Studi Korelasi Mengenai Self-Compassion dan Life Satisfaction pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di Yayasan "X" Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara Self-Compassion dengan Life Satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X”Bandung. Responden penelitian ini berjumlah 32 orang. Self-compassion yang tinggi akan membuat ibu merasa puas dengan kehidupannya meski menghadapi kesulitan saat memiliki anak autis. Self-compassion yang tinggi juga melindungi ibu dari penilaian negatif ketika mengevaluasi kehidupannya.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur self-compassion adalah Self-Compassion Scale yang dikembangkan oleh Neff (2009) yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog (2014). Pada penelitian ini didapatkan 26 item valid (0.306 – 0.819) dan reliabilitas yang menggunakan alpha cronbach sebesar 0.885 (tinggi). Untuk mengukur life satisfaction, alat ukur yang digunakan dikonstruksi oleh peneliti yang disusun berdasarkan komponen-komponen life satisfaction oleh Ed Diener (1999) yang berjumlah 27 item valid (0.365 – 0.84) dan reliabilitas yang menggunakan alpha cronbach sebesar 0.953 (sangat tinggi).

Berdasarkan pengolahan data yang menggunakan teknik rank spearman didapatkan hasil r=0,619 artinya terdapat hubungan yang signifikan pada taraf kuat antara self-compassion dan life satisfaction, Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian kontribusi self-compassion pada life satisfaction untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh. Kata Kunci : Self-compassion, Life Satisfaction, ibu yang memiliki anak autis


(2)

Abstract

This study aims to investigate the correlation between Self-Compassion and Life Satisfaction of mothers whose children with autism at “X” Foundation in Bandung. There were 32 respondents participated in this study. With high level of Self-compassion, it could make mothers feel satisfied with their lives when facing difficulties in raising children with autism. Self-compassion also protects mother to dismiss negative assessment when evaluating her life. The instrument that used to measure self-compassion is Self-Compassion Scale, developed by Neff (2009), which was translated into Indonesian by Missiliana R., M.Si., Psikolog (2014). In this study, found 26 valid item (0.306-0.819) and the reliability using alpha cronbach of 0.885 (high reliability). To measure life satisfaction, the instruments that used to measure are constructed by a researcher who compiled based components of life satisfaction by Ed Diener (1999), which amounted to 27 valid items (0365 - 0.84) and reliability using alpha cronbach of 0.953 (very high).

Based on data processing, obtained r = 0.619, which means that self-compassion positively strong and significant correlated to the life satisfaction. Researchers suggested that others researchers could research the contributions of self-compassion in life satisfaction to gain a more comprehensive picture.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..….……….………..………….i

PENGESAHAN PEMBIMBING…….………..……….………...ii

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI...iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...iv

KATA PENGANTAR...v

ABSTRACT...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI…...…….………..………...xi

DAFTAR TABEL..……….………...….xiii

DAFTAR BAGAN……....………...………...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...……….….………..……….xv

BAB I PENDAHULUAN…...………..1

1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Identifikasi Masalah………...11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………...12

1.4 Kegunaan Penelitian………...…12 1.4.1 Kegunaan Teoretis………...12

1.4.2 Kegunaan Praktis……….12

1.5 Kerangka Pemikiran………...13

1.6 Asumsi………23

1.7 Hipotesis Penelitian………23


(4)

2.1 Self-compassion………...24

2.1.1 Definisi Self-compassion……...………..24

2.1.2 Komponen – komponen Self-compassion………...25

2.1.2.1 Self-kindness...25

2.1.2.2 Common Humanity…..………26

2.1.2.3 Mindfulness………26

2.1.3 Keterkaitan antara Komponen Self-compassion………..27

2.1.4 Dampak dari Self-compassion……….29

2.2 Life Satisfaction………..………30

2.2.1 Definisi Life Satisfaction……….30

2.2.2 Komponen Life Satisfaction………31

2.2.2.1 Desire to change life……….31

2.2.2.2 Satisfaction with current life………...31

2.2.2.3 Satisfaction with past………32

2.2.2.4 Satisfaction with future……….32

2.2.2.5 Significant others views of one’s life………33

2.3 Hubungan Antara Self-compassion dan Life Satisfaction………..34

2.4 Autisme………..34

2.4.1 Definisi Autisme………..………34

2.4.2 Karakteristik Anak Autis……….35

2.4.3 Penyebab Autis………37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...…….39

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian………...39

3.2 Bagan Prosedur Penelitian...………...…39


(5)

3.3.1 Variabel Self-compassion………....40

3.3.1.1 Definisi Operasional Self-compassion………..40

3.3.2 Variabel Life Satisfaction..………..41

3.3.2.1 Definisi Operasional Life Satisfaction………..41

3.4 Alat Ukur………....42

3.4.1 Alat Ukur Self-compassion………..42

3.4.2 Alat Ukur Life Satisfaction………..44

3.4.3 Data Pribadi……….46

3.4.4 Validitas dan Realibilitas Alat Ukur………...46

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur………..46

3.4.4.1.1 Validitas Alat Ukur Self-compassion………46

3.4.4.1.2 Validitas Alat Ukur Life Satisfaction………47

3.4.4.2 Realibilitas Alat Ukur………...…47

3.4.4.2.1 Realibilitas Alat Ukur Self-compassion………47

3.4.4.2.2 Realibilitas Alat Ukur Life Satisfaction……….48

3.5 Populasi………..48

3.5.1 Populasi Sasaran………..…48

3.5.2 Karakteristik Populasi……….48

3.6 Teknik Analisis Data………...………...49

3.7 Hipotesis Statistik………...49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...….…..51

4.1 Gambaran Sampel Penelitian...………...51

4.2 Hasil Penelitian...………...52

4.2.1 Hasil Korelasi Self-compassion dan Life Satisfaction………...51


(6)

4.2.3 Hasil Korelasi Komponen Common Humanity dan Life Satisfaction….54

4.2.4 Hasil Korelasi Komponen Mindfulness dan Life Satisfaction………...54

4.3 Pembahasan...………...55

4.4 Diskusi…...………...61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...………...…...…..63

5.1 Simpulan...………...63

5.2 Saran Teoritis...………...63

5.2 Saran Praktis...………...64

DAFTAR PUSTAKA……….…..66

DAFTAR RUJUKAN………..68


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur Self-Compassion……….…………...43

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Self-Compassion……….……….44

Tabel 3.3 Gambaran Alat Ukur Life Satisfaction……….………...45

Tabel 3.4 Sistem penilaian Life Satisfaction……….………..46

Tabel 3.5 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r………49

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia………51

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir………..51

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan………...52

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Penghasilan Total Keluarga/Bulan………52

Tabel 4.5 Korelasi Self-Compassion dan Life Satisfaction………...53

Tabel 4.6 Korelasi Komponen Self-Kindness dan Life Satisfaction………...53

Tabel 4.7 Korelasi Komponen Common Humanity dan Life Satisfaction………..54


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir………...………22 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian………...40


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur Self-Compassion Lampiran 2 Kisi – Kisi Alat Ukur Life Satisfaction Lampiran 3 Kuisioner

Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 5 Hasil Data SPSS

Lampiran 6 Profil Yayasan “X” Bandung Lampiran 7 Data Hasil Kuisioner


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehadiran anak dalam suatu pernikahan dianggap sebagai hasil cinta pasangan suami istri, pencapaian dan pelengkap dalam suatu kehidupan pernikahan. Harapan semua orangtua adalah mendapatkan anak yang normal dan sehat namun pada kenyataanya tidak semua orangtua mendapatkan anak yang sesuai dengan harapannya. Harapan orangtua untuk memiliki anak normal bisa berubah menjadi kekecewaan ketika mengetahui bahwa anaknya memperlihatkan masalah dalam perkembangan. Salah satu masalah yang dapat terjadi adalah memiliki anak autis.

