YOGYAKARTA 2013 HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL

  

HUBUNGAN PERIL PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A KU ALTRUISME

PADA PENIK ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A WASA AWAL

SKRIPSI

  Diaj Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Yoga Prasetyo Utomo

NIM : 069114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

  

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

  

HUBUNGAN PERIL PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A KU ALTRUISME

PADA PENIK ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A WASA AWAL

SKRIPSI

  Diaj Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Yoga Prasetyo Utomo

NIM : 069114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

  

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

HALAMAN MOTTO

  

TUHAN menetapkan langkah-

langkah orang yang hidupnya

berkenan kepada-Nya;

apabila ia jatuh, tidaklah sampai

tergeletak, sebab TUHAN

menopang tangannya.

  

(Mazmur 37 : 23-24)

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Karya ini kudedikasikan untuk : Bapa di surga dan seluruh keluargaku

  • Yoga Prasetyo Utomo-

  

HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME

PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL

Yoga Prasetyo Utomo

  ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku agresivitas dengan

perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal. Hipotesis dalam penelitian ini

adalah ada korelasi atau hubungan yang negatif antara perilaku agresi dengan perilaku altruisme

pada penikmat musik keras usia dewasa awal. Semakin tinggi perilaku agresi maka semakin

rendah perilaku altruisme seseorang. Sebaliknya, bila semakin rendah perilaku agresi maka

semakin tinggi perilaku altruisme seseorang. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 72 orang.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode try out terpakai. Skala perilaku

agresivitas disusun berdasar teori Barbara Krahe (2005), sedangkan skala altruisme disusun

berdasar teori Baron dan Bryne (2005). Koefisien reliabilitas dari skala agresivitas adalah 0.961

alpha cronbach dan koefisien reliabilitas skala altruisme adalah adalah 0.888 alpha cronbach. Hasil

penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa subyek memiliki perilaku agresivitas dan altruisme

yang rendah. Sehingga dapat disimpulkan hipotesis ditolak. Tidak ada hubungan yang negatif

antara perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal. Kata kunci : perilaku agresivitas, perilaku altruisme.

  

THE RELATIONSHIP BETWEEN AGGRESSIVENESS BEHAVIOR AND

BEHAVIOR OF ALTRUISM TO EARLY ADULTHOOD ROCK MUSIC

LOVERS

Yoga Prasetyo Utomo

  

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between the aggressiveness behavior and

the behavior of altruism to rock music lovers at early adulthood. This hypothesis had a negative

correlation or relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music

lovers early adulthood. The higher the aggressive behavior, the lower the person's altruism

behavior. Conversely, the lower the aggressive behavior, the higher a person's altruism behavior.

The subjects in this study amounted to 72 people. The method used in this study was ‘used try out’

method. Aggressive behavior scale developed based on the theory of Barbara Krahe (2005), while

the altruism scale arranged on the theory Baron and Byrne (2005). Reliability coefficient of

aggressiveness scale was 0.961 alpha Cronbach and reliability coefficient of altruism scale was

0.888 alpha Cronbach. The results obtained state that the subjects had low aggressiveness and

altruism behavior. Thus, It could be concluded that the hypothesis was rejected. There was no

negative relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music lovers at

early adulthood.

  Keywords : aggressive behavior, altruistic behavior.

KATA PENGANTAR

  Puji hormat, syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus atas pengampunan, berkat, kesempatan dan karuniaNya yang tidak pernah berakhir setiap hari. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini, yaitu:

  1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko. M.Psi. selaku Dekan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Ratri Sunar Astuti S.Psi., M.Si selaku Kaprodi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  3. Kepada Bapak Prof. Augustinus Supratiknya, Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi. M.Si., dan Ibu Aquilina Tanti Arini. S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

  4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari. S.Psi., M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih untuk bantuannya dan maaf karena saya sering menghilang.

  5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bimbingan, pengajaran, dan banyak hal lainnya yang boleh penulis dapatkan selama menjalankan masa studi.

  6. Karyawan dan karyawati di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas bantuan dan pelayanannya selama penulis menjalankan masa studi.

