Pengaruh Fase Aktif dan Tenang Matahari terhadap Kecerahan Langit Malam terkait Visibilitas Objek Langit.

(1)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 1

1.1 Latar Belakang Masalah

Matahari merupakan benda langit yang dinamis, hasil pengamatan Matahari sejak ratusan tahun yang lalu telah diketahui memperlihatkan beberapa aktivitas Matahari. Tingkat aktivitas Matahari dapat diindikasikan dengan jumlah sunspot (bintik Matahari) yang muncul pada perrmukaan Matahari. Saat jumlah sunspot di permukaan Matahari banyak, maka aktivitas Matahari sedang tinggi begitupun sebaliknya.

Berdasarkan pengamatan, ilmuwan mendapati bahwa sunspot muncul pada periode tertentu yang artinya jumlah kemunculan sunspot tidak bervariasi sembarang terhadap waktu tetapi teratur seperti sebuah siklus. Hal inilah yang menjadi salah satu indikator bagi siklus aktivitas Matahari. Periode satu siklus Matahari adalah sekitar 9 sampai 12 tahun. Siklus ini menunjukkan adanya masa awal, puncak dan akhir siklus. Pada awal dan akhir siklus, aktivitas Matahari cenderung tenang dan akan menjadi sangat tinggi atau aktif pada saat puncak siklus.

Pertambahan jumlah sunspot di Matahari menyebabkan adanya peningkatan intensitas emisi gelombang radio, dari gelombang pendek (mikro) sampai dengan gelombang panjang (km). Pengamatan yang dilakukan untuk mengukur gelombang-gelombang ini dilakukan dengan menggunakan pengamatan radio menggunakan panjang gelombang 1 cm s.d 15 meter atau frekuensi 20 MHz s.d 30 GHz karena emisi ruang angkasa yang mencapai permukaan Bumi melalui jendela radio ada pada panjang gelombang tersebut. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai fluks Matahari pada panjang gelombang 10,7-cm (F10,7) atau 2800 MHz dapat dijadikan sebagai parameter yang baik aktivitas Matahari karena memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi dengan bilangan sunspot dibandingkan dengan pengamatan fluks pada panjang gelombang yang lain. (Jasman, 2001).


(2)

2

Tingkat aktivitas Matahari akan berpengaruh terhadap kondisi Bumi, salah satunya berhubungan dengan kecerahan langit. Kecerahan langit merupakan faktor yang sangat penting bagi penelitian astronomi. Nilai kecerahan langit yang besar (satuan magnitudo per detik busur kuadrat, mag/[“]2) menandakan kondisi langit yang semakin gelap, sebaliknya semakin kecil nilai kecerahan langitnya semakin terang pula kondisi langit latar belakang. Selain diakibatkan oleh sumber alami (Bulan, cahaya zodiak dan lain lain) dan sumber aktivitas manusia (cahaya penerangan buatan), kecerahan langit juga terpengaruhi oleh ketebalan lapisan udara (optik aerosol) di tempat tersebut (Jensen, 2001). Pada kondisi berawan, langit yang sama dapat dapat lebih terang hal ini bergantung pada pemantulan cahaya oleh awan yang sama.

Perubahan kecerahan langit akan berimbas pada visibilitas objek langit, objek yang memiliki magnitudo yang besar (objek langit redup) akan sulit teramati jika langit latar belakangnya memiliki nilai kecerahan yang kecil begitupun sebaliknya. Pengetahuan mengenai visibilitas objek langit telah banyak dimanfaatkan oleh berbagai kebudayaan sejak jaman dahulu baik digunakan dalam penyusunan kalender maupun waktu dimulai atau berakhirnya suatu peribadatan. Seperti penentuan kalender bangsa Mesir yang didasarkan pada terbit dan tenggelamnya Sirius, pembagian kalender bangsa Maya yang didasarkan pada pembagian empat siklus kemunculan Venus, maupun pada kalender Hijriah kemunculan Bulan sabit yang dijadikan sebagai awal bulan baru. Dengan mengetahui nilai kecerahan langit malam suatu tempat dapat diketahui pula berapa nilai magnitudo ambang dari sebuah objek dapat teramati di langit pada tempat dan waktu tertentu.