American Psychiatric Association mendefinisikan autism khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan atau gangguan perkembangan pada otak yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan fungsi yang abnormal dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas, berulang dan khas (Benson dalam APA, 2016). Autism Spectrum Disorder (ASD) dikarakteristikkan dengan kesulitan dalam interaksi sosial yang sesuai dengan usianya seperti tidak responsif saat namanya dipanggil dan kurang dapat mempertahankan kontak mata. Selain itu lemah dalam komunikasi verbal seperti delay speech, babbling, echolalia maupun non-verbal seperti gesture tubuh, ekspresi wajah. Anak autis juga menunjukkan gerakan aneh yang khas dan diulang - ulang serta terpaku pada satu aktivitas ataupun benda tertentu (APA, 2013).

Karakteristik unik yang dimiliki anak autis memengaruhinya dalam berkomunikasi dan berelasi dengan orang lain terutama orangtua. Anak autis kurang dapat menggunakan ekspresi


(11)

wajah dan gesture dalam menyampaikan keinginan dan perasannya sehingga seringkali anak menarik tangan ibunya untuk mengambilkannya sesuatu yang diinginkannya (Mash dan Wolfe, 2013). Selain itu juga orangtua harus selalu memberikan pengawasan intens sepanjang hidupnya karena perkembangan unik yang diperlihatkan oleh anak membuatnya sulit untuk mandiri seutuhnya dan seringkali menampilkan tingkah laku yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan pemahaman bahwa meskipun orangtua telah berusaha sebaik mungkin tetapi kecil kemungkinan anaknya dapat berkembang seperti anak normal lainnya. Mereka memiliki kualitas hidup yang lebih rendah, lebih pesimis, dibandingkan orangtua yang memiliki anak normal maupun yang memiliki anak dengan disabilitas lain (Cappe dalam Neff dan Faso, 2014).

Meskipun ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya dalam mengasuh anak, namun yang paling dominan adalah ibu. Ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anak (Bowlby dalam Rahmah, 2013). Seringkali ibu merasa gagal dan putus asa saat menghadapi kesulitan dalam menghadapi perkembangan unik dari anaknya yang autis, padahal perasaan gagal dan putus asa akan menghambat orangtua dalam mengasuh dan mendampingi anak mereka.

Menurut Jordan (dalam Joko, 2013) terdapat 6 kesulitan yang umumnya dihadapi oleh orangtua, khususnya ibu saat memiliki anak autis. Kesulitan tersebut adalah parents lack of expertise, parents self-esteem, life-long condition, multiple effects, social emotional effects, dan explanation and social support.

Kesulitan yang pertama, parents lack of expertise adalah ketidakahlian ibu dalam menangani kebutuhan anaknya yang autis. Ketidakahlian ibu diakibatkan kurangnya informasi dalam menangani anak autis dan kurang terampilnya ibu untuk mengaplikasikan informasi tersebut saat menangani kebutuhan anaknya yang autis. Kesalahan atau kegagalan saat menangani anaknya dapat membuat ibu kurang percaya diri dengan kemampuannya dalam


(12)

3 mengasuh anak. Hal ini terkait dengan kesulitan yang kedua yaitu parents self-esteem. Selanjutnya adalah sulitnya ibu untuk mengantisipasi keadaan ketika anak semakin dewasa, karena kondisi unik anak akan berlangsung sepanjang kehidupannya (long life condition). Ketika ibu cemas dan takut dengan kondisi anaknya yang autis, hal tersebut membuat ibu kurang dapat berpikir secara luas untuk mengantisipasi keadaan di masa depan.

Kesulitan berikutnya adalah multiple effects, yaitu ketika memiliki anak autis membuat ibu sulit untuk melakukan hal – hal lain di luar mengasuh anaknya yang autis. Disamping harus mengawasi aktivitas anak autisnya, ibu juga perlu melakukan tugas kerumahtanggaan lainnya seperti mencuci, membersihkan rumah, mengurus kebutuhan suami dan anaknya yang lain. Terkadang ibu tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut menumpuk. Hal tersebut dapat membuat ibu mengalami compassion fatigue, yaitu ketika ibu mengalami kelelahan secara emosional untuk memberikan empati. Hal ini memberikan pengaruh besar terkait dengan kesulitan yang kelima, yaitu social emotional effects atau bagaimana kondisi emosional ibu saat berinteraksi dengan orang lain. Ibu mengalami kesulitan untuk mengendalikan kondisi emosinya saat berhadapan dengan terapis, guru, ibu lain, bahkan dengan anaknya yang autis. Ibu menjadi tidak sabar, mudah marah, ketus atau terlihat tidak peduli saat berinteraksi dengan orang lain. Kesulitan yang terakhir adalah explanation and social support. Dalam hal ini kesulitan yang dihadapi ibu adalah saat ibu kurang memiliki dukungan informasi dan sosial mengenai autism yang sangat dibutuhkannya untuk memudahkannya dalam mengurus anaknya yang autis.

Yayasan “X” Bandung adalah sekolah sekaligus tempat terapi bagi penyandang autis maupun bagi anak berkebutuhan khusus lainnya. Yayasan “X” Bandung memberikan layanan dengan biaya terjangkau bahkan gratis bagi kalangan menengah bawah. Guru dan terapis memberikan informasi mengenai perkembangan anak secara berkala setiap selesai terapi. Orangtua selalu mendapatkan informasi terbaru secara berkala mengenai perkembangan anak


(13)

mereka melalui buku harian kegiatan anak, selain itu guru dan terapis juga memberikan arahan kepada orangtua mengenai hal – hal yang perlu dilakukan untuk menambah keterampilan anak. Saat ini terdapat 47 siswa aktif yaitu 32 anak yang menyandang autis dan 15 sisanya adalah down syndrome dan retardasi mental.

Dalam menghadapi kesulitan saat memiliki anak yang autis, terutama saat mengasuh dan mendampingi anaknya, ibu diharapkan memiliki kesadaran terhadap penderitaan yang dihadapinya tanpa menghakimi, melihat kegagalan saat mengasuh anak sebagai sesuatu yang manusiawi, berusaha memiliki pikiran terbuka, yang dalam istilah psikologi dinamakan sebagai self-compassion.

Self-compassion adalah kemampuan individu untuk memberikan pemahaman dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan. Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama, yaitu self-kindness, a sense of common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003b). Dengan self-compassion seseorang akan lebih mampu untuk mengatasi emosinya saat mengalami kesulitan (Neff, Rude, & Kickpatrick, 2007). compassion membuat seseorang lebih percaya diri dan tidak takut gagal (Neff et al, 2007). Self-compassion memiliki peran penting bagi ibu dalam menghadapi sulitnya membesarkan anak yang autis (Neff, 2014). Ibu yang memiliki self-compassion yang tinggi akan lebih mampu untuk memberikan kasih sayang dan pemahaman terhadap diri sendiri, dapat mengingat bahwa semua orang dapat merasakan penderitaan dan kegagalan. Ibu yang self-compassionate akan mampu mengendalikan emosinya untuk menghadapi tantangan ketika menangani anaknya yang autis.

Berdasarkan survey awal yang didapatkan peneliti dari 5 (lima) ibu di Yayasan “X” Bandung, ibu memberikan reaksi yang berbeda – beda saat menghadapi 6 kesulitan dalam mengasuh anaknya yang autis. Reaksi yang diberikan oleh ibu menunjukkan kecenderungan self-compassion yang dimilikinya. Pada kesulitan yang pertama yaitu parents lack of expertise,


(14)

5 empat ibu (80%) mengalami kebingungan dalam menangani kebutuhan dan menghadapi tingkah laku anaknya yang berbeda dari anak yang normal. Misalnya ketika anak mengalami kesulitan dalam komunikasi untuk dapat mengungkapkan keinginannya, ibu tidak mengerti apa yang diinginkan anak dan anak menjadi tantrum sehingga ibu menjadi semakin bingung untuk menangani anaknya yang tantrum. Ibu menghayati dirinya bodoh karena tidak mampu membantu anaknya dan mengurung anaknya di rumah karena merasa malu. Satu ibu lainnya (20%) saat menghadapi kesulitan untuk menangkap apa yang diinginkan anaknya dan anak menjadi tantrum, ia berkonsultasi dengan psikolog dan terapis bagaimana cara menangani anaknya. Disamping itu, ibu juga mencari informasi dengan membaca buku mengenai cara menangani anak autis. Ibu merasa bahwa dibutuhkan kesabaran, usaha serta waktu yang lebih banyak untuk dapat memahami apa yang diinginkan anak. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar ibu lebih fokus pada ketidakmampuannya untuk menangani anak sehingga mereka memiliki perspektif yang sempit dan akhirnya mengurung diri dari lingkungan. Ketika ibu mengasingkan diri maka ibu akan sulit mencari informasi untuk dapat mengatasi kesulitan yang ia hadapi.

Untuk kesulitan yang kedua yaitu parents self-esteem, sebanyak tiga ibu (60%) yang sudah memiliki informasi dalam mengasuh anaknya yang autis, saat mencoba mengaplikasikannya ke anaknya, namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Misalnya, seperti ibu yang harus mendisiplinkan anak namun malah membuat anak menjadi tantrum. Ibu merasa dirinya tidak berguna dan merasa tidak percaya diri karena tidak mampu mendisiplinkan anak. Salah satu ibu menyalahkan dirinya sendiri atas ketidakmampuan dan keterbatasan yang dialami anak. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka kurang dapat melihat kegagalan sebagai hal yang lumrah, menghakimi diri sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keterbatasan yang dialami anaknya. Ibu kurang dapat melihat situasi yang ada dengan objektif.


(15)

Untuk kesulitan yang ketiga yaitu long–life condition, sebanyak 5 orang ibu (100%) kurang dapat mengantisipasi masa depan. Ibu takut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi karena merasa tidak yakin anaknya dapat mencapai hal tersebut. Ibu menjadi sangat toleran terhadap ketidakmampuan anak dalam menguasai suatu keterampilan tertentu karena merasa kasihan dengan keterbatasan yang dimiliki anak. Ibu enggan mengantisipasi ke masa depan mengenai apa saja yang harus dipersiapkan ketika anak memasuki fase tertentu seperti ketika anak masuk fase remaja dan dewasa. Ibu lebih memilih untuk memikirkannya nanti saja ketika anak sudah memasuki fase tersebut. Padahal dengan mengantisipasi akan memudahkan ibu karena lebih mengetahui keterampilan yang diperlukan saat anak memasuki fase tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa ibu kurang dapat berpikir secara luas untuk mengantisipasi kebutuhan anaknya di masa depan.

Untuk kesulitan yang keempat yaitu multiple effects, sebanyak empat orang ibu (80%) mengeluhkan kesulitannya untuk tetap update mengenai kondisi anaknya melalui konsultasi dengan terapis dan guru di yayasan “X”. Belum lagi ibu harus mengurus pekerjaan rumah tangga seperti membuat makanan, mencuci, dan lainnya karena ibu tidak sanggup membayar pembantu, maka banyak dari ibu terpaksa berhenti dari pekerjannya karena ingin fokus mengurus keluarga terutama anaknya yang autis. Terkadang ibu tidak dapat menyelesaikan semua tugas tersebut yang akhirnya menumpuk. Sebagian besar ibu merasa bebannya sangat berat dan tidak ada yang membantunya. Selain itu ibu merasa tidak ada waktu untuk diri sendiri dan waktu untuk berinteraksi dengan tetangga ataupun teman-temannya karena waktunya habis tersita untuk mengurus anaknya yang autis. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar ibu merasa terisolasi dengan beban yang dirasakannya sehingga membuatnya menjadi self-pity bahwa tidak ada orang lain yang dapat meringankan bebannya.

Kesulitan yang kelima yaitu social emotional effects, sebanyak tiga ibu (60%) mampu untuk mengendalikan kondisi emosionalnya. Saat anak tidak mau menuruti perintah ibu seperti


(16)

7 tidak mau duduk diam saat makan. Meskipun ibu merasa kesal, hal yang ibu lakukan adalah berusaha untuk membujuk anak. Tidak jarang anak menjadi tantrum namun ibu tetap berusaha sabar dan menenangkan anaknya lalu menasihatinya ketika anak dapat diajak bicara. Selain itu ketika berhadapan dengan ibu lain atau terapis ibu biasanya meminta maaf terlebih dahulu ekspresi wajahnya kurang hangat akibat kelelahan. Sedangkan 2 ibu (40%) lainnya mengaku seringkali meninggalkan anaknya dan mengurung diri di kamar atau menitipkan anaknya kepada ayahnya karena merasa diri tidak dapat melakukan hal yang benar. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar ibu mampu untuk mengendalikan emosinya sehingga tidak fokus pada hal negatif dan mampu menilai situasi untuk mencari cara untuk mengatasi masalah.

Sedangkan untuk kesulitan yang keenam, yaitu explanation and social support. Tidak ada ibu yang merasakan kesulitan ini. Ibu menganggap bahwa ibu-ibu lain yang berada di Yayasan “X” tersebut sebagai teman sepenanggungan sehingga ibu menjadi lega ketika mencurahkan isi hatinya dan ibu lainnya menanggapi dengan positif, yaitu memberikan semangat dan masukan agar dapat mengendalikan anak dengan lebih baik. Hal ini mengindikasikan bahwa semua ibu mampu untuk membuka diri dan mengamati bahwa ada ibu lain yang juga merasakan hal yang sama. Ibu lebih mampu untuk memberikan pemahaman terhadap kekurangannya dan lebih memiliki pikiran yang terbuka dalam menerima saran untuk menghadapi kesulitan menangani anaknya yang autis.

Dari hasil survey awal terhadap 5 (lima) orang ibu mengenai reaksinya ketika menghadapi 6 kesulitan saat memiliki anak yang autis, menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (60%) memberikan reaksi yang cenderung negatif yang menunjukkan kecenderungan self-compassion yang rendah. Hal ini terlihat dari ibu yang lebih banyak fokus terhadap ketidakmampuannya atau kegagalannya ketika menghadapi kesulitan ketika memiliki anak autis sehingga ibu kurang memiliki pikiran yang terbuka untuk mengatasi kesulitannya tersebut. Meskipun ibu dapat


(17)

melihat bahwa terdapat ibu lain yang sama – sama memiliki anak autis memiliki kesulitan dan saling berbagi pengalaman dalam mengasuh anak autis yang lebih baik, namun ibu merasa bahwa orang lain tidak dapat membantunya dalam mengatasi kesulitan dalam mengasuh anaknya yang autis.

Sebaliknya, harapannya adalah ibu lebih mampu untuk memberikan pemahaman terhadap diri dan menghargai diri ketika menghadapi kesulitan saat memiliki anak autis, tidak menarik diri karena mampu mengamati bahwa banyak ibu lain yang juga memiliki anak autis mengalami hal yang sama sehingga mampu menganggap kesulitan sebagai keadaan yang sangat wajar. Hal tersebut membuat ibu mampu berpikir positif dalam menilai kejadian baik maupun buruk dalam hidupnya. Ibu lebih dapat mengolah dan mengendalikan emosinya untuk menghadapi kesulitan saat memiliki anak autis sehingga ibu lebih mampu untuk menerima dan puas terhadap kehidupannya atau life satisfaction. Dengan self-compassion ibu akan tetap merasa puas terhadap apa yang dimilikinya meskipun sedang berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan.

Meskipun belum banyak penelitian mengenai hubungan antara self-compassion dan life satisfaction yang peneliti ketahui, namun terdapat penelitian bahwa self-compassion terkait dengan positive psychological outcomes seperti kebahagiaan, optimisme, dan life satisfaction (Neff et al., 2008). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2012) pada mahasiswa di UII membuktikan bahwa mahasiswa lebih puas terhadap kehidupannya ketika memiliki self-compassion yang tinggi yang membantunya mentolerir kekurangan dan hal – hal yang tidak berjalan sesuai dengan harapannya.

Selain itu juga berdasarkan penelitian Neff dan Faso (2014) mengenai well-being pada orangtua yang memiliki anak autis, yaitu bahwa self-compassion diasosiasikan dengan life satisfaction yang lebih positif karena self-compassion dapat memunculkan pemenuhan dan keberhargaan terhadap hidup ketika ibu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat


(18)

9 memiliki anak autis. Jadi, ibu yang memiliki derajat self-compassion yang tinggi maka derajar life satisfaction yang dihayati ibu semakin positif.

