Analisis Determinan Pertumbuhan Ekonomi di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS

2.1

Tinjauan Teoretis

1

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Dalam rangka pembangunan nasional, tujuan pembangunan pertanian

adalah untuk meningkatkan produksi pertanian. Tulang punggung pembangunan
bertumpu pada sektor pertanian, hal ini disebabkan sebagian masyarakat
Indonesia terlibat dalam kegiatan pertanian. Hal ini dapat juga dijumpai
dikebanyakan

negara

sedang


berkembang

dimana

lebih

dari

setengah

penduduknya berada pada sektor pertanian.
Produk Domestik Regional Bruto adalah nilai barang – barang dan jasa
yang diproduksi dalam suatu daerah ataupun wilayah tertentu baik yang
dihasilkan oleh perusahaan dalam negeri maupun yang dihasilkan oleh perusahaan
luar negeri yang berada didalam negeri.
Herlambang berpendapat, dari berbagai variabel ekonomi makro, GDP
ataupun PDB maupun PDRB merupakan variabel ekonomi yang menempati
posisi terpenting. Sebagaimana diketahui GDP maupun PDRB mengukur output
barang dan jasa dari suatu negara dan pendekatan perhitungan pendapatan dari
negara tersebut. Perhitungan pendapatan nasional ini merupakan salah ukuran

makro yang utama tentang kondisi suatu negara (Herlambang, 2002; 15).
Menurut BPS (2002; 4), dalam proses kenaikan output perkapita dalam
jangka panjang ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu output total dan jumlah
penduduk. Output perkapita merupakan output total dibagi dengan jumlah

9
Universitas Sumatera Utara

penduduk. Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan
jumlah nilai-nilai barang-barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit
ekonomi.
Definisi dari Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah
nilai barang dan jasa akhir berdasarkan harga pasar yang diproduksi oleh sebuah
perekonomian dalam satu periode tertentu atau kurun waktu tertentu dengan
menggunakan faktor-faktor produksi yang berada dalam perekonomian tersebut
(Rahardja dan Manurung, 2002: 204).
Produk Domestik Regional Bruto pada dasarnya merupakan jumlah nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu,
ataupun merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh

seluruh unit ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto Harga Berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga berlaku pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar
perhitungannya (Sukirno, 2001:38).
Produk Domestik Regional Bruto adalah merupakan penjumlahan nilai
tambah bruto yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi di suatu wilayah pada
suatu waktu tertentu.
1.

Output adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu
wilayah pada periode tertentu. Nilai output diperoleh dari perkalian antara
produksi dan harga.

10
Universitas Sumatera Utara

2.


Biaya antara merupakan biaya-biaya dari barang dan jasa yang dikeluarkan
untuk menghasilkan suatu output oleh unit-unit produksi dalam suatu
wilayah dan periode tertentu.

3.

Nilai tambah bruto merupakan selisih antara nilai output dengan biaya
antara.
Produk Domestik Regional Bruto adalah nilai barang dan jasa yang

diproduksi dalam suatu daerah atau wilayah tertentu dalam tahun tertentu baik
yang dihasilkan oleh perusahaan dalam negeri maupun yang dihasilkan oleh
perusahaan luar negeri yang ada di dalam negeri. Dimana, produk domestik
regional bruto ini dapat dihitung melalui 3 cara yaitu:
a). Pendekatan Hasil Produksi (Product Approach), metode ini menghitung
PDRB yaitu dengan cara menghitung besarnya total out – put ataupun
produk oleh suatu perekonomian. Cara perhitungan dalam praktik dalam
pengerjaannya adalah dengan membagi – bagi perekonomian menjadi
beberapa sektor produksi. Jumlah out – put masing – masing sektor
merupakan jumlah seluruh out – put perekonomian, hanya saja ada

kemungkinan bahwa out – put yang dihasilkan suatu sektor berasal dari out
– put sektor lain atau juga dapat saja merupakan input bagi sektor lain.
Sehingga untuk menghindari perhitungan ganda atau multiple counting,
maka yang dipergunakan adalah metode produksi dengan menghitung nilai
tambah (value added) masing – masing sektor ataupun selisih nilai out –
put dengan nilai input antara (Rahardja dan Manurung, 2002: 208-210)
Dimana sektor – sektor perekonomian tersebut di Indonesia dibagi
dalam 9 kelompok, yakni sektor:

11
Universitas Sumatera Utara

b). Pendekatan

i.