Weaver (1947) melakukan pengukuran di San Benito Mountain. Pekerjaan Weaver ini menghasilkan nilai magnitudo ambang objek langit untuk setiap variasi kecerahan langit pada fase aktif Matahari. Setelah itu Tousey dan Koomen (1953 dalam Nawar 1983) melakukan pengamatan serupa pada fase tenag Matahari dan mendapatkan nilai magnitudo ambang objek langit saat fase tenang Matahari untuk berbagai variasi nilai kecerahan langit malam. Dengan mengetahui nilai magnitudo ambang objek langit saat fase aktif dan tenang ini dapat dibuat pula grafik visibilitas objek langitnya.


(3)

Grafik visibilitas objek langit digunakan untuk menunjukkan pada ketinggian tertentu berapa magnitudo teredup agar sebuah objek dapat diamati dengan menggunakan mata telanjang berdasarkan pada fase aktivitas Matahari. Karena fase aktivitas Matahari memiliki pengaruh terhadap kecerahan langit malam, maka nilai magnitudo teredup sebuah objek langit yang dapat diamati dilangit dapat berbeda pada setiap fasenya. Hal ini dapat membantu para astronom dalam menentukan waktu yang tepat untuk mengamati sebuah objek langit pada lokasi tertentu di permukaan Bumi. Pengetahuan mengenai visibilitas objek langit ini dinilai sangat penting dalam astronomi pengamatan, sebab membantu pengamatan lebih optimal dengan menyesuaikan modus dan alat bantu yang akan digunakan terutama dalam pengamatan deep sky object yang saat ini telah banyak dilakukan oleh para astronom-astronom amatir (Lapasio, 2000).

Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dalam tugas akhir ini penulis mengambil judul “Pengaruh Fase Aktif dan Tenang Matahari Terhadap Kecerahan Langit Malam terkait Visibilitas Objek Langit”. Dengan melakukan beberapa pengolahan data yang bersumber dari penelitian serupa yang telah dilakukan Tousey dan Koomen (1953 dalam Nawar 1983) juga Weaver (1947).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah berupa: Bagaimana pengaruh fase aktif dan tenang Matahari terhadap kecerahan langit malam dikaitkan dengan visibilitas objek langit?

Pengaruh terhadap kecerahan langit malam yang dimaksud adalah adanya kesesuaian kecenderungan kenaikan atau penurunan nilai kecerahan langit malam berdasarkan fase aktif dan tenang Matahari dan kesesuaian antara nilai F10,7 sebagai indikator aktivitas Matahari mempengaruhi kenaikan atau penurunan nilai kecerahan langit malam. Pengaruh terhadap visibilitas objek yang dimaksud adalah adanya perbedaan nilai magnitudo ambang yang dapat diamati saat fase aktif dan fase tenang Matahari.


(4)

4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dari aktivitas Matahari terhadap kecerahan langit malam dan visibilitas objek langit yang ditandai dengan nilai magnitudo ambang.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah diharapkan dengan mengetahui nilai magnitudo ambang dari langit latar belakang dapat membantu para astronom dalam menentukan modus pengamatan astronomi.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Struktur penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab I mengenai Pendahuluan, Bab II mengenai Tinjauan Pustaka, Bab III mengenai Metode Penelitian, Bab IV mengenai Hasil dan Pembahasan, dan Bab V mengenai Simpulan dan Rekomendasi.

Bab I, memaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi

Bab II, menjelaskan hasil dari studi literatur yang menjadi landasan teoritik dalam menyusun pertanyaan penelitian dimulai dari penjelasan mengenai aktivitas Matahari dan Fluks 10,7-cm, pengertian dan pengukuran kecerahan langit malam, penjelasan mengenai hubungan antara kecerahan langit malam dan aktivitas Matahari serta hubungan antara visibilitas objek langit dengan magnitudo ambang yang didapat dari kecerahan langit Malam.