Life satisfaction mengacu pada judgmental process, di mana individu menilai kualitas hidup mereka atas dasar kriteria unik yang mereka tetapkan sendiri sebagai standar ideal. Lebih lanjut lagi, Diener mengungkapkan bahwa life satisfaction mengacu pada seberapa mampu seseorang menilai kehidupannya berjalan dengan baik. Semakin kecil perbedaan yang dirasakan yaitu antara apa yang diharapkan dengan apa yang dicapai oleh individu maka semakin besar kepuasan hidup seseorang (Diener et al., 2012).

Self-compassion menjadi prediktor kuat dalam kepuasan hidup yang dirasakan seseorang (Allen dalam Uysal, 2014). Ketika seseorang puas dengan kehidupannya atau menerima hidup apa adanya, ia dapat memberikan penerimaan ketika menghadapi penderitaan. Sejalan dengan hal tersebut, self-compassion melindungi seseorang melawan penilaian negatif ketika mengevaluasi kehidupannya.

Life satisfaction memiliki 5 komponen, yaitu desire to change life, satisfaction with current life, satisfaction with past, satisfaction with future, significant others views of one’s life (Diener, 1999). Bila dikaitkan dengan ibu yang memiliki anak autis, desire to change life adalah ketika ibu menunjukkan usaha untuk mencapai keinginan yang telah ditetapkannya atau usaha yang dilakukan ibu untuk mencapai kepuasan sesuai dengan standar idealnya, misalnya ketika ibu lebih memiliki keinginan untuk mengupdate informasi mengenai perkembangan dan terapi anak sehingga ibu lebih mampu untuk mengendalikan dan mengajarkan anak keterampilan baru. Satisfaction with current life adalah ketika ibu menerima kondisinya saat ini bahwa meskipun ibu mampu mengajarkan keterampilan dan berhasil, ibu juga menerima bahwa anaknya tidak akan berkembang seperti anak normal pada umumnya. Satisfaction with past adalah ketika ibu mampu menerima bahwa kehidupannya tidak sama dengan sebelum memiliki anak autis dan ketika ibu pernah mengalami kegagalan sebelumnya dalam mengasuh anaknya.


(19)

Satisfaction with future, ketika ibu memiliki penghayatan tetap menerima dan puas dengan kondisinya di masa depan yang harus mengawasi anaknya sepanjang hidupnya. Significant others views of one’s life adalah ketika pandangan orang – orang di lingkungannya terhadap kehidupan ibu memengaruhinya dalam menghayati kepuasan hidupnya. Semakin ibu terfokus atau terpengaruh dengan pandangan orang lain maka semakin kurang puas penghayatan hidup ibu.

Individu yang puas akan kehidupannya adalah individu yang menilai bahwa kehidupannya memang tidak sempurna tetapi segala sesuatu berjalan dengan baik (Diener, 1999). Selain itu individu yang memiliki life satisfaction tinggi adalah individu yang memiliki tujuan penting dalam hidupnya dan mempunyai keinginan untuk memperbaiki hidupnya (Diener, 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Uysal tahun 2014, diilustrasikan bahwa dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri (self-kindness), melihat penderitaan yang dialami sebagai bagian dari kehidupan manusia (common humanity), menahan pikiran dan perasaan yang negatif dengan pikiran yang objektif (mindfulness) dapat membuat seseorang ketenangan emosional, merasa nyaman dengan hidupnya saat menghadapi kehidupan yang tidak sempurna sehingga membuatnya lebih puas terhadap hidupnya.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di yayasan “X” Bandung mengenai kepuasan hidup yang dirasakannya, sebanyak 4 ibu (80%) menghayati hidupnya sudah memiliki hampir semua yang diinginkannya yaitu dapat hidup dengan suami dan anak meskipun anak penyandang autis. Ibu menerima hal tersebut karena anak merupakan titipan Tuhan yang harus dijaga dan ibu sadar bahwa dirinya tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, salah satunya memiliki anak autis. Selain itu juga ibu tetap berusaha untuk mengoptimalkan keadaan anaknya dengan memberikan terapi. Sedangkan 1 ibu (20%) menghayati meskipun sudah cukup menerima bahwa anaknya memang autis, namun bila ada yang bisa diubah maka ibu ingin mengubah anaknya yang autis agar bisa menjadi normal dan


(20)

11 ibu berpikir untuk menambah anak dan berharap anaknya kemudian dapat lahir normal tetapi ibu merasa terhambat dalam merawat anaknya autis sehingga ibu masih mempertimbangkan hal tersebut.

Self-compassion menjadi penting diteliti pada ibu yang memiliki anak autis karena self-compassion dapat membantu ibu dan memberikan keberhargaan diri ketika menghadapi kesulitan dalam mengasuh anaknya yang autis sehingga ibu lebih menerima dan puas dengan hidupnya. Ketika ibu puas dengan kehidupannya atau ketika life satisfaction yang dirasakan ibu tinggi maka ibu lebih dapat menerima ketidaksempurnaan yang ada di dalam hidupnya.

Ibu adalah pihak yang terkena dampak langsung dari pengasuhan dan gangguan autistik anak, sehingga peran dan fungsi ibu sangat diperlukan dalam mengasuh anak. Ibu perlu nyaman dengan keadaan yang dialaminya saat ini untuk dapat optimal memberikan asuhan yang hangat terhadap anak (Rahmah, 2013).

Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai self-compassion yang dimiliki ibu dan hubungannya dengan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui seberapa kuat hubungan antara self-compassion dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” di Bandung.


(21)

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai korelasi antara self-compassion dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa kuat derajat hubungan antara self-compassion beserta komponen variabel self-self-compassion, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness dan variabel life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Memberikan tambahan informasi mengenai hubungan antara self-compassion dan life satisfaction ke dalam bidang ilmu Psikologi Positif dan Psikologi Klinis.

2. Memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai hubungan antara self-compassion dan life satisfaction. 1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung mengenai hubungan antara self-compassion dan kaitannya dengan life satisfaction untuk mengembangkan pemahaman mengenai tindakan apa yang perlu dilakukan dalam menghadapi anaknya yang autis.

2. Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung mengenai pentingnya self-compassion yang dimiliki ibu yang memiliki anak autis di


(22)

13 Yayasan “X” Bandung dalam menghadapi kesulitan saat memiliki anak autis untuk dapat meningkatkan kepuasan hidupnya.

3. Memberikan acuan kepada pihak yayasan “X” Bandung (kepala yayasan, terapis, dan guru) untuk membuat seminar atau bahan evaluasi mengenai informasi tentang pentingnya self-compassion bagi ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung dalam menghadapi kesulitan saat memilki anak autis yang berpengaruh pada kepuasan hidupnya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perkembangan unik dan karakteristik yang ditunjukkan anak autis membuat ibu menghadapi kesulitan dalam memberikan pengasuhan terhadap anaknya. Dalam menghadapi sulitnya memiliki anak autis khususnya mengasuh anaknya yang autis, ibu membutuhkan kemampuan yang dapat membuat ibu memberikan pemahaman terhadap diri ketika menghadapi kegagalan ataupun kesalahan saat mengasuh anaknya tanpa berlebihan mengkritik atau menyalahkan diri, melihat kegagalan saat mengasuh anak sebagai sesuatu yang manusiawi serta berusaha untuk berpikiran terbuka. Hal ini disebut dengan self-compassion.

Self-compassion adalah kemampuan yang dimiliki oleh ibu untuk dapat memberikan pemahaman dan kebaikan pada diri ketika gagal atau berbuat kesalahan dalam mengasuh anak, tanpa menghakimi kekurangan dan kegagalan secara berlebihan, memandang penderitaan saat memiliki anak autis sebagai kejadian yang lumrah dialami oleh manusia dengan tidak menghindari penderitaan tersebut, kesalahan, dan kegagalan yang dialaminya. Self-compassion pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung terlihat melalui tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness.