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan.

ii.


Pertambangan dan Penggalian.

iii.

Industri Pengolahan.

iv.

Listrik, Gas dan Air Bersih.

v.

Bangunan

vi.

Perdagangan, Hotel dan Restoran.

vii.


Pengangkutan dan Komunikasi.

viii.

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan.

ix.

Jasa – Jasa dan lainnya.

Pendapatan

(Income

Approach),

yaitu

model


yang

memandang pendapatan nilai out – put sebagai nilai total balas jasa atas
faktor – faktor produksi yang dipergunakan pada proses produksi. Adapun
faktor – faktor produksi (Q) terdiri dari : tenaga kerja (L), kapital atau
modal (M), uang (U) dan kemampuan entrepreneurship (E). Dapat
digambarkan persamaan fungsi produksinya sebagai berikut:
Q = f (L, K, U, E)
Dan nilai balas jasanya dalam skala makro adalah Pendapatan
Nasionalnya (PN) terdiri dari : upah atau gaji (w), pendapatan bunga (i),
pendapatan sewa (r) dan tingkat keuntungan (π).
Persamaan fungsi balas jasanya dapat diformulasikan sebagai
berikut:
PN = w + i + r + π

12
Universitas Sumatera Utara

Namun, di Indonesia metode ini jarang bahkan tidak dipergunakan
ataupun dipublikasikan (Rahardja dan Manurung, 2002: 211-217).


c). Pendekatan

Pengeluaran

(Expenditure

Approach),

pada

metode

perhitungan Produk Domestik Regional Bruto dengan pendekatan
pengeluaran adalah menjumlahkan nilai penggunaan akhir atas barang –
barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu kawasan daerah
administratif maupun negara. Hal ini diperhatikan segi atas pengunaannya,
dimana ada dikelompokkan atas 6 alokasi penggunaan, yaitu (Robinson
Tarigan, 2005:24 – 25) :
a)


Konsumsi Rumah Tangga

b)

Konsumsi Lembaga Swasta nirlaba

c)

Konsumsi Pemerintah

d)

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB Investasi)

e)

Perubahan Stok, dan

f)


Ekspor Netto.
Namun dengan catatan, bahwa konsumsi lembaga yang mencari

untung tidak dimasukkan dengan alasan bahwa konsumsi mereka bukan
merupakan konsumsi akhir produksi sehingga dapat menghindari
perhitungan ganda atau multiple counting.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa PDRB maupun PDB
dapat ditunjukkan baik dalam bentuk harga berlaku maupun didasarkan atas harga
konstan pada suatu tahun yang dianggap perekonomiannya cenderung stabil
dalam satu periode tersebut.

13
Universitas Sumatera Utara

Namun, dalam perhitungan lanjut, PDRB ataupun PDB dalam bentuk
harga berlaku dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Hal ini dikarenakan
masih terkandung didalamnya faktor inflasi sehingga harus didasarkan pada tahun
dasar tertentu yang kemudian dikenal atas dasar harga konstan. Yang dimaksud
dengan harga konstan adalah harga yang dianggap tidak berubah dan
diperlihatkan pada tahun dasar tersebut dimana perekonomian berada dalam
kondisi baik atau stabil dapat dilihat dalam persamaan sebagai berikut (Rahardja
dan Manurung, 2002: 219) :

PDRBRiil =

PDRBNo min al

Deflator

dimana,

Deflator =

PDRBHBt
x100%
PDRBHBt−1

dan dapat dihitung juga inflasi yang menyertainya dengan formulasi
perhitungan sebagai berikut :

Inflasi =

Deflatort − Deflatort −1
x 100%
Deflatort −1

Sehingga, dengan melihat nilai PDRB maupun PDB dalam bentuk harga
konstan tahun tertentu dapat memberikan manfaat. Adapun manfaatnya seperti
analisis kemakmuran suatu daerah ataupun suatu negara, masalah – masalah sosial
yang terjadi, masalah – masalah produktifitas dan banyak hal lainnya (Rahardja
dan Manurung, 2002: 219).
Nilai pendapatan baik regional maupun nasional dalam beberapa tahun
menggambarkan kenaikan ataupun penurunan tingkat pendapatan masyarakat di

