Pengaruh big five personality dan attachment style terhadap agresivitas: studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh:

YUNIA SYUKMAWATI

(109070000200)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh:

YUNIA SYUKMAWATI

(109070000200)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

v MOTTO

A person who never made a mistake never tried anything new

.”

“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The

important thing is not to stop questioning

.”

Albert Einstein

When you talk, you repeat what you already know; when

you

listen, you often learn something.”

Jared Sparks

Persembahan

Skripsi ini saya persembahkan kepada orang

tua yang telah bersusah payah meberikan yang

terbaik untuk anaknya serta semua pihak yang

telah memberikan dukungan, bantuan, masukan

dan doa.


(7)

vi

B) November 2014

C) Yunia Syukmawati

D) Pengaruh Big Five Personality dan Attachment Style terhadap Agresivitas

(Studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta).

E) xiii + 111 Halaman + Lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh big five personality dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta dengan menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah probalility sampling dan

diperoleh responden sebesar 250 orang yang merupakan siswa di SMAN 6 Jakarta. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Multiple Regression Analysis pada taraf signifikansi 0,05 yang diperoleh

dari hasil perhitungan skala Aggression Questionnaire Scale, Big five

Personality Inventory (BFI), dan Relationship Attachment Scale Questionnaire (RSQ).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

big five personality dan attachment style terhadap agresivitas. Hasil

pengujian hipotesis minor menunjukkan bahwa extraversion,

agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experience, fearful attachment, dan jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap

agresivitas. Sedangkan variabel secure attachment, preoccupied

attachment dan dismissing attachment tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi agresivitas untuk memperkaya hasil penelitian dan

khususnya pada variabel dismissing attachment untuk mempertimbangkan

menggunakan alat ukur yang lebih sesuai. Selain itu, bagi SMAN 6 Jakarta

disarankan menyelenggarakan training atau seminar untuk para siswa dan

orang tua dan mempertegas peraturan sekolah untuk mencegah agresivitas. Kata kunci : Big Five Personality, Attachment style, Agresivitas, Pelajar SMA.


(8)

vi

C) Yunia Syukmawati

D) The affects of the Big Five Personality and Attachment Style on Aggressiveness of an 6 high school students, Jakarta

E) xiii + 111 pages + Appendix

F) This research examines the affects of the big five personality and attachment style on aggressiveness of an 6 high school students, Jakarta by using quantitative methods. The sampling technique used in this study is a probalility sampling and obtained for 250 respondents who are students at 6 High School, Jakarta. The method of data analysis used in this study is the Multiple Regression Analysis on the significance level of 0.05, which is obtained from the calculation scale Aggression Questionnaire Scale, Big five Personality Inventory (BFI), and the Relationship Attachment Scale Questionnaire (RSQ).

The results of this study indicate that there is significant affects big five personality and attachment style on the aggressiveness. Test results indicate minor hypothesis that extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experience, Fearful attachment, and gender significantly affects aggressiveness. While variable secure attachment, preoccupied attachment and dismissing attachment does not have a significant affects on the aggressiveness of an high school students.

For further research, it is recommended to use other factors that affects the aggressiveness to enrich the research and especially in dismissing attachment variables to consider using a more appropriate measuring tool. In addition, for high school 6 Jakarta suggested conducting training or seminars for students and parents and then reinforce school rules to prevent aggression on the students.

Keywords: Big Five Personality, Attachment style, aggressiveness, high school students


(9)

vii

Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW

beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma

shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.

Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan

Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu

sebagai berikut :

1. Prof. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, beserta jajarannya yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan menjadikan lulusan yang berkualitas.

2. Gazi Saloom, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang sangat banyak

memberikan masukan, kritik, wawasan, pemahaman dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. Kemuliaan dalam membantu saya semoga mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT.

3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak

memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.

4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selama ini memberikan ilmu, wawasan, pengetahuan dan pengalaman pada penulis dalam menjalani perkuliahan. Semoga Allah memberikan berlipat-lipat pahala dan rahmat-Nya atas ilmu dan amal yang telah Bapak/Ibu berikan.

5. Para staf bagian Akademik, Umum, Keuangan, dan Perpustakaan Fakultas

Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan selama proses melengkapi persyaratan skripsi.

6. Orang tua penulis, Syukri Almas (ayah) dan Sumarsih (ibu). Terima kasih

atas kasih sayang, perhatian, pengertian, motivasi, do’a, pengorbanan,

bantuan, semangat, dan dukungan, baik dari segi moril maupun materil serta kesabaran selama ini menunggu anak tunggalnya menjadi sarjana. Keluarga besar penulis lainnya, Warsini (mbah putri), Alm. Kaslim (mbah kakung), Purlinawati (tante), Susi Tri Wahyuni (tante), Rizki Aulia Qais (sepupu), Rachmadi Setiawan (om), Mohammad Panji Jauhari (om), Suwarto (om),


(10)

dan Suhartono (om), terima kasih atas semangat, doa dan kesabarannya dalam mendengarkan keluh kesah penulis.

7. Seluruh siswa dan siswi SMA Negeri 6 Jakarta Selatan yang bersedia

menjadi sampel penelitian ini, Bapak Purnomo selaku guru matematika dan Bapak Hamid selaku kepala bagian HUMAS, terima kasih telah memberi masukan dan bantuan dalam pengumpulan data di SMA Negeri 6 Jakarta Selatan.

8. Novieanty Nurul Utami, Iman Aji Herdaya, Muhammad Kahfi Ramadhani,

Indah Puspita Rani, Lintang Rifai Widyatmoko Prawirodirjoe dan Edi Wibowo. Terima kasih sahabat-sahabat penulis, yang telah setia menemani, mendukung, membantu, menyemangati dalam canda dan tawa.

9. Hauria Nadhifa As-syadiah, Rizki Setyowati, kartika yuniarti, dan Kak Puti,

terima kasih telah membantu dalam memberikan masukan, olah data dan menyemangati. Teman-teman Exclusive Class 2009 yang sangat kompak dalam segala hal. Peneliti sangat senang bisa menghabiskan waktu mengenyam pendidikan Psikologi ini bersama dengan mereka. Terutama Diana Mumpuni, Rosita Dewi, Keyko Asri Septiani, Irma Mahrifa, Tiara Maharani dan Suzan Zuhra yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dan pengolahan data skripsi.

10.Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis. Mohon

maaf tidak disebutkan satu per satu.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat dan inspirasi bagi banyak orang yang membaca. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran demi perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Jakarta, 4 November 2014


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN………. iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN……….. v

ABSTRAK………. vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR TABEL………. xi

DAFTAR GAMBAR……….... xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang……….… 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ………...… 12

1.2.1 Pembatasan masalah ……… 12

1.2.2 Perumusan masalah ………. 13

1.3 Tujuan penelitian ………. 13

1.4 Manfaat penelitian ………... 14

1.4.1 Manfaat teoritis ……… 14

1.4.2 Manfaat praktis ……… 14

1.5 Sistematika Penulisan ………..… 14

BAB 2 LANDASAN TEORI……… 16

2.1 Agresivitas………. 16

2.1.1 Pengertian Agresivitas……… 16

2.1.2 Agresivitas pada pelajar ……… 18

2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas ……….... 19

2.1.4 Pengukuran agresivitas ……… 21

2.1.5 Faktor yang mempengaruhi agresivitas ……….. 23

2.2 Big five Personality………31

2.2.1 Definisi Big five Personality……… 31

2.2.2 Dimensi Big five personality……….. 32

2.2.3 Pengukuran Big five personality ………... 33

2.2.4 Agresivitas dan Big five Personality……… 35

2.3 Attachment style……… 37

2.3.1 Definisi Attachment Style………. 37

2.3.2 Dimensi Attachment style……… 39

2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup………. 41

2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)……43

2.3.5 Model mental kelekatan……….44

2.3.5 Pengukuran Attachment style……… 46

2.3.4 Attachment style dan agresivitas……….. 47

2.4 Kerangka Berpikir ……….... 48


(12)

x

3.4.1. Teknik pengumpulan data ……….. 57

3.4.2. Instrumen Penelitian. ……….. 59

3.5. Uji Validitas Konstruk………..………. 61

3.5.1 Uji Validitas Konstruk Agresivitas ... 64

3.5.2 Uji Validitas Konstruk Big five personality ……… 66

3.5.3 Uji Validitas Konstruk Attachmentstyle………. 75

3.6 Prosedur Pengumpulan Data ……… 81

3.7 Metode Analisis Data ……… 81

Bab 4 HASIL PENELITIAN……….…….. 84

4.1 Analisis Deskriptif……….... 84

4.2 Kategorisasi Hasil penelitian ………85

4.3 Uji Hipotesis Penelitian ………... 90

4.3.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ………... 90

4.3.2 Proporsi Varian Sumbangan Masing-masing IV………… 94

Bab 5 KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN ………...……... 97

5.1 Kesimpulan ……… .. ... 97

5.2 Diskusi ……….... 97

5.3 Saran ………... 105

5.3.1 Saran Teoritis ………... 105

5.3.2 Saran Praktis ………... 106

DAFTAR PUSTAKA………... 108 LAMPIRAN


(13)

xi

Tabel 3.4.2.2 Blueprint Big Five Personality……… 60

Tabel 3.4.2.3 Blueprint Attachment style……….…... 61

Tabel 3.5.1.1 Muatan Faktor Agresivitas………... ………65

Tabel 3.5.1.2 Muatan Faktor Agresivitas setelah di drop……….. 66

Tabel 3.5.2.1 Muatan Faktor dimensi Extraversion……… 67

Tabel 3.5.2.2 Muatan Faktor dimensi Extraversion setelah di drop……… 68

Tabel 3.5.2.3 Muatan Faktor dimensi agreeableness ………... 69

Tabel 3.5.2.4 Muatan Faktor dimensi agreeableness setelah di drop……….70

Tabel 3.5.2.5 Muatan Faktor dimensi conscientiousness……….71

Tabel 3.5.2.6 Muatan Faktor dimensi conscientiousness setelah di drop…………71

Tabel 3.5.2.7 Muatan Faktor dimensi Neuroticism………. 73

Tabel 3.5.2.8 Muatan Faktor dimensi openness to experiences………...74

Tabel 3.5.2.9 Muatan Faktor dimensi openeess to experiences setelah di drop… 74

Tabel 3.5.3.1 Muatan Faktor dimensi secure attachment……….76

Tabel 3.5.3.2 Muatan Faktor dimensi fearful attachment……… 77

Tabel 3.5.3.3 Muatan Faktor dimensi preoccupied attachment……… 78

Tabel 3.5.3.4 Muatan Faktor dimensi preoccupied setelah di drop……….79

Tabel 3.5.3.5 Muatan Faktor dimensi dismissing attachment………..80

Tabel 3.5.3.6 Muatan Faktor dimensi dismissing setelah di drop……… 80

Tabel 4.1.1 Gambaran Subjek...………... 84

Tabel 4.1.2 Nilai rata-rata agresivitas berdasarkan jenis kelamin………. 85

Tabel 4.2.1 Norma skor ...………... 86

Tabel 4.2.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas ...……… 86

Tabel 4.2.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas pria dan wanita ..… 86

Tabel 4.2.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat extraversion……… 87

Tabel 4.2.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat agreeableness……… 87

Tabel 4.2.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat conscientiousness……… 87

Tabel 4.2.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat neuroticism... 88

Tabel 4.2.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat openness to experiences... 88

Tabel 4.2.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat secure attachment... 88

Tabel 4.2.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat fearful attachment... 89

Tabel 4.2.11 Tabel subjek berdasarkan tingkat preoccupied attachment………. 89

Tabel 4.2.12 Tabel subjek berdasarkan tingkat dismissing attachment... 89

Tabel 4.3.1.1 Tabel Rsquare ……… 90

Tabel 4.3.1.2 Anova………... 91

Tabel 4.3.1.3 Koefisien Regresi……… 92


(14)

xii

DAFTAR GAMBAR


(15)

xiii Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

Lampiran 3 Surat keterangan selesai penelitian


(16)

1

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Fenomena tawuran seakan tak pernah habis menjadi perhatian. Seperti kasus tawuran pelajar yang semakin marak terjadi terutama pada pelajar sekolah menengah, baik SMA maupun SMK/STM. Pemicunya seringkali hanya masalah kecil, namun gengsi yang tinggi di mata pelaku tawuran seakan menjadi alasan yang menguatkan para pelajar tersebut untuk melakukan aksi tawuran. Seperti yang diungkapkan psikolog Polda Metro Jaya, AKBP Arif Nurcahyo, bahwa solidaritas yang menimbulkan rasa keinginan untuk mendapatkan suatu identitas sebagai seorang yang membela kelompok. Dan ketika ia merasa mempunyai kelompok, ia ingin tampil sebagai seorang hero disana (Vivanews, 2013).

Selain dipicu oleh gengsi, aksi tawuran pelajar tersebut merupakan sebuah ungkapan agresi dari para pelajar yang diwariskan secara turun-temurun oleh para

senior mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor, Peplau, dan O’Sears (2009)

bahwa penguatan, imitasi, dan asumsi tentang motif orang lain semuanya berkombinasi menjadi skema agresi. Dalam kasus agresi, orang mengembangkan keyakinan yang terorganisir tentang ketepatan tindak agresi, situasi dimana agresi mesti terjadi, dan cara agresi diekspresikan, misalnya melalui pemukulan atau penghajaran (agresi fisik).


(17)

Hurlock (1980) menjelaskan bahwa fase perkembangan pelajar atau masa remaja yaitu masa peralihan yang semula anak-anak mulai beranjak dewasa, pada fase ini remaja tidak bisa dikatakan sebagai anak-anak, juga belum bisa dikatakan dewasa, pada fase ini, mulai terjadi proses kematangan dari sisi fisik, psikis, seksual, maupun intelektual, karena belum dianggap matang remaja seringkali salah dalam upaya pengambilan keputusan, sehingga remaja dihadapkan pada faktor resiko yang lebih luas terhadap perilaku-perilaku bermasalah. Pada fase

perkembangan remaja, pergaulan sosial lebih banyak pada peer group, teman

sebaya, sehingga nilai-nilai yang ada teman sebaya itulah yang menjadi nilai-nilai pada remaja, sehingga bila nilai-nilai yang dijadikan acuan negatif, bisa langsung berdampak pada remaja, kecuali bila ada hubungan yang baik antar orang tua dan remaja, dengan adanya kedekatan orang tua dengan remaja, orang tua bisa menjadi sahabat bagi remaja, remaja memiliki tempat sharing dan berkeluh kesah, remaja akan memiliki wawasan lebih banyak mengenai nilai-nilai, berdampak pula pada pengambilan keputusan yang akan mereka ambil.

Harlock (1980) menjelaskan bahawa remaja/pelajar adalah fase pencarian jati diri, pencarian identitas diri ini adalah tugas perkembangan yang wajib dilalui remaja, remaja mulai mempertanyakan hakikat dirinya, dan esensi dari berbagai macam hal, mereka mencari apa yang menjadi potensinya dan menjadi seperti apakah pribadi yang mereka inginkan, kebanyakan remaja ingin diakui eksistensinya, ingin menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu mereka melakukan segala sesuatu agar ia diakui eksistensinya, misalnya menjadi berprestasi dibidang


(18)

jalur berprestasi remaja cenderung melakukan perilaku-perilaku bermasalah agar diakui eksistensinya terutama oleh teman sebayanya.

Tawuran pelajar seakan sudah menjadi masalah yang mengakar kuat pada remaja yang tengah mencari jati diri, jika terus dibiarkan seperti ini jelas akan menimbulkan kerugian yang besar bagi banyak pihak contohnya, rusaknya fasilitas umum, seperti halte bis, telepon umum, warung-warung pinggir jalan, kendaraan pribadi maupun kendaraan umum yang menyebabkan kerugian material yang cukup besar dalam memperbaiki fasilitas umum akibat tawuran dan mengganti semua kerugian yang ada, menggangu proses belajar-mengajar di sekolah. Bagi pelajar yang ikut tawuran, kemungkinan akan menjadi korban, baik itu cidera ringan, cidera berat, bahkan kematian. Selain itu, kerugian bagi pelajar lainnya adalah kehilangan moralitas, berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, bahkan akan kehilangan generasi penerus bangsa Indonesia (Kompas, 2012).

Masih hangat diingatan kita mengenai kasus tawuran pelajar pada Senin, 24 September 2012 di Bundaran Bulungan, Jakarta Selatan yang melibatkan pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 Bulungan. Kepala Reserse Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Hermawan, menuturkan ada beberapa yang luka-luka dan seorang siswa SMA 6 yang meninggal terkena luka-luka bacok di dada. Dan itu bukan pertama kali, kedua SMA saling menyerang dengan korban jiwa. (Regional Kompasiana, 2012).