(23)

Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan berkombinasi satu dengan yang lain. Self-compassion dikatakan tinggi apabila ketiga komponennya tinggi sehingga kecenderungannya apabila satu komponen tinggi maka komponen yang lain juga tinggi dan menghasilkan compassion yang tinggi. Sebaliknya jika salah satu komponen rendah maka menghasilkan self-compassion yang rendah.

Komponen pertama adalah self-kindness. Self-kindess adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan memberikan kelembutan terhadap diri sendiri tanpa menghakimi diri sendiri (self-judgment) saat menghadapi kesulitan atau kegagalan. Self-kindness pada ibu terlihat dari saat ibu tidak mampu untuk mengendalikan anak atau ibu melakukan kesalahan dalam mengasuh anak, ibu tidak hanyut dalam menyalahkan diri sendiri atas kekurangan yang dialami anaknya. Sebaliknya self-judgment adalah saat ibu mengkritik diri dan fokus pada kekurangan saat mengalami kesalahan saat mengasuh anaknya. Ketika ibu sadar dan realistis bahwa karena perkembangan unik yang dialami anaknya membuat anak tidak mampu menerima pembelajaran seperti anak normal sehingga dibutuhkan kesabaran dan empati terhadap diri bahwa kesulitan dan kegagalan yang dialami ibu adalah hal yang umum terjadi. Hal ini berkaitan dengan komponen kedua.

Komponen kedua adalah common humanity. Common humanity adalah kemampuan seseorang untuk memandang dan merasakan bahwa kesulitan dan kegagalan yang dialami adalah hal yang lumrah dan merupakan bagian dari kondisi alami manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (self-isolation). Common humanity pada ibu terlihat ketika ibu mengamati dan memahami bahwa tidak hanya dirinya yang mengalami kesulitan dalam mengurus anak yang autis, ibu memberikan kelembutan pada diri sehingga ibu tidak menarik atau mengurung diri atau malu dengan kekurangannya. Ibu yang memiliki common humanity akan mampu berbagi pengalaman dengan ibu lain dalam hal pengasuhan terhadap anak autis. Sebaliknya, ibu yang memiliki self-isolation akan fokus pada kekurangan dirinya dan merasa lemah dan tidak


(24)

15 berharga. Bahwa kesulitan ini hanya dialaminya sendiri dan tidak ada orang lain yang dapat membantunya. Kesadaran bahwa ada ibu lain mengalami hal yang sama membuat ibu menjadi lebih berpikiran terbuka. Hal ini berkaitan dengan komponen yang ketiga.

Komponen ketiga adalah mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan seseorang untuk melihat pengalaman yang dialami dengan jelas dan seimbang , sehingga tidak teridentifikasi dengan pikiran atau perasaan yang negatif (overidentification) terhadap hal yang ada di dalam diri maupun di dalam kehidupannya. Mindfulness pada ibu terlihat ketika ibu mampu memberikan kelembutan pada diri maka ibu tidak hanyut dalam perasaan bersalahnya dan mampu untuk berpikiran terbuka. Ibu mampu melihat situasi secara objektif dan lebih mampu untuk menemukan cara yang efektif yang terbaik dalam mengasuh anak. Ibu tidak segan untuk mencari informasi dengan bertanya mengenai cara menangani anak autis. Selain itu juga ketika ibu mampu berpikiran secara objektif, ibu tidak hanyut dalam kesedihan atas apa yang dialami anaknya sehingga ibu tahu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, misalnya dengan menuruti segala keinginan anaknya tidak memberikan pembelajaran yang baik bagi anak. Ibu tidak merasa bersalah jika anaknya menangis karena mengetahui bahwa hal tersebut penting untuk dilakukan. Sebaliknya ibu yang overidentification, akan menunjukkan reaksi yang berlebihan seperti cemas dan takut yang mencekam sehingga kurang dapat berpikir secara luas untuk mengatas kesulitan yang dihadapinya saat mengasuh anak.

Saat ibu tidak hanyut dalam perasaan bersalahnya ketika mengalami kegagalan dalam mengasuh anak (self-kindness), memahami bahwa kegagalan adalah hal yang lumrah dan tidak menarik diri dari lingkungan (common humanity), sehingga mampu untuk berpikiran terbuka untuk mencari solusi yang tepat atas kesulitan atau kegagalan yang dihadapinya saat memiliki anak yang autis (mindfulness). Hal tersebut membuat ibu memiliki ketenangan emosional untuk menghadapi kesulitan saat memiliki anak autis sehingga lebih menunjukkan penerimaan dan kepuasan terhadap hidup atau life satisfaction.


(25)

Life satisfaction atau kepuasan hidup yang dimiliki ibu adalah ketika menilai kondisi kualitas hidupnya berdasarkan kriteria unik yang ditetapkannya saat memiliki anak autis, semakin kecil perbedaan antara harapan dan kenyataan maka semakin besar kepuasan hidupnya. Life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung dilihat melalui 5 komponen, yaitu : desire to change life, satisfaction with current life, satisfaction with past, satisfaction with future, dan significant others views of one’s life.

Desire to change life adalah adanya usaha untuk mencapai keinginan yang telah ditetapkannya atau usaha yang dilakukan ibu untuk mencapai kepuasan sesuai dengan standar idealnya terkait dengan kondisi hidupnya yang memiliki anak autis. Satisfaction with current life adalah kepuasan terhadap kondisi hidupnya saat ini terkait dengan kehidupannya yang memiliki anak autis. Satisfaction with past adalah ketika ibu menerima keadaan kehidupannya di masa lalu. Satisfaction with future kepuasan ibu terhadap kondisi di masa depan saat memiliki anak autis. Significant others views of one’s life adalah bahwa pandangan orang - orang terhadap kehidupan ibu dapat memengaruhi pandangan ibu terhadap kehidupannya.

Self-compassion terkait dengan positive psychological outcomes seperti kebahagiaan, optimisme, dan life satisfaction (Neff et al., 2008). Selain itu juga berdasarkan penelitian Neff dan Faso (2014) bahwa self-compassion diasosiasikan dengan life satisfaction yang lebih positif karena self-compassion dapat memunculkan pemenuhan dan keberhargaan terhadap hidup ketika ibu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat memiliki anak autis.

Saat ibu mengevaluasi atau menilai kehidupannya, ibu akan menilai apa saja yang sudah didapatkan dalam kehidupannya, bagaimana cara mendapatkannya, dan cara ibu menanggapi apa yang tidak bisa dicapai karena tidak sesuai dengan kriteria ideal dalam hidupnya. Ketika harapannya memiliki anak normal tidak tercapai, ibu dapat tetap tenang maka ibu akan memikirkan kembali standar ideal yang sesuai dengan kehidupannya saat ini memiliki anak autis. Maka dalam membuat standar ideal ibu akan menyesuaikan kembali dengan keadaan


(26)

17 anaknya yang autis, seperti ibu menurunkan standar idealnya agar sesuai dan realistis dengan keadaannya saat ini. Ketika jarak antara standar atau harapan dan kenyataan semakin kecil maka semakin tinggi kepuasan yang dirasakan oleh ibu.

Jadi keterkaitan antara compassion dengan life satisfaction, bahwa dengan self-compassion yang tinggi ibu akan menunjukkan usaha yang optimal untuk mencapai keinginannya terkait dengan kondisi hidupnya yang memiliki anak autis serta puas dengan apa yang dilakukannya saat ini. Ibu juga mampu menerima bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak sia-sia termasuk kegagalan-kegagalan yang dilakukannya di masa lalu karena ibu mampu menganggap bahwa hal tersebut adalah pengalaman yang berharga. Sehingga ibu dapat optimis untuk dapat menjalankan kehidupannya di masa depan nanti karena ibu memiliki harapan bahwa nanti di masa tuanya ibu akan dapat mengontrol kehidupannya karena telah mengantisipasi hal-hal yang diperlukannya untuk mengasuh anaknya yang autis di masa depan, seperti mempersiapkan kebutuhan anaknya ketika memasuki tahap remaja. Selain itu juga ibu tidak terlalu terpengaruh dengan pandangan orang-orang disekitarnya mengenai kehidupannya, karena ibu lebih menghargai dan menerima kehidupan apa adanya. Ibu yang tidak terpengaruh dengan pandangan negatif orang-orang di sekitarnya menunjukkan bahwa ibu puas terhadap kehidupannya.

