BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kelapa 2.1.1 Deskripsi Kelapa - PENGARUH DEHIDRASI TERHADAP KEBERHASILAN PENGIRIMAN PLASMA NUTFAH EMBRIO KELAPA BANYUMAS ( Cocos nucifera L.) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kelapa

2.1.1 Deskripsi Kelapa

  Kelapa merupakan tanaman anggota famili Arecaceae (Palm) dari genus

  

Cocos yang tersebar di seluruh daerah tropis maupun subtropis (Chan & Elevitch,

  2006). Tanaman ini diyakini berasal dari daerah pesisir (zona littoral) Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina) ataupun Melanesia, kemudian menyebar ke Amerika Latin, Karibia hingga ke Afrika (Chan & Elevitch, 2006; Gomes- Copeland et al., 2015). Kelapa dapat tumbuh subur di berbagai jenis tanah dengan pH tanah terbaik berkisar pH 5,5-7 (Ohler & Magat, 2016). Tanaman ini dapat tumbuh pada dae rah dengan ketinggian ≤ 700 mdpl, dengan pencahayaan matahari 2000 jam per tahun, serta curah hujan 1000-2000 mm (Ohler & Magat, 2016).

  Tanaman kelapa memiliki sistem perakaran serabut, bertekstur kaku, keras seperti tambang dan berukuran sekitar 1 cm (Tjitrosoepomo, 2000; Chan & Elevitch, 2006). Jumlah akar serabut dalam perakaran tanaman kelapa dapat mencapai 2000-4000 akar per tanaman (Chan & Elevitch, 2006). Persebaran perakaran kelapa bervariasi tergantung pada karakteristik fisik tanah dan ketersediaan air. Biasanya akar mampu tumbuh dan menyebar hingga 6 m, namun pada kondisi optimal , sebaran akar dapat mencapai sekitar 30 m dari pangkal batang (Ohler & Magat, 2016).

  8

Gambar 2.1 Morfologi batang dan daun tanaman kelapa. a. Pangkal batang

  tanaman kelapa yang menunjukkan adanya pembesaran pada pangkal batang; b. Susunan roset batang tanaman kelapa yang menunjukkan tangai daun keenam tepat berada di atas tangkai daun pertama (Foale, 2003) ; c. kelapa genjah orange yang memiliki tangkai daun dan buah berwarna orange (Chan & Elevitch, 2006); d. daun kelapa yang merupakan daun majemuk menyirip

  Batang tanaman kelapa berbentuk bulat (teres), arah tumbuh batang tegak serta tingginya dapat mencapai 20 m hingga 30 m (Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016). Diameter batang berkisar 20 - 60 cm dimana pada beberapa kultivar pangkalnya membesar membentuk bole (Gambar 2.1.a Ohler & Magat, 2016; van Steenis, 1987). Batang berwarna abu-abu terang dan terdapat bekas daun yang rontok pada struktur luarnya (Ohler & Magat, 2016). Pada ujung batang terdapat daun kelapa yang rapat berjejal membentuk roset batang. Daun

  a b c d tersebut tersusun dengan pola spiral pada filotaksis 2/5, yang artinya daun keenam tepat berada di atas daun pertama (Gambar 2.1.b; Tjitrosoepomo, 2000; Foale, 2003).

  Daun kelapa merupakan daun majemuk menyirip yang panjangnya dapat mencapai sekitar 4,5 - 5,5 m dengan 200

  • – 250 helaian daun (Gambar 2.1.d). Anak daun tipis tetapi cukup kaku (perkamenteus) dengan lebar antara 1,5- 5 cm dan panjang 50-150 cm (Tjitrosoepomo, 2000; Chan & Elevitch, 2006). Tangkai daun dapat berwarna hijau maupun kuning perunggu atau orange (Gambar 2.1.c), warna tersebut mengindikasikan warna buah (Chan & Elevitch, 2006).

  Bunga kelapa tergolong ke dalam bunga tongkol majemuk yang terletak aksiler dengan bunga jantan dan betina dalam satu tongkol (Gambar 2.2.a; Chan & Elevitch, 2006. Satu tongkol majemuk (spadix) sebelum mekar biasanya diselubungi oleh seludang yang besar, tebal dan kuat (Tjitrosoepomo, 2000).

  Tongkol (spadix) tersusun dari poros tengah (rachis) dengan 30 atau lebih cabang lateral (rachillae). Panjang tongkol bunga sekitar 1-2 m sedangkan cabang lateral sekitar 30-55 cm. Dalam setiap cabang lateral terdapat sekitar 200-300 bunga jantan dengan satu atau lebih bunga betina di bagian pangkalnya. Jumlah bunga betina dalam perbungaan bergantung pada faktor genetik dan lingkungannya (Thomas & Josephrajkumar, 2013).