  7. Angkatan 2006 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saya adalah kloter terakhir yang keluar.

  8. Bapak, Ibu, Yogi, Yori, Coki, Guguk, Mbah, Pakde, Bude, Om, Bulek, dan keluarga besar lainnya.

  9. Kineta (Satria, Timo, Tari, Hayu, Mas Djarot, Gigih, Henta, Joko, Galih, Aji, semoga gak ada yang ketinggalan) aku rindu masa kejayaan kita hehehe. RockerMemble (Aji, Rio) teruslah menggalau hahahaha.

  10. Orang-orang yang pernah datang dan pergi didalam hidupku. Kalian adalah sebagian dari nada-nada hidupku.

  11. Teman-teman dan komunitas PMK Ebenhaezer, KDM GKI Gejayan, KOMPA GKJ Gondokusuman, Indonesian Drummer Jogja, Family Of Locos Jogja, JMF beserta seisinya dan teman-teman saya yang lain.

  Juga tak lupa saya berterimakasih kepada orang-orang yang bersedia untuk mengisi kuesioner saya.

  12. Juga semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tuhan memberkati kalian semua.

  Penulis menyadari keterbatasan dalam melaksanakan penelitian. Mohon maaf untuk setiap ketidaksempurnaan yang ada didalam karya ini. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari hari ke hari.

  Yogyakarta, 28 Juni 2013 Yoga Prasetyo Utomo

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL………………………………….………… i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING..……… ii HALAMAN PENGESAHAN………………………..………… iii HALAMAN MOTTO…………………………………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………… v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………..……… vi ABSTRAK………………………………….…………………… vii ABSTRACT……………………………………………………… viii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH… ix KATA PENGANTAR…………………………………………… x DAFTAR ISI……………………………………………………… xii DAFTAR TABEL……………………………………………… xv DAFTAR LAMPIRAN………………..……………………… xvi

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………..

  1 A. Latar Belakang Masalah………………………...

  1 B. Rumusan Masalah……………………………

  8 C. Tujuan Penelitian……………………………….

  8 D. Manfaat Penelitian……………………………..

  8 BAB II. LANDASAN TEORI ………………………….....

  10 A. Agresivitas…………………………………………

  10

  1. Pengertian Agresivitas……………………………. 10

  12

  2. Teori Agresivitas………………………………

  3. Faktor-faktor Agresivitas………………………… 17

  24

  4. Aspek-aspek Agresivitas………………………

  5. Jenis-jenis Agresivitas…………………………… 26

  28 B. Altruisme………………………………………

  28

  1. Pengertian Altruisme…………………………

  31

  2. Teori Altruisme………………………………

  3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruisme…… 37

  43

  4. Aspek-aspek Altruisme……………………

  44 C. Kegemaran Musik Keras……………………

  44

  1. Musik Keras……………………………

  46

  2. Pengemar Musik Keras……………………

  46 D. Masa Awal Dewasa atau Pemuda………………

  48 E. Dinamika Hubungan Antar Variabel……………

  54 F. Hipotesis…………………………………………

BAB III. METODE PENELITIAN

  ……………………

  55

  55 A. Jenis Penelitian………………………………

  56 B. Variabel Penelitian………………………………

  56 C. Definisi Operasional……………………………

  59 D. Subyek Penelitian……………………………

  59 E. Metode Pengambilan Data……………………

  61 F. Validitas dan Reliabilitas……………………

  62 G. Analisa Data………………………………………

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …..

  63

  63 A. Pelaksanaan Penelitian……………………

  63 B. Deskripsi Subyek……………………………

  65 C. Uji Coba Alat Ukur……………………

  67 D. Hasil Penelitian………………………

  72 E. Pembahasan…………………………

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

  …………………

  77

  77 A. Kesimpulan…………………………

  77 B. Saran………………………………

DAFTAR PUSTAKA

  ……………………………

  79 LAMPIRAN ………………………………………

  82

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1 Blue print skala agresivitas…………………………………….… 60 Tabel 2 Blue print skala altruisme………………………………………… 61 Tabel 3 Jenis kelamin subyek…………………………………………….. 64 Tabel 4 Usia subyek……………………………………………………… 64 Tabel 5 Rincian item valid dan gugur pada skala agresivitas……………. 65 Tabel 6 Rincian item valid dan gugur pada skala altruisme………………. 67 Tabel 7 Deskripsi data hasil penelitian…………………………………… 68 Tabel 8 Uji normalitas……………………………………………………. 70 Tabel 9 Uji linearitas……………………………………………………… 70 Tabel 10 Uji hipotesis……………………………………………………. 71

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A (agresivitas)……………………………………….…..

  83 Lampiran B (altruisme)……………………………………………..

  88 Lampiran C (deskripsi data, normalitas, linearitas, korelasi)……….

  92 Lampiran campur output SPSS…………………………………….

  95 Lampiran skala……………………………………………………... 121

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi dimana saja. Seperti di jalan raya, gang-gang kecil perkampungan, bahkan di institusi-institusi pendidikan. Contohnya adalah, tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan,

  pembacokan, dan lain sebagainya. Aksi-aksi kekerasan tersebut merupakan bentuk dari tindakan agresif. Menurut suatu penyelidikan, dari tahun 1820 hingga tahun 1945 diperkirakan tidak kurang dari 59 juta nyawa manusia melayang akibat tindakan agresif dari sesamanya. Dari jumlah tersebut, banyak dari separuhnya adalah korban yang jatuh dalam peperangan, sedangkan sisanya merupakan korban perkelahian, penganiayaan, perampokan agresi seksual dan berbagai bentuk agresi lainnya (Koeswara, 1988). Pengertian agresi mengarah pada perilaku atau aksi yang ditujukan untuk membuat obyeknya mengalami bahaya atau kesakitan, juga merupakan sebuah bentuk keinginan diri untuk menyakiti atau melukai seseorang. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mengejek) maupun kekerasan fisik (menendang, menampar, meninju, dan lain-lain). Tindakan merusak barang milik orang lain juga dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron, 1994). Dalam hal ini jika menyakiti orang lain karena unsur tidak disengaja, maka perilaku tersebut tidak dikategorikan sebagai perilaku agresif. Misalnya dokter yang memberikan suntikan pengobatan yang menimbulkan rasa sakit pada pasien.

  Berbeda dengan agresivitas, altruisme adalah tindakan menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan definisi tersebut, apakah tindakan seseorang altruistik atau tidak, tergantung pada tujuan si penolong. Batson (2008) menyatakan altruisme adalah motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Pada altruisme, tindakan menolong orang atau memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat tidak mementingkan diri sendiri (selfless) dan bukan untuk kepentingan diri sendiri (selfish). Sebagai contoh seseorang yang melihat korban kecelakaan motor lalu segera mengangkat tubuh korban ke tepi jalan serta menghubungi rumah sakit untuk minta dikirimkan Ambulance untuk membawa tubuh korban ke rumah sakit dan segera dirawat, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari korban maupun keluarga korban dan tidak ingin mengharapkan penghargaan dari siapapun. Altruisme adalah lawan dari egoisme. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran ataupun keuntungan.

  Musik sudah menjadi bagian dari dalam kehidupan setiap manusia dan musik dapat memberikan pengaruh baik positif maupun negatif bagi kehidupan manusia tersebut. Musik mengandung kesinambungan analogis antara emosi dengan karakter manusia, dan musik merupakan salah satu aspek perilaku manusia serta memiliki pengaruh yang kuat (Djohan, 2009). Pada awalnya musik digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pujian dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan segala sesuatu kepada manusia, kini musik telah berkembang menjadi sarana hiburan bagi manusia, terapi kesehatan, menumbuhkan kecerdasan, membentuk kepribadian, dan berbagai kegunaan yang lainnya (Rasyid, 2010).

  Musik dapat menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri manusia, seperti merasa senang, gembira, marah, jengkel bahkan menangis ketika mendengarkan musik. Selain menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri manusia, musik dapat membantu pembentukan pola belajar, mengatasi kebosanan dan membantu meningkatkan konsentrasi belajar. Musik juga dapat membantu agar manusia dapat merasa lebih bersemangat, percaya diri, mengurangi kesedihan, menghapus kemarahan, melepaskan stress serta mengurangi rasa takut dan cemas. Namun disisi lain musik dapat mengakibatkan manusia bertindak agresif dan melakukan hal-hal yang diluar batas kewajaran.

  Musik terdiri dari beberapa unsur yang menyusunnya, seperti nada, ritme, melodi, harmoni, notasi, dan notasi Gregorian (Rasyid, 2010). Melalui penggabungan unsur-unsur tersebut dapat dihasilkan suatu komposisi musik yang luar biasa sesuai dengan kreativitas komposernya. Musik dapat dibagi ke dalam beberapa aliran. Pembagian ini berdasarkan dari cepat-lambatnya tempo, harmonisasi, keras-lembutnya suara yang dihasilkan, dan lirik lagu.

  Beberapa aliran tersebut diantaranya: klasik, rock, pop, jazz, orkestra, tradisional, dan keras. Muncul pandangan-pandangan tertentu pada tiap alirannya. Sebagai contoh musik klasik adalah musiknya orang intelek, yang mana menurut penelitian juga membantu peningkatan kecerdasan pada anak, juga memiliki nilai seni dan ilmiah yang tinggi, berkadar keindahan dan tidak luntur sepanjang massa (Utomo dan Natalia, 1999). Musik rock dan heavy

  metal (keras) memiliki penikmat yang cenderung brutal (Utomo dan Natalia,

  1999). Penikmat musik keras adalah individu atau sekumpulan individu yang memiliki kegemaran untuk mendengarkan musik keras. Kelompok musik atau grup band yang memainkan genre musik keras dapat tergolong kedalam penikmat musik keras, karena mereka juga menggemari musik keras.

  Musik rock adalah genre musik populer yang mulai dikenal umum pada pertengahan tahun 1950. Musik rock berakar dari musik blues, musik

  country dari tahun 1940 dan 1950 serta mengambil gaya dari musik folk dan

  musik klasik. Bunyi khas musik rock banyak berasal dari gitar listrik atau gitar akustik dengan penggunaan back beat yang sangat kentara pada rhythm

  section yang diiringi dengan penggunaan gitar bass, drum, keyboard serta syntheizer. Disamping itu, alat musik saksofon dan harmonika bergaya blues

  kadang digunakan sebagai instrumen musik solo. Dalam bentuk murninya musik rock mempunyai tiga kord, backbeat yang konsisten dan mencolok serta melodi yang menarik. Pada tahun 1960-an, musik rock berkembang menjadi beberapa jenis, seperti folk rock, blues rock, dan jazz rock fusion.

  Pada tahun 1970-an lahir aliran soft rock, glam rock, heavy metal, hard rock,

  progressive rock dan punk rock. Sub kategori yang mencuat ditahun 1980-an,

  seperti new wave rock, hardcore punk dan alternative rock. Sedangkan pada tahun 1990-an terdapat aliran grunge, britpop, indie rock, dan nu metal.

  Sebuah kelompok pemusik yang mengkhususkan diri memainkan musik rock disebut rock band atau rock group. Grup musik rock memiliki personil yang terdiri dari pemain gitar, penyanyi, pemain gitar bass dan pemain drum sehingga membentuk kuartet. Beberapa grup menanggalkan satu atau dua posisi dan menggunakan penyanyi sebagai pemain alat musik disamping menyanyi, sehingga membentuk duo atau trio. Grup lainnya memiliki pemusik tambahan seperti dua orang pemain gitar dan seorang pemain keyboard. Selain alat-alat tersebut, grup musik rock juga menggunakan biola, cello, saksofon terompet atau trombon (http://id.wikipedia.org/wiki/Rock).

  Dalam pertunjukan musik keras biasanya terjadi kerusuhan atau aksi saling menyakiti yang dilakukan oleh penonton atau penikmat musik keras walaupun pada awal acara sering diberi peringatan untuk menjaga suasana tetap kondusif. Contoh yang dapat diambil dari media massa misalnya adalah sebagai berikut. Konser musik underground di Bandung pada tahun 2008 yang memakan korban tewas karena terhimpit dan terinjak-injak (kompas.com). Contoh lainnya adalah terjadinya keributan dalam sebuah konser kelompok band Superman Is Dead yang diadakan di kota Solo pada tahun 2009, sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang luka- luka karena terkena benda tajam (kompas.com). Dari dua contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa para penikmat musik keras cenderung untuk melakukan tindakan agresif yang merugikan orang lain, walaupun pada awal konser sudah dihimbau untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan suasana menjadi tidak kondusif.

  Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dalam penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, secara khusus dalam hubungan musik dan agresivitas.

  Antara lain dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk mencari skor agresi pada mahasiswa Universitas Loyola yang mendengarkan musik heavy metal dan yang tidak mendengarkan musik sama sekali (Hill, 2000), dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua grup subyek. Penelitian yang sama juga dilakukan Coss (2000) dengan mengambil tempat yang sama, dari penelitian tersebut juga dihasilkan kesimpulan yang sama. Bahwa tidak ada hubungan antara musik heavy metal dengan tingkat agresi. Chimento & Tafalla (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendengar musik keras tidak memiliki tingkat stress yang tinggi. Namun pada penelitian Roy (2001) dapat ditemukan bahwa subyek yang mendengarkan musik keras memiliki skor kemarahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan subyek yang tidak mendengarkan musik. Musik agresif atau musik keras juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan dan mengurangi ketenangan (Mcquinn, 2003). Sedangkan Hamilton (2001) menemukan bahwa penikmat musik keras memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan dengan penikmat musik lain.

  Masa dewasa awal atau pemuda (young adult-hood) merupakan perkembangan tahap keenam dalam delapan tahap perkembangan menurut Erikson. Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan orang lain (intimacy) dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri (isolation). Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada diri orang lain (Santrock, 2002).

  Pada masa ini apabila individu gagal dalam mencapai tugas perkembangannya, maka individu akan cenderung untuk meningkatkan penggunaan obat-obatan, lebih banyak merokok, minum-minuman keras, menggunakan ganja (mariyuana), dan menggunakan amphetamine, barbiturat dan halusinogen (Bachman, O’Malley dan Johnston dalam Santrock, 2002). Pesta minum-minuman keras tingkat berat dan meningkatnya penggunaan kokain juga kerap terjadi, bahkan hal ini sudah dianggap sebagai hal yang biasa (Johnston, O’Malley dan Bachman dalam Santrock, 2002). Hal-hal tersebut dapat menjadi pemicu berbagai macam bentuk tindakan agresif yang dapat merugikan orang lain.

  Melalui penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ada berbagai macam hal yang dapat terjadi pada individu yang sedang berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Secara khusus pada individu yang menggemari genre musik keras, dimana penggemar musik keras ini identik dengan kekerasan yang hampir sering terjadi pada setiap konser musik keras. Namun hal ini juga tak dapat digeneralisasikan pada semua penggemar musik keras. Hal tersebut dapat saja bisa terjadi karena adanya keunikan pada diri setiap individu. Pada saat-saat ini suasana rusuh tersebut dapat dikatakan mulai berkurang, walaupun masih terjadi beberapa kerusuhan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut dapat saja terjadi karena kurangnya kesadaran dari masing-masing individu.

  Altruisme dan agresivitas merupakan dua hal yang sangat bertolak belakang. Altruisme merupakan tindakan menolong yang sifatnya positif, sedangkan agresivitas cenderung bersifat destruktif atau merusak. Melalui penjabaran ini penulis tertarik untuk meneliti dan memahami hal ini, secara khusus hubungan antara agresivitas dan altruisme. Sehingga dapat diperoleh hasil penelitian terbaru tentang hubungan perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras.

  B. Rumusan Masalah

  Melalui rumusan diatas, masalah yang ingin diteliti adalah “Apakah Ada Hubungan Perilaku Agresi dengan Perilaku Altruisme pada Penikmat Musik Keras Usia Dewasa Awal?”

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal.

  D. Manfaat Penelitian

  Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi ilmu psikologi sosial terutama dalam memahami perilaku altruistik dalam hubungannya dengan agresivitas pada penikmat musik keras, serta menambah wacana bagi penelitian selanjutnya. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat praktis bagi subyek (penikmat musik keras) untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan akan perilaku altruistik sehingga subyek dapat mempertahankan atau meningkatkan perilaku tersebut.

BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas

1. Pengertian Agresivitas

  Pengertian agresi mengarah pada perilaku atau aksi yang ditujukan untuk membuat obyeknya mengalami bahaya atau kesakitan, juga merupakan sebuah bentuk keinginan diri untuk menyakiti atau melukai seseorang. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mengejek, menghina) maupun kekerasan fisik (menendang, menampar, meninju, dan lain-lain). Tindakan merusak barang milik orang lain juga dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron, 1994). Definisi agresi ini mencakup empat faktor: tingkah laku, tujuan untuk melukai dan mencelakakan (termasuk mematikan atau membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku (Koeswara, 1988). Aspek-aspek yang membentuk agresi antara lain modalitas respon, kualitas respon, kesegeraan, visibilitas, hasutan, arah sasaran, tipe kerusakan, durasi akibat, dan unit-unit sosial yang terlibat (Krahe, 2005).

  Leonard Berkowitz (1969) membedakan agresi sebagai tingkah laku sebagaimana diindikasikan oleh definisi Baron dengan agresi sebagai emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz juga membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental (instrumental aggression) dan agresi benci atau agresi impulsif (hostile

  aggression /impulsive aggresion). Agresi instrumental adalah agresi yang

  dilakukan organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan hanya sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti. Agresi impulsif ini dilakukan tanpa tujuan karena hanya ingin menimbulkan kekacauan, kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban agresi.

  Elliot Aronson (1972) mengajukan definisi yang sama dengan definisi dari Baron dan Berkowitz. Yaitu agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu Moore dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap obyek-obyek lain. Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agresi merupakan tingkah laku kekerasan yang dilakukan dengan sengaja baik secara fisik maupun secara verbal yang ditujukan untuk menyakiti orang lain atau merusak obyek- obyek lain.

2. Teori Agresivitas

  Menurut Koeswara (1988), ada beberapa teori yang berkaitan dengan agresi, yaitu :

a. Teori-teori naluri.

  1.) Sigmund Freud: naluri kematian.

  Freud membagi naluri ke dalam dua kelompok, yaitu naluri kehidupan (life instinct / eros), dan naluri kematian (death instinct /

  thanatos). Naluri kehidupan terdiri atas naluri reproduksi dan

  naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan hidup individu (mencari makanan, minuman dan sebagainya). Sedangkan naluri kematian memiliki tujuan penghancuran hidup individu. Freud berasumsi bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah kematian. Dalam konteks naluri kematian ini, Freud berbicara tentang hasrat kepada kematian (death wish), menurutnya hasrat kepada kematian ada secara tidak disadari pada setiap individu. Sebab hasrat kepada kematian tersebut bersumber pada naluri kematian yang terangkum dalam id, dan id tersebut berada pada taraf tak sadar.

  Pengungkapan hasrat kepada kematian itu berbentuk agresi- diri atau tindakan menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Namun sistem kepribadian yang disebut ego selalu berusaha merepresi hasrat kepada kematian tersebut agar tetap berada pada taraf tak sadar. Akan tetapi selalu terdapat kemungkinan hasrat tersebut menembus ego sekaligus mengalahkan naluri kehidupan sehingga hasrat kepada kematian itu muncul ke permukaan. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah hasrat kepada kematian tersebut ditujukan keluar diri individu, yaitu berwujud agresi kepada orang lain. Melalui cara ini individu dapat memuaskan hasrat kepada kematian tanpa hambatan dari naluri kehidupan (dalam Koeswara, 1988).

  2.) Konrad Lorenz: naluri agresif.

  Lorenz memiliki keyakinan bahwa tingkah laku naluriah tertentu ada atau bertahan pada organisme karena memiliki nilai

  survival bagi organisme tersebut. Keyakinan tersebut membawa

  implikasi yang penting bagi pemahaman Lorenz terhadap fungsi dan peranan agresi pada organisme berbagai spesies. Lorenz (dalam Koeswara, 1988) berasumsi bahwa setiap tingkah laku naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan spesifik (action specific energy) dan kemunculannya dikunci oleh mekanisme pelepasan bawaan (innate releasing mechanism).

  Stimulus yang dapat membuka kunci dari mekanisme pelepasan bawaan sehingga suatu tingkah laku naluriah dapat muncul adalah stimulus tertentu yang cocok dengan mekanisme pelepasan bawaan tersebut.

  3.) Robert Ardrey: naluri teritorial.

  Ardrey menyatakan (dalam Koeswara, 1988) bahwa manusia memiliki sifat yang diturunkan dari hewan-hewan primata

  Australopithecus, sehingga pada manusia terbentuk killing imperative. Melalui killing imperative ini manusia memiliki obsesi

  untuk membuat senjata dan menggunakannya untuk membunuh apabila diperlukan. Melalui tesisnya, Ardrey (dalam Koeswara, 1988) juga menyatakan bahwa manusia telah diprogram melalui evolusi untuk mengancam, berkelahi, bahkan membunuh. Tesis ini didasari dari homologi antara manusia dan spesies bukan manusia (hewan sebagai subyek penelitian). Ardrey juga menekankan bahwa naluri teritorial merupakan naluri utama pada manusia dan agresi merupakan pengungkapan dari naluri teritorial tersebut.

b. Teori belajar dan belajar observasional tentang agresi.

  Agresi juga dapat terbentuk pada manusia sebagai hasil dari proses belajar. Belajar adalah proses yang luas yang terjadi dalam konteks sosial yang melibatkan faktor-faktor internal berupa situasi yang berlangsung dalam diri individu dan faktor-faktor eksternal yang berwujud situasi, kejadian, atau tingkah laku yang ditunjukkan oleh individu lain.

  1.) Pembentukan agresi menurut teori belajar.

  Thorndike (dalam Koeswara, 1988) dengan teori law of

  effect-nya menekankan bahwa dalam proses belajar atau

  pembentukan tingkah laku, hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu memiliki kecenderungan mengulang suatu tingkah laku apabila tingkah laku tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan (rewarded), dan sebaliknya tingkah laku tersebut tidak akan diulang apabila individu mendapat efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya (punished). Bila hal tersebut (law of effect) digunakan untuk menerangkan pembentukan agresi, maka dapat disimpulkan bahwa agresi terbentuk dan diulang karena individu memperoleh efek yang menyenangkan, dan begitu pula sebaliknya.

  Dollard-Miller (dalam Koeswara, 1988) menyebutkan bahwa belajar sebagai proses pengasosiasian stimulus-respon akan terjadi apabila respon yang diungkapkan individu atau organisme memperoleh perkuatan. Dollar-Miller juga menyebutkan pereduksian dorongan sebagai kondisi yang memperkuat suatu respon. Menurutnya, dorongan yang merupakan stimulus internal mengaktifkan tingkah laku individu dalam rangka mengurangi atau mereduksi dorongan itu. Apabila individu gagal untuk mereduksi dorongannya tersebut dan gagal dalam mencapai suatu tujuan, maka individu akan mengalami frustasi. Salah satu bentuk respon yang akan muncul pada diri individu sebagai bentuk reaksi atas frustasi yang dialaminya adalah agresi (teori frustasi-agresi).

  Skinner (dalam Koeswara, 1988) dengan operant

  conditioning-nya menekankan bahwa tingkah laku, termasuk

  agresi, terbentuk karena diikuti oleh perkuatan positif. Skinner melihat belajar sebagai proses pengasosiasian respon-kekuatan, dimana perkuatan positif menghasilkan kemungkinan kemunculan respon atau tingkah laku yang tinggi, dan sebaliknya perkuatan negatif menghasilkan kemungkinan kemunculan tingkah laku yang rendah atau bahkan menghapus kemungkinan tingkah laku yang akan muncul.

  2.) Pembentukan agresi menurut teori belajar observasional.

  Teori belajar observasional ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Asumsi dasar dari teori ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lainnya yang menjadi model. Contoh penelitian yang dilakukan oleh Robert Baron (dalam Koeswara, 1988) dengan menggunakan model- model yang melakukan agresif dan non-agresif. Sekelompok subyek (kelompok pertama) diminta untuk menonton model yang melakukan tindakan agresif. Sedangkan kelompok subyek yang lain (kelompok kedua) diminta untuk menyaksikan model yang melakukan tindakan tidak agresif, kemudian dilanjutkan dengan menyaksikan model yang melakukan tindakan agresif. Hasil dari penelitian ini adalah kelompok subyek pertama menunjukkan agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kedua.

3. Faktor-faktor Agresivitas

  Agresi tidak muncul secara otomatis, tetapi ada faktor-faktor tertentu yang mengarahkannya. Berikut ini beberapa faktor yang sering ditemukan sebagai pengarah dan penyebab kemunculan agresi. Yaitu, frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, dan suhu udara.

a. Frustasi.

  Frustasi adalah suatu kondisi atau situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan. Frustasi dapat mengarahkan individu kepada agresi, sehingga menjadi biasa disebut teori frustasi-agresi. Frustasi merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan agresi merupakan salah satu cara untuk mengatasinya. Individu akan memilih tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi frustasi yang sedang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang menunjang kearah tindakan agresif tersebut. Para teoris dan peneliti lain percaya bahwa kecenderungan individu dalam memilih agresi sebagai cara untuk mengatasi frustasinya dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar (Ulrich dalam Koeswara, 1988).

b. Stress.

  Stress merupakan hal yang hampir sering dialami oleh manusia dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan intrapsikis. Engle (dalam Koeswara, 1988) memberikan definisi stress yang meliputi sumber-sumber stimulasi eksternal dan internal dari individu. Stress dapat berupa stimulus eksternal (sosiologis atau situasional) dan bisa berupa stimulus internal (intrapsikis) yang dialami oleh individu sebagai hal yang tidak menyenangkan serta menuntut penyesuaian. Hal tersebut dapat menghasilkan efek somatik dan efek behavioral (dalam hal ini kemunculan agresi). 1.) Stress eksternal

  Kemajuan teknologi juga disertai oleh perubahan- perubahan sosial yang begitu cepat. Seperti pergeseran nilai-nilai, berkurangnya kontrol sosial, persaingan hidup yang semakin ketat, memburuknya perekonomian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan dampak berupa peningkatan stress eksternal bagi banyak kalangan masyarakat, terutama kalangan yang tidak mampu. Durkheim (dalam Koeswara, 1988) memiliki konsep tentang anomie, kerusakan norma sosial antara individu dan masyarakat, bahwa stress eksternal yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial dan memburuknya perekonomian mempunyai peran terhadap meningkatnya kriminalitas termasuk tindakan-tindakan kekerasan atau agresi. Teeters (dalam Koeswara,

  1988) menekankan bahwa banyak faktor yang berperan dalam peningkatan kriminalitas dan agresivitas, tetapi stress eksternal tetap memiliki peranan paling penting. Schlesinger dan Revitch (dalam Koeswara, 1988) juga mengungkapkan sumber-sumber lain dari stress eksternal yang dapat memicu timbulnya agresi. Yaitu isolasi, kepadatan penduduk atau sempitnya ruang hidup, kekurangan privasi, rasa tidak bebas, irama kehidupan yang rutin dan monoton, dan mobilisasi sosial. 2.) Stress internal

  Hubungan antara stress internal dan agresi masih belum begitu jelas. Hal itu disebabkan oleh adanya kerumitan dalam mengukur stress internal secara obyektif. Freud (dalam Koeswara, 1988) menerangkan bahwa tindak kekerasan dan psikopatologi pada umumnya adalah adaptasi terhadap stress internal dan eksternal. Menninger (dalam Koeswara, 1988) juga mengungkapkan tindakan yang tidak terkendali (termasuk agresi) adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi hambatan- hambatan sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan intrapsikis.

c. Deindividuasi.

  Deindividuasi (penghilangan identitas diri) dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens. Dunn, Rogers, Diener, Mann, Newton dan Innes (dalam Koeswara, 1988) mengungkapkan bahwa deindividuasi memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk melakukan agresi. Hal tersebut disebabkan oleh karena deindividuasi menghilangkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada diri individu, yaitu identitas diri pelaku maupun identitas diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya. Ada kalanya dalam suatu situasi deindividuasi dapat berubah menjadi dehumanisasi. Perbedaan dari kedua istilah tersebut adalah pada deindividuasi si korban masih dipandang sebagai manusia, sedangkan dehumanisasi si korban dipandang oleh pelaku agresi sebagai obyek yang layak diperlakukan secara lebih kejam dan brutal sesuai dengan kehendak pelaku agresi.

d. Kekuasaan dan kepatuhan.

  Lord Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan menjadi sebuah kekuatan yang memaksa (coercive) sehingga memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. Max Weber (dalam Koeswara, 1988) menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan berbagai keinginannya dalam tindakan komunal, bahkan meskipun harus berhadapan dengan perlawanan dari kelompoknya sendiri. Adler