14
Universitas Sumatera Utara

daerah tersebut, namun kenaikan atau penurunan yang terjadi dibedakan dalam
dua faktor yaitu (Tarigan, 2005: 20-21):
a)

Kenaikan/penurunan riil, yaitu kenaikan/penurunan tingkat pendapatan yang
tidak dipengaruhi oleh faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan riil
pendapatan penduduk, berarti daya beli penduduk di daerah tersebut
meningkat misalnya mampu membeli barang yang sama kualitasnya dalam
jumlah yang lebih banyak.

b)

Kenaikan/penurunan pendapatan yang disebabkan adanya faktor perubahan
harga. Apabila terjadi kenaikan pendapatan yang hanya disebabkan inflasi
(menurunnya nilai beli uang) maka walaupun pendapatan meningkat tetapi
jumlah barang yang mampu dibeli belum tentu meningkat. Perlu dilihat
mana yang meningkat lebih tajam, tingkat pendapatan atau tingkat harga.
Sehingga menurut Robinson Tarigan, agar dapat mengetahui kenaikan

pendapatan yang sebenarnya (riil) maka faktor inflasi yang menyertainya harus
dikeluarkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, pendapatan riil yang tidak terikut
didalamnya inflasi merupakan pendapatan atas dasar harga konstan. Dan laju
pertumbuhan ekonomi umumnya diukur dari perubahan yang ditampilkan pada
pendapatan atas dasar harga konstan.
Salah satu indikator telah terjadinya alokasi yang efisien secara makro
adalah nilai out – put nasional yang dihasilkan oleh sebuah perekonomian pada
suatu periode tertentu. Sebab besarnya out – put nasional dapat menunjukkan
beberapa hal penting dalam sebuah perekonomian, seperti (Rahardja dan
Manurung, 2002:203):

15
Universitas Sumatera Utara

1).

Merupakan gambaran awal tentang efisiensi sumber daya yang ada
dalam perekonomian.

2).

Merupakan gambaran awal tentang produktifitas dan tingkat
kemakmuran suatu negara

3).

Gambaran awal tentang masalah – masalah struktur yang dihadapai
sebuah perekonomian.

Pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses agar
menghasilkan keterkaitan dan saling mempengaruhi antar faktor-faktor yang
mendukung pembangunan ekonomi itu sendiri dan dapat dicermati serta dianalisis
dengan baik. Sehingga dapat diketahui deretan peristiwa yang timbul dan akan
mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi serta taraf kesejahteraan masyarakat
dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya. Yang
selanjutnya, pembangunan ekonomi itu perlu dipandang sebagai kenaikan dalam
pendapatan perkapita, karena kenaikan itu merupakan penerimaan dan timbulnya
perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi pada suatu daerah maupun negara,
ditunjukkan dengan tingkat pertambahan GDP atau GNP.
Pertumbuhan ekonomi menurut W. W. Rostow dalam bukunya yang
berjudul “ The Stages of Economics Growth ” menyatakan bahwa perubahan dari
keterbelakangan kepada kemajuan dijelaskan dalam suatu seri tahapan yang harus
dilalui oleh setiap negara bahkan daerah regional. Dimana mengenal masyarakat
dalam dimensi ekonomi yang terletak dalam salah satu dari beberapa tahapan
kategori yaitu: masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas kearah
pertumbuhan yang berkesinambungan, kematangan dan zaman konsumsi massa
yang tinggi. Tahapan tersebut juga pada akhirnya merupakan suatu teori

16
Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan ekonomi dan lebih umum lagi bahkan lebih bersifat parsial. Salah
satu pikiran utama mengenai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah
bahwa setiap upayanya harus ada mobilisasi yang cukup kuat untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi tersebut (Sanusi, 2002: 26)
Menurut Todaro, ada tiga (3) faktor yang mempengaruhi dalam proses
pertumbuhan ekonomi dari setiap daerah regional maupun nasional, yakni
(Todaro, 2000: 137) :
a)

Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk ataupun jenis dari investasi
baru yang ditanamkan pada aset berupa tanah, peralatan fisik, sumber daya
manusia, dan sebagainya.

b)

Pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada jumlah angkatan kerja dan
penyerapan tenaga kerja.

c)

Kemajuan teknologi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan

merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena
penduduk terus bertambah dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus,
maka diperlukan penambahan pendapatan setiap tahunnya. Hal ini bisa didapat
melalui peningkatan out – put agregat (peningkatan produksi barang – barang dan
jasa) setiap tahunnya (Tambunan, 2001:2).