  Bunga jantan biasanya berwarna kuning pucat (berwarna hijau dan orange pada beberapa varietas), panjangnya sekitar 9 mm dan memiliki 3 kelopak bunga yang kecil dan 3 mahkota bunga, serta 6 benangsari dan 3 putik yang rudimentair (Thomas & Josephrajkumar, 2013; Ohler & Magat, 2016). Bunga betina berbentuk bulat peluru dengan diameter 2,5- 3 cm. Bunga betina memiliki bakal buah beruang 3 dengan perhiasan bunga berdaging yang menempel pada bakal buah, tangkai putik tidak ada sedangkan kepala putik seperti celah yang tenggelam (van Steenis, 1987). Pada kondisi yang menguntungkan, tanaman kelapa dapat berbunga untuk pertama kalinya setelah 4-5 tahun tanam (Chan & Elevitch, 2006).

Gambar 2.2 Bunga, buah, embrio kelapa beserta perkecambahannya. a.

  Perbungaan kelapa yang menunjukkan bunga jantan dan betina berada pada satu tongkol; b. Buah kelapa dengan 3 mata lembaga dimana salah satu mata merupakan letak dari embrio kelapa; c. Letak embrio kelapa pada emdosperm dilihat dari samping ; d. Munculnya tunas dan akar dari salah satu mata lembaga (Chan & Elevitch, 2006;

  Newton’saplle, 2016)

  b a c d bunga betina bunga jantan Setelah terjadi fertilisasi, bunga betina akan berkembang membentuk buah dan matang dalam waktu 11-12 bulan (Ohler & Magat, 2016). Buah kelapa memiliki warna, bentuk serta komposisi buah yang berbeda bergantung kultivar dan kondisi lingkungannya. Umumnya buah kelapa memiliki panjang berkisar antara 20-30 cm dengan berat sekitar 850- 3700 gram (Chan & Elevitch, 2006). Buah kelapa tergolong buah batu (drupa) yang mempunyai kulit buah yang terdiri atas tiga lapisan kulit yaitu: kulit luar (exocarpium) yang tipis (0,1 mm) menjangat, licin mengkilat; kulit tengah (mesocarpium) yang tebal (4-8 cm) berserabut; kulit dalam (endocarpium) yang keras dan berkayu (3-6 mm) (Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016).

  Di dalam lapisan kulit dalam (endocarpium) terdapat biji yang terdiri dari: lapisan tipis (testa); endosperm padat (daging buah) yang banyak mengandung lipid; endosperm cair (air kelapa), serta embrio (Gambar 2.2.c). Biji kelapa (Gambar 2.2.b) berbentuk kebulat-bulatan dengan diameter sampai 12 cm. (van Steenis, 1987; Ohler & Magat, 2016). Embrio pada biji kelapa terletak pada sisi buah yang terdapat 3 mata lembaga tepatnya pada salah satu mata yang lunak.

  Ukuran embrio kelapa bervariasi tergantung pada umur embrio dan kultivar, namun umumnya memiliki panjang sekitar 0,5-1 cm dengan berat sekitar 0,1 gram (Ohler & Magat, 2016). Embrio kelapa kemudian akan membesar saat terjadi perkecambahan. Pada saat perkecambahan, bagian kotiledon akan membentuk haustorium lalu bagian tunas akan muncul dari tempurung kelapa. Akar primer kemudian akan muncul disertai dengan bulu halus yang akan menjadi akar adventif (Gambar 2.2.d). Pada umumnya, tunas kelapa muncul dalam waktu

  8 minggu setelah perkecambahan, sedangkan daun akan muncul setelah 13 minggu setelah perkecambahan (Ohler & Magat, 2016).

2.1.2 Manfaat Kelapa

  Kelapa dikenal sebagai tree of life karena hampir semua bagian tanaman tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akar kelapa sangat berpotensi sebagai bahan obat-obatan tradisional seperti sebagai anti- piretik atau penurun suhu tubuh pada penderita demam maupun untuk diuretik (meningkatkan produksi urin) (Ohler & Magat, 2016). Akar kelapa juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan kerajinan (Pratiwi, 2013), serta bahan baku pewarna alami (Kristina & Syahid, 2007).

  Batang kelapa yang sering disebut “glugu” banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan ataupun kayu bakar. Batang kelapa juga banyak digunakan sebagai furniture seperti meja, kursi ; maupun peralatan rumah tangga (Ohler & Magat, 2016; Foale, 2003). Selain itu batang kayu kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alat musik seperti gitar akustik yang berkualitas (Firmansyah, 2006).

  Daun kelapa yang sudah tua banyak dimanfaatkan sebagai atap bangunan, tikar, tas dan topi (Foale, 2003). Daun kelapa yang muda banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perlengkapan dalam upacara adat dan keagamaan seperti untuk selongsong ketupat, serta hiasan pada pesta perkawinan. Tulang daun dapat dimanfaatkan sebagai sapu lidi sedangkan tangkai daun dan daun yang kering dapat digunakan sebagai kayu bakar (Ohler & Magat, 2016; Foale, 2003).