(19)

Berkaitan dengan kasus tawuran yang melibatkan siswa SMAN 6 Jakarta, sangat disayangkan karena SMAN 6 Jakarta merupakan salah satu sekolah unggulan dengan banyak prestasi serta lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan banyaknya media massa yang memberitakan kasus tawuran, peneliti melihat ada kecenderungan siswa dan siswi untuk berperilaku agresi. Seperti yang diungkapkan dalam hasil wawancara pada tanggal 19 Mei 2014 yang dilakukan peneliti dengan tiga siswa di SMAN 6 Jakarta yang mengaku sering melakukan tindakan tawuran antar pelajar. Menurut siswa tersebut, mereka melakukan tawuran karena pelanggaran terhadap batas wilayah kekuasaan, balas dendam dan ingin diakui hebat oleh siswa lainnya. Permasalahan lainnya adalah melakukan tindakan

bullying meliputi mengejek, menghina, mengintimidasi sesama teman, membuat kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa terganggu dan permasalahan antara guru dengan siswanya atau sebaliknya, misalnya siswa yang menghina gurunya atau guru yang menilai siswanya dengan tidak baik, padahal belum tentu muridnya seperti yang dipikirkan oleh gurunya. Ironisnya lagi mereka menganggap itu adalah hal yang biasa tanpa memikirkan bahwa mereka mungkin akan menyakiti atau melukai orang lain. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Ylvisaker (2006) yang mengungkapkan bahwa dalam konteks sekolah, seringkali agresivitas yang muncul adalah bentuk agresivitas fisik seperti menyakiti dan mendorong atau dalam bentuk verbal seperti mengancam, mencela dan sebagainya. Faktor lainnya adalah perbedaan antar jenis kelamin dalam menunjukkan agresivitas pada remaja. Penelitian Eagly dan Steffen (1986) yang menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki


(20)

lebih agresi dibandingkan perempuan. Pada penelitian terdahulu menurut Frodi et al's (dalam Eagly & Steffen, 1986) menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu lebih agresif dibandingkan perempuan. Karena bisa saja wanita lebih agresif pada bentuk agresif verbal daripada laki-laki yang lebih agresif pada fisik, hal ini sesuai dengan

yang diungkapkan oleh Bjӧrkqvist, sterman, dan Hjelt-Bäck (dalam Baron &

Byrne, 2005). Menurut mereka, pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk langsung dari agresi, sedangkan wanita menggunakan bentuk tindak langsung dari agresi misalnya pria dengan kekerasan fisik, sedangkan wanita lebih cenderung melakukan agresi secara tidak langsung untuk menutupi identitasnya dari korban, sehingga dalam beberapa kasus korban tidak mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban agresi (seperti bergosip, menghasut untuk menjauhi korban, atau memaki).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap agresivitas remaja berasal dari karateristik internal dan ekternal yang terkait agresivitas pada remaja diantaranya, penelitian Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Penelitian lainnya mengenai pengaruh

self-esteem terhadap agresivitas diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Donnellan, Trzesniewski, Moffitt dan Caspi (2005) menunjukkan hasil bahwa

remaja yang memiliki self-esteem rendah menghasilkan agresivitas. Namun

menurut Ostrowsky; Walker dan Bright (dalam Canning, 2011) self esteem yang

tinggi berhubungan dengan agresivitas.

Penelitian lainnya mengenai agresivitas yaitu kepribadian. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Barlett and Anderson (2012) pada mahasiswa di


(21)

Universitas Midwestern yang menunjukan bahwa agreeableness secara tidak langsung berhubungan negatif dengan perilaku agresi namun terlebih dahulu

melalui emosi dan sikap agresi, neurotisisme secara tidak langsung berhubungan

dengan perilaku agresif namun terlebih dahulu melalui emosi agresif. Openness to

Experience secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku dan sikap agresi.

Sedangkan pada perilaku kekerasan, Agreeableness dan Openness to Experience

secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku kekerasan namun terlebih dahulu melalui sikap agresi.

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa bigfive personality

mempunyai hubungan secara positif maupun secara negatif terhadap agresi dan

perilaku kekerasan. Contohnya, Agreeableness dan Conscientiousness

berhubungan negatif dengan dendam (agresi emosi), sedangkan menurut McCullough, et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa

Neurotism berhubungan positif dengan dendam. Penelitian Sharpe and Desai

(dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa Neurotism berhubungan

positif dengan anger dan holistility (agresi emosi) dan perilaku agresi, sedangkan

extraversion, agreeableness and conscientiousness berhubungan negatif dengan emosi dan agresi, kemudian penelitian tersebut menemukan bahwa ada korelasi antara self-reported agresi fisik dan hubungan Extraversion adalah negatif. Pada penelitian Anderson et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan juga

bahwa Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan negatif dengan sikap

agresi dan kekerasan, karena Agreeableness ditandai dengan sifat baik hati, jujur


(22)

tertib dan dapat diandalkan, Neurotism ditandai dengan mudah marah, dan emosi

yang tidak stabil, Openness ditandai dengan intelektual, halus dan berpikir mandiri.

Sementara itu, menurut John dan Srivasta (dalam Barlett and Anderson, 2012)

Extraversion ditandai dengan pembicara aktif, asertif, dan energik dan mempunyai hubungan dengan agresi. Gleason (dalam Barlett and Anderson, 2012) menyatakan

bahwa Agreeableness juga mempunyai hubungan negatif dengan self-report dan

peer-report perilaku agresif dan kekerasan. Sedangkan, Openness tidak mempunyai hubungan dengan perilaku agresi. Sedangkan Gallo dan Smith (dalam Barlett and

Anderson, 2012) menemukan hubungan positif antara extraversion dengan agresi

fisik.

Penelitian pada sampel yang berbeda yang dilakukan oleh Trninić¹, et al

(2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan

berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan

emotional stability, sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan extraversion, agreeableness dan emotional stability.

Pada sampel berbeda lainnya, misalnya di sekolah pilot penelitian yang dilakukan oleh Anitei dan Dumitrache (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara bigfive personality terhadap agresivitas sekolah

pilot. Tingkat kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan mengakibatkan

lebih cenderung untuk mengikuti aturan, melihat masalah dengan serius dengan bertingkahlaku dan bekerja secara hati-hati. Secara khusus berdasarkan pada faktor kehati-hatian itu sendiri self-discipline and personal management yang mewakili element-element yang mempengaruhi agresivitas. Orang-orang dengan tingkat


(23)

kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan lebih baik dalam mengontrol situasi serta lebih teliti dan disiplin.

Penelitian lainnya menyatakan bahwa bigfive personality mempunyai

hubungan dengan agresi yang ditemukan dalam Caprara, et al (dalam DeWall, et al, 2012) memaparkan bahwa dari lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait

dengan agresi, yaitu yang mempunyai hubungan positif adalah neuroticism

sedangkan yang mempunyai hubungan negatif, yaitu conscientiousness dan

agreeableness.

Penelitian Costa dan McRae sosial ( dalam Pervin, Cervone & John, 2010)

menjelaskan bahwa bigfive personality dibagi ke dalam lima dimensi yaitu

Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang.

Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari

aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum

sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada

orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian

tujuan dan kemampuan mengendalikan dorongan yang diperlukan dalam kehidupan.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memfokuskan

lebih dalam lagi penelitiannya pada bigfive personality dan agresivitas dengan

sampel remaja SMA karena melihat fenomena-fenomena yang sering terjadi di Indonesia serta kecenderungan remaja melakukan tindakan agresi di sekolah juga tidak lepas dari peran kepribadian sebagai pembentuk perilaku.


(24)

Perbedaan-perbedaan dari kepribadian tiap diri siswa tentunya dapat menimbulkan konflik yang memicu terjadinya tinggi atau rendahnya tingkat agresivitas di kalangan para remaja SMA.

Bigfive personality yang merupakan faktor internal, masih terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja, yaitu peran teman sebaya dalam pembentukan perilaku dapat membentuk pribadi seseorang. Banyaknya interaksi dengan rekan sebaya yang agresif memperbesar kemungkinan seseorang

melakukan tindakan agresi pula.Penelitian Nansel, et. al (dalam White, Gallup &

Gallup, 2010) mengemukakan bahwa korban dari agresi teman sebaya tersebar luas

pada anak-anak dan remaja antara 11 dan 16 tahun. The multi-national Health

Behavior in School Aged Children menunjukkan bahwa tidak kurang dari 9% dan sebanyak 54% dari anak usia sekolah dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam tindakan agresif terhadap teman sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya.

Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment teman

sebaya secara signifikan berhubungan dengan simpati, english efficacy, depresi dan

agresi. Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan

English efficacy dan yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi (Laible, Carlo, & Raffaelli, 1999)

Selain faktor eksternal dari peran teman sebaya ada pula peran dari orang tua dalam pembentukan perilaku yang dapat memunculkan tindakan agresif.

Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja


(25)

depresi yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo, & Raffaelli, 1999). Hal

tersebut bisa disebabkan karena pada attachment teman sebaya, perilaku yang

dijadikan contoh anak belum tentu positif. Seperti yang diungkapkan Taylor,

Peplau, dan O’Sears (2009) anak tidak meniru secara sembarangan; mereka meniru

orang lain. Semakin disukai, berpengaruh, dan kuat orang lain itu, semakin besar kemungkinan si anak akan meniru perilakunya. Juga, orang yang mereka lihat akan semakin sering ditiru perilakunya. Dalam hal ini, yang menjadi role model dari pelajar pelaku tindak tawuran adalah seniornya yang juga melakukan aksi tawuran. Maka, perhatian orangtua melalui kelekatan yang positif sangat efektif untuk memberikan contoh baik bagi remaja tersebut.

Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gallarin dan Alonso-Arbio

(2012) menempatkan attachment sebagai mediator diantara parenting practices dan

agresivitas remaja. Namun hanya kelekatan tidak nyaman (insecure attachment)

pada ayah yang berpengaruh terhadap agresivitas remaja. Dalam perilaku agresi,

individu dengan pola insecure attachment lebih menunjukkan perilaku agresi

daripada individu dengan pola secure attachment. Oleh karena itu dalam penelitian

ini peneliti menjadikan attachment sebagai variabel yang diteliti dan fokus pada

dimensi-dimensi yang terdapat pada attachment. ini ditujukan untuk melihat

apakah attachment orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas

pada remaja atau justru kebalikannya. Dengan empat pola dimensi attachment dari

Bartholomew dan Horowitz (1991) yaitu secure attachment (kelekatan rasa aman),

fearful attachment (kelekatan rasa takut), preoccupied attachment (kelekatan


(26)

Mikulincer (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa individu dengan

gaya kelekatan aman (secure attachment) tidak mudah marah (anger). Kemudian,

pada penelitian yang dilakukan Pederson (1999) menunjukkan preoccupied

attachment secara signifikan mempunyai hubungan dengan agresi verbal dan

dimensi kekerasan. Selain itu, dalam sebuah penelitian, dismissing/avoidant

attachment mempunyai hubungan dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif

pada remaja (Santrock, 2001). Selanjutnya, fearful attachment (kelekatan rasa

takut) individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif

memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne,

2000).

Santrock (2002) menjelaskan remaja yang dekat dengan orang tuanya maka remaja mudah untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan seperti kecemasan sosial dan perasaan depresi seperti yang ditemukan dalam suatu studi, bila remaja muda

memiliki suatu attachment yang kokoh (secure attachment) dengan orang tuanya,

mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga yang mempunyai hubungan kebersamaan atau kohensif yang baik dan dapat mengeluhkan sedikit kecemasan sosial atau perasaan-perasaan depresi.

Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dikemukakan, penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dijabarkan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya agresivitas maka hal tersebut mendorong penulis untuk menguji

pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap agresivitas pada remaja


(27)

ATTACHMENT STYLE TERHADAP AGRESIVITAS (studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta)”.

1.2 Batasan Masalah Dan Rumusan Masalah 1.2.1 Batasan Masalah

Masalah utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh big five

personality dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta). Untuk menghindari ketidakjelasan dan melebarnya permasalahan penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan penelitian sebagai berikut:

1. Agresivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tindakan atau

perilaku bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang. Bentuk agresivitas

yakni agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan permusuhan

(hostility).

2. Bigfive Personality yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu pendekatan yang digunakan peneliti untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima dimensi kepribadian yang telah dibentuk melalui analisis faktor. Dimensi kepribadian meliputi:

extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experiences.

3. Attachment style (gaya kelekatan) adalah kecenderungan perilaku lekat individu yang terdiri dari dimensi positif dan negatif dua sikap dasar, yaitu sikap mengenai self dan sikap terhadap orang lain maupun orang tuanya.

Attachment style diukur melalui empat gaya lekat yaitu secure attachment


(28)

menghindar), preoccupied attachment (gaya kelekatan terpreokupasi) dan

dismissing attachment (gaya kelekatan menolak).

4. Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa-siswi/pelajar

bersekolah di SMAN 6 Jakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun. 1.2.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh big five personality dan

attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta?” 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh big five personality

dan attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Untuk mengetahui dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu psikologi mengenai pentingnya mengurangi perilaku kekerasan khususnya agresivitas pada pelajar/ remaja. Selain itu, dapat dijadikan langkah awal bagi penelitian selanjutnya, untuk tambahan literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan khususnya dibidang psikologi sosial dan perkembangan.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan

mengenai pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap


(29)

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi orang tua

untuk lebih memberikan perhatian dan arahan yang baik (attachment style)

pada anak agar mengurangi kecenderungan berperilaku agresif dan bagi sekolah yang menjadi pihak pendidik siswa-siswi untuk membantu meningkatkan kualitas siswa dengan mengurangi dan menantisipasi agresivitas pada siswa seperti fenomena besar di Indonesia yaitu tawuran antar pelajar.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, akan digunakan APA style, yaitu kaidah penelitian

berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological

Association). Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima BAB, meliputi :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Serta Sistematika Penulisan.

BAB 2 : LANDASAN TEORI

Berisi landasan teori tentang agresivitas, remaja, bigfive personality, attachment style dan kerangka berpikir.

BAB 3 : METODE PENELITIAN

Berisi jenis penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian,

definisi operasional variabel, subjek penelitian, metode


(30)

BAB 4 : HASIL PENELITIAN

Berisi tentang analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian.

BAB 5 : PENUTUP


(31)

16

penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori agresivitas oleh beberapa tokoh. Setelah itu peneliti akan membahas variabel-variabel yang dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi agresivitas. Kemudian dalam bab ini juga terdapat kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.

2.1 Agresivitas

2.1.1 Pengertian Agresivitas

Dalam kamus psikologi J.P. Chaplin (2008) agresivitas merupakan kecenderungan habitual (yang dibiasakan) seseorang untuk memamerkan permusuhan. Pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim. sedangkan perilaku agresi adalah satu serangan atau serbuan; tindakan permusuhan ditujukan pada seseorang atau benda.

Agresi manusia adalah setiap perilaku diarahkan individu lain yang dilakukan dengan yang terdekat (langsung) dengan maksud untuk menyebabkan kerusakan. Selain itu, pelaku harus mengetahui bahwa perilaku tersebut akan membahayakan target, dan target dimotivasi untuk menghindari perilaku (Bushman & Anderson 2002).

Berkowitz (1993) menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk perilaku yang disengaja untuk melukai seseorang secara fisik dan psikologi Buss


(32)

(dalam Geen, 2001) mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakiti pada individu lainnya. Kemudian Buss dan Perry (1992) menyatakan bahwa agresi adalah tindakan yang terdiri dari komponen agresi fisik, agresi verbal, rasa marah (anger) dan sikap permusuhan (hostility). Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti makhluk hidup lain yang ingin mengindari perlakuan semacam itu. Selain itu,

Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) berpendapat bahwa agresi adalah segala

perilaku yang diniatkan untuk melukai orang lain.

Selanjutnya, Myers (1988) menyatakan agresi sebagai perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

agresi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu hostility aggression and instrumental

aggression. Hostility aggression didorong oleh kemarahan dan bertujuan untuk

menyakiti orang lain. Sedangkan instrumental aggression merupakan kekerasan

yang dilakukan untuk mendapatkan tujuan lain disamping menyakiti orang lain. DeWall, et.,al. (2012) menyatakan bahwa agresi memiliki ciri utama.

Pertama, agresi merupakan perilaku yang dapat dilihat/tampak. Agresi bukanlah

emosi seperti kemarahan dan pikiran, tetapi agresi adalah ”tindakan melakukan

sesuatu (by doing something)”. Kedua, agresi merupakan ”intentional” atau suatu

kesengajaan, bukan ”accidental” atau kecelakaan tanpa disengaja. Tetapi agresi

adalah suatu kesengajaan yang bertujuan untuk menyakiti. Ketiga, korban dari


(33)

Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa agresivitas adalah suatu tindakan atau perilaku bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang lain (target) atau objek dengan niat/sengaja yang dapat menimbulkan konsekuensi yang negatif.

2.1.2 Agresivitas pada pelajar

Pada saat ini sebagian remaja khususnya para pelajar di sekolah menengah atas menunjukkan perilaku negatif yang merupakan salah satu bentuk perwujudan dari ketidakstabilan emosi remaja. Tanda bahaya dari ketidakmampuan diri pada remaja, salah satu contohnya adalah perilaku agresif (Hurlock, 1980). Di

indonesia, perilaku agresif pada remaja menunjukkan gejala yang

memprihatinkan, bentuk perilaku agresif sangat beragam, mulai dari dengan mencuri, merampok, menggunakan obat-obatan terlarang, berkelahi, membunuh, pemerkosaan dan tindak kriminal lainnya. sedangkan agresi remaja yang di salurkan melalui kata-kata ialah sering mengeluarkan kata-kata kotor, makian, menghina, mengejek, dan berteriak yang tidak terkendali. Contoh tindakan agresivitas remaja khususnya di kalangan para pelajar SMA dikenal dengan istilah

tawuran, tindakan bullying di sekolah yang dapat dikategorikan dalam agresivitas

verbal (memaki atau mengejek) atau dalam bentuk agresivitas fisik yaitu (pukulan dan tendangan) serta perilaku kekerasan lainnya.

Nisfiannoor dan Yulianti (2005) menjelaskan bahwa bila remaja merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin, baik konflik yang berasal dari dalam dirinya, pergaulannya maupun keluarganya. Dalam kondisi seperti itu remaja akan mengalami frustrasi dan akan menjadi sangat agresif. Kecenderungan


(34)

berperilaku agresif pada remaja juga dikarenakan labilnya jiwa mereka, karena

mereka tengah mengalami banyak konflik dalam menjalani tugas

perkembangannya. Jika agresivitas remaja merasa tidak nyaman dengan kondisi yang mereka rasakan, maka remaja tersebut akan mencari tempat yang akan membuat mereka nyaman. Akibatnya, remaja akan mudah untuk berkembang untuk membuat suatu perilaku yang membuat mereka merasa diakui seperti perilaku antisosial dan kriminalitas.

2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas

Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi yang

dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan

agresi permusuhan (hostility).

a. Agresi fisik

Merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan

menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang, memukul, menendang atau mendorong.

b. Agresi verbal

Merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang lain, hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukan ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering menyebarkan gosip, membentak, menghina dan lain sebagainya.

c. Rasa Marah

Merupakan emosi atau efektif seperti keterbangkitan dan kesiapan psikologis untuk bersikap agresif, misalnya mudah kesal, hilang kesabaran


(35)

dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Merupakan perasaan tidak senang sebagai reaksi fisik atas cidera fisik maupun cidera psikis yang diderita individu.

d. Sikap permusuhan

Merupakan perwakilan dari komponen perilaku kognitif seperti perasaan benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak adil dan iri hati. Sikap negatif terhadap orang lain karena penilaian diri yang negatif.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa keempat bentuk agresivitas tersebut mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan kognitif.

Selanjutnya, Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) membagi agresi menjadi tiga

macam, yaitu:

1. Prososial aggression (agresi prososial)

Adalah tindakan agresif yang mendukung norma sosial yang diterima umum. Walaupun secara umum agresi adalah tindakan menyerang atau melukai orang lain, tetapi tindakan tersebut tidak menimbulkan masalah, bahkan terkadang mendukung. Misalnya, tindakan polisi menembak perampok. Tindakan menembak itu sendiri adalah agresi, tetapi dikaitkan dengan perampok sebagai korban, maka perilaku ini adalah prososial agresi. Tujuan utama dari prososial agresi adalah menegakkan hukum atau adat atau melindungi kepentingan bersama.


(36)

Adalah tindakan agresi yang melanggar norma sosial yang diterima secara umum. Perilaku yang melukai atau menyerang orang lain yang tidak dapat diterima oleh masyarakat atau tindakan agresi yang melanggar hokum. Tujuan agresi ini lebih pada keuntungan sang pelaku agresi. Bukan untuk kepentingan bersama atay kepentingan mulia lainnya.

3. Sanctioned aggression (agresi yang disetujui)

Adalah agresi yang dimaklumi sesuai dengan norma kelompok sosial individu.

Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak melanggar oleh norma sosial tetapi ada di dalamnya batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar standar moral yang diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum

pemain tim dengan menyuruh push-up biasanya dianggap bertindak sesuai

dengan haknya dan masih dalam batas yang diterima. Demikian juga wanita yang menyerang pemerkosa.

Dalam penelitian ini bentuk agresivitas yang digunakan adalah teori Buss dan Perry (1992). Hal ini dikarenakan keempat bentuk agresivitas Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik, verbal, marah dan permusuhan yang sering kali muncul dalam perilaku agresivitas seseorang terutama pada pelajar/remaja.

2.1.4 Pengukuran agresivitas

Menurut Leon, et. al. (2002) ada beberapa pengukuran yang digunakan dalam mengukur agresivitas, diantaranya adalah:

1. The Cook-Madley Hostility Scale. Skala ini terdiri dari 50 pernyataan benar-salah. Internal konsistensi pada skala ini dalam versi


(37)

Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,80 dan reabilitas skala test-retest menunjukkan nilai 0,75.

2. The Buss-Durkee Hostility Inventory. Instrumen ini terdiri dari 75 pernyataan benar-salah. Terdiri dari kriteria: assault, indirect, hostility, irritability, negativism, resentment, suspicion, verbal hostility, and gulit. Internal konsistensi antara 0,57 dan 0,78 dari versi original sedangkan versi Spanyol sebesar 0,86.

3. The Jenkins Activiiy Scale-Form H. Instrumen ini untuk evaluasi atau membandingkan tipe A secara global serta terdiri dari 32 pernyataan. Reabilitas versi Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,88 dan konsistensinya antara 0,84 dan 0,92.

4. The state-Trait Anger Expression Inventory. Instrumen ini terdiri dari 47 pernyataan, skala ini digunakan pada populasi Spanyol dan menghasilkan alpha cronbach antara 0, 63 dan 0,95.

5. Aggression Questionnaire (AQ). Instrument yang dikembangkan Buss & Perry (1992) ini terdiri 29 item atau pernyataan, pada standar psikometri menunjukkan reabilitas dan internal konsistensi yang adekuat. Instrument ini memiliki konsistensi yang adekuat. Instrument ini memiliki konsistensi internal antara 0,72 dan 0,89 dan reabilitas test-retest antara 0,72 dan 0,80.

Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur agresivitas yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992). Dalam jurnal


(38)

agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan dan terangkum dalam 29 item skala baku. Hal ini karena skala yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) memiliki validitas yang baik dan reabilitas serta internal konsistensi yang adekuat. 2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas,yaitu :

1. Kepribadian

Banyak trait kepribadian yang secara signifikan berkaitan dengan agresivitas.

Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa salah satu teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A (yang bersifat kompetitif, selalu buru-buru, ambisius, cepat tersinggung, dan sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, sudah puas dengan keadaannya yang sekarang, cenderung tidak buru-buru, dan sebagainya). Kemudian pengaruh lain dari sifat kepribadian terhadap agresif adalah sifat pemalu. Orang yang bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang lain, dan cenderung mencari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, tipe orang pemalu cenderung lebih agresif daripada yang tidak pemalu.

Selain kepribadian tipe A dan tipe B, bigfive personality juga

mempengaruhi perilaku agresif seperti penelitian yang ditemukan dalam Caprara, et. al. (dalam DeWall, et. al, 2012) memaparkan bahwa dari lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait dengan agresi, yaitu yang

mempunyai hubungan positif adalah neuroticism sedangkan yang mempunyai


(39)

Penelitian yang dilakukan oleh Trninić¹, et. al. (2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan emotional stability,

sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan extraversion,

agreeableness dan emotional stability. 2. Hostile Attributional Bias

Atribusi berperan pada reaksi kita terhadap perilaku orang lain, terutama pada provokasi nyata yang mempengaruhi perilaku agresi. Hal ini mengacu

pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam

tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Ketika individu

memiliki bias atribusional hostile yang tinggi, ia jarang mempersepsikan

tindakan hostile yang dilakukan orang lain sebagai ketidaksengajaan, namun

mengasumsikan bahwa tindakan provokasi tersebut memang sengaja dilakukan, dan individu tersebut segera melawan membalasnya (Baron & Byrne, 2005).

3. Narsisme

Individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi, dapat menunjukkan perilaku agresi yang tinggi juga dibandingkan orang lain. Hal ini disebabkan karena ia memiliki keraguan yang mengganggu mengenai kebenaran ego mereka yang besar sehingga bereaksi pada tindakan kekerasan atau hinaan kepada individu lain sebagai bentuk rasa marah (Baron & Byrne, 2005).


(40)

4. Frustasi

Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa Frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi, dan agresi selalu berasal dari frustasi. Singkatnya, orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan agresi, dan sebaliknya..

Meskipun frustasi biasanya membangkitkan amarah, namun adakalanya juga tidak, meningkatkan amarah tidak selalu menyebabkan orang berperilaku lebih agresif (Sears, Freedman & Peplau, 1985). Temuan penelitian juga menunjukan bahwa ketika merasa frustasi, individu tidak selalu merespons dengan melakukan agresi. Sebaliknya, mereka memperlihatkan banyak reaksi berbeda, mulai dari kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai pada usaha langsung untuk mengatasi sumber frustasi mereka di sisi yang lain. Agresi bukanlah respons otomatis dari frustasi (Baron & Byrne, 2005).

5. Provokasi langsung

Baron & Byrne (2005) mendefinisikan provokasi merupakan tindakan oleh orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, sering kali karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat. Kritik yang kasar serta tidak sopan yang dapat menyerang diri sendiri dan bukan merupakan kritik terhadap perilaku diri yang salah, merupakan provokasi yang kuat sehingga dapat memunculkan perilaku agresi. Kita cenderung untuk membalas, memberikan agresi sebanyak yang kita terima, terutama jika orang tersebut menyakiti diri kita.


(41)

6. Agresi yang Dipindahkan

Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa agresi yang dipindahkan merupakan agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi yang kuat; agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi. Agresi ini merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian sewaktu-waktu ia luapkan pada seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal yang kuat.

7. Kekerasan pada Media

Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa makin banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan pada saat kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa. Misalnya, makin tinggi kecenderungan mereka untuk ditangkap atas tuduhan kriminal dengan kekerasan.

Selain film, dapat terjadi pula “copycat crimes”, dimana suatu kejahatan

yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang lain di lokasi yang jauh, memperlihatkan bahwa dampak seperti itu nyata. Dampak lain dari kekerasan pada media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada kesakitan dan penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi emosional yang lebih sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-tanda kekerasan seperti itu. Dan hal ini kemungkinan mengurangi pertahanan mereka sendiri menolak terlibat dalam agresi (Baron & Byrne, 2005).


(42)

Menurut Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa siaran televisi dapat menjadi penyalur emosi agresi (katarsis) sehingga orang tidak perlu lagi melampiaskan agresivitasnya kepada orang lain, khususnya jika korban agresi tidak mempunyai kemungkinan untuk secara langsung

melampiaskan pembalasannya kepada aggressor sebagimana terungkap dari

sebuah penelitian di Jerman Barat.

8. Keterangsangan yang Meningkat

Keterangsangan dapat berasal dari sumber-sumber yang bervariasi seperti partisipan dalam permainan kompetitif, jenis olahraga yang keras, serta musik tertentu. Contoh lainnya adalah faktor keterangsangan seksual. Hubungan

antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat curvilinear.

Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Hal ini disebabkan karena materi erotis yang ringan akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi (Baron & Byrne, 2005).

9. Alkohol

Dalam beberapa eksperimen, partsisipan yang mengonsumsi alcohol dengan dosis tinggi yang dapat membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih agresif dan merespon provokasi secara lebih kuat, dibandingkan partsisipan yang tidak mengonsumsi alkohol (Baron & Bryne, 2005). Kemudian


(43)

penelitian Bushman dan Cooper (1990) menemukan bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang.

Dalam Sarwono (2002) menjelaskan bahwa khusus pada negara-negara maju yang teletak di wilayah-wilayah musim dingin, alcohol bukan merupakan hanya saran penghangat tubuh, melainkan juga sebagai sarana pergaulan. Akan tetapi, pengaruh alkohol dapat memicu agresivitas. Karena itulah dalam kenyataannya bar-bar dan tempat-tempat minum lainnya merupakan tempat yang memiliki angka kekerasan dan agresi sangat tinggi.

10.Kondisi lingkungan

Rasa sesak berjejal/suasana yang ramai juga dapat memicu seseorang bertindak agresi. Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa di daerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dan kekerasan serta peningkatan agresivitas di daerah yang sesak berhubungan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk mengendalikan lingkungan sehingga terjadi frustasi.

11.Attachment orang tua

Penelitian dalam journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan

bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia,

depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment orang tua tinggi akan menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo & Raffaelli, 1999). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gallarin & Arbiol (2012) menyatakan bahwa faktor yang mampengaruhi


(44)

attachment (kelekatan) orang tua. Dari hasil penelitiannya hanya attachment

pada ayah yang signifikan terhadap agresivitas remaja.

12.Pengaruh kelompok dan teman sebaya

Penelitian White, Gallup dan Gallup (2010) mengemukakan bahwa korban dari agresi teman sebaya tersebar luas pada anak-anak dan remaja antara 11

dan 16 tahun. Nansel, et. al. (dalam White, Gallup dan Gallup, 2010)

menunjukkan bahwa dalam The multi-national Health Behavior in School

Aged Children tidak kurang dari 9% dan sebanyak 54% dari anak usia sekolah dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam tindakan agresif terhadap teman

sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya. Journal of Youth and

Adolescence (2000) menunjukkan bahwa Attachment teman sebaya secara signifikan berhubungan dengan simpati, English efficacy, depresi dan agresi.

Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan

English efficacy yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi.

Sarwono (2002) menyatakan bahwa gejala terpengaruh oleh kelompok terdapat pada pelajar SMA yang saling berkelahi di Jakarta dengan alasan membela teman. Inti dari agresivitas antarpelajar di Jakarta yaitu identitas kelompok yang sangat kuat yang menyebabkan timbul sikap negatif dan mengeksklusifkan kelompok lain.

13.Perbedaan Gender

Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara langsung ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong, berteriak, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita cenderung melakukan agresi secara tidak


(45)

langsung, seperti bergunjing masalah orang lain. Tindakan ini memungkinkan individu menutupi identitasnya dari target yang dituju. Sehingga, target tidak dapat mengetahui siapa pelakunya (Baron & Byrne, 2005).

Penelitian serupa juga dijelaskan Sarwono (2002) yang menyatakan bahwa pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang feminisim. Tentunya gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan yaitu pada umumnya wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih mengekang agresivitasnya. Namun, ada pergeseran peran jenis kelamin yang pada gilirannya juga akan meningkatkan agresivitasnya pada wanita. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, agresivitas wanita kita saksikan misalnya pada pengemudi kendaraan pribadi wanita di Jakarta yang berani menantang pengemudi Metro Mini (pria) yang menyerempet mobilnya. Makin banyak wanita menjadi anggota ABRI dan polisi, atau makin banyaknya wanita yang terlibat dalam berbagai jenis olahraga agresif (balap mobil, sepak bola, karate, pencak silat atau gulat).

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas yang telah dijelaskan, maka

peneliti memutuskan untuk menggunakan faktor kepribadian dan attachment

sebagai variabel independen. Hal ini dilakukan karena kepribadian diprediksi dapat mengetahui bagaimana tingkat agresivitas yang dialami oleh para remaja

yang melakukan tawuran atau tidak. Kemudian attachment (kelekatan) dengan

orang tua dianggap dapat mempengaruhi agresivitas karena seorang anak pertama kali meniru perilaku orang tuanya dan membutuhkan dukungan serta arahan dari orang tua untuk melakukan sesuatu hal yang positif.


(46)

2.2 Kepribadian (personality) 2.2.1 Definisi kepribadian

Definisi kepribadian menurut Allport (dalam Hall, Linzey & Campbell, 1997) adalah organisasi atau susunan yang dinamis dari system psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap lingkungannya. Sedangkan Pervin, Cervone dan John (2010) mengungkapkan bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Larsen & Buss (2002) kepribadian adalah himpunan sifat-sifat psikologis dan mekanisme dalam diri individu yang terorganisir dan relatif bertahan serta mempengaruhi interaksi dan adaptasi terhadap lingkungan (termasuk intrapsikis, fisik, dan lingkungan sosial).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut peneliti adalah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap dan bertahan, sehingga mempengaruhi penyesuaian dirinya dalam lingkungan.

Kepribadian memiliki beberapa trait, salah satu trait kepribadian yang populer adalah kepribadian big five. Feist & Feist (2009) menyatakan bahwa big five

dikembangkan oleh Costa & McCrae dari H. Eysenk. Hasil pengembangan yang dilakukan oleh Costa & McCrae menghasilkan lima trait kepribadian. faktor.

Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, neuroticism, openness to

experience, agreeableness, dan concientioueness. Model ini kemudian menjadi suatu teori, yang dapat memprediksi perilaku dan menjelaskan perilaku (Feist & Feist, 2010).


(47)

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five

merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima trait kepribadian

extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan

concientioueness yang digunakan untuk menganalisis kepribadian seseorang. 2.2.2 Dimensi Kepribadian

Definisi kepribadian menurut masing-masing ahli berbeda-beda tetapi kepribadian

yang populer adalah the big five personality. Dimensi-dimensi kepribadian

menurut Costa dan McCrae (dalam Feis & Feist, 2010) adalah sebagai berikut : 1. Extraversion

Menyatakan bahwa individu yang memili skor tinggi pada dimensi ini cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung menjadi anggota kelompok, banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan selalu bersemangat. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung tidak ramah dengan orang lain, suka menyendiri, pendiam, apa adanya, pasif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

2. Neuroticism

Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan cenderung gelisah/cemas, temperamental, sentimentil, emosional, dan rentan terhadap kritikan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah cenderung tenang, bangga dengan diri sendiri, terkadang temperamental, menyenangkan, tidak emosional, dan sabar.


(48)

3. Openness to experience

Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (O) cenderung imajinatif, kreatif, inovatif, selalu ingin tahu, menyukai sesuatu yang berbeda, dan bebas. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah cenderung tidak kreatif, konventional, menyukai sesuatu yang menetap, tidak peduli, dan konservatif.

4. Agreebleness

Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (A) akan cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleransi, bersahabat dan baik hati. Sebaliknya individu dengan skor rendah akan cenderung kejam, curiga, pelit, bersifat antagonis, kritis, dan mudah marah. 5. Conscientiousness

Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi cenderung teliti, pekerja keras, teratur, disiplin, ambisius, dan gigih. Sedangkan pada individu yang memiliki skor rendah cenderung ceroboh, malas, tidak teratur, suka terlambat, dan tidak memiliki tujuan yang pasti.

2.2.3 Pengukuran Kepribadian

John dan Srivastava (1999) membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang

dikembangkan untuk mengukur big five personality, diantaranya:

1. NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992,

NEO-PI-R adalah sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae dengan cara menggunakan kuesioner yang dirancang untuk mengukur


(49)

big five traits. Mereka membedakan masing-masing dari kelima dimensi kepribadian tersebut.

2. Big five Inventory (BFI) yang dibuat oleh John, Donahue, dan Kentle (1991). BFI sering digunakan dalam penelitian-penelitian dimana waktu subjek terbatas dan format item yang singkat memberi lebih banyak konnteks dibandingkan item tunggal Golberg sekaligus lebih sederhana dibandingkan format kalimat yang digunakan dalam kuesioner NEO. Skala berjumlah 44 item.

Sedangkan, menurut Rammstedt dan John (2007) the big five personality

dapat diukur dengan menggunakan skala Big Five Inventory-10 (BFI-10).

BFI-10 merupakan turunan dari BFI-44 yang dikemukakan oleh John, Donahue, & Kentle. Item pada instrument ini sebanyak 10 item, kurang dari 25% dari 44 tetapi mampu memprediksi 70% dari item yang ada di BFI-44.

Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur

Big Five Inventory (BFI) yang dikembangkan oleh John, dkk (1991). BFI

merupakan kuesioner self-report yang berisi 44 item. Hal ini dikarenakan sesuai

dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini dan BFI juga sudah banyak digunakan dan teruji pada penelitian terdahulu, serta item-item dalam BFI telah

dibandingkan dengan inventory kepribadian yang sudah baku dan memiliki


(50)

2.2.4 Agresivitas dan bigfive personality

Banyak penelitian sebelumnya telah mengkaji hubungan antara agresivitas dengan

bigfive personality. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Barlett and

Anderson (2012) pada mahasiswa di Universitas Midwestern menunjukkan bahwa

pada agresi fisik, Agreeableness secara tidak langsung berhubungan negatif dengan

perilaku agresi namun terlebih dahulu melalui emosi dan sikap agresi, neurotisisme

secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku agresif namun terlebih dahulu

melalui emosi agresif. Openness to Experience secara tidak langsung berhubungan

dengan perilaku dan sikap agresi. Sedangkan pada perilaku kekerasan, Agreeableness

dan Openness to Experience secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku kekerasan namun terlebih dahulu melalui sikap agresi.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bigfive personality mempunyai

hubungan secara positif maupun secara negatif terhadap agresi dan perilaku

kekerasan. Contohnya, Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan negatif

dengan dendam (agresi emosi), sedangkan menurut McCullough, et al (dalam

Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa Neurotism berhubungan positif

dengan dendam. Penelitian Sharpe and Desai (dalam Barlett and Anderson, 2012)

menemukan bahwa Neurotism berhubungan positif dengan anger dan holistility

(agresi emosi) dan perilaku agresi, sedangkan extraversion, agreeableness and

conscientiousness berhubungan negatif dengan emosi dan agresi, kemudian

penelitian tersebut menemukan bahwa ada korelasi antara self-reported agresi

fisik dan hubungan Extraversion adalah negatif. Pada penelitian Anderson et al


(51)

Conscientiousness berhubungan negatif dengan sikap agresi dan kekerasan,

karena Agreeableness ditandai dengan sifat baik hati, jujur dan kooperatif,

sedangkan Conscientiousness ditandai dengan bertanggung jawab, tertib dan

dapat diandalkan, Neurotism ditandai dengan mudah marah, dan emosi yang tidak

stabil, Openness ditandai dengan intelektual, halus dan berpikir mandiri.

Sementara itu, menurut John dan Srivasta (dalam Barlett and Anderson, 2012)

Extraversion ditandai dengan pembicara aktif, asertif, dan energik dan mempunyai hubungan dengan agresi. Gleason (dalam Barlett and Anderson,

2012) menyatakan bahwa Agreeableness juga mempunyai hubungan negatif

dengan self-report dan peer-report perilaku agresif dan kekerasan. Sedangkan,

Openness tidak mempunyai hubungan dengan perilaku agresi. Sedangkan Gallo dan Smith (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan hubungan positif antara extraversion dengan agresi fisik.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh dalam Caprara (dalam DeWall, et. al.,

2012) memaparkan bahwa ada hubungan agresi dengan bigfive personality namun dari

lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait dengan agresi: yang mempunyai

hubungan positif yaitu neuroticism, sedangkan yang mempunyai hubungan negatif

yaitu conscientiousness dan agreeableness.

Sementara itu, penelitian dengan sampel lainnya yang dilakukan oleh Trninić¹, et.

al. (2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan

berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan

emotional stability, sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan extraversion, agreeableness dan emotional stability. Dalam analisis regresi berganda


(52)

menunjukkan bahwa agreeableness prediktor signifikan dari agresivitas dalam

tahanan, sedangkan pada atlet remaja emotional stability prediktor yang signifikan.

Sedangkan, penelitian lainnya yang dilakukan Anitei & Dumitrache (2013)

menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara conscientiousness dan

perilaku agresif pada pengemudi di sekolah pilot, sementara itu antara extraversion, openness, agreeableness and emotional stability tidak ada hubungannya. Mengenai

pengaruh kepribadian pada pengemudi yang agresif, hanya conscientiousness yang

signifikan terhadap perilaku agresif pada pengemudi di sekolah pilot. 2.3 Attachment Style

2.3.1 Definisi Attachment

Konsep attachment berawal dari peneltian yang dilakukan oleh John Bowbly pada

tahun 1969 mengenai interaksi antara bayi dengan pengasuhnya atau paling sering

dengan ibu. Attachment style yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada

individu dalam berteman, berinteraksi dengan orang lain, dan keberhasilan dalam membina hubungan sosial (Baron & Byrne, 2005). Attachment sebagai ikatan afeksional yang kuat yang dirasakan terhadap orang tertentu yang membawa kepada perasaan senang ketika berinteraksi dengannya dan nyaman bila berada di dekatnya selama saat-saat yang menekan (Berk, 1997).

Kemudian Collin (1996) menjelaskan bahwa setiap aspek dari definisi

attachment itu penting. Oleh sebab itu, hal esensial yang terkandung dan terkait

dengan definisi attachment akan dijelaskan sebagai berikut. Attachment

merupakan ikatan emosional, bukan tingkah laku. Attachment merupakan


(53)

seseorang yang ditujukan pada figure attachment-nya. Jadi, bukan kesenangan sementara yang didapat dari hubungan kebersamaannya dengan orang lain dalam waktu sesaat.

Sedangkan, dalam Baron, Branscombe & Byrne (2008) attachment style

merupakan derajat keamanan yang dialami dalam hubungan interpersonal. Gaya-gaya yang berbeda pada awalnya dibangun pada saat masih bayi, tetapi perbedaan dalam kelekatan tampak mempengaruhi perilaku interpersonal sepanjang

hidupnya. Kemudian Bartholomew (Bartholomew & Shaver, 1998)

mendefinisikan attachment style yaitu kecenderungan perilaku lekat individu yang

terdiri dari dimensi positif dan negatif pada dua sikap dasar yaitu sikap dasar

mengenai self dan sikap dasar mengenai orang lain.

Konsep attachment meliputi apek sosial, emosional, kognitif dan perilaku

dari manusia. Attachment adalah properti dari hubungan sosial dimana individu

yang lemah, kurang terampil bergantung pada yang lebih kompeten dan kuat sebagai sebuah perlindungan. Setiap hubungan mengalami ikutan emosional dengan orang lain dan membentuk representasi internal (Bowlby menyebut

working model) dari hubungan oleh dua orang yang terlibat dalan perilaku yang mencerminkan dan mempertahankan hubungan. Ini adalah hubungan yang dibawa selanjutnya dalam tahap perkembangan seseorang (Golberg, 2000).

Ervika (2005) kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan yang ditunjukkan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan


(54)

cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak terlihat dalam pandangan anak.

Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil kesimpulan

bahwa attachment style adalah ikatan secara emosional yang bertahan dalam

waktu yang relatif lama terhadap figur tertentu misalnya pada orang tua dengan adanya keinginan untuk merasa senang, nyaman dan aman.

2.3.2 Dimensi Attachment Style (Gaya Kelekatan)

Bartholomew & Griffin (dalam Baron & Byrne, 2000) membagi gaya kelekatan menjadi empat tipe, yaitu:

1. Gaya kelekatan aman (secure attachment)

Seseorang dengan gaya kelekatan aman memiliki hubungan yang hangat dengan orang tua mereka dan mempersepsikan kehidupan keluarga mereka dimasa lampau dan masa sekarang secara positif. Menurut Mikulincer (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa dibandingkan gaya kelekatan yang lain, individu dengan gaya kelekatan aman tidak mudah marah, lebih tidak mengatribusikan keinginan bermusuhan dengan orang lain dan mengharapkan hasil positif dan konstruktif dari konflik.

2. Gaya kelekatan takut-menghindar (Fearful Attachment style)

Memiliki self esteem yang rendah dan negatif terhadap orang lain dengan

meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghidari hubungan akrab, mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak. Individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif


(55)

memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne, 2000).

Remaja memiliki tingkat yang sangat tinggi dari rasa takut dan bingung. Ini mungkin akibat dari pengalaman traumatis seperti kematian orang tua atau penyalahgunaan oleh orang tua (Santrock, 2001).

3. Gaya kelekatan terpreokupasi (Preoccupied Attachment style)

Memiliki ketidakkonsistenan antara self image dengan image mengenai orang

lain. Individu dengan gaya kelekatan ini mempunyai pandangan yang negatif

mengenai self yang dikombinasikan dengan harapan positif bahwa orang lain

akan mencintai dan menerima mereka.

Lopez, et. al. (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkpakan bahwa individu yang terpreokupasi mencari kedekatan dalam hubungan (kadang-kadang kedekatan yang berlebihan), tapi mereka juga mengalami kecemasan

dan rasa malu karena merasa “tidak pantas” menerima cinta dari orang lain. Tekanan mengenai kemungkinan ditolak terjadi secara ekstrem. Kebutuhan

untuk dicintai dan diakui ditambah adanya self cristism mendorong terjadinya

suatu depresi setiap kali hubungan menjadi buruk (Baron & Byrne, 2000).

Preoccupied/ambivalen adalah suatu kategori insecure dimana remaja

sangat bergantung pada pengalaman mengenai kelekatan (attachment). Ini

diduga terjadi terutama ketika para orang tua tidak disamping mereka secara konsisten. Dapat mengakibatkan tingkat derajat tinggi dalam perilaku mencari


(56)

tua dan remaja dalam jenis attachment ini mungkin terlalu tinggi dalam tahap perkembangan yang baik (Santrock, 2001).

4. Gaya kelekatan Menolak (Dismissing Attachment Style)

Memiliki self image yang sangat positif (kadang kala tidak realistis). Individu

yang independen dan sangat layak mendapatkan hubungan yang dekat (Baron & Byrne, 2000). Orang lain mungkin lebih melihat mereka secara lebih tidak positif dan mendeskripsikan mereka orang yang tidak ramah dan terbatas keterampilan sosialmya.

Dismissing/avoidant attachment adalah suatu kategori insecure dimana

individu menekankan pentingnya attachment. kategori ini dikaitkan dengan

pengalaman yang konsisten dari penolakan kebutuhan attachment oleh

pengasuh. Salah satu kemungkinan hasil dari dismissing/avoidant adalah

bahwa orang tua dan remaja dapat saling menjauhkan diri dari satu sama lain, yang mengurangi pengaruh orang tua. Dalam sebuah penelitian,

dismissing/avoidant attachment mempunyai hubungan dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif pada remaja (Santrock, 2001).

2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup

Kebutuhan akan attachment cenderung stabil selama perjalanan hidup seseorang,

yang berubah hanyalah tingkah laku attachment yang ditampilkan serta hakikat dari attachment itu sendiri (Collin, 1996). Hasrat dan kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman tetap menjadi alasan utama bagi manusia untuk mengembangkan attachment. akan tetapi kondisi yang


(57)

ditampilkan, serta derajat kedekatan akan berubah seiring bertambahnya usia (Collin, 1996).

a. Masa kanak-kanak

Sejak awal kehidupan sampai masa ini, frekuensi tingkah laku attachment yang

nyata seperti menangis dan melekat pada figure attachment relatif menurun,

seiring dengan meningkatnya kemampuan fisik, keterampilan sosial, dan pengetahuan. Anak akan menjadi lebih percaya pada dirinya sendiri, sedangkan

kebutuhan akan kedekatan fisik dengan figure attachment berkurang.

b. Masa remaja

Ainsworth (dalam Collin, 1996). Perubahan hormonal, neurofiologis dan kognitif yang diasosiasikan pada remaja mungkin mendasari perubahan normatif dalam

proses attachment. figure attachment tidak hanya meliputi ibu, ayah dan pengasuh

lainnya. Saudara kandung yang lebih tua, saudara atau keluarga lain, guru dan

teman-teman dapat menjadi figur tambahan. Pada masa ini, perilaku attachment

mulai bersifat timbal balik, artinya kedua belah pihak (individu dan figure

attachment) menyediakan perhatian dan perlindungan satu sama lain.

c. Masa dewasa

Hubungan attachment pada masa dewasa mempunyai kemiripan dengan

hubungan yang terjadi pada masa kanak-kanak. Hal yang membedakan

attachment pada masa kanak-kanak dan dewasa adalah berubahnya figure attachment pada masa dewasa, dimana figure attachment pada orang dewasa biasanya ditunjukkan pada sahabat, teman sebaya, atau pasangannya, sedangkan pada masa kanak-kanak lebih kepada pengasuhnya. Kedua, orang dewasa lebih


(58)

mampu mentolerir keterpisahan dengan figure attachment-nya daripada kanak-kanak.

2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)

Monks dan Knoers (2006) berpendapat bahwa attachment behavior atau tingkah

laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus bagi manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut.

Schaffer (dalam Monks & Knoers, 2006) mengemukakan bahwa anak

pada waktu dilahirkan mempunyai semacam struktur kognitif yang spesifik yaitu suatu struktur kognitif yang terarah pada jenisnya sendiri yang dapat menambah keinginan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam tiga bulan pertama, akan timbul daya tarik terhadap manusia pada umumnya, kemudian struktur kognitif tersebut berubah arah akibat pengalaman dan belajar hingga anak lebih tertarik pada orang-orang tertentu saja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bowlby (dalam Meinz, 1997) bahwa keterikatan anak dengan orang tuanya berkembang dari hal yang tidak terarah, sedikit demi sedikit lebih terarah dan tertentu.

Menurut Monks dan Knoers (2006) ada dua macam tingkah laku yang

menyebabkan seseorang dipilih sebagai objek kelekatan atau figur lekat, yaitu:

1. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan

untuk mencari perhatian.

2. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.

Berdasarkan hasil penelitian, Berk (2005) menemukan beberapa faktor


(59)

1. Kesempatan untuk membangun kelekatan.

2. Kualitas pengasuh.

3. Karakteristik bayi.

4. Model mental kelekatan orang tua.

Bowlby (dalam Monks & Knoers, 2006) berpendapat bahwa timbulnya

kelekatan anak terhadap figur lekatnya adalah ikatan dari aktifnya sejumlah

sistem tingkah laku (behavior systems) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu.

Bila anak ditinggalkan oleh ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tersebut menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh sentuhan, suatu kehadiran ibu.

2.3.5 Model mental kelekatan

Bowbly (dalam Baron & Byrne, 2003) mengajukan bahwa pada saat berlangsungnya interaksi antara bayi dan pengasuhnya tersebut, anak membentuk kognisi yang terpusat pada dua sikap yang sangat penting (istilah Bowbly

terhadap sikap-sikap ini adalah model kerja atau working model atau dikenal juga

dengan istilah model mental kelekatan). Salah satu sikap dasar adalah evaluasi

terhadap diri sendiri, disebut juga self esteem yaitu perilaku dan reaksi emosional

dari pengasuh kepada bayi bahwa ia dihargai, penting individu yang dicintai atau pada ujung ekstrim yang lainnya, relatif tidak berharga, tidak penting dan tidak dicintai.

Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal

akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working


(1)

(2)

LAMPIRAN 4:

CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS (CFA)


(3)

2. Extraversion


(4)

4. Conscientiousness


(5)

6. Openness to experiences


(6)

8. Fearful attachment

9. Preoccupied attachment