Bab III, menjelaskan metode penelitian yang dilakukan secara rinci dimulai dari metode penelitian, alur penelitian, langkah kerja dari penelitian yang telah dilakukan serta pengolahan data yang dilakukan

Bab IV, membahas hasil dari pengolahan data fluks 10,7-cm, nilai magnitudo ambang yang diambil dari pengolahan data nilai kecerahan langit malam yang telah dilakukan serta analisis yang telah diperoleh.

BAB V, menjelaskan kesimpulan dari hasil yang diperoleh juga rekomendasi untuk penelitian serupa.


(5)

(6)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 17

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ekspos fakto (expost facto research) yaitu jenis penelitian yang meneliti hubungan sebab-akibat yang tidak dimanipulasi atau diberi perlakuan (dirancang dan dilaksanakan) oleh peneliti. Penelitian dilakukan terhadap program, kegiatan atau kejadian yang sedang berlangsung atau sudah terjadi (Sukmadinata, 2005).

Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang diperoleh dari basis data unihedron.com untuk data kecerahan langit malam dan spaceweather.ca untuk data fluks radio 10,7-cm periode tahun 2006 sampai dengan 2014.

3.2 Alur Penelitian

Secara sederhana proses yang dilaksanakan dalam penelitian ini seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 meliputi pengunduhan, seleksi data, pengelompokkan data, rekonstruksi data, dan kemudian pengolahan data lebih lanjut sehingga diperoleh hasil yang diinginkan dan kemudian dianalisis kemudian dtarik kesimpulan.


(7)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian

3.3 Metode Pengolahan Data 3.1.1Data Fluks Radio 10,7-cm

Sebagai indikator aktivitas Matahari digunakan nilai observed dari F10,7, karena memiliki korelasi terbaik dibandingkan dengan nilai fluks absolut yang diemisikan Matahari (Walker, 1988). Data F10,7 tersedia di laman www.spaceweather.ca. Rentang waktu data F10,7 disesuaikan dengan ketersediaan data kecerahan langit malamnya.

Pengunduhan Data

Data kecerahan langit malam

Perajahan grafik kecerahan langit malam

dan nilai F10,7 Seleksi dan Rekonstruksi Data

Data F10,7

Data kecerahan langit malam setelah seleksi dan rekonstruksi

Penghitungan nilai magnitudo ambang

Pembuatan kurva visibilitas


(8)

19

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Gambar 3.2. Contoh data fluks radio 10,7-cm (F10,7)

3.1.2Seleksi, Pengelompokkan, dan Rekonstruksi Data Kecerahan Langit Malam

Teknik seleksi data dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling purposif yaitu pengambilan sampel dengan berdasarkan tujuan (Sukmadinata, 2005). Dalam penelitian ini digunakan data kecerahan langit malam yang bersumber dari pangkalan data laman www.unihedron.com pada rentang waktu Juli 2005–Juli 2014 dalam satuan magnitudo per detik busur kuadrat (mag/[“]2). Pada saat diakses total data pengukuran yang tersedia sebanyak 2903 data. Guna mencapai tujuan yang dikehendaki, dipilih satu lokasi dengan rentang waktu pengukuran yang relatif panjang yaitu mendekati cakupan satu siklus aktivitas Matahari. Proses pencarian menempatkan Garraí Réalta Observatory (39°,1 LU ; 108°,7 BB ; elevasi 1412 m dpl) di Colorado, Amerika Serikat sebagai lokasi


(9)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

terpilih. Dari lokasi ini diperoleh sejumlah 106 data dalam kurun waktu Juli 2006–Juli 2014 yang bersesuaian dengan akhir siklus Matahari ke-23 (fase tenang) dan awal hingga pertengahan siklus ke-24 (fase aktif).

Data dari Garraí Réalta Observatory masih mengalami prosedur penyeleksian dengan cara mengeliminasi data yang menyertakan pengukuran saat iluminasi Bulan lebih dari 50% (Bulan dalam fase waxing gibbous) dan saat kondisi awan yang menutupi langit pada daerah tersebut lebih dari 40%. Melalui proses ini diperoleh hasil pengukuran kecerahan langit sejumlah 89 data.

Secara sederhana alur penyeleksian dan pengelompokkan data ditunjukkan dalam Gambar 3.2.Rekonstruksi data dilakukan karena data kecerahan langit malam yang tersedia untuk Garraí Réalta Observatory hanya memiliki satu nilai kecerahan langit untuk tiap satu malam pengukuran. Terdapat suatu kecenderungan bahwa langit malam sebelum tengah malam lebih terang daripada setelah tengah malam. Hal ini terkait dengan berkurangnya aktivitas ekonomi setelah tengah malam. Untuk mendapatkan data lengkap satu malam yang meliputi waktu sebelum dan setelah tengah malam, maka dibangun sebuah prosedur konstruksi data untuk melengkapi data yang kurang tersebut.

Dari data yang telah di seleksi dan dikelompokkan tersebut dihitung selisih antara nilai maksimum dan minimum kecerahan langit malamnya. Selisih yang ada merupakan nilai yang digunakan untuk memperoleh data kecerahan langit malam yang tidak tersedia. Terdapat suatu kecenderungan bahwa langit malam sebelum tengah malam lebih terang daripada setelah tengah malam. Hal ini terkait dengan berkurangnya aktivitas ekonomi setelah tengah malam (Herdiwijaya dan Arumaningtyas, 2011). Maka untuk Kecerahan langit malam sebelum tengah malam diperkirakan lebih terang Sebagai contoh, nilai selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum sebelum tengah malam pada fase tenang dikurangkan pada data kecerahan langit setelah tengah malam pada fase aktivitas Matahari yang sama untuk mendapatkan nilai kecerahan langit sebelum tengah malam yang masih kosong. Demikian pula, selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum setelah tengah malam ditambahkan pada data kecerahan langit sebelum tengah malam guna


(10)

21

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Rekonstruksi

Setelah tengah malam

Fase aktif

Sebelum tengah malam

Fase tenang Fase aktif Fase tenang Pengelompokan data berdasarkan waktu

pengukuran

Tidak

Kecerahan langit malam (www.unihedron.com)

Pengelompokan data dan seleksi rentang waktu pengamatan

Seleksi data Iluminasi Bulan kurang dari 50% dan liputan awan kurang dari 40%

Dieliminasi

Dieliminasi Tidak

Ya

ya

memperoleh nilai kecerahan langit setelah tengah malam. Langkah yang sama diulangi untuk fase aktif Matahari.

Gambar 3.3. Alur seleksi dan pengelompokkan data kecerahan langit malam

3.1.3Pengolahan Data

1. Grafik Pengaruh Aktivitas Matahari terhadap Kecerahan Langit Malam

Grafik pengaruh aktivitas Matahari terhadap kecerahan langit malam dibuat dengan merajah nilai rata-rata bulanan kecerahan langit malam terhadap nilai rata-rata bulanan log fluks pada waktu yang bersesuaian untuk melihat pola kecenderungan grafik.