  Bunga kelapa atau yang dike nal “manggar” yang masih muda biasanya disadap untuk diambil niranya. Nira kelapa ini mengandung gula sekitar 15 %, biasanya diminum secara langsung atau diolah menjadi tuak atau minuman beralkohol melalui proses fermentasi. Selain diolah menjadi minuman, nira juga dapat diproses menjadi gula kelapa ataupun gula kristal (Ohler & Magat, 2016).

  Bagian kelapa lainnya yang memiliki peran penting bagi masyarakat adalah buah. Salah satu bagian dari buah kelapa yaitu sabut banyak dimanfaatkan dalam pembuatan karpet, tali, tikar, geo-tekstil, sikat, pengisi jok, maupun kasur (Foale, 2003). Selain itu, serbuk dari sabut kelapa banyak digunakan untuk medium tanam (cocopeat), campuran kompos, bahan bangunan ringan dan isolasi termal (Ohler & Magat, 2016). Bagian tempurung kelapa atau yang dikenal “batok” banyak dimanfaatkan untuk membuat peralatan rumah tangga, pot hias, dan sebagai bahan bakar (Ohler & Magat, 2016) ataupun diolah menjadi berbagai aksesoris seperti aksesoris sepatu (Hariastuti, 2016). Selain itu, tempurung kelapa juga dapat digunakan untuk menghasilkan produk olahan arang aktif berkualitas tinggi yang banyak dimanfaatkan dalam dunia industri (Foale, 2003).

  Bagian endosperm cair atau air kelapa dapat dikonsumsi secara langsung sebagai minuman segar serta dapat menjadi sari kelapa atau nata de coco, cuka, anggur, ethil acetate, jeli dan ragi (Mahmud & Ferry, 2005). Selain endosperm cair, terdapat juga endosperm padat atau daging buah. Daging buah yang masih muda dapat dimakan langsung atau sebagai bahan utama dalam pembuatan es kelapa muda. Daging buah kelapa yang sudah tua (matang) dapat diolah untuk menjadi santan (coconut milk), kelapa parutan kering (desiccated coconut), ataupun dikeringkan hingga kadar air mencapai kurang dari 50 % menjadi kopra untuk selanjutnya diolah menjadi minyak goreng berkualitas tinggi Indonesia saat ini dikenal sebagai negara pengekspor kopra terbesar kedua di dunia sesudah Filipina. Pada tahun 2013, nilai eksport minyak, kopra mencapai

  631 ribu ton (FAO, 2016). Disamping dieksport, mayoritas hasil olahan kelapa seperti minyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hingga saat ini harga minyak kelapa dalam negri dapat mencapai sekitar 23.000,- per liter (kursrupiah.net).

  Dewasa ini daging buah juga banyak diproses untuk menghasilkan minyak goreng berkualitas tinggi yaitu virgin coconut oil (VCO). Hasil samping dari ampas kelapa (bungkil kelapa) merupakan salah satu bahan baku pakan ternak (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016).

2.1.3 Kultivar

  Dilihat dari morfologinya, kelapa digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu kelapa dalam (tall), kelapa genjah (dwarf) serta kelapa hibrida yang merupakan hasil persilangan dari kelapa tipe dalam dan genjah. Tipe kelapa dalam umumnya memiliki batang tinggi dengan pangkal membesar serta memiliki daun panjang dan lebar. Tipe kelapa lainnya yaitu genjah umunya memiliki batang pendek serta daun yang ukurannya relatif lebih kecil dan pendek dibandingkan kelapa dalam (Foale, 2003).

  Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi keragaman plasma nutfah kelapa. Hingga saat ini, Indonesia tercatat memiliki 105 kultivar kelapa yang sudah dipublikasikan secara resmi. Kultivar kelapa tersebut terdiri atas 82 kelapa dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Namun demikian, diperkirakan masih banyak kutivar kelapa unggul lokal yang belum terpublikasi secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.

