Hubungan Big Five Model's Trait dan Attachment Style pada Individu yang Usia Pernikahannya 11-30 Tahun di Komunitas "X" Bandung.
iii Universitas Kristen Maranatha
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara big five model’s trait dan attachment style. Responden pada penelitian ini berjumlah 63 orang yang dipilih berdasarkan teknik penarikan sampel purposive sampling.
Alat ukur untuk mengukur big five model’s trait menggunakan Big Five Inventory (BFI) yang dimodifikasi oleh peneliti dari Dr. Irene P.E,M.Si., Psikolog berdasarkan konsep A Five-Factor Theory dari Robert R. Mc’Rae dan Paul T. Costa, Jr (2003). Dari uji validitas diperoleh 38 item valid dengan validitas berkisar antara 0,301 – 0,699. Diperoleh juga reliabilitas berkisar antara 0,683 – 0,804. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur attachment style menggunakan Experience in Close Relationship Scale (ECR) yang dimodifikasi oleh peneliti dari Brennan (1998) berdasarkan teori adult attachment dari Hazan & Shaver. Dari uji validitas diperoleh 30 item valid dengan validitas berkisar antara 0,398 – 0,883. Diperoleh juga reliabilitas berkisarantara 0,802 - 0,820. Uji korelasi yang digunakan adalah pearson chi square.
Berdasarkan pengolahan data, didapatkan hubungan antara trait neuroticism dengan secure attachment (p value = 0,024) dengan nilai korelasi sebesar -0,285 dan antara trait neuroticism dengan anxious attachment (p value = 0,010) dengan nilai korelasi sebesar 0,326. Peneliti mengajukan saran kepada pimpinan dan penggiat kegiatan di komunitas “X”, untuk dapat menginformasikan trait dan attachment style kepada para anggota komunitas melalui sharing. Selain itu, disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi faktor yang mempengaruhi terhadap attachment style.
(2)
Abstract
This research is intended to find out the relation of big five model’s trait and attachment style. The respondents of this research are 63 people, that were choosen using the pruposive sampling methods.
The measurement tool which was used to measure the big five model’s trait is the modified questionnaire by researcher from Dr. Irene P. E M.Si., Psikolog based on A Five-Factor Theory concept from Robert R. Mc’Rae dan Paul T. Costa, Jr (2003). From the validity test obtained 38 valid items, which ranged between 0,301 – 0,699. It was also obtained reability value between 0,683 – 0,804. The measurement tool which was used to measure attachment style use Experience in Close Relationship Scale (ECR) which modified by researcher from Brennan (1998) based on adult attachment theory from Hazan & Shaver. From the validity measurement obtained 30 valid items, which ranged between 0,398 – 0,883. It was also obtained reliability value between 0,802 - 0,820. This research used correlational method
Based on the research result, there is a relationship between neuroticism trait and secure attachment (p value = 0,024) with correlation number -0,285 and between neuroticism trait and anxious attachment (p value = 0,010) with correlation number 0,326.
Researchers propose suggestions to the leaders and activists of activity in the community"X", to be able to inform about the trait and attachment style to the members of the community, through sharing. In addition, it is recommended to further investigate the contributing factors that affect the attachment style.
(3)
vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 10
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10
1.3.1. Maksud Penelitian ... 10
1.3.2. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ... 10
1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 10
1.4.2. Kegunaan Praktis ... 11
1.5. Kerangka Pemikiran ... 11
1.6. Asumsi Penelitian ... 26
(4)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 28
2.1. Trait ... 28
2.1.1. Prinsip Dasar dari Psikologi Trait ... 28
2.1.2. Jenis Trait ... 29
2.1.3. Five-Factor Theory of Personality ... 36
2.1.4. Komponen dari Sistem Kepribadian ... 38
2.2 Attachment ... 40
2.2.1. Proses Berkembangnya Attachment ... 40
2.2.2. Pengertian Attachment ... 44
2.2.3. Pengertian Adult Attachment ... 45
2.2.4. Dimensi Attachment ... 46
2.2.5. Attachment Disorganization ... 47
2.2.6. Attachment Style ... 48
2.2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi attachment ... 50
2.3. Pernikahan ... 51
2.3.1. Definisi Pernikahan ... 51
2.3.2. Tahap – tahap Periode Pernikahan ... 52
2.4. Dewasa Madya ... 55
2.4.1. Definisi Dewasa Madya ... 55
2.4.2. Ciri-ciri Perkembangan Pada Masa Dewasa Madya ... 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 57
3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 57
3.2. Bagan Rancangan Penelitian ... 57
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 58
3.3.1. Variabel Penelitian ... 58
3.3.2. Definisi Operasional ... 58
(5)
ix Universitas Kristen Maranatha
3.3.2.2. Definisi Operasional Attachment Style ... 59
3.4. Alat Ukur ... 60
3.4.1. Alat Ukur Trait ... 60
3.4.2. Alat Ukur Attachment style ... 62
3.4.3. Data Pribadi dan Data Penunjang ... 63
3.4.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 64
3.4.4.1. Validitas Alat Ukur ... 64
3.4.4.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 65
3.5. Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ... 65
3.5.1. Sampel Sasaran ... 65
3.5.2. Karakteristik Sampel ... 65
3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 66
3.6. Teknik Analisis Data ... 66
3.7. Hipotesis Statistik ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70
4.1. Gambaran Sampel Penelitian ... 70
4.1.1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 70
4.2. Hasil Penelitian ... 70
4.2.1. Hubungan Antara Big Five Model’s Trait dan Attachment Style ... 71
4.3. Pembahasan ... 73
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 82
5.1. Simpulan ... 82
5.2. Saran ... 82
5.2.1. Saran Teoritis ... 82
5.2.2. Saran Praktis ... 83
(6)
(7)
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Big Five Model McCrae dan Costa ... 30
Tabel 3.1. Kisi-Kisi Alat Ukur Trait ... ……61
Tabel 3.2. Kisi-kisi Alat Ukur Attachment Style ... 63
Tabel 3.3.Validitas Trait dan Attachment Style ... 64
Tabel 4.1. Gambaran Sampel Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 70
(8)
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
Bagan 1.1. Kerangka Pikir ... 25 Gambar 2.1. Operasi dari Sistem Kepribadian Menurut FFT ... 39 Bagan 3.1. Rancangan Penelitian ... 57
(9)
xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 KATA PENGANTAR
LAMPIRAN 2 LETTER OF CONSENT
LAMPIRAN 3 ALAT UKUR
Lampiran 3.1. Alat Ukur Trait
Lampiran 3.2. Alat Ukur Attachment Style Lampiran 3.3. Alat Ukur Data Penunjang
LAMPIRAN 4 VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
Lampiran 4.1. Validitas Alat Ukur Lampiran 4.2. Reliabilitas Alat Ukur LAMPIRAN 5 DATA HASIL KUESIONER
Lampiran 5.1. Hasil Kuesioner Trait
Lampiran 5.2. Hasil Kuesioner Attachment Style
Lampiran 5.3. Gambaran Sampel Penelitian berdasarkan Usia
Lampiran 5.4. Gambaran Sampel Penelitian berdasarkan Usia Pernikahan LAMPIRAN 6 HASIL PENELITIAN
Lampiran 6.1. Hasil Penelitian Berdasarkan Data Attachment
(10)
Lampiran 6.3. Hasil Penelitian Berdasarkan Data Dimensi Anxiety
Lampiran 6.4. Hasil Penelitian Berdasarkan Data Big Five Personality’s Trait Lampiran 6.5. Crosstab Trait dan Attachment Style
Lampiran 6.6. Crosstab Data Penunjang LAMPIRAN 7 BIODATA PENELITI
(11)
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain dapat menimbulkan sikap saling ketergantungan, saling terikat yang akan mempengaruhi kehidupan mereka. Salah satu bentuk hubungan yang dapat menimbulkan sikap saling ketergantungan adalah hubungan suami istri dalam kehidupan pernikahan (Takariawan, 2015).