Secara lebih jelasnya, keterkaitan antara self-kindness dengan life satisfaction adalah ketika ibu memiliki self-kindness yang tinggi, ketika muncul usaha ibu untuk mencapai keinginannya (desire to change life) seperti saat ibu memunculkan usaha untuk mengoptimalkan kondisi anaknya yang autis namun menghadapi kegagalan, ibu mampu memberikan pemahaman terhadap diri dan tidak menjadi putus asa ataupun mengkritik diri secara berlebihan. Self-kindness yang dimiliki ibu juga akan mampu memberikan rasa aman saat ibu mengalami pengalaman yang menyulitkan saat memiliki anak autis. Ibu menerima bahwa ibu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu untuk memiliki anak seperti anak pada


(27)

umumnya yang dapat tumbuh secara normal. Ketika ibu dapat menerima hal tersebut, maka ibu akan lebih bisa menerima kondisi hidupnya saat ini (satisfaction with current life). Selain itu ketika ibu mengingat masa lalunya, ibu akan memberikan kelembutan pada diri dan tidak menjudge diri ketika ibu pernah melakukan kesalahan atau kegagalan sebelumnya ataupun tidak menyalahkan diri atas hal yang telah terjadi. Ibu menerima hal tersebut sebagai pengalaman berharga dalam hidupnya (satisfaction with past). Salah satu harapan semua ibu adalah dapat melepas anaknya untuk hidup mandiri dan ketika harapan tersebut tidak tercapai, ibu mampu untuk memberikan pengertian kepada diri karena ibu memahami bahwa dengan kondisi anaknya yang autis membuat ibu harus mengawasi anaknya sepanjang hidupnya karena anaknya yang autis tidak dapat hidup mandiri secara sepenuhnya. Meskipun begitu, ibu memiliki harapan untuk hidup bahagia di masa tuanya yang disesuaikan dengan kondisi hidupnya yang memiliki anak autis (satisfaction with future).

Ibu yang memiliki self-kindness tinggi juga dapat memberikan simpati terhadap diri untuk tidak begitu terpengaruh dengan pandangan negatif orang-orang terhadap kehidupannya yang memiliki anak autis (significant oters views of one’s life) sehingga ibu tidak malu dengan kehidupannya yang memiliki anak autis. Karena ketika ibu sangat terpengaruh dengan pandangan orang-orang terhadap kehidupannya dan ibu menjadi terlalu fokus atau menghakimi diri maka ibu akan menghayati hidupnya kurang puas.

Sedangkan keterkaitan antara common humanity dengan life satisfaction adalah dengan common humanity yang tinggi, ketika adanya keinginan ibu untuk mencapai kepuasan yang ditunjukkan melalui usaha yang diperlihatkan oleh ibu (desire to change life) menemui hambatan maka ibu akan menyadari bahwa hal tersebut dialami juga oleh ibu-ibu lain yang sama-sama memiliki anak autis. Selain itu ketika ibu dapat melihat ibu lain yang juga memiliki anak autis dapat menangani hidupnya dengan baik maka ibu dapat memunculkan keinginan untuk juga membuat hidupnya menjadi lebih baik. Ketika ibu memiliki keinginan untuk


(28)

19 membuat hidupnya menjadi lebih baik, ibu memiliki harapan dan pemikiran yang optimis dalam pencapaian kepuasan hidup. Selain itu juga, ketika ibu menghadapi kesulitan atau kegagalan saat memberikan keterampilan baru pada anaknya yang autis, ibu tidak merasa terisolasi dengan kegagalannya karena menyadari bahwa ibu lain yang memiliki anak autis pun mengalami hal yang sama dan sulit berhasil pada percobaan pertamanya sehingga ibu lebih menerima hal yang dilakukannya saat ini tidak sia – sia (satisfaction with current life).

Selain itu ibu yang memiliki common humanity yang tinggi juga ketika ibu mengingat kehidupannya di masa lalu terutama ketika mengingat kegagalannya saat menangani anak yang autis, ibu tidak akan membuat ibu menjadi terpuruk karena ibu dapat menyadari bahwa kegagalan adalah hal yang umum terjadi dalam kehidupan dan sulit untuk mendapatkan hidup yang berjalan lancar tanpa hambatan. Ibu juga dapat menyadari bahwa ibu lain pun mengalami kesulitan saat menghadapi anaknya yang autis sehingga ibu dapat menerima pengalamannya di masa lalu sebagai pelajaran yang berharga (satisfaction with past life). Pengalaman yang telah didapatkan ibu di masa lalu dapat menjadi acuan untuk di masa depan sehingga ibu tidak mengulangi kesalahan yang sama, tetapi dapat mengembangkannya untuk mengoptimalkan keadaan anak. Ketika ibu dapat mengantisipasi hal – hal yang diperlukan di masa depan, ibu merasa lebih aman dan lebih optimis untuk menjalani kehidupannya yang terkait dengan kebutuhan anaknya yang autis di masa depan (satisfaction with future).

Ibu yang memiliki common humanity yang tinggi juga dapat menyadari bahwa penderitannya ketika memiliki anak autis tidak dijalaninya sendiri, bahwa ada orang – orang dalam hidupnya yang juga peduli terhadapnya. Selain itu juga, menyadari bahwa terdapat banyak ibu lain yang memiliki anak autis dapat menjalani hidupnya dengan baik – baik saja (significant others views of one’s life).

Keterkaitan antara mindfulness dengan life satisfaction adalah bahwa dengan mindfulness yang tinggi, usaha ibu untuk mengejar keinginannya maka ibu akan lebih realistis


(29)

saat menetapkan standar ideal (desire to change life). Selain itu juga ibu dapat menilai situasi secara seimbang dan objektif. Ketika ibu mengalami kesulitan dan kegagalan dalam usahanya, ibu dapat melihat sejauh mana hal yang berhasil dan hal mana yang membuatnya gagal sehingga ibu dapat mencari cara untuk memperbaikinya. Ibu dapat berpikir secara seimbang dan objektif dalam menghadapi kesulitan dalam menangani anaknya yang autis sehingga ibu merasa lebih optimis dapat mengendalikan situasi saat menangani kebutuhan anaknya yang autis. Ketika ibu merasa dapat mengendalikan dan mengatasi kesulitan dalam menangani anak autis yang saat ini dihadapinya, maka ibu lebih dapat puas dengan apa yang dilakukannya dalam kehidupannya saat ini (satisfaction with current life).

Ketika ibu mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya, ibu yang mindfulness tidak akan terlalu teridentifikasi dengan kesalahan yang pernah dilakukannya. Ibu mampu mengevaluasi dengan objektif, yaitu perlakuan apa saja yang dapat dipertahankan atau diubah ketika menangani anaknya. Ibu tidak menyangkal tetapi ibu menerima bahwa ibu pernah melakukan kesalahan di masa lalu sehingga ibu lebih menerima dan puas terhadap hidupnya (satisfaction with past life).

Ketika ibu dapat mengevaluasi dengan objektif mengenai perlakuan apa saja yang dapat dipertahankan atau diubah ketika menangani anaknya, maka ibu akan lebih mampu untuk mengantisipasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk menangani kebutuhan anaknya yang autis di masa depan. Ibu menjadi lebih optimis untuk menjalani kehidupan di masa depan. Hal ini menunjukkan ibu memiliki orientasi ke masa depan, ketika ibu memiliki hal tersebut ibu akan lebih dapat menerima kehidupannya dan puas dengan kehidupannya di masa depan (satisfaction with future).

Ibu yang mindfulness akan menerima kondisi hidupnya yang memiliki anak autis serta saat melakukan kesalahan atau kegagalan dalam mengasuh anaknya, ibu tidak menganggap hal tersebut sebagai ancaman yang dapat membuat dirinya di label negatif oleh orang-orang penting


(30)

21 dalam hidupnya. Ibu mampu menunjukkan reaksi yang positif kepada lingkungan karena ibu lebih menghargai dan menerima kehidupannya apa adanya (significant others views of one’s life).