(11)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Setelah mendapatkan data kecerahan langit yang lengkap, yang harus dilakukan selanjutnya adalah melakukan perhitungan magnitudo ambang pada tiap fase aktivitas Matahari dengan memanfaatkan hasil penelitian dari Tousey dan Koomen (1953 dalam Nawar 1983) untuk fase tenang yang ditunjukkan sebelumnya dalam Tabel 2.2 dan Weaver (1947) untuk fase aktif Matahari yang ditunjukkan Tabel 2.3. Nilai Magnitudo ambang untuk setiap kecerahan langit ini dirajahkan berdasarkan fasenya dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel kemudian dicari persamaan regresinya. Tabulasi nilai kecerahan langit malam beserta magnitudo ambang yang bersesuaian pada saat fase tenang dan aktif Matahari yang disebutkan sebelumnya masing-masing dinyatakan dalam satuan candle/foot2 dan nanoLambert (nL). Data kecerahan langit malam yang diakses dari situs unihedron memiliki satuan mag/[“]2 (magnitudo per detik busur kuadrat). Untuk menyeragamkan satuan data digunakan nilai satuan nanoLambert, untuk mengkonversi ke dan dari satuan lain yang biasa digunakan dalam astronomi, yaitu mag/[“]2 (magnitudo per detik busur kuadrat), digunakan persamaan (2.1).

3. Membangun Kurva Visibilitas

Setelah mendapatkan persamaan regresi untuk menghitung nilai magnitudo ambang pada setiap fase langkah selanjutnya adalah menghitung nilai magnitudo untuk setiap nilai kecerahan langit malam yang diperoleh di lokasi pengamatan Garraí Réalta Observatory. Untuk membangun kurva visibilitas objek langit, nilai magnitudo ambang objek langit yang telah didapatkan kemudian dicari nilai rata–ratanya. dan dipilihkan objek langit sembarang berupa cahaya titik (point source) dengan beragam nilai magnitudo yang bersesuaian dengan nilai magnitudo ambangnya. Objek ini kemudian dicari nilai ketinggiannya diatas horison kemudian dihitung nilai magnitudonya setelah mengalami efek pelemahan oleh atmosfer dengan menggunakan persamaan 2.2 dan 2.3 untuk menghitung massa udara.


(12)

23

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Hasil dari perhitungan nilai magnitudo objek didalam atmosfer pada berbagai ketinggian ini kemudian di rajah dalam sebuah grafik bersama dengan nilai rata-rata magnitudo ambang setiap fase aktivitas Matahari untuk kemudian dianalisis.


(13)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3.4 Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh fase aktif dan tenang terhadap kecerahan langit malam dilakukan analisis dengan mengamati kecenderungan kesesuaian antara kenaikan fase terhadap nilai kecerahan langit malam.Untuk mengetahui Pengaruh antara ketiga variabel dilakukan analisis dan interpretasi terhadap hasil dari nilai magnitudo ambang fase aktif dan fase tenang Matahari yang telah diperoleh. Juga dilakukan analisis tehadap hasil rajah kurva visibilitas objek langit.


(14)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 30

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan

Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa fase aktif dan tenang Matahari memiliki imbas terhadap kecerahan langit malam. Pada saat Matahari berada dalam fase tenang langit cenderung lebih gelap dibandingkan pada saat fase aktifnya. Hal ini diperkuat pula dengan grafik yang menunjukkan langit cenderung lebih terang saat pertambahan nilai F10,7. Untuk setiap fase aktivitas yang berbeda nilai magnitudo ambang yang dihasilkan juga berbeda. Nilai numerik magnitudo ambang untuk fase tenang lebih besar daripada nilai magnitudo ambang pada saat fase aktif Matahari, artinya pada fase aktif diperlukan objek yang lebih terang untuk dapat diamati dalam modus mata telanjang dari suatu lokasi pengamatan.

5.2 Rekomendasi

Untuk penelitian serupa lebih lanjut disarankan untuk menggunakan nilai kecerahan langit malam di berbagai jarak zenit dan membangun pula kurva visibilitas objek langit berupa sumber cahaya membentang (extended source), tidak saja untuk modus pengamatan mata telanjang namun juga pengamatan berbantuan alat optik menggunakan model-model terbaru yang tersedia, seperti manuskrip dari Andrew Crumey (arXiv: 1405.4209v1, 16 Mei 2014).


(1)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

terpilih. Dari lokasi ini diperoleh sejumlah 106 data dalam kurun waktu Juli 2006–Juli 2014 yang bersesuaian dengan akhir siklus Matahari ke-23 (fase tenang) dan awal hingga pertengahan siklus ke-24 (fase aktif).