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka pasangan tersebut akan belajar untuk saling menyesuaikan diri dengan pasangannya mengingat sebelum menikah mereka adalah dua pribadi yang memiliki status bebas merdeka, tidak terikat satu dengan yang lainnya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri menjadi salah satu faktor penentu kebahagiaan pernikahan. Jika masing-masing pihak dapat menyesuaikan diri, maka akan muncul keharmonisan dan kelanggengan dalam hubungan pernikahan. Sebaliknya, jika kedua belah pihak atau salah satu pihak sulit untuk menyesuaikan diri, cenderung mempertahankan kemauannya sendiri, tanpa mau berusaha menyesuaikan dengan harapan pasangan, maka akan menyebabkan kesulitan dalam mencapai titik keharmonisan dan kebahagiaan pernikahan (Takariawan, 2015).
Penyesuaian yang dialami oleh pasangan suami istri biasanya berlangsung pada periode awal pernikahan yaitu selama 10 tahun pertama. Mereka saling mengenal kebiasaan sehari-hari dan saling menyesuaikan harapan dengan peran atas dasar jender, hukum, serta pengalaman pribadi yang dipelajarinya (Strong dan De Vault, 2010). Masing-masing pasangan akan menyadari hal-hal baru dari diri pasangan yang sebelumnya tidak ditemukan saat pacaran,
(12)
seperti sifat dan sikap pasangannya yang berubah setelah menikah. Tahun-tahun pertama pernikahan adalah masa-masa awal untuk mengenal pasangan lebih jauh. Tahun pertama pernikahan ini akan menentukan perkembangan pernikahan selanjutnya, apakah akan menjadi lebih baik atau malah memburuk (Wulandari, 2015). Penelitian yang bertajuk 'The Connubial Crucible: Newlywed Years as Predictors of Marital Delight, Distress, and Divorce' juga menunjukkan bahwa kehidupan pada tahun kedua bagi pasangan yang baru menikah dapat mencerminkan kehidupan pernikahan mereka pada 13 tahun mendatang (Huston, Caughlin, Houts, Smith, dan George dalam wolipop).
Saat pasangan suami istri memasuki periode tahun pertengahan dalam pernikahan, yaitu antara tahun ke 11 sampai dengan ke 30 biasanya kehidupan pernikahan pasangan diwarnai dengan kegiatan pengasuhan anak, pengasuhan keluarga, dan pengembangkan karir (Strong dan De Vault, 2010). Selain itu pada periode pernikahan ini biasanya pasangan memiliki anak-anak yang sudah memasuki usia remaja dan dewasa awal. Anak pada usia remaja sedang berada dalam masa-masa pergolakan sehingga mereka cenderung untuk memberontak dan menantang otoritas orang tua. Ini adalah masa yang kritis, yaitu pasangan suami istri harus bekerja sama untuk mengatasi pemberontakan anak. Apabila pasangan suami istri tidak dapat melakukan kerja sama dan tidak dapat menyesuaikan diri dalam hal mengatasi pemberontakan anak, maka pasangan suami istri rawan mengalami perpecahan (Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam sabda.org, 2014). Meskipun demikian, terdapat studi juga yang menunjukkan bahwa ketika pada periode tahun pertengahan dalam pernikahan ini, banyak pasangan yang memiliki anak yang telah menikah. Ketika anak mereka keluar dari rumah, hal ini juga dapat menjadi masa yang paling
bahagia utuk pasangan atau dapat dikatakan sebagai periode “second honeymoon”. Pasangan
merasa bahwa mereka sudah menyelesaikan kewajiban mereka untuk mengasuh anak. Mereka menjadi memiliki waktu atau kesempatan yang sebelumnya tidak mereka miliki, seperti
(13)
3
Universitas Kristen Maranatha
berkurangnya kekhawatiran mengenai keuangan dan kesempatan untuk mengenal pasangannya lebih mendalam (Strong dan De Vault, 2010).
Selain itu terdapat penelitian juga yang mengungkapkan bahwa pada periode ini toleransi antar pasangan sudah mulai berkurang sehingga muncul berbagai konflik yang perlu diselesaikan oleh pasangan suami istri ini. Konflik yang ada biasanya memang sudah ada pada awal pernikahan, namun mereka memilih bertahan dengan berbagai alasan normatif, misalnya takut mengecewakan keluarga atau dicemooh masyarakat dan alasan yang paling klasik adalah anak-anak. Akhirnya, ketika anak-anak sudah menjadi cukup dewasa dan mandiri, jalan perpisahan pun diambil (Agustia, 2010).
Pasangan suami istri yang berada pada periode pertengahan ini juga dapat mencapai tingkat kejenuhan dalam pernikahan karena sudah memiliki hubungan yang lama dengan pasangannya. Hal ini dapat berdampak pada berkurangnya kedekatan emosional, seperti keintiman dan kehangatan antar pasangan. Masing-masing pasangan menjadi merasa terabaikan atau merasa tidak dihargai lagi oleh pasangannya sehingga dapat memicu perselingkuhan dan dapat berujung pada perceraian. Hal ini menunjukkan bahwa lamanya hubungan pernikahan tidak berarti pernikahannya tersebut bahagia. Oleh karena itu pada periode tahun pertengahan pernikahan penting untuk memelihara kedekatan emosional dengan pasangan, seperti dukungan emosional, keterbukaan, rasa saling percaya, serta pemberian rasa aman dan nyaman pada pasangan (Agustia, 2010).
Hal serupa juga ditemukan pada komunitas “X” yang merupakan komunitas beranggotakan para pasangan suami istri beragama katolik yang berkumpul dan melakukan kegiatan retreat bersama. Kegiatan ini khusus diselenggarakan bagi pasangan suami istri. komunitas “X” memiliki berbagai rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas relasi antar pasangan dengan cara sharing dan merefleksikan hubungan mereka dengan pasangannya. Selain itu,di dalam komunitas “X” ini pun, para anggotanya akan mendengarkan
(14)
bacaan injil dan kotbah dari pastor mengenai pernikahan. Komunitas “X” ini diperuntukkan bagi pasangan suami istri dengan usia pernikahan tiga tahun ke atas. Pada usia pernikahan tiga tahun ke atas, banyak pasangan di komunitas “X” yang merasakan bahwa kehidupan pernikahan mereka timbul konflik. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan suami istri yang usia pernikahannya di bawah tiga tahun untuk memasuki komunitas ini. Pasangan suami istri yang usia pernikahannya di bawah tiga tahun dapat mengikuti komunitas ini atas saran pastor dari paroki yang berkaitan. Pada komunitas “X” mayoritas anggotanya adalah pasangan suami istri yang memiliki usia penikahan 10 tahun ke atas.
Berdasarkan hasil wawancara, pasangan suami istri yang berada pada usia pernikahan 11-30 tahun di komunitas “X” telah memiliki anak yang berusia remaja hingga dewasa awal sehingga mereka memiliki waktu yang banyak untuk menjalin hubungan dengan pasangannya. Meskipun begitu, seringkali hal yang terjadi adalah kebalikannya. Mereka lebih memilih untuk pergi bersama dengan temannya atau melakukan pekerjaan di tempat kerjanya. Pada masa-masa ini masalah yang dialami oleh para pasangan suami istri di komunitas “X” adalah komunikasi yang tidak berjalan dengan lancar. Apabila terdapat permasalahan dalam pernikahan, mereka lebih memilih untuk tidak menyampaikan kepada pasangannya karena terdapat alasan tertentu, seperti ketakutan bahwa pasangan akan menjauh dari dirinya atau untuk menghindari pertengkaran. Mereka lebih memilih untuk diam dan tidak membicarakan solusi dari pertengkaran yang dialaminya dengan pasangan. Selain itu, mereka juga merasa bahwa dirinya memiliki karakter yang berbeda dengan pasangannya sehingga membuat mereka merasa bahwa dirinya tidak cocok dengan pasangannya. Hal ini membuat para pasangan suami istri di komunitas ”X” tersebut merasa dirinya tidak nyaman dengan pasangannya.