17
Universitas Sumatera Utara

2

Teori Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa teori yang mencoba menerangkan tentang pertumbuhan

ekonomi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

2.2.1

Teori Pertumbuhan Harrod – Domar
Teori ini dibentuk oleh ahli ekonomi Roy Harrod dan Evsey D. Domar

dimana berusaha menunjukkan syarat – syarat yang dibutuhkan agar
perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap dalam jangka
panjang adalah melalui peran investasi. Adapun untuk memenuhi keperluan
investasi ini, maka dalam suatu perekonomian daerah maupun negara harus
menyisihkan suatu bahagian dari pendapatannya untuk ditabung. Sebab tabungan
ini akan membentuk investasi baru melalui penambahan stok netto kapital yang
baru (Sanusi, 2002: 27).
Beberapa asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah bahwa:
a) Perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan
barang-barang modal yang ada di masyarakat digunakan secara penuh.
b) Dalam perekonomian dua sektor (Rumah Tangga dan Perusahaan) berarti
sektor pemerintah dan perdagangan tidak ada.
c) Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya
pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik original (nol)
d) Kecenderungan untuk menabung (Marginal Propensity to Save =MPS)
besarnya tetap, demikian juga ratio antar modal dan output (Capital
OutputRatio= COR) dan rasio penambahan modal-output (Incremental
Capital Output Ratio)

18
Universitas Sumatera Utara

Dalam teori ini memiliki kelemahan yang sangat terasa pada suatu daerah
regional maupun negara sedang berkembang. Kelemahan itu dikenal dengan
istilah Saving Gap atau kesenjangan tabungan dimana tabungan yang dilakukan
masih kurang untuk menutupi keperluan penambahan stok kapital netto bagi
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Untuk itu, agar kesenjangan tabungan
dapat ditutupi maka dilakukan pinjaman luar negeri atau mengundang investasi
asing memasuki suatu perekonomian (Mankiw, 2000: 659).

2.2.2

Teori Perubahan Struktur
Teori pertumbuhan ekonomi ini dikembangkan oleh para neo – klasik,

salah satu yang terkenal adalah W. Arthur Lewis. Teori ini menjelaskan tentang
mekanisme yang memungkinkan perekonomian suatu daerah atau negara dapat
mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari suatu sektor
terhadap sektor lain yang lebih modern (Sanusi, 2002:31).
Pada model ini menggunakan piranti yang berkaitan dengan masalah harga
dan alokasi sumber daya alam serta ekonometrik untuk menjelaskan terjadinya
proses transformasi. Yang mana dilihat dari dua faktor utama yaitu faktor surplus
tenaga kerja dan surplus kapital. Adapun asumsi yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a).

Tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan tenaga kerja adalah
sebanding dengan akumulasi kapital.

b).

Pasar tenaga kerja yang kompetitif akan menjamin upah riil.

c).

Jumlah tenaga kerja di desa naik dan dikota menurun (kapital lebih besar).
Perlu diperhatikan, bahwa penurunan peran out – put pertanian tidak

berarti produk sektor pertanian secara absolut adalah turun. Tetapi, justru yang

19
Universitas Sumatera Utara

seringkali terjadi adalah hanya penurunan produksi secara relatif. Hal ini
ditemukan oleh Chennery dalam studi penelitian empiris (Sanusi, 2002: 36)
Pembangunan ekonomi, oleh sebagian ahli ekonomi diartikan berbeda
dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah Economic
Development is Growth plus Change, yaitu pembangunan ekonomi adalah
pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan – perubahan dalam struktur
serta arah kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, dalam pembangunan ekonomi
diartikan bukan hanya pada masalah perkembangan pendapatan regional maupun
nasional tetapi juga melihat kepada modernisasinya kegiatan ekonomi (Sukirno,
2005: 415).
Dalam pembangunan ekonomi terkandung pengertian implisit adanya
usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat baik GDP maupun
PDRB dimana kenaikannya dibarengi dengan perubahan – perubahan dan
modernisasi serta memperhatikan aspek – aspek pemerataan pendapatan (income
equity). Sehingga pembangunan ekonomi selalu dibarengi dengan pertumbuhan
ekonomi tetapi, pertumbuhan ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan
ekonomi.
Pembangunan ekonomi bukan hanya pertambahan hasil produksi ataupun
kenaikan pendapatan perkapita, tetapi juga terdapat perubahan – perubahan dalam
struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti
lembaga – lembaga, pengetahuan dan pendidikan, tekhnik serta juga bersifat
kualitatif.