Data dari Garraí Réalta Observatory masih mengalami prosedur penyeleksian dengan cara mengeliminasi data yang menyertakan pengukuran saat iluminasi Bulan lebih dari 50% (Bulan dalam fase waxing gibbous) dan saat kondisi awan yang menutupi langit pada daerah tersebut lebih dari 40%. Melalui proses ini diperoleh hasil pengukuran kecerahan langit sejumlah 89 data.

Secara sederhana alur penyeleksian dan pengelompokkan data ditunjukkan dalam Gambar 3.2.Rekonstruksi data dilakukan karena data kecerahan langit malam yang tersedia untuk Garraí Réalta Observatory hanya memiliki satu nilai kecerahan langit untuk tiap satu malam pengukuran. Terdapat suatu kecenderungan bahwa langit malam sebelum tengah malam lebih terang daripada setelah tengah malam. Hal ini terkait dengan berkurangnya aktivitas ekonomi setelah tengah malam. Untuk mendapatkan data lengkap satu malam yang meliputi waktu sebelum dan setelah tengah malam, maka dibangun sebuah prosedur konstruksi data untuk melengkapi data yang kurang tersebut.

Dari data yang telah di seleksi dan dikelompokkan tersebut dihitung selisih antara nilai maksimum dan minimum kecerahan langit malamnya. Selisih yang ada merupakan nilai yang digunakan untuk memperoleh data kecerahan langit malam yang tidak tersedia. Terdapat suatu kecenderungan bahwa langit malam sebelum tengah malam lebih terang daripada setelah tengah malam. Hal ini terkait dengan berkurangnya aktivitas ekonomi setelah tengah malam (Herdiwijaya dan Arumaningtyas, 2011). Maka untuk Kecerahan langit malam sebelum tengah malam diperkirakan lebih terang Sebagai contoh, nilai selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum sebelum tengah malam pada fase tenang dikurangkan pada data kecerahan langit setelah tengah malam pada fase aktivitas Matahari yang sama untuk mendapatkan nilai kecerahan langit sebelum tengah malam yang masih kosong. Demikian pula, selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum setelah tengah malam ditambahkan pada data kecerahan langit sebelum tengah malam guna


(2)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Rekonstruksi

Setelah tengah malam

Fase aktif

Sebelum tengah malam

Fase tenang Fase aktif Fase tenang Pengelompokan data berdasarkan waktu

pengukuran

Tidak Kecerahan langit malam

(www.unihedron.com)

Pengelompokan data dan seleksi rentang waktu pengamatan

Seleksi data Iluminasi Bulan kurang dari 50% dan liputan awan kurang dari 40%

Dieliminasi

Dieliminasi

Tidak Ya

ya

memperoleh nilai kecerahan langit setelah tengah malam. Langkah yang sama diulangi untuk fase aktif Matahari.

Gambar 3.3. Alur seleksi dan pengelompokkan data kecerahan langit malam

3.1.3Pengolahan Data

1. Grafik Pengaruh Aktivitas Matahari terhadap Kecerahan Langit

Malam

Grafik pengaruh aktivitas Matahari terhadap kecerahan langit malam dibuat dengan merajah nilai rata-rata bulanan kecerahan langit malam terhadap nilai rata-rata bulanan log fluks pada waktu yang bersesuaian untuk melihat pola kecenderungan grafik.