Masalah-masalah dalam pernikahan seperti ketidakpercayaan, ketidaknyamanan, perasaan terabaikan seperti yang diungkapkan pada alinea di atas menunjukkan masalah yang mengganggu kedekatan emosional antara pasangan suami istri. Kedekatan emosional inilah
(15)
5
Universitas Kristen Maranatha yang biasa dikatakan sebagai attachment. Hazan & Shaver (1987) mengatakan attachment memegang peranan penting di dalam keberlangsungan suatu pernikahan. Relasi yang terjadi antara pasangan suami dan istri bersifat timbal balik yaitu masing-masing individu berperan sebagai figur attachment yang memberi dan membutuhkan kedekatan serta responsivitas dari pasangannya. Attachment style yang dimiliki individu mempengaruhi bagaimana cara mereka membina hubungan dengan orang lain, termasuk dengan pasangannya. Shaver juga mengatakan bahwa attachment style yang dimiliki individu dapat memengaruhi kepuasan di dalam suatu hubungan, penyesuaian dalam hubungan, bagaimana pasangan mengatasi konflik, dan bentuk komunikasi yang terjadi diantara pasangan.
Hazan & Shaver (1987) merumuskan tiga attachment style pada orang dewasa yang diadaptasi dari rumusan Ainsworth (1978) mengenai attachment style pada bayi, yaitu secure, avoidant, dan anxious. Ketiga attachment style ini muncul dari dua dimensi yang mendasarinya, yaitu avoidance dan anxiety. Dimensi avoidance mengarah pada ketidaknyamanan akan kedekatan atau ketergantungan pada pasangan, lebih memilih untuk menjaga jarak akan emosi, dan menggunakan sedikit strategi untuk berkompromi dengan perasaan tidak aman dan kecemasan. Sedangkan dimensi anxiety mengarah pada dorongan yang kuat akan kedekatan dan perlindungan, kekhawatiran yang kuat akan keberadaan pasangan dan kepemilikan pasangan, khawatir pasangan tidak benar-benar mencintainya atau akan meninggalkannya, serta menggunakan strategi yang berlebihan untuk berkompromi dengan perasaan tidak aman dan kecemasan (Mikulincer & Shaver, 2007).
Attachment style yang dimiliki individu juga berkaitan dengan kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam mempengaruhi cara mereka membina hubungan dengan pasangannya (Davila, Karney, dan Bradbury, 1999). Menurut Pdt. Yakub Susabda, Ph.D (2014), dalam suatu pernikahan pasangan suami istri membawa latar belakang yang berbeda, termasuk kepribadian, kebiasaan, cara berpikir dan selera yang berbeda. Mereka
(16)
bahkan mempunyai konsep-konsep yang berbeda tentang kehidupan keluarga (Marriage Enrichment: hal.201). Perbedaan kepribadian dan kebiasaan yang awalnya tidak diketahui atau tidak dipermasalahkan, saat menikah menjadi sumber masalah yang menimbulkan gesekan-gesekan yang terkadang menyakitkan bagi suami istri. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bila suami istri sering mengalami konflik dan perselisihan.
Perbedaan kepribadian dalam diri individu berperan dan berinteraksi dengan lingkungan sehingga membentuk keunikan dari masing-masing individu dalam bereaksi terhadap suatu situasi. Di dalam kepribadian terdapat trait yang akan menentukan cara individu berpikir, merasa, dan berperilaku (Mc Crae dan Costa,2006). Trait seseorang akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungan mereka dengan pasangannya di sepanjang hidup mereka, begitu juga dengan attachment style yang dimiliki oleh setiap pasangan suami istri. Bagaimana individu menghayati/merespon stimulus/perlakuan pasangannya, tidak lepas dari trait yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut (Davila, Karney, dan Bradbury, 1999).
Mc Crae dan Costa mengungkapkan adanya lima trait, yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Individu dengan derajat yang tinggi pada trait neuroticism cenderung penuh kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sangat sadar akan dirinya sendiri, emosional, dan rentan terhadap gangguan yang berhubungan dengan stres. Sedangkan individu dengan derajat yang tinggi pada trait extraversion cenderung penuh kasih sayang, ceria, senang berbicara, senang berkumpul, dan menyenangkan. Individu dengan derajat yang tinggi pada trait openess to experience cenderung kreatif, imajinatif, penuh rasa penasaran, terbuka, dan lebih memiliki variasi. Selain itu, individu dengan derajat yang tinggi pada trait agreeableness cenderung mudah percaya, murah hati, pengalah, mudah menerima, dan memiliki perilaku yang baik. Individu yang memiliki derajat tinggi pada trait conscientiousness cenderung pekerja keras, berhati-hati, tepat waktu, dan mampu bertahan (McCrae dan Costa, 2003).
(17)
7
Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung didapatkan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada bagaimana perilaku yang mereka tampilkan pada pasangannya. Sebanyak 2 (20%) individu menyatakan bahwa dalam menjalani hidup, mereka adalah orang yang ceria dan senang berbicara. Mereka cukup sering menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama teman-temannya untuk sekedar mengobrol atau terlibat aktif dalam acara gereja. Ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, mereka mencoba menyikapinya dengan lebih positif. Dalam hubungannya dengan pasangan, mereka merasa senang dan tidak segan untuk menunjukkan rasa cintanya kepada pasangan seperti bergandengan tangan atau memuji pasangannya. Kemudian mereka juga merasa dirinya mendapat dukungan dari pasangan sehingga dirinya menjadi lebih semangat dalam menjalani hidup. Mereka merasa bahwa pasangan mencintai dan menerima dirinya apa adanya. Apabila terjadi masalah dengan pasangan, mereka akan selalu membicarakannya pada pasangan. Mereka akan membicarakan masalah tersebut saat mereka berada dalam suasana hati yang baik untuk menghindari pertengkaran.
Selain itu, sebanyak 2 (20%) individu menyatakan bahwa mereka seringkali mencoba suatu hal baru, seperti membuat suatu bisnis dengan istri dan teman-temannya ataupun ikut kursus untuk menambah keahlian pada dirinya dan mengisi waktu. Dalam menghadapi masalah sehari-hari, mereka terbuka untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain dan juga terbuka untuk menerima saran dari orang lain untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dalam hubungannya dengan pasangan, mereka merasa bahwa dirinya memiliki kenyamanan apabila bercerita mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi kepada pasangannya. Selain itu, mereka merasa dirinya dan pasangan tidak memiliki rahasia dan memiliki kepercayaan kepada pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangan, mereka
(18)
merasa bahwa pasangannya dapat diajak berdiskusi untuk mencari pemecahan masalah sehingga mereka merasa bahwa dirinya dicintai oleh pasangannya.
Kemudian didapatkan pula bahwa sebanyak 2 (20%) individu menyatakan bahwa mereka cenderung menerima diri apa adanya. Mereka juga mencoba untuk menyikapi masalah dalam kehidupan dengan lebih tenang dan dengan tidak mengeluh. Selain itu mereka seringkali berinisiatif untuk membantu temannya ketika sedang mengalami kesulitan, seperti mendengarkan temannya bercerita mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh temannya tersebut. Dalam hubungannya dengan pasangan, ketika mereka sedang tidak bersama dengan pasangannya mereka akan tetap menjaga kedekatan dengan pasangannya tersebut, dengan cara bertelepon untuk menanyakan kabar atau bercerita mengenai kejadian sehari-hari yang dialami. Mereka juga memiliki kepercayaan pada pasangannya sehingga ketika mereka sedang tidak berada bersama dengan pasangannya mereka tidak merasa cemas. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka percaya pada apa yang diungkapkan oleh pasangannya. Mereka percaya bahwa dirinya dan pasangannya dapat melalui permasalahan tersebut.