20
Universitas Sumatera Utara

Pada akhir dasawarsa 1960-an, para ekonom menyadari bahwa ternyata
pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pembangunan. Maka mulailah
dilakukan pengkajian ulang tentang definisi pembangunan ekonomi itu sendiri.
Myrdal dalam Kuncoro (2006) menyebutkan bahwa pembangunan sebagai
pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Adapula yang menekankan
pentingnya perubahan pertumbuhan dengan perubahan (growth with change).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembangunan tidak hanya mencapai
peningkatan Produksi (PDRB/PDB) saja tetapi lebih dari itu yaitu memusatkan
perhatian pada kualitas dari proses pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan
lebih diartikan sebagai bagaimana mengurangi kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan.

2.2.3

Model Pertumbuhan Ekonomi Solow – Swan (Neo – Klasik)
Robert Solow dari Massachussets Institute Technology (MIT) dan Trevor

Swan dari Australian National University secara sendiri-sendiri mengembangkan
model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan nama model
pertumbuhan Neo-Klasik. Seperti halnya dengan model Harrod-Domar, model
Solow-Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk,
akumulasi capital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses
pertumbuhan ekonomi.
Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi tergantung pada pertambahan
penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja dan akumulasi modal)
dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini tetap juga mendasarkan pada
analisis klasik yaitu bahwa perekonomian tetap mengalami tingkat pengerjaan
penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya

21
Universitas Sumatera Utara

dipergunakan sepanjang waktu. Adapun rasio atas modal terhadap output dapat
berubah dan bersifat dinamis. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, maka
diperlukan jumlah modal yang berbeda beda dengan bantuan tenaga kerja yang
jumlahnya berbeda beda sesuai yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang
dipergunakan maka tenaga kerja yang diperlukan lebih sedikit, sebaliknya jika
modal yang dipergunakan lebih sedikit maka lebih banyak tenaga kerja yang
digunakan. Dengan adanya flektibilitas ini, suatu perekonomian mempunyai
kebebasan yang tidak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga
kerja yang digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu (Wijono, 2006)
Walaupun dalam kerangka umum dari model Solow-Swan mirip dengan
model model Harrod-Domar, tetapi model Solow-Swan lebih “luwes” karena :
a) Menghindari masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of
growth dalam model Harrod-Domar.
b) Bisa lebih luwes digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah distribusi
pendapatan.
Keluwesan ini terutama disebabkan oleh karena Solow dan swan
menggunakan bentuk fungsi produksi yang lebih mudah dimanipulasikan secara
aljabar. Dalam model Harrod-Domar, output dan capital dan output dan tenaga
kerja masing-masing dihubungkan oleh satu “fungsi produksi” dengan koefisien
yang tidak bisa berubah, yaitu Qp = hK dan Qn, = nN. Dalam model Neo-Klasik
dari Solow dan Swan dipergunakan suatu fungsi produksi yang lebih umum, yang
bias menampung berbagai kemungkinan substitusi antara capital (K) dan tenaga
kerja (L). Bentuk fungsi produksi adalah:

Q = F ( K, L )

22
Universitas Sumatera Utara

Yang memungkinkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L untuk
mendapatkan suatu tingkat output. Fungsi produksi semacam ini (yang sering
dijumpai dalam teori ekonomi mikro) disebut fungsi produksi Neo-Klasik. Dalam
menggunakan fungsi semacam inilah Solow dan Swan bisa menghindari masalah
“ketidakstabilan” dan mengambil kesimpulan-kesimpulan baru mengenai
distribusi pendapatan dalam proses pertumbuhan (seperti halnya kaum Klasik).
Dengan digunakannya fungsi produksi Neo-klasik tersebut, ada satu
konsekