 14.

Mastuti, Endah. 2005. Analisis Faktor Alat Ukur Kepribadian Big Five (adapatasi dari IPIP) Pada Mahasiswa Suku Jawa. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Neff, K. D. 2003. Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-102.

_________. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. 2007. An examination of self-

compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.


(43)

82

Universitas Kristen Maranatha Neff, K. D., Lamb L. M. 2009. Self-Compassion. In S. Lopez (Ed.), The

Encyclopedia of Positive Psychology (pp. 864-867). Blackwell Publishing. Neff, K. D. & McGeehee, P. 2010. Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.

Santrock, John W. 2003. Life Span Development. New York: McGrawHill. Santrock, John W. 2010. Life Span Development 13th edition. New York: McGrawHill

Selikowitz, Mark. 1997. Down Syndrome: The Facts, second edition. Sydney: Oxford Press University.

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan VIII. Bandung: Rosda. Sugiyono. 2008. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Wei, M., Liao, K., Ku, T., & Shaffer, P. A. 2011. Attachment, selfcompassion, empathy, and subjective wellbeing among college students and community adults. Journal of Personality, 79, 191-221.


(44)

83

Universitas Kristen Maranatha Anonim. 2014. Characteristic of Down Syndrome. http://ndss.org. 10 April 2014 Duhita, Olivia. 2013. Cahaya Hidupku. Jakarta: Dian Rakyat.

Komunitas “X”. 2012. Profil Komunitas “X”.http:// Komunitas “X”..or.id/about.30 Juli 2013.

Neff, K.D. 2009. Self-compassion Scale for Researcher. http://www.self compassion.org. 20 Desember 2012.

Neff, K.D., 2009. List of Publication.

http://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.html. 20 Desember 2012.


(1)

78 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat self-compassion pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung, maka diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang rendah. 2. Pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas

“X” Bandung dengan derajat self-compassion rendah, memiliki derajat yang sama (ketiga komponen rendah) dan sebagian lagi bervariasi pada ketiga komponennya.

3. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion rendah, sebagian besar memiliki trait extraversion, conscientiousness, dan extraversion-conscientiousness, memiliki orang tua yang sering mengkritik, orang tua memberi contoh sering mengkritik diri saat mengahadapi kegagalan serta tetap mendapatkan secure attachment dari orang tuanya.


(2)

79

Universitas Kristen Maranatha 4. Ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion tinggi, sebagian besar memiliki trait kepribadian tipe extraversion, mendapatkan kehangatan dan dukungan dari orang tuanya, memiliki model orang tua yang melakukan self-compassion saat mengalami kegagalan atau kesulitan, mendapatkan secure attachment dari orang tuanya serta memiliki budaya yang cenderung collectivist.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai studi hubungan antara komponen self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.

2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah pertanyaan yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhinya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome di Komunitas “X” Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion rendah, khususnya yang memiliki derajat rendah pada ketiga komponen, disarankan untuk lebih menyayangi diri ketika mengahadapi permasalahan dalam mengasuh anaknya, meyakini bahwa dirinya tidak sendirian dan ada


(3)

80

Universitas Kristen Maranatha ibu-ibu lain yang juga mengalami kesulitan dan kegagalan yang serupa serta menampilkan emosi yang seimbang ketika mengahadapi masalah dalam mengasuh anak penyandang Down Syndrome.

2. Bagi pengurus Komunitas “X” Bandung disarankan menghimpun seluruh anggota Komunitas “X” Bandung untuk mengikuti konseling, konsultasi dan sharing yang dilaksanakan secara teratur agar mereka dapat berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapi ibu. Hal tersebut dilakukan agar ibu dapat memertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang dimiliki.


(4)

81

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, L. K., & Curry, J. F. 2011. Self-compassion: Conceptualizations,

correlates,& interventions. Review Of General Psychology, 15, No. 4, 289–303. Birnie, K., Speca, M., Carlson, L. E. 2010. Exploring Self-compassion and Empathy in the Context of Mindfulness-based Stress Reduction (MBSR). Stress and Health, 26, 359-371.

Cynthia, Meyna. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Self-compassion pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Hassall, Rose, & McDonald. Parenting Stress in Mothers of Children with an Intellectual Disability: The Effects of Parental Cognitions in Relation to Child Characteristics and Family Support. Journal of Intellectual Disability Research, volume 49.Important For Survival. London : Harper Collin Business.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. 1980. Jakarta: Erlangga.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Lopez, Vicki, T. Clifford, P. Minnes, H.O. Kuntz. 2008. Parental Stress and Coping in Families of Children With and Without Developmental Delays. Journal on Developmental Disabilities, volume 14.

Mastuti, Endah. 2005. Analisis Faktor Alat Ukur Kepribadian Big Five (adapatasi dari IPIP) Pada Mahasiswa Suku Jawa. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Neff, K. D. 2003. Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2, 85-102.

_________. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. 2007. An examination of self-

compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.


(5)

82

Universitas Kristen Maranatha Neff, K. D., Pisitsungkagarn, K., & Hseih, Y. 2008. Self-compassion and self-

construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K. D., Lamb L. M. 2009. Self-Compassion. In S. Lopez (Ed.), The Encyclopedia of Positive Psychology (pp. 864-867). Blackwell Publishing. Neff, K. D. & McGeehee, P. 2010. Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.

Santrock, John W. 2003. Life Span Development. New York: McGrawHill. Santrock, John W. 2010. Life Span Development 13th edition. New York: McGrawHill

Selikowitz, Mark. 1997. Down Syndrome: The Facts, second edition. Sydney: Oxford Press University.

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan VIII. Bandung: Rosda. Sugiyono. 2008. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Wei, M., Liao, K., Ku, T., & Shaffer, P. A. 2011. Attachment, selfcompassion, empathy, and subjective wellbeing among college students and community adults. Journal of Personality, 79, 191-221.


(6)

83

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2012. Tips Untuk Para Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus. http://lovira.com. 20 Desember 2012.

Anonim. 2014. Characteristic of Down Syndrome. http://ndss.org. 10 April 2014 Duhita, Olivia. 2013. Cahaya Hidupku. Jakarta: Dian Rakyat.

Komunitas “X”. 2012. Profil Komunitas “X”.http:// Komunitas “X”..or.id/about.30

Juli 2013.

Neff, K.D. 2009. Self-compassion Scale for Researcher. http://www.self compassion.org. 20 Desember 2012.

Neff, K.D., 2009. List of Publication.

http://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.html. 20 Desember 2012.