(31)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Ibu yang memiliki anak

autis di Yayasan “X” Bandung

Self-Compassion

Self-Kindness

Common Humanity

Mindfulness

Life Satisfaction

Komponen :

1. Desire to change life

2. Satisfaction with current life 3. Satisfaction with past 4. Satisfaction with future

5. Significant others views of one’s life


(32)

23 1.6Asumsi Penelitian

1. Kondisi ibu yang memiliki anak autis di yayasan “X” Bandung dapat memengaruhi self-compassion dan life satisfaction yang dimilikinya.

2. Self-compassion pada ibu yang memiliki anak autis di yayasan “X” Bandung tergambar melalui 3 komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness

3. Ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang berbeda – beda

4. Life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di yayasan “X” Bandung tergambar melalui 5 komponen, yaitu desire to change life, satisfaction with current life, satisfaction with past, satisfaction with future, dan significant others views of one’s life. 5. Ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung memiliki derajat life

satisfaction yang berbeda – beda.

1.7Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan positif antara self-compassion dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan ”X” Bandung.

2. Terdapat hubungan positif antara komponen self-kindness dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan ”X” Bandung.

3. Terdapat hubungan positif antara komponen common humanity dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan ”X” Bandung.

4. Terdapat hubungan positif antara komponen mindfulness dan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan ”X” Bandung.


(33)

63 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Self-compassion berkorelasi positif pada taraf kuat dengan life satisfaction pada ibu

yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung..

Komponen self-kindness berkorelasi positif pada taraf kuat sedangkan komponen common humanity dan mindfulness berkorelasi positif pada taraf moderat dengan life satisfaction pada ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung. Semakin tinggi self-compassion maka semakin positif kepuasan hidup yang dihayati oleh ibu

yang memliki anak autis di Yayasan “X” Bandung, begitu pula sebaliknya.

5.2 Saran Teoritis

Lakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi antara komponen self-compassion pada life satisfaction sehingga dapat menghasilkan gambaran yang lebih lengkap mengenai seberapa kuat pengaruh komponen self-compassion terhadap life satisfaction. Lakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh komponen life satisfaction terhadap life satisfaction sehingga dapat menghasilkan gambaran yang lebih lengkap mengenai pengaruh komponen life satisfaction terhadap positif negatifnya life satisfaction.


(34)

64 5.3Saran Praktis

 Diharapkan ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X” Bandung yang memiliki

derajat self-compassion yang rendah untuk dapat aktif mengikuti kegiatan atau forum diskusi yang membahas tentang topik yang berkaitan dengan kebutuhan anaknya yang autis. Sehingga ibu dapat lebih objektif dalam menilai kondisi hidupnya seperti ibu lebih menerima keadaan dan bahwa ibu tidak selalu bisa mengendalikan atau melakukan hal dengan sempurna, serta agar ibu lebih dapat puas dengan apa yang telah dilakukannya, lebih mampu untuk berpikir luas sehingga dapat menilai dengan objektif sudah sejauh mana ibu berhasil dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu juga ketika ibu mengevaluasi kehidupannya, ibu dapat menetapkan standar ideal yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, seperti hal-hal apa saja yang perlu diubah dan dipertahankan ketika ibu menangani anaknya yang autis.

 Diharapkan pihak Yayasan “X” Bandung dapat membuat bahan evaluasi mengenai self-compassion yang dimiliki oleh ibu, dapat membuat kegiatan yang dapat meningkatkan self-compassion yang akan juga membantu ibu yang memiliki anak autis di Yayasan

“X” Bandung untuk dapat menghayati kepuasan hidupnya lebih positif. Kegiatan

tersebut diantaranya :

Share Group dengan ahli atau pakar dapat dilakukan dengan cara memberikan informasi mengenai childhood autism yang perlu diketahui oleh keluarga yang memiliki anak autis, khususnya ibu. Yayasan “X” Bandung dapat mencari topik diskusi yang memberikan informasi yang dapat berguna bagi ibu saat memiliki anak autis. Informasi dapat berupa diagnosa ASD (Autism Spectrum Disorder), mitos dan fakta mengenai ASD, cara menangani anak dengan ASD, cara mengajarkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan saat memasuki masa


(35)

remaja, cara yang dapat dilakukan ibu ketika dalam kondisi tertekan, dan lainnya.

Share Group yang berupa sharing antar ibu yang memiliki anak autis di Yayasan

“X” Bandung mengenai pengalamannya mengasuh anaknya yang autis, dengan

kegiatan ini diharapkan ibu mampu menyadari bahwa ibu tidak sendiri dalam menjalani kehidupan dan kesulitan dalam mengasuh anaknya yang autis, serta ibu lebih dapat objektif dalam menilai kondisi hidupnya.

Mengadakan pelatihan pelatihan mengenai cara meningkatkan self-compassion

yang akan juga membantu ibu yang memiliki anak autis di Yayasan “X”


(36)

STUDI KORELASIONAL MENGENAI SELF-COMPASSION DAN

LIFE SATISFACTION PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI

YAYASAN “X” BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

RENATA AYUNDHARI NRP : 1130227

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(37)

(38)

(39)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas untuk memenuhi tugas mata kuliah skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama penyusunan skripsi ini, penyusun cukup banyak mengalami kesulitan namun akhirnya penyusun dapat menyelesaikan laporan ini karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam menyelesaikan penyusunan laporan ini, yaitu:

1. Dr. Dra. O. Irene Prameswari Edwin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana R., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar telah membimbing, memberi masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama penyusunan laporan ini.

3. Vida Handayani, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar telah membimbing, memberikan masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama penyusunan laporan ini.

4. Guru, terapis, siswa/i dan orangtua di Yayasan “X” Bandung, terima kasih atas kesempatan

dan pengalaman berharga yang telah dibagikan kepada saya.

5. Rozaliana Rahmani dan Anya Yuthika, dua teman saya yang dengan sabar selalu mendengarkan cerita, keluhan, dan permasalahan selama pengerjaan tugas ini.

6. Teman seperjuangan saya : Elsa Anggraeni, Nuansa Audi, Cintya Andanti, Megi Sukmagini, Jonathan Andreanus, Rahadjeng Indreswari, dan teman – teman angkatan 2011 lainnya yang selalu memberikan semangatnya terutama di grup “Psychology ’11 MCU” 7. Ayah, Ibu, dan Kakak yang sangat saya cintai. Terimakasih telah memberikan dukungan

berupa doa, semangat, kasih sayang serta materil sehingga saya masih terus bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

8. Pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penyelesaian laporan ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.


(40)

Dalam menyusun skripsi ini, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penyusun bersedia menerima masukan-masukan yang konstruktif dari pembaca mengenai hasil laporan ini.

Akhir kata, penyusun mengucapkan terimakasih kepada seluruh pembaca dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta pihak-pihak yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016


(41)

66

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Autism Spectrum Disorder Fact Sheet. American Psychiatric Publishing

Anggraeni, D. T. (2012). Self-Compassion dan Kepuasan Hidup pada Mahasiswa. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta

Diener, E. D., Suh, E. M., Lucas. E. E. Smith, H.L., (1999). Subjective Well-being : Three Decades of Progress. Psychological Bulletin. 125 (2). 276 – 302

Diener, E., Inglehart, R., Tay ,L. (2012). Theory and Validity of Life Satisfaction Scales. DOI 10.1007/s11205-012-0076

Inspectorate of the Departement of Education and Science. (2006). An Evaluation of Educational Provision for Children with Autistic Spectrum Disorders. Diunduh dari : www.sess.ie/sites/default/files/Autism_Report_2006.pdf

Kartika, Luna. (2014). Hubungan Antara Self-Compassion dan Kesejahteraan Subjektif pada Suami yang Menjalani Commuter Marriage di Kota Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Lachman, M.E., & Rocke, C. (2008). Perceived Trajectories of Life Satisfaction Across Past, Present, and Future : Profiles and Correlates of Subjective Change in Young, Middle-Aged, and Older Adults. Journal of Psychol Aging, 23 (4) : 833 – 847

Neff, K. D., Rude, S. S., Kirkpatrick, K. L. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908 – 916