  Salah satu kultivar tersebut adalah Kelapa Bido yang banyak ditemukan di Desa Bido, Kecamatan Morotai, Maluku Utara. Kelapa ini memiliki karakter pertumbuhan batang yang lambat yaitu tinggi rata-rata hanya 1-5m pada umur 4- 50 tahun, cepat berbuah (mulai berbuah pada umur 3 tahun setelah tanam), memiliki ukuran buah yang besar yaitu 2,5 kg per butir dengan bobot daging buah per butir 534 gr dan tingkat ketebalan daging 1,2 cm (Gambar 2.3.a). Selain itu, produksi kelapa ini juga tinggi dengan jumlah tandan per pohon mencapai 12-14 tandan serta jumlah buah per tandan mencapai 8-9 buah (malut.litbang.pertanian.go.id, 2017).

  b a

Gambar 2.3 Contoh kultivar kelapa unggul di Indonesia.. a Kelapa bido yang

  terdapat di Desa Bido Kecamatan Morotai, Maluku Utara (malut.litbang.pertanian.go.id., 2016); b Kelapa Genjah Tebing Tinggi yang tersebar di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara (Mashud & Matana, 2015)

  Kultivar kelapa unggul lainnya yaitu Kelapa Genjah Tebing Tinggi (Gambar 2.3.b) dapat ditemui di kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Kultivar kelapa tersebut merupakan salah satu aksesi kelapa genjah yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber nira untuk bahan baku pembuatan gula (Mashud & Matana, 2014). Selain Kelapa Genjah Tebing Tinggi, di Jawa Tengah juga terdapat beberapa kultivar unggul salah satunya Kelapa Genjah Entog yang tersebar di kecamatan Cilongok dan Ajibarang, Kabupaten Banyumas (SK Direktur Jenderal Perkebunan, Nomor: 53/KB.820/SK/DJ.BUN /05-1996). Kelapa ini memiliki ukuran batang yang pendek serta cepat berproduksi (bupati.banyumaskab.go.id, 2017).

  Kelapa-kelapa unggul tersebut sampai saat ini penyebarannya belum merata di seluruh Indonesia. Sehingga pengembangan kelapa-kelapa unggul tersebut masih terkendala ketersediaan benih maupun transportasi antar wilayah.

2.1.4 Permasalahan Kelapa di Indonesia

  Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Pada tahun 2014, luas area perkebunan kelapa di Indonesia tercatat 3,08 juta Ha dengan total produksi kelapa sekitar 19 juta ton (FAO, 2016). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia. Meskipun demikian, produktivitas kelapa di Indonesia masih relatif rendah yaitu sekitar 0,9-1,1 ton kopra per hektar per tahun, jauh lebih rendah dari seharusnya sekitar 3-5 ton kopra per hektar per tahun (FAO- APCC, 2013).

  Banyak kendala yang dihadapi untuk meningkatkan produktivitas kelapa di Indonesia, diantaranya adalah tingginya serangan hama seperti Oryctes

  rhinoceros dan belalang Sexava nubile (Siahaya, 2014). Selain hama, tingginya serangan penyakit yang menyerang tanaman kelapa juga menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas kelapa. Penyakit tersebut diantaranya penyakit busuk pucuk (PBP) yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora serta penyakit layu Kalimantan (PLK) yang disebabkan oleh Phytoplasma (Lolong & Motulo, 2014).

  Salah satu kendala utama dalam upaya meningkatkan produktivtias kelapa di Indonesia adalah mayoritas tanaman berusia produktif ataupun tua. Pada tahun 2013 proporsi tanaman tua mencapai 0,58 juta Ha (FAO-APCC, 2013). Sebagai contoh di Kabupaten Kulonprogo terdapat sekitar 2 juta pohon kelapa yang mayoritas sudah berusia tua (Solopos.com, 2016). Oleh karena itu, upaya peremajaan tanaman kelapa diperlukan sebagai solusi jangka panjang guna meningkatkan produktivitas kelapa di Indonesia.

  Salah satu sarat agar terselenggaranya program peremajaan kelapa di Indonesia adalah tersedianya benih kelapa yang unggul dalam jumlah yang memadai. Untuk peremajaan 500.000 ha (total tanaman tua) selama 5 tahun (100.000 ha per tahun) dibutuhkan benih sebanyak 22 juta benih kelapa per tahun (1 ha memerlukan 220 benih, Novarianto, 2008)

2.2 Pembenihan Kelapa dan Permasalahannya

2.2.1 Pembenihan secara Generatif dan Kultur Embrio

  Pada umumnya, pembenihan kelapa dilakukan secara generatif dengan menggunakan biji. Teknik pembenihan ini dilakukan dengan menyemaikan buah kelapa berumur 11-12 bulan di tanah yang memiliki kadar air cukup (Setyamidjaya, 1984) (Gambar 2.4.a). Setelah biji berkecambah selanjutnya dilakukan seleksi benih dan dilakukan pemindahan ke dalam polybag sehingga diperoleh benih kelapa (Gambar 2.4.b)

  a b

Gambar 2.4 Pembenihan kelapa secara generatif. a. Kelapa tua berumur 11-12

  bulan disemai digundukan tanah. b. Benih kelapa siap tanam yang diletakkan dalam polybag (Manaroinsong et al., 2003 ) Teknik pembenihan kelapa secara generatif memiliki kelebihan seperti memerlukan waktu yang relatif singkat yaitu hanya ± 6 bulan dengan teknik yang cukup sederhana sehingga mudah dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian, teknik ini memiliki kelemahan di antaranya memerlukan lahan yang relatif luas untuk proses pembenihan. Selain itu, penggunaan buah dalam pembenihan kelapa juga memungkinkan bibit penyakit yang tetap terbawa pada keturunannya.

  Kendala lain yang dihadapi dalam pembenihan kelapa adalah buah yang memiliki sifat rekalsitran, yaitu tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dikarenakan biji kelapa akan kehilangan daya perkecambahan jika dikeringkan sampai kadar air dibawah 30 % (Oliver et al., 2010). Akibatnya buah kelapa tidak dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu sampai buah tersebut dibutuhkan untuk dikecambahkan.

  Salah satu kelemahan utama yang lain dalam pembenihan kelapa secara generatif adalah karakter buah kelapa yang besar dan berat (850-3700 gr; Chan & Elevitch, 2006). Akibatnya pengiriman benih ataupun buah kelapa dari satu wilayah produsen ke konsumen membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya pengiriman kelapa menjadi lebih besar lagi karena daerah penghasil benih kelapa unggul di Indonesia tidak tersebar secara merata. Sebagai contoh daerah utama penghasil Kelapa Dalam Bali adalah Denpasar Bali; kelapa Bido banyak dihasilkan di Morotai, Maluku; sedangkan kelapa Genjah Entok ada di Banyumas.

  Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pengiriman buah kelapa adalah dengan pengiriman embrio kelapa. Pengiriman benih kelapa dengan menggunakan embrio memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pengiriman buah kelapa. Embrio memiliki ukuran relatif kecil, yaitu sekitar 0,1 g per embrio atau 8500-37000 kali lebih kecil dibandingkan dengan buah kelapa, sehingga biaya pengirimannya jauh lebih murah. Selain itu, pengiriman embrio kelapa juga dapat mengurangi penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah yang lain dibandingkan dengan pengiriman menggunakan buah (Batugal, 1998).

  Melalui perkembangan teknologi kultur embrio kelapa yang semakin maju, maka pengiriman embrio kelapa merupakan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah transportasi benih kelapa.. Kultur embio merupakan suatu teknik menumbuhkan embrio yang diisolasi dari endosperma pada medium tertentu dengan menggunakan teknik kerja aseptik (Raghavan, 2003). Teknik kultur embrio pada tanaman kelapa telah banyak diaplikasikan untuk berbagai tujuan diantaranya adalah untuk produksi benih kelapa dan penyelamatan aksesi kelapa dari kepunahan (Mashud et al., 2003), penyimpanan plasma nutfah kelapa (Masrur et al., 2016).

2.2.2 Kemajuan Penelitian tentang Pengiriman Embrio Kelapa

  Pada awalnya, pengiriman embrio kelapa dilakukan dengan cara mengirim embrio berikut potongan silinder endosperm (plug; Rillo & Palloma, 1991).

  Endosperm berisi embrio kelapa diisolasi dengan menggunakan cork borer

  (Gambar 2.5.a), kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang

  berisi kapas basah (Gambar 2.5.b) kemudian dikirim ke tempat tujuan dengan tingkat kelulushidupan mencapai sekitar 70

  • – 80 % dari total embrio yang dikirim. Teknik tersebut mudah dilakukan serta tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Namun demikian, pengiriman harus dilakukan dalam suhu dingin (Rillo & Palloma, 1991), sehingga tidak mungkin dilakukan pada daerah-daerah tertentu. Penggunaan plug yang memiliki bobot relatif berat, yaitu sekitar 6 gram per plug merupakan kendala lain dalam penggunaan teknik tersebut.

  a b

Gambar 2.5 Teknik pengiriman embrio kelapa oleh Rillo & Paloma, (1991).

  a. Embrio kelapa diambil menggunakan cork borer ; b. Plug embrio kelapa di tempatkan dalam kantong plastik steril yang berisi kapas basah. Teknik pengiriman plasma nutfah kelapa yang lebih ringan dilakukan dengan cara pengiriman embrio tanpa mengikutkan endospermnya seperti yang dilkukan oleh Karun & Sajini (1994). Embrio yang telah diisolasi kemudian disterilkan dan direndam dalam larutan aquades steril untuk dikirim ke tempat tujuan. Teknik tersebut dapat digunakan untuk mengirim embrio dengan jangka waktu yang lebih panjang, yaitu sekitar 2 bulan dengan tingkat keberhasilan perkecambahan mencapai sekitar 70 % (Karun & Sajini ,1994).

  Teknik pengiriman embrio tanpa mengikutsertakan endosperm juga telah dilaporkan oleh Samosir et al. (1999) dengan cara embrio steril direndam dalam larutan vit C kemudian dikirim ke tempat tujuan.. Namun teknik tersebut hanya dapat digunakan untuk pengiriman dengan durasi waktu yang singkat yaitu maksimal 4 hari. Teknik tersebut mampu menghasilkan embrio yang berkecambah dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 95%.