Didapatkan bahwa sebanyak 2 (20%) individu menyatakan bahwa mereka cenderung serius dalam melihat kehidupan. Mereka mengerjakan suatu pekerjaan dengan teratur, misalnya menaruh barang yang telah diambil pada tempatnya dan secara rutin membersihkan rumahnya. Apabila terdapat masalah dalam kehidupan sehari-hari biasanya mereka berpikir bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melewati setiap masalah dalam kehidupan. Oleh karena itu biasanya mereka cenderung kaku dan kurang menyukai kritik dari orang lain karena mereka merasa dirinya memiliki kemampuan. Dalam hubungannya dengan pasangannya mereka kurang dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Hal ini seringkali memunculkan pertengkaran dengan pasangannya dan membuat mereka tidak menceritakan masalah pribadi yang sedang dihadapi kepada pasangannya. Mereka lebih menyukai untuk menceritakan hal-hal yang
(19)
9
Universitas Kristen Maranatha berkaitan dengan anak mereka saja. Selain itu mereka juga lebih memilih untuk melakukan hal-hal secara mandiri dan tidak tergantung pada pasangannya ketika mengambil suatu keputusan tertentu. Apabila mereka sedang tidak bersama dengan pasangannya, mereka seringkali tidak merasa khawatir pada pasangannya. Mereka jarang untuk menanyakan kabar dari pasangannya. Apabila terjadi permasalahan dengan pasangan, mereka lebih memilih untuk diam dan tidak mencari pemecahan masalah bersama karena mereka berpikir bahwa dirinya dengan pasangannya memiliki karakter yang berbeda dan dengan berdiskusi justru akan membuat permasalahan semakin membesar.
Selain itu juga didapatkan bahwa sebanyak 2 (20%) individu menyatakan bahwa mereka sering merasa cemas pada masalah-masalah yang dialaminya sehari-hari. Dalam hubungannya dengan pasangan mereka sering merasa khawatir apakah pasangannya mencintai dirinya dan kurang mempercayai pasangannya. Mereka selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila mereka sedang tidak berada bersama dengan pasangannya, mereka akan mengirim pesan atau menelepon pasangannya untuk memastikan apa yang sedang dilakukan pasangannya tersebut dan memberikan perhatian-perhatian kecil, seperti mengingatkan untuk tidak lupa makan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kedekatannya dengan pasangannya. Terkadang mereka merasa bahwa dirinya memiliki sikap yang berlebihan terhadap pasangannya, namun hal ini dikarenakan mereka merasa cemas. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung.
(20)
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ingin diteliti adalah hubungan antara big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Untuk mengetahui gambaran mengenai big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
1. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung.
2. Memberikan informasi bagi ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi perkembangan, psikologi keluarga, dan psikologi sosial mengenai hubungan antara big
five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung..
(21)
11
Universitas Kristen Maranatha
1.4.2. Kegunaan Praktis
1. Memberi informasi kepada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung mengenai trait dan attachment style masing-masing sehingga diharapkan mereka dapat membangun relasi yang lebih berkualitas dan mendalam dengan pasangannya serta dapat lebih mengenal diri sendiri, pasangannya dan dapat mengurangi masalah yang terjadi dengan pasangannya.
2. Memberi informasi kepada komunitas “X” Bandung mengenai trait dan attachment style individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun agar dapat dijadikan bahan evaluasi dalam rangkaian kegiatan dalam komunitas seperti sharing bersama sehingga dapat menciptakan keintiman dalam pernikahan.
1.5. Kerangka Pemikiran
Individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung atau yang biasanya juga dikenal dengan periode pertengahan dalam pernikahan, berada pada tahap perkembangan dewasa madya yaitu individu dengan usia yang berkisar antara 40-65 tahun. Individu dengan usia pernikahan 11-30 tahun di komunitas “X” selanjutnya akan disebut sebagai individu. Masa dewasa madya adalah masa saat individu mengalami penurunan pada kesehatan dan kemampuan fisik, tetapi terdapat peningkatan pada kematangan proses berpikir. Sebagian individu yang berada pada masa dewasa ini sedang berada pada puncak karir mereka, sedangkan yang lainnya mungkin saja sudah berada pada akhir karir mereka (Papalia, 2007). Individu yang mencapai masa dewasa madya juga memiliki tugas perkembangan dalam kehidupan pernikahannya, yaitu memastikan interaksi, komunikasi, ekspresi perasaan (cinta, seks, marah, kekecewaaan, kesuksesan) suami istri yang memungkinkan untuk kepuasan pernikahan mereka. Individu usia ini diharapkan untuk mempertahankan interaksi antara suami dan istri sebagai hubungan interpersonal yang paling penting (Duvall & Miller,1985).
(22)
Pada periode pertengahan dalam pernikahan, apabila pasangan memiliki anak maka fase ini diisi dengan fokus pada pengasuhan anak dan pengasuhan keluarga, serta menetapkan tujuan-tujuan baru untuk masa depan. Jika pasangan tidak memiliki anak, maka fase ini didedikasikan untuk karir, aktivitas kemasyarakatan atau tugas-tugas sosial. Titik beratnya adalah kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan hidupnya (Strong dan De Vault, 2010). Menurut penelitian Pineo dalam Papalia (1986) didapatkan bahwa pada periode tahun pertengahan dalam pernikahan, kepuasan pernikahan dan keintiman antara pasangan semakin berkurang. Pasangan pada masa ini mengalami kekecewaan yang terlihat dari mereka sudah jarang untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan bersama, kurang dapat bertoleransi terhadap perbedaan kepribadian yang masing individu miliki, dan keintiman yang masing-masing individu rasakan terasa seperti palsu.
Dalam kehidupan pernikahan, tentunya tidak akan luput dari suatu permasalahan. Dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan, cara penyelesaian masalahnya akan berbeda pada tiap pasangan. Hal tersebut dipengaruhi oleh suatu gaya ikatan emosional yang merupakan hasil interaksi dengan figur attachmentnya yang dikenal dengan attachment style (Ainsworth dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Figur attachment biasanya adalah seseorang yang istimewa bagi individu yang dapat memberikan rasa aman serta dukungan bagi individu tersebut apabila dibutuhkan. Pada individu di komunitas “X”, figur attachmentnya adalah pasangannya sendiri. Shaver & Hazan (1987) menambahkan attachment memegang peranan penting di dalam keberlangsungan suatu pernikahan. Attachment pada dasarnya adalah suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain. Dalam pernikahan, attachment dapat mempengaruhi bagaimana individu menyelesaikan konflik, bentuk komunikasi, penyesuaian pernikahan, dan kepuasan pernikahan (Mikulincer& Shaver, 2007).
(23)
13
Universitas Kristen Maranatha Menurut Mikulincer & Shaver (2007), attachment memiliki dua dimensi, yaitu dimensi avoidance dan dimensi anxiety. Dimensi pertama, avoidance mengarah pada perasaan tidak nyaman akan kedekatan atau ketergantungan pada pasangan, lebih memililih untuk menjaga jarak akan emosi, dan menggunakan sedikit strategi untuk berkompromi dengan perasaan tidak aman dan kecemasan. Sedangkan dimensi anxiety mengarah pada dorongan yang kuat akan kedekatan dan perlindungan, kekhawatiran yang kuat akan keberadaan pasangan dan kepemilikan pasangan, serta menggunakan strategi yang berlebihan untuk berkompromi dengan perasaan tidak aman dan kecemasan.
Pada individu di komunitas “X”, dimensi avoidance ditunjukkan dengan melakukan hal-hal secara mandiri dan tidak tergantung pada pasangannya ketika hendak melakukan sesuatu atau ketika hendak mengambil suatu keputusan. Selain itu, apabila terdapat permasalahan dengan pasangan, mereka memilih untuk tidak menyampaikan pendapatnya dan tidak membicarakan solusi dari pertengkaran yang dialaminya dengan pasangan. Sedangkan dimensi anxiety pada individu di komunitas “X” ditunjukkan dengan perasaan khawatir apakah pasangan mereka mencitainya atau tidak. Hal ini membuat mereka selalu merasa ingin tahu apa yang sedang dilakukan pasangannya dan membuat mereka selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya, seperti menanyakan keberadaan pasangannya ketika dirinya sedang tidak berada bersama dengan pasangannya.
Kedua dimensi attachment ini akan menghasilkan tiga bentuk attachment style, yaitu secure, avoidant, dan anxious. Apabila individu di komunitas “X” tersebut memiliki skor rendah pada dimensi avoidance dan anxiety akan menghasilkan secure attachment style. Sedangkan apabila individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung tersebut memiliki skor tinggi pada dimensi avoidance dan skor rendah pada dimensi anxiety maka individu tersebut memiliki avoidant attachment style. Apabila individu di komunitas “X” memiliki skor tinggi pada dimensi anxiety dan skor rendah pada dimensi avoidance, maka akan
(24)
menghasilkan anxious attachment style. Ketika individu memiliki skor tinggi pada dimensi avoidance dan skor yang tinggi pada dimensi anxiety maka individu tersebut memiliki disorganized attachment style, akan tetapi individu dengan tipe ini memiliki kemungkinan bahwa mereka terlibat dalam hubungan romantis yang penuh dengan tekanan atau kekerasan, secara kognitif juga tertutup dan kaku, menunjukkan sedikit empati, dan memiliki gangguan kepribadian atau kesehatan mental yang terganggu. Hazan dan Shaver tertarik pada populasi dengan subjek yang normal, oleh karena itu, attachment style yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah tipe secure, avoidant, dan anxious. Ketiga attachment style yang dimiliki oleh individu di komunitas “X” merupakan pola kepribadian yang menetap dan akan menentukan bagaimana dirinya menyelesaikan masalah yang terdapat di dalam kehidupan pernikahan mereka (Shaver & Clark, 1994 dalam Mikulincer & Shaver, 2007).
Menurut Davila, Karney, dan Bradbury (1999) attachment pada individu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu situasi dan perubahan, perubahan dalam skema relasional, dan kepribadian. Faktor yang pertama adalah situasi dan perubahan. Apabila individu mengalami situasi yang kurang menyenangkan atau perubahan dari situasi yang nyaman menjadi tidak nyaman secara terus-menerus, hal ini dapat mengubah attachment style yang telah tertanam sebelumnya. Misalnya sebelum menikah individu di komunitas “X” memiliki secure attachment style terhadap pengasuh/ibunya. Attachment style tersebut mungkin dapat berubah. ketika individu di komunitas “X” mengalami pertengkaran dengan pasangannya dan tidak kunjung menemukan pemecahan masalah yang tepat untuk mengatasi pertengkaran tersebut, merasa terabaikan atau merasa tidak dihargai oleh pasangannya. Hal ini dapat menyebabkan adanya jarak emosional dengan pasangannya sehingga dapat membuat atachment style yang dimiliki oleh individu tersebut mengalami perubahan terhadap pasangannya menjadi avoidant atau anxious.
(25)
15
Universitas Kristen Maranatha Faktor kedua adalah perubahan dalam skema relasional misalnya seperti kehilangan figur signifikan seperti orangtua atau pengasuh dapat membuat attachment style yang telah ada sebelumnya berubah, sebab individu di komunitas “X” belum tentu mendaparkan figur signifikan yang sama seperti figur yang hilang. Setelah menikah, individu akan tinggal berpisah dengan orangtuanya yang mengakibatkan figur signifikan ibu yang biasanya selalu ada setiap saat akan berkurang atau hilang dan pasangannya sebagai figur signifikan yang baru belum tentu sama seperti ibu. Hal ini dapat membuat attachment style individu di komunitas “X” berubah ke arah secure atau avoidant atau anxious. Walaupun ibu dan pasangan merupakan individu yang berbeda namun dengan kualitas kasih sayang yang sama yang diberikan oleh kedua figur signifikan tersebut kepada individu di komunitas “X” dapat membuat attachment style individu di komunitas “X” tetap sama.
Faktor ketiga adalah kepribadian. Kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada figur signifikan sehingga akan berpengaruh pada bagaimana figur signifikan bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda sehingga attachment style dari satu figur attachment dengan figur attachment lain bisa mengubah attachment style yang telah tertanam dalam diri individu di komunitas “X”. Ibu sebagai figur signifikan sebelumnya memiliki kepribadian yang berbeda dengan pasangan sebagai figur signifikan yang baru sehingga dapat memengaruhi bagaimana perilaku individu di komunitas “X” saat berhadapan dengan kepribadian pasangannya. Perilaku individu di komunitas “X” yang berbeda saat berhadapan dengan kepribadian ibu dan suami dapat membentuk attachment style ke arah yang secure atau sebaliknya ke arah avoidant atau anxious.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah diungkapkan di atas, dilihat bahwa attachment style seseorang berhubungan dengan kepribadian yang dimiliki masing-masing individu. Perbedaan kepribadian yang ada dalam diri masing-masing individu yang usia pernikahannya
(26)
11-30 tahun membentuk keunikan dari masing-masing individu tersebut. Kepribadian ini akan dibahas menggunakan teori The Big Five Model. Trait akan menentukan cara individu berpikir, merasa, dan berperilaku terhadap pasangannya (Mc Crae dan Costa,2006).
McCrae dan Costa (1986) mengemukakan 5 trait utama kepribadian individu yaitu neuroticism, extraversion, openess, agreeableness, dan conscientiousness. Setiap trait pada The Big Five Model ini ada pada diri setiap individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung , hanya derajatnya yang berbeda-beda. Dalam kelima trait ini terdapat facet atau dapat disebut trait yang lebih spesifik. Trait neuroticism meliputi facet anxiety (kecemasan), angry hostility (temperamental), depression (depresi), self-consciousness( kesadaran diri), impulsiveness (impulsif-menuruti kata hati), dan vulnerability (kerentanan). Trait extraversion meliputi facet yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu interpersonal dan temperamental trait. Dalam kelompok interpersonal terdiri dari 3 facets, yaitu warmth (kehangatan), gregariousness (suka hidup berkelompok), dan assertiveness (asertif). Sedangkan dalam kelompok temperamental trait juga terdiri dari 3 facets, yaitu activity (aktivitas), excitement-seeking (mencari kesenangan), dan positive emotion (emosi yang positif)..
Trait openess to experience meliputi facet fantasy (imajinatif), aesthetics (nilai estetika), feelings (perasaan/rasa ingin tahu), actions (tindakan), ideas (ide-ide), dan values (nilai-nilai). Trait agreeableness meliputi facet trust (kepercayaan), straightforwardness (sifat terus terang), altruism (menolong orang lain), compliance (kepatuhan), modesty (rendah hati), dan tender-mindedness (kelembutan hati). Terakhir adalah trait conscientiousness yang terdiri dari facet competence (kompeten), order (keteraturan), dutifulness (taat melaksanakan tugas), achievement striving (berjuang untuk mencapai prestasi), self-discipline (disiplin diri), dan deliberation (pertimbangan yang mendalam).
(27)
17
Universitas Kristen Maranatha Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait neuroticism akan cenderung penuh kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sangat sadar akan dirinya sendiri, emosional, dan rentan terhadap gangguan yang berhubungan dengan stres. Dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety dan avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan secure attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan kepada pasangannya, memiliki pengharapan akan keberadaan serta respon dari pasangannya, nyaman dengan kedekatan dan kebergantungan, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan terancam dan stressor dalam hubungan pernikahan dengan jalan yang konstruktif. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kebahagiaan, persahabatan, saling mempercayai, saling menerima, dan saling mendukung. Individu di komunitas “X” biasanya merasa nyaman apabila bercerita mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapinya kepada pasangannya. Mereka juga merasa bahwa dirinya tidak memiliki rahasia dan memiliki kepercayaan kepada pasangannya.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait neuroticism dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung rendah dan dimensi avoidance yang cenderung tinggi. Ini menunjukkan avoidant attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya, merasa sulit untuk mempercayai dan bergantung kepada pasangannya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan keegoisan, kurangnya perhatian. Selain itu, individu dengan tipe ini juga terkadang merasa gugup apabila pasangannya menjadi terlalu dekat dengannya. Individu di komunitas “X” biasanya kurang dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Selain itu mereka juga tidak bergantung kepada pasangannya apabila hendak mengambil suatu keputusan tertentu.
(28)
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait neuroticism dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung tinggi dan dimensi avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan anxious attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan bahwa pasangannya akan enggan apabila berdekatan dengan dirinya. Kemudian individu juga sering merasa khawatir bahwa pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau merasa pasangannya tidak ingin bersama dengan dirinya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kecemburuan, dan emosi yang naik turun. Individu di komunitas “X” biasanya kurang mempercayai pasangannya. Hal ini menyebabkan individu tersebut selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait extraversion akan cenderung penuh kasih sayang, ceria, senang berbicara, senang berkumpul, dan menyenangkan. Dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety dan avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan secure attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan kepada pasangannya, memiliki pengharapan akan keberadaan serta respon dari pasangannya, nyaman dengan kedekatan dan kebergantungan, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan terancam dan stressor dalam hubungan pernikahan dengan jalan yang konstruktif. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kebahagiaan, persahabatan, saling mempercayai, saling menerima, dan saling mendukung. Individu di komunitas “X” biasanya merasa senang dan tidak segan untuk menunjukkan rasa cintanya kepada pasangan seperti bergandengan tangan dengan pasangannya. Selain itu, apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka akan
(29)
19
Universitas Kristen Maranatha membicarakan masalah tersebut dengan pasangannya agar mendapatkan pemecahan masalah yang baik.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait extraversion dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung rendah dan dimensi avoidance yang cenderung tinggi. Ini menunjukkan avoidant attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya, merasa sulit untuk mempercayai dan bergantung kepada pasangannya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan keegoisan, kurangnya perhatian. Selain itu, individu dengan tipe ini juga terkadang merasa gugup apabila pasangannya menjadi terlalu dekat dengannya. Individu di komunitas “X” biasanya kurang dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Selain itu mereka juga tidak bergantung kepada pasangannya apabila hendak mengambil suatu keputusan tertentu.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait extraversion dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung tinggi dan dimensi avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan anxious attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan bahwa pasangannya akan enggan apabila berdekatan dengan dirinya. Kemudian individu juga sering merasa khawatir bahwa pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau merasa pasangannya tidak ingin bersama dengan dirinya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kecemburuan, dan emosi yang naik turun. Individu di komunitas “X” biasanya kurang mempercayai pasangannya. Hal ini menyebabkan individu tersebut selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
(30)
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait openess to experience akan cenderung kreatif, imajinatif, penuh rasa penasaran, terbuka, dan lebih memiliki variasi. Dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety dan avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan secure attachmet style. Biasanya hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan kepada pasangannya, memiliki pengharapan akan keberadaan serta respon dari pasangannya, nyaman dengan kedekatan dan kebergantungan, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan terancam dan stressor dalam hubungan pernikahan dengan jalan yang konstruktif. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kebahagiaan, persahabatan, saling mempercayai, saling menerima, dan saling mendukung. Individu di komunitas “X” biasanya merasa nyaman apabila bercerita mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapinya kepada pasangannya. Mereka juga merasa bahwa dirinya tidak memiliki rahasia dan memiliki kepercayaan kepada pasangannya.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait openess to experience dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung rendah dan dimensi avoidance yang cenderung tinggi. Ini menunjukkan avoidant attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya, merasa sulit untuk mempercayai dan bergantung kepada pasangannya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan keegoisan, kurangnya perhatian. Selain itu, individu dengan tipe ini juga terkadang merasa gugup apabila pasangannya menjadi terlalu dekat dengannya. Individu di komunitas “X” biasanya kurang dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Selain itu mereka juga tidak bergantung kepada pasangannya apabila hendak mengambil suatu keputusan tertentu.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait openess to experience dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat
(31)
21
Universitas Kristen Maranatha memiliki dimensi anxiety yang cenderung tinggi dan dimensi avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan anxious attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan bahwa pasangannya akan enggan apabila berdekatan dengan dirinya. Kemudian individu juga sering merasa khawatir bahwa pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau merasa pasangannya tidak ingin bersama dengan dirinya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kecemburuan, dan emosi yang naik turun. Individu di komunitas “X” biasanya kurang mempercayai pasangannya. Hal ini menyebabkan individu tersebut selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait agreeableness akan cenderung berhati lembut, mudah percaya, murah hati, pemaaf, pengalah, dan memiliki perilaku yang baik. Dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety dan avoidance yang cenderung rendah. Biasanya hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan kepada pasangannya, memiliki pengharapan akan keberadaan serta respon dari pasangannya, nyaman dengan kedekatan dan kebergantungan, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan terancam dan stressor dalam hubungan pernikahan dengan jalan yang konstruktif. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kebahagiaan, persahabatan, saling mempercayai, saling menerima, dan saling mendukung. Individu di komunitas “X” biasanya menjaga kedekatan dengan pasangannya, dengan cara bertelepon untuk menanyakan kabar atau bercerita mengenai kejadian sehari-hari yang dialami ketika mereka sedang tidak bersama dengan pasangannya. Kemudian mereka juga memiliki kepercayaan pada pasangannya sehingga ketika mereka sedang tidak berada bersama dengan pasangannya mereka tidak merasa cemas. Individu tersebut juga mudah untuk memaafkan
(32)
pasangannya apabila pasangannya tersebut melakukan kesalahan dan cenderung murah hati dalam menolong pasangannya ketika pasangannya sedang memiliki masalah.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait agreeableness dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung rendah dan dimensi avoidance yang cenderung tinggi. Ini menunjukkan avoidant attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya, merasa sulit untuk mempercayai dan bergantung kepada pasangannya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan keegoisan, kurangnya perhatian. Selain itu, individu dengan tipe ini juga terkadang merasa gugup apabila pasangannya menjadi terlalu dekat dengannya. Individu di komunitas “X” biasanya kurang dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Selain itu mereka juga tidak bergantung kepada pasangannya apabila hendak mengambil suatu keputusan tertentu.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait agreeableness dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung tinggi dan dimensi avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan anxious attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan bahwa pasangannya akan enggan apabila berdekatan dengan dirinya. Kemudian individu juga sering merasa khawatir bahwa pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau merasa pasangannya tidak ingin bersama dengan dirinya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kecemburuan, dan emosi yang naik turun. Individu di komunitas “X” biasanya kurang mempercayai pasangannya. Hal ini menyebabkan individu tersebut selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
(33)
23
Universitas Kristen Maranatha Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait concientiousness akan cenderung pekerja keras, berhati-hati, tepat waktu, dan mampu bertahan ketika menghadapi suatu permasalahan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety dan avoidance yang cenderung rendah. Biasanya hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan kepada pasangannya, memiliki pengharapan akan keberadaan serta respon dari pasangannya, nyaman dengan kedekatan dan kebergantungan, serta memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan terancam dan stressor dalam hubungan pernikahan dengan jalan yang konstruktif. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kebahagiaan, persahabatan, saling mempercayai, saling menerima, dan saling mendukung. Individu di komunitas “X” biasanya menjaga kedekatan dengan pasangannya, dengan cara bertelepon untuk menanyakan kabar atau bercerita mengenai kejadian sehari-hari yang dialami ketika mereka sedang tidak bersama dengan pasangannya. Kemudian mereka juga memiliki kepercayaan pada pasangannya sehingga ketika mereka sedang tidak berada bersama dengan pasangannya mereka tidak merasa cemas. Individu tersebut juga mudah untuk memaafkan pasangannya apabila pasangannya tersebut melakukan kesalahan dan cenderung murah hati dalam menolong pasangannya ketika pasangannya sedang memiliki masalah.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait concientiousness dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung rendah dan dimensi avoidance yang cenderung tinggi. Ini menunjukan avoidant attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya, merasa sulit untuk mempercayai dan bergantung kepada pasangannya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan keegoisan, kurangnya perhatian. Selain itu, individu dengan tipe ini juga terkadang merasa gugup apabila pasangannya menjadi terlalu dekat dengannya. Individu di komunitas “X” biasanya kurang
(34)
dapat mentolerir perbedaan pendapat dengan pasangannya. Mereka memiliki keinginan agar pasangannya dapat mengikuti kemauannya. Selain itu mereka juga tidak bergantung kepada pasangannya apabila hendak mengambil suatu keputusan tertentu.
Individu di komunitas “X” yang memiliki derajat yang tinggi pada trait concientiousness dalam hubungan dengan pasangannya, individu pada komunitas “X” tersebut dapat memiliki dimensi anxiety yang cenderung tinggi dan dimensi avoidance yang cenderung rendah. Ini menunjukkan anxious attachment style. Biasanya hal ini ditandai dengan perasaan bahwa pasangannya akan enggan apabila berdekatan dengan dirinya. Kemudian individu juga sering merasa khawatir bahwa pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau merasa pasangannya tidak ingin bersama dengan dirinya. Hubungan yang terjalin biasanya diikuti dengan kecemburuan, dan emosi yang naik turun. Individu di komunitas “X” biasanya kurang mempercayai pasangannya. Hal ini menyebabkan individu tersebut selalu memantau kegiatan yang dilakukan oleh pasangannya. Apabila terjadi masalah dengan pasangannya, mereka menjadi lebih suka mengalah pada pasangannya karena takut bahwa pasangannya tersebut akan meninggalkan dirinya.
Adapun penjelasan mengenai kerangka pemikiran di atas dapat dilihat dalam bentuk skema pada bagan berikut :
(35)
25 Bagan 1.1 Kerangka Pikir Hubungan Big Five Model’S Trait dan Attachment Style
Secure
Big Five Model’s
Trait
Individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X”
Bandung
Dimensi : 1. Avoidance 2. Anxiety
Neuroticism Extraversion Openess to experience Agreeableness Conscientiousnes
s
Adult Attachment
Faktor yang mempengaruhi : 1. Situasi dan perubahan
2. Perubahan dalam skema relasional
Avoidant Anxious
(36)
1.6. Asumsi Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, dapat diasumsikan bahwa:
1. Individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung memiliki setiap jenis trait, yaitu neuroticism, extraversion, openess to experience, agreeableness, dan conscientiousness dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung memiliki salah satu tipe attachment, yaitu secure attachment, avoidant attachment, atau anxiety attachment.
1.7. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara trait neuroticism dengan secure attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
2. Terdapat hubungan antara trait neuroticism dengan avoidant attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
3. Terdapat hubungan antara trait neuroticism dengan anxious attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
4. Terdapat hubungan antara trait extraversion dengan secure attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
5. Terdapat hubungan antara trait extraversion dengan avoidant attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
6. Terdapat hubungan antara trait extraversion dengan anxious attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
7. Terdapat hubungan antara trait openess to experience dengan secure attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
(37)
Universitas Kristen Maranatha 8. Terdapat hubungan antara trait openess to experience dengan avoidant attachment pada
individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
9. Terdapat hubungan antara trait openess to experience dengan anxious attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
10. Terdapat hubungan antara trait agreeableness dengan secure attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
11. Terdapat hubungan antara trait agreeableness dengan avoidant attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
12. Terdapat hubungan antara trait agreeableness dengan anxious attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
13. Terdapat hubungan antara trait conscientiousness dengan secure attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
14. Terdapat hubungan antara trait conscientiousness dengan avoidant attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
15. Terdapat hubungan antara trait conscientiousness dengan anxious attachment pada individu yang usia pernikahannya 11–30 tahun di komunitas “X” Bandung.
(38)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis dalam penelitian dilakukan dengan melakukan pengujian pearson chi square, dengan tujuan melihat apakah terdapat asosiasi, yang menggambarkan adanya hubungan antara trait dengan attachment style yang dimiliki. Peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara trait neuroticism dengan secure attachment, yaitu individu dengan trait neuroticism rendah memiliki secure attachment dan individu dengan trait neuroticism tinggi tidak menunjukkan secure attachment.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara trait neuroticism dengan anxious attachment, yaitu individu yang memiliki trait neuroticism tinggi memiliki anxious attachment dan individu dengan trait neuroticism rendah tidak menunjukkan anxious attachment.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait neuroticism dengan avoidant attachment, trait extraversion dengan ketiga attachment style, trait openness dengan ketiga attachment style, dan trait conscientiousness dengan ketiga attachment style. 4. Tidak ada kecenderungan keterkaitan antara situasi dan perubahan serta perubahan dalam
skema relasional dengan attachment style yang dimiliki oleh individu di komunitas “X”.
5.2. Saran
5.2.1. Saran Teoretis
1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti mengenai korelasi big five model’s trait dan attachment style di komunitas lain dengan jumlah responden yang lebih banyak
(39)
83
Universitas Kristen Maranatha untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang korelasi tersebut karena dari hasil penelitian diperoleh bahwa trait agreeableness yang dimiliki oleh responden tidak bervariatif.
2. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi situasi dan perubahan serta perubahan dalam skema relasional terhadap attachment style. 5.2.2. Saran Praktis
1. Individu dengan trait neuroticism yang tinggi disarankan untuk melakukan sharing dengan anggota komunitas lain yang memiliki secure attachment style agar dapat saling belajar sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih hangat dan dekat dengan pasangannya di waktu yang akan datang serta dapat mengurangi masalah yang terjadi dengan pasangannya.
2. Peneliti menyarankan kepada pimpinan dan penggiat kegiatan di komunitas “X”, untuk dapat menginformasikan atau memberikan psikoedukasi mengenai trait dan attachment style kepada para anggota komunitas, sehingga para anggota komunitas dapat mengenal diri sendiri serta dapat saling mengenali pola hubungan diri sendiri dengan pasangannya, dan memunculkan hubungan yang lebih hangat, dekat, dan berkualitas di kemudian hari melalui sesi konsultasi atau konseling.
(40)
PADA INDIVIDU YANG USIA PERNIKAHANNYA 11-30 TAHUN DI
KOMUNITAS “X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
NATALIA SHERLY CHRISTIANTO
NRP: 1230039
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
(41)
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan pimpinan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu tugas syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Penelitian ini membahas mengenai hubungan big five model’s trait dan attachment style pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung. Selama menyusun penelitian ini, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan rasa hormat penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dan dosen pembimbing utama yang telah sabar membimbing, mendorong, dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Nanie Thalita Tjoeng, M. Psi., psik selaku dosen pembimbing pendamping yang telah sabar membimbing, mendorong, dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog dan Evi Ema V. P., M.A selaku dosen Mata Kuliah Metodologi Penelitian Lanjutan.
4. Komunitas “X” yang telah mengizinkan penulis untuk mendapatkan informasi mengenai individu menikah yang usia pernikahannya 11-30 tahun.
5. Orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
(42)
6. Michelle Amadea dan Felix Thaddeus selaku adik penulis yang selalu menghibur penulis ketika sedang penat dalam penyusunan outline ini.
7. Kevin Yahya, Alvin Irawan, Brigitta Friska, Rosi Melati, Devi Alvionita, Jessica Chandiana, Jessica Putri, Anastasia Wibowo, Felicia Salim, Sylvia, Dian Mudasim, Devin, Ramos, Donito yang selalu mendengarkan keluh kesah peneliti dan selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 8. Clarence, Tania, Anin, Anastasha, Cynthia, Puji, Giovanni, Christine, Devi, Armilla,
Angie, Sheren, Fey yang selalu menyemangati, membantu, dan bertukar pikiran dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Segala bentuk kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan hati yang terbuka sebagai bahan perbaikan dan untuk menambah wawasan peneliti di masa yang akan datang.
Akhir kata, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya
Bandung, November 2016
(43)
84 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Anindyadjati, M., Budiarto, Y., & Monica. (2006). Pengaruh Pola Kelekatan Terhadap Jenis Cinta Pada Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi, Vol 4 No. 1.
Corder, Gregory W. & Dale, Foreman I. (2009). Nonparametric Statistics For Non-Statistician. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
De Vault. (2010). The Marriage and Family Experience: Relationship Changing Society. New York: Ringbound.
Duvall, E.M. (1977). Marriage and Family Development. Fourth Edition. USA : J. B. Lippincott Company.
Eliyani, E. R. (2013). Keterbukaan Komunikasi Interpersonal Pasangan Suami Istri. E Journal Ilmu Komunikasi, 1 (2), 85-94.
Indrawati, E. S., Fauziah, N. (2012). Attachment dan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 11 No. 1.
Indriani, R. (2014). Pengaruh Kepribadian terhadap Kepuasan Perkawinan Wanita Dewasa Awal pada Fase Awal Perkawinan Ditinjau dari Teori Trait Kepribadian Big Five. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 3 No. 1.
Mikulincer & Shaver. (2007). Attachment in Adulthood. New York : A Division of Guilford Publications, Inc.
Papalia, D. E. Dkk. (2007). Adult Development and Aging. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Rachmadani, C. (2013). Strategi Komunikasi Dalam Mengatasi Konflik Rumah Tangga Mengenai Perbedaan Tiingkat Penghasilan di RT. 29 Samarinda Seberang. E Journal Ilmu Komunikasi 1, 212-227.
(44)
Santoso, S. (2015). Menguasai SPSS 22 from basic to expert skills. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Sunjoyo, Setiawan, R., Carolina, V., Magdalena, N., Kurniawan, A. (2013). Aplikasi SPSS untuk SMART Riset (Program IBM SPSS 21.0). Bandung : Alfabeta
(45)
86 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Agustia, E. (2010). Usia – usia Pernikahan Rentan Masalah. (Online).
(http://femalekompas.com/read/2010/01/23/09432140/usiausia.pernikahan.rentan.mas alah., diakses pada tanggal 12 Oktober 2015)
Ekasari, E. (2012). 7 Cobaan yang Berat Buat Pernikahan di Tahun Pertama. (Online). (http://wolipop.detik.com/read/2012/12/17/183255/2120814/854/1/7-cobaan-yang-buat-pernikahan-di-tahun-pertama-beraaaat, diakses pada tanggal 8 Maret 2015)
Gunadi, P. (2014). Titik Rawan Pernikahan. (Online).
(http://telaga.org/audio/titik_rawan_pernikahan., diakses pada tanggal 12 Oktober 2015)
Kompasiana. (2015) . Adaptasi dalam Kehidupan Pernikahan. (Online). (http://www.kompasiana.com/pakcah/adaptasi-dalam-kehidupan
pernikahan_552fa20f6ea834d9058b4568., diakses pada tanggal 4 November 2015)
Takariawan, Cahyadi. (2015). Ketika Penghasilan Istri Lebih Tinggi dari Suami. (Online). (http://sosbud.kompasiana.com/2015/02/18/ketika-penghasilan-istri-lebih-tinggi-dari-suami-724312.html., diakses pada tanggal 8 Maret 2015)
(1)
HUBUNGAN
BIG FIVE MODEL’S TRAIT
DAN ATTACHMENT STYLE
PADA INDIVIDU YANG USIA PERNIKAHANNYA 11-30 TAHUN DI
KOMUNITAS “X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
NATALIA SHERLY CHRISTIANTO NRP: 1230039
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
(2)
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan pimpinan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu tugas syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Penelitian ini membahas mengenai hubungan big five model’s trait dan attachment style
pada individu yang usia pernikahannya 11-30 tahun di komunitas “X” Bandung. Selama menyusun penelitian ini, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan rasa hormat penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dan dosen pembimbing utama yang telah sabar membimbing, mendorong, dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Nanie Thalita Tjoeng, M. Psi., psik selaku dosen pembimbing pendamping yang telah sabar membimbing, mendorong, dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog dan Evi Ema V. P., M.A selaku dosen Mata Kuliah Metodologi Penelitian Lanjutan.
4. Komunitas “X” yang telah mengizinkan penulis untuk mendapatkan informasi mengenai individu menikah yang usia pernikahannya 11-30 tahun.
5. Orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
(3)
vi
6. Michelle Amadea dan Felix Thaddeus selaku adik penulis yang selalu menghibur penulis ketika sedang penat dalam penyusunan outline ini.
7. Kevin Yahya, Alvin Irawan, Brigitta Friska, Rosi Melati, Devi Alvionita, Jessica Chandiana, Jessica Putri, Anastasia Wibowo, Felicia Salim, Sylvia, Dian Mudasim, Devin, Ramos, Donito yang selalu mendengarkan keluh kesah peneliti dan selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 8. Clarence, Tania, Anin, Anastasha, Cynthia, Puji, Giovanni, Christine, Devi, Armilla,
Angie, Sheren, Fey yang selalu menyemangati, membantu, dan bertukar pikiran dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Segala bentuk kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan hati yang terbuka sebagai bahan perbaikan dan untuk menambah wawasan peneliti di masa yang akan datang.
Akhir kata, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya
Bandung, November 2016
(4)
84 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
Anindyadjati, M., Budiarto, Y., & Monica. (2006). Pengaruh Pola Kelekatan Terhadap Jenis Cinta Pada Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi, Vol 4 No. 1.
Corder, Gregory W. & Dale, Foreman I. (2009). Nonparametric Statistics For
Non-Statistician. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
De Vault. (2010). The Marriage and Family Experience: Relationship Changing Society. New York: Ringbound.
Duvall, E.M. (1977). Marriage and Family Development. Fourth Edition. USA : J. B. Lippincott Company.
Eliyani, E. R. (2013). Keterbukaan Komunikasi Interpersonal Pasangan Suami Istri. E Journal
Ilmu Komunikasi, 1 (2), 85-94.
Indrawati, E. S., Fauziah, N. (2012). Attachment dan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan.
Jurnal Psikologi Undip, Vol. 11 No. 1.
Indriani, R. (2014). Pengaruh Kepribadian terhadap Kepuasan Perkawinan Wanita Dewasa Awal pada Fase Awal Perkawinan Ditinjau dari Teori Trait Kepribadian Big Five.
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 3 No. 1.
Mikulincer & Shaver. (2007). Attachment in Adulthood. New York : A Division of Guilford Publications, Inc.
Papalia, D. E. Dkk. (2007). Adult Development and Aging. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Rachmadani, C. (2013). Strategi Komunikasi Dalam Mengatasi Konflik Rumah Tangga Mengenai Perbedaan Tiingkat Penghasilan di RT. 29 Samarinda Seberang. E Journal
(5)
85
Universitas Kristen Maranatha Santoso, S. (2015). Menguasai SPSS 22 from basic to expert skills. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Sunjoyo, Setiawan, R., Carolina, V., Magdalena, N., Kurniawan, A. (2013). Aplikasi SPSS
(6)
86 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Agustia, E. (2010). Usia – usia Pernikahan Rentan Masalah. (Online).
(http://femalekompas.com/read/2010/01/23/09432140/usiausia.pernikahan.rentan.mas alah., diakses pada tanggal 12 Oktober 2015)
Ekasari, E. (2012). 7 Cobaan yang Berat Buat Pernikahan di Tahun Pertama. (Online). (http://wolipop.detik.com/read/2012/12/17/183255/2120814/854/1/7-cobaan-yang-buat-pernikahan-di-tahun-pertama-beraaaat, diakses pada tanggal 8 Maret 2015)
Gunadi, P. (2014). Titik Rawan Pernikahan. (Online).
(http://telaga.org/audio/titik_rawan_pernikahan., diakses pada tanggal 12 Oktober 2015)
Kompasiana. (2015) . Adaptasi dalam Kehidupan Pernikahan. (Online). (http://www.kompasiana.com/pakcah/adaptasi-dalam-kehidupan
pernikahan_552fa20f6ea834d9058b4568., diakses pada tanggal 4 November 2015)
Takariawan, Cahyadi. (2015). Ketika Penghasilan Istri Lebih Tinggi dari Suami. (Online). (http://sosbud.kompasiana.com/2015/02/18/ketika-penghasilan-istri-lebih-tinggi-dari-suami-724312.html., diakses pada tanggal 8 Maret 2015)