(3)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Setelah mendapatkan data kecerahan langit yang lengkap, yang harus dilakukan selanjutnya adalah melakukan perhitungan magnitudo ambang pada tiap fase aktivitas Matahari dengan memanfaatkan hasil penelitian dari Tousey dan Koomen (1953 dalam Nawar 1983) untuk fase tenang yang ditunjukkan sebelumnya dalam Tabel 2.2 dan Weaver (1947) untuk fase aktif Matahari yang ditunjukkan Tabel 2.3. Nilai Magnitudo ambang untuk setiap kecerahan langit ini dirajahkan berdasarkan fasenya dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel kemudian dicari persamaan regresinya. Tabulasi nilai kecerahan langit malam beserta magnitudo ambang yang bersesuaian pada saat fase tenang dan aktif Matahari yang disebutkan sebelumnya masing-masing dinyatakan dalam satuan candle/foot2 dan nanoLambert (nL). Data kecerahan langit malam yang diakses dari situs unihedron memiliki satuan mag/[“]2 (magnitudo per detik busur kuadrat). Untuk menyeragamkan satuan data digunakan nilai satuan nanoLambert, untuk mengkonversi ke dan dari satuan lain yang biasa digunakan dalam astronomi, yaitu mag/[“]2 (magnitudo per detik busur kuadrat), digunakan persamaan (2.1).

3. Membangun Kurva Visibilitas

Setelah mendapatkan persamaan regresi untuk menghitung nilai magnitudo ambang pada setiap fase langkah selanjutnya adalah menghitung nilai magnitudo untuk setiap nilai kecerahan langit malam yang diperoleh di lokasi pengamatan Garraí Réalta Observatory. Untuk membangun kurva visibilitas objek langit, nilai magnitudo ambang objek langit yang telah didapatkan kemudian dicari nilai rata–ratanya. dan dipilihkan objek langit sembarang berupa cahaya titik (point source) dengan beragam nilai magnitudo yang bersesuaian dengan nilai magnitudo ambangnya. Objek ini kemudian dicari nilai ketinggiannya diatas horison kemudian dihitung nilai magnitudonya setelah mengalami efek pelemahan oleh atmosfer dengan menggunakan persamaan 2.2 dan 2.3 untuk menghitung massa udara.


(4)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Hasil dari perhitungan nilai magnitudo objek didalam atmosfer pada berbagai ketinggian ini kemudian di rajah dalam sebuah grafik bersama dengan nilai rata-rata magnitudo ambang setiap fase aktivitas Matahari untuk kemudian dianalisis.


(5)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3.4 Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh fase aktif dan tenang terhadap kecerahan langit malam dilakukan analisis dengan mengamati kecenderungan kesesuaian antara kenaikan fase terhadap nilai kecerahan langit malam.Untuk mengetahui Pengaruh antara ketiga variabel dilakukan analisis dan interpretasi terhadap hasil dari nilai magnitudo ambang fase aktif dan fase tenang Matahari yang telah diperoleh. Juga dilakukan analisis tehadap hasil rajah kurva visibilitas objek langit.


(6)

Lia Hikmatul Maula, 2015

PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS

OBJEK LANGIT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

30 5.1 Simpulan

Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa fase aktif dan tenang Matahari memiliki imbas terhadap kecerahan langit malam. Pada saat Matahari berada dalam fase tenang langit cenderung lebih gelap dibandingkan pada saat fase aktifnya. Hal ini diperkuat pula dengan grafik yang menunjukkan langit cenderung lebih terang saat pertambahan nilai F10,7. Untuk setiap fase aktivitas yang berbeda nilai magnitudo ambang yang dihasilkan juga berbeda. Nilai numerik magnitudo ambang untuk fase tenang lebih besar daripada nilai magnitudo ambang pada saat fase aktif Matahari, artinya pada fase aktif diperlukan objek yang lebih terang untuk dapat diamati dalam modus mata telanjang dari suatu lokasi pengamatan.

5.2 Rekomendasi

Untuk penelitian serupa lebih lanjut disarankan untuk menggunakan nilai kecerahan langit malam di berbagai jarak zenit dan membangun pula kurva visibilitas objek langit berupa sumber cahaya membentang (extended source), tidak saja untuk modus pengamatan mata telanjang namun juga pengamatan berbantuan alat optik menggunakan model-model terbaru yang tersedia, seperti manuskrip dari Andrew Crumey (arXiv: 1405.4209v1, 16 Mei 2014).