  Teknik pengiriman embrio yang lain dapat digunakan untuk durasi waktu lebih lama (sekitar 12 hari) yaitu dengan menempatkan embrio steril pada tabung kultur berisi medium tanam padat kemudian dikirimkan ke tempat tujuan. Keberhasilan teknik tersebut relatif tinggi yaitu sekitar 80 % embrio yang dikirim mampu berkecambah secara normal (Sisunandar et al., 2010). Namun demikian, teknik tersebut mengikutkan medium tanam sehingga pengiriman menjadi lebih mahal serta resiko kontaminasi selama proses pengiriman menjadi lebih tinggi.

  Metode pengiriman embrio dengan mengikutkan medium tanam ataupun bahan yang lain sering kali tidak diterima oleh jasa pengiriman karena alasan faktor keamanan. Oleh karena itu, teknik pengiriman embrio kelapa yang lebih sederhana dan lebih ringan tanpa disertai medium tanam atau larutan perlu dikembangkan guna meningkatkan efisiensi pengiriman plasma nutfah kelapa antar wilayah di Indonesia.

2.3 Dehidrasi Embrio dan Permasalahannya

2.3.1 Pengertian

  Air merupakan senyawa penyusun paling utama pada sel yang aktif. Air berperan sangat penting dalam metabolisme sel dan seluruh makluk hidup membutuhkan air agar tetap bertahan hidup (Salisbury & Ross, 1995). Semua tumbuhan membutuhkan kadar air tertentu agar tetap bertahan hidup. Misalnya hampir seluruh tumbuhan masih dapat bertahan hidup jika kelembapan udara berada di sekitar 80 % (Alpert & Oliver, 2002). Namun demikian untuk alasan tertentu seperti dormansi pada biji, tumbuhan memiliki mekanisme tersendiri untuk mengurangi metabolisme sel agar biji bisa bertahan lama. Mekanisme umum yang dilakukan oleh tumbuhan adalah dengan cara menurunkan kadar air pada biji yang sedang mengalami dormansi (Alpert & Oliver, 2002).

  Kadar air yang rendah dengan temperatur penyimpanan yang benar dapat memperlama waktu hidup sampel yang disimpan. Misalnya biji Lactuca sativa L. yang dikeringkan sampai kadar air 5 % dapat disimpan selama 13 tahun pada suhu

  5 C tanpa kehilangkan kemampuan berkecambahnya, sedangkan apabila disimpan pada suhu -18 C dapat disimpan sampai 150 tahun (Walters et al., 2004). Oleh karena itu penurunan kadar air pada suatu sampel tumbuhan banyak digunakan untuk tujuan penyimpanan sampel tersebut.

  Pengurangan kadar air dalam suatu sampel sangat penting dilakukan karena berkurangnya kadar air di dalam sel akan menurunkan reaksi kimia yang terjadi di dalam sel. Bahkan sel dengan kadar air kurang dari 0,1 g/g berat kering terbukti tidak akan terjadi reaksi-reaksi kimia di dalam sel yang dikontrol oleh enzim karena protein-protein penyusun enzim akan mengalami dehidrasi sehingga menjadi tidak aktif (Alpert & Oliver, 2002). Namun demikian pengurangan kadar air juga dapat memiliki dampak negatif terhadap sel. Pammenter & Berjak (1999) menggolongkan kerusakan yang terjadi di dalam sel akibat adanya dehidrasi menjadi tiga macam, yaitu (1) perubahan ukuran sel yang memacu terjadinya kerusakan secara mekanik seperti rusaknya sitoskeleton di dalam sel karena protein yang terdenaturasi (Beckett et al., 2005), (2) terjadinya kerusakan metabolime sel seperti rusaknya enzim-enzim sebagai akibat terjadinya denaturasi protein maupun terjadinya perubahan pH di dalam sel, (3) terjadinya kerusakan- kerusakan makromolekul yang terjadi di permukaan sel maupun matriks ekstraselluler.

  Meskipun hampir 99 % tumbuhan berbunga akan mati jika dikeringkan sampai kadar air sekitar 50 %, namun setiap tumbuhan memiliki mekanisme tersendiri untuk tetap bertahan hidup. Saat ini terdapat sekitar 300 spesies (0,1 %) tumbuhan berbunga yang mampu bertahan hidup dalam kondisi kering selama 5 tahun dan masih tetap dapat hidup kembali setelah terkena air (Alpert & Oliver, 2002). Oleh karena itu, berdasarkan kemampuan bertahan hidupnya, tumbuhan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu orthodox (desiccation tolerance), yaitu tumbuhan atau bagian tumbuhan yang mampu dikeringkan sampai kadar air kurang dari 10 %, serta tumbuhan recalcitrant (desisscation sensitive), yaitu tumbuhan atau bagian tumbuhan yang tidak dapat bertahan hidup meskipun dikeringkan hanya sampai kadar air 30 % (Oliver et al., 2010).