Neff, K.D. (2011). Self-Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York : Harper Collins Publisher

Neff, K. D., & Faso, D.J. (2014). Self-Compassion and Well-Being in Parents of Children with Autism. DOI 10.1007/s12671-104-0359-2

Noviana, H. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis Usia 10 –13 Tahun di SLB Autis “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pisula, Eva. (2011). Parenting Stress in Mothers and Fathers of Children with Auttism Spectrum Disoders. University of Warsaw


(42)

67 Rahmah, Ida Aulia. (2013). Kualitas Hidup pada Ibu yang Memiliki Anak Dengan Spektrum

Autistik. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Riasnugrahani, M. (2014). Self-Compassion dan Compassion for Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK.Maranatha. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranath Santrock, J.W. (2011). Life – Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi

Ketigabelas. Jilid 2. Jakarta : Erlangga

Tantri, F. (2013). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Orangtua dari

Remaja Autis di Komunitas “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha

Uysal, R. (2014) . Life Satisfaction and Self-Compassion : A Structural Equation Modeling. International Journal of Current Research Vol.6 Issue, 06, pp.7251 – 7256

Wolfe, David & Mash, Eric. (2013). Abnormal Child Psychology 5th Edition. Belmont: Wadsworth

YPAC. (2013). Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC. Diunduh dari : www.scribd.com/doc/287421866/Autis-1-pdf


(43)

DAFTAR RUJUKAN

American Psychological Association. (2013) Website : www.apa.org diakses Mei 2016 American Psychiatric Association (2016) Website : www.psychiatry.org diakses Mei 2016 Dr. Joko Yuwono, M.Pd. (2013). Problem Ibu yang Memiliki Anak Autistik.

http://joykoautis.blogspot.com/2013/01/problem-ibu-yang-memiliki-anak-autistik.html, diakses Agustus 2015

Dr. MJ. (2013). Seminar Tentang Keterlibatan Ibu dalam Membantu Anak Autistik. http://konselingdankonsultananakautisme.blogspot.com/2013_10_01_archive.html , diakses 25 November 2015

Dubey, A. (2012). Psychological Perspective on Chronic Illnesses. https://books.google.co.id=nda7ACbjn84C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage& q&f=false, diakses 5 Oktober 2015

Fakultas Psikologi. (2015). Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha

Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Diunduh dari : http://perpustakaan-dikti.blogspot.co.id/2014/03/download-buku-metodologi-penelitian.html, diakses November 2015

Nasution, M.K. (2012). repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34742/4/ChapterII.pdf , diakses September 2015

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : ALFABETA


(1)

(2)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas untuk memenuhi tugas mata kuliah skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama penyusunan skripsi ini, penyusun cukup banyak mengalami kesulitan namun akhirnya penyusun dapat menyelesaikan laporan ini karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam menyelesaikan penyusunan laporan ini, yaitu:

1. Dr. Dra. O. Irene Prameswari Edwin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana R., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar telah membimbing, memberi masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama penyusunan laporan ini.

3. Vida Handayani, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar telah membimbing, memberikan masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama penyusunan laporan ini.

4. Guru, terapis, siswa/i dan orangtua di Yayasan “X” Bandung, terima kasih atas kesempatan dan pengalaman berharga yang telah dibagikan kepada saya.

5. Rozaliana Rahmani dan Anya Yuthika, dua teman saya yang dengan sabar selalu mendengarkan cerita, keluhan, dan permasalahan selama pengerjaan tugas ini.

6. Teman seperjuangan saya : Elsa Anggraeni, Nuansa Audi, Cintya Andanti, Megi Sukmagini, Jonathan Andreanus, Rahadjeng Indreswari, dan teman – teman angkatan 2011 lainnya yang selalu memberikan semangatnya terutama di grup “Psychology ’11 MCU” 7. Ayah, Ibu, dan Kakak yang sangat saya cintai. Terimakasih telah memberikan dukungan

berupa doa, semangat, kasih sayang serta materil sehingga saya masih terus bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

8. Pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penyelesaian laporan ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.


(3)

vi

Dalam menyusun skripsi ini, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penyusun bersedia menerima masukan-masukan yang konstruktif dari pembaca mengenai hasil laporan ini.

Akhir kata, penyusun mengucapkan terimakasih kepada seluruh pembaca dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta pihak-pihak yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016


(4)

66

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Autism Spectrum Disorder Fact Sheet. American Psychiatric Publishing

Anggraeni, D. T. (2012). Self-Compassion dan Kepuasan Hidup pada Mahasiswa. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta

Diener, E. D., Suh, E. M., Lucas. E. E. Smith, H.L., (1999). Subjective Well-being : Three

Decades of Progress. Psychological Bulletin. 125 (2). 276 – 302

Diener, E., Inglehart, R., Tay ,L. (2012). Theory and Validity of Life Satisfaction Scales. DOI 10.1007/s11205-012-0076

Inspectorate of the Departement of Education and Science. (2006). An Evaluation of Educational Provision for Children with Autistic Spectrum Disorders. Diunduh dari : www.sess.ie/sites/default/files/Autism_Report_2006.pdf

Kartika, Luna. (2014). Hubungan Antara Self-Compassion dan Kesejahteraan Subjektif pada Suami yang Menjalani Commuter Marriage di Kota Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Lachman, M.E., & Rocke, C. (2008). Perceived Trajectories of Life Satisfaction Across Past, Present, and Future : Profiles and Correlates of Subjective Change in Young,

Middle-Aged, and Older Adults. Journal of Psychol Aging, 23 (4) : 833 – 847

Neff, K. D., Rude, S. S., Kirkpatrick, K. L. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908 – 916

Neff, K.D. (2011). Self-Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York : Harper Collins Publisher

Neff, K. D., & Faso, D.J. (2014). Self-Compassion and Well-Being in Parents of Children with Autism. DOI 10.1007/s12671-104-0359-2

Noviana, H. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis

Usia 10 –13 Tahun di SLB Autis “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha

Pisula, Eva. (2011). Parenting Stress in Mothers and Fathers of Children with Auttism Spectrum Disoders. University of Warsaw


(5)

67

Universitas Kristen Maranatha Rahmah, Ida Aulia. (2013). Kualitas Hidup pada Ibu yang Memiliki Anak Dengan Spektrum Autistik. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Riasnugrahani, M. (2014). Self-Compassion dan Compassion for Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK.Maranatha. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranath Santrock, J.W. (2011). Life – Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi

Ketigabelas. Jilid 2. Jakarta : Erlangga

Tantri, F. (2013). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Orangtua dari Remaja Autis di Komunitas “X” Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Uysal, R. (2014) . Life Satisfaction and Self-Compassion : A Structural Equation Modeling. International Journal of Current Research Vol.6 Issue, 06, pp.7251 – 7256

Wolfe, David & Mash, Eric. (2013). Abnormal Child Psychology 5th Edition. Belmont: Wadsworth

YPAC. (2013). Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC. Diunduh dari : www.scribd.com/doc/287421866/Autis-1-pdf


(6)

68

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

American Psychological Association. (2013) Website : www.apa.org diakses Mei 2016 American Psychiatric Association (2016) Website : www.psychiatry.org diakses Mei 2016 Dr. Joko Yuwono, M.Pd. (2013). Problem Ibu yang Memiliki Anak Autistik.

http://joykoautis.blogspot.com/2013/01/problem-ibu-yang-memiliki-anak-autistik.html, diakses Agustus 2015

Dr. MJ. (2013). Seminar Tentang Keterlibatan Ibu dalam Membantu Anak Autistik. http://konselingdankonsultananakautisme.blogspot.com/2013_10_01_archive.html , diakses 25 November 2015

Dubey, A. (2012). Psychological Perspective on Chronic Illnesses. https://books.google.co.id=nda7ACbjn84C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage& q&f=false, diakses 5 Oktober 2015

Fakultas Psikologi. (2015). Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha

Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Diunduh dari : http://perpustakaan-dikti.blogspot.co.id/2014/03/download-buku-metodologi-penelitian.html, diakses November 2015

Nasution, M.K. (2012). repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34742/4/ChapterII.pdf , diakses September 2015

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : ALFABETA