  Salah satu mekanisme penurunan kadar air pada suatu sampel adalah dehidrasi. Dehidrasi adalah sebuah proses menurunkan kadar air dari suatu jaringan atau sampel. Proses penurunan kadar air dapat dilakukan secara fisika ataupun secara kimia. Pada umumnya, dehidrasi secara fisika dilakukan dengan cara menempatkan sampel pada lingkungan udara kering yang memiliki kelembapan udara lebih rendah sehingga air di dalam sampel keluar ke udara dalam bentuk uap air, sedangkan dehidrasi secara kimia umumnya dilakukan dengan cara merendam sampel pada larutan hipertonik sehingga air dari dalam sampel dapat mengalir keluar dari sampel (Panis & Lambardi, 2005). Dalam dehidrasi kimia, air akan mengalir keluar dari sampel sedangkan zat-zat terlarut dalam larutan hipertonik akan masuk ke dalam sampel (Ramallo & Mascheroni, 2005).

2.3.2 Dehidrasi Kimia

  Ddehidrasi kimia pada umumnya dilakukan dengan menggunakan senyawa kimia konsentrasi tinggi sehingga memicu air di dalam sel keluar (Panis & Lambardi, 2005). Senyawa kimia seperti sukrosa, glukosa maupun fruktosa banyak digunakan untuk mendehidrasi jaringan atau bagian lain dari tumbuhan karena tidak bersifat toksik pada sel (Gomes-Copeland et al., 2015). Untuk tujuan penyimpanan pada suhu rendah, beberapa penelitian menggunakan senyawa krioprotektan seperti gliserol, polietilena glikol (PEG) ataupun dimetilsulfoksida (DMSO) untuk mendehidrasi bahan tanaman. Senyawa tersebut digunakan karena mampu melindungi sel selama suhu rendah dengan cara menjaga stabilitas keutuhan membran plasma (Kaviani, 2011).

  Dehidrasi kimia pada jaringan ataupun bahan tumbuhan banyak digunakan untuk berbagai tujuan seperti penyimpanan bahan makanan baik buah maupun sayuran (Yadav & Singh, 2014), penyimpanan biji dan material hidup lainnya (Alpert & Oliver, 2002), bahkan banyak digunakan sebagai perlakuan untuk material-material yang akan disimpan pada suhu ultra rendah, seperti pucuk tanaman, meristem ataupun embrio tanaman (Gonzales-Arnao & Engelmann, 2006).

  Penelitian tentang dehidrasi embrio tumbuhan secara kimiawi telah banyak dilaporkan sebelum embrio tersebut disimpan pada suhu rendah maupun ultra rendah untuk tujuan konservasi. Embrio zigotik Castanea sativa berhasil diturunkan kadar airnya dari 93 % menjadi 17 % (berat basah) tanpa kehilangan kemampuan untuk berkecambah dengan cara direndam dalam larutan 0.7 M sukrosa dan dikeringkan di dalam laminar air flow selama 6 jam (Correodoira, et

  al ., 2004). Embrio zigotik tanaman hantap (Sterculia cordata) berhasil didehidrasi

  dengan menggunakan larutan 0,75 M sukrosa selama 3 hari dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 % (Nadarajan et al., 2007). Embrio zigotik tanaman palma Bactris gasipaes Kunth. juga berhasil didehidrasi dengan menggunakan 1 M sukrosa selama 24 jam dan diikuti dengan pengeringan dengan menggunakan laminar air flow selama 4 jam guna menurunkan kadar air di dalam embrio dari 87% menjadi 18 % tanpa kehilangan kemampuan germinasi (Steinmacher et al., 2007).

  Pada kelapa (Cocos nucifera L), beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendehidrasi embrio secara kimiawi. Senyawa yang umum digunakan adalah sukrosa atau glukosa dan beberapa penelitian lain menambahkan beberapa senyawa krioprotektan seperti gliserol, DMSO, atau sorbitol seperti tampak pada

Tabel 2.1. Penelitian dehidrasi embrio kelapa pertama kali dilaporkan oleh Assy-

  Bah & Engelmann (1992) dengan menggunakan medium in vitro dengan penambahan 600 g/l glukosa dan 15% gliserol dalam LAF (laminar air flow) selama 24 jam. Embrio yang digunakan tersebut terdiri dari 4 kultivar kelapa yaitu hybrid PB 121, Genjah Merah Kamerun, Dalam India, serta Dalam Rene11 yang berumur 10-12 bulan setelah penyerbukan. Prosentase embrio yang berhasil tumbuh setelah dilakukan dehidrasi dapat mencapai 93%.

Tabel 2.1 Perkembangan penelitian dehidrasi embrio kelapa secara kimiawi

  Senyawa yang digunakan Dehidrasi dan Kelulushi Berkecamb Berkecm Sumber waktu (jam) dupan (%) ah (%) bah normal (%)

Glukosa + Gliserol 15% LAF (4) 33-93 Na Na Assy-bah &

Engelmann, 1992 Sukrosa 2 M Silica gel (7) Na 68,8 Na Sajini et al., 2006 Sukrosa 3 M Silika gel (7) Na 47,9 Na Glukosa Silica gel 160 Na 93,5 Na g (48) N’nan et al., 2012

  Glukosa LAF (34) Na

  85 Na Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (4)

  85

  68

  63 Sisunandar et al., Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (12)

  93

  63

  53 2012 Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (24)

  30

  10

  5 Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (6)

  90

  80

  78 Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (12)

  60

  28

  27 Masrur et al ., 2016 Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (18)

  70

  10

  8 Glukosa 3.33 M + Gliserol 15 % LAF (24)

  58

  18

  18 Sajini et al. (2006) juga telah melaporkan teknik dehidrasi embrio kelapa

  West Coast Tall dengan menggunakan 2 M sukrosa selama 24 jam dilanjutkan

  dengan menggunakan silica gel sehingga kadar air menurun dari 81,98% menjadi berkisar 30%. Teknik tersebut menghasilkan persentase embrio yang mampu berkecambah sebesar 68,8%.

  Penelitian lain dilaporkan oleh N’Nan et al. (2012) dengan menggunakan medium yang berisi 3,2 M glukosa dan ditempatkan dalam LAF selama 34 jam ataupun menggunakan silica gel selama 48 jam yang diujikan pada 10 kultivar kelapa yang berbeda dan mampu menurunkan kadar air bervariasi antara 0.25

  • 1

  hingga 0.65 g g Teknik tersebut mampu menghasilkan embrio yang berhasil berkecambah mencapai 94 %. Teknik dehidrasi embrio kelapa dengan menggunakan larutan glukosa 3,3 M dan gliserol 15 % dan ditempatkan dalam LAF (laminar air flow) selama 16 jam juga telah dilaporkan untuk menurunkan kadar air di dalam embrio kelapa dari 77% menjadi 29%. Teknik tersebut mampu memberikan prosentase kelulushidupan mencapai 93%, serta prosentase embrio yang mampu berkecambah sekitar 63 % setelah dilakukan dehidrasi (Sisunandar

  et al. , 2012). Teknik serupa juga dilaporkan untuk mengeringkan embrio Kelapa

  Banyumas selama 6 jam sehingga kadar air di dalam embrio kelapa turun dari 71% menjadi 36%. Perlakuan tersebut mampu menghasilkan embrio yang tetap berkecambahan secara normal mencapai sekitar 78 % (Masrur et al., 2016).

  Embrio kelapa yang telah didehidrasi selanjutnya dapat disimpan dalam suhu rendah (Sisunandar et al., 2012) ataupun disimpan dalam suhu ultra rendah (Sisunandar et al., 2010). Namun demikian, embrio kelapa yang telah didehidrasi belum pernah dicoba untuk dikirimkan ke tempat lain yang membutuhkan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilaporkan upaya mencari teknik dehidrasi embrio kelapa Banyumas yang terbaik untuk digunakan dalam perlakuan embrio sebelum embrio tersebut dikirim ke daerah lain yang membutuhkan.

Dokumen yang terkait

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit

0 6 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit - Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) Minyak Kelapa Sawit (CPO) di PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Adolina

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Terong ( Solanum mengolena L.) - PENGARUH PENYIANGAN GULMA DAN DUA VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TERONG ( Solanum melongena L - repository perpustakaan

1 4 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa - NONI INDRIANTI BAB II

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Bawang Merah - PENGARUH VARIASI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum L.) - repository perpustakaan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - PENGARUH TERAPI LINGKUNGAN : BERKEBUN TERHADAP PENINGKATKAN HARGA DIRI PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RSUD BANYUMAS - repository perpustakaan

2 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes - PENGGUNAAN PAKAN ORGANIK PADA BUDIDAYA IKAN TAWES (Barbodes gonionotus) - repository perpustakaan

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - VALIDASI METODE ANALISIS METOPROLOL DALAM PLASMA MANUSIA SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)- DENSITOMETRI - repository perpustakaan

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1. Definisi - HUBUNGAN KINERJA PMO (PENGAWAS MINUM OBAT) DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEBERHASILAN TERAPI TUBERKULOSIS DI NGHS ( NON GOVERNMENT HEALTH SERVICE ) KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi - PERSEPSI KEPALA PUSKESMAS TERHADAP PERAN APOTEKER DI PUSKESMAS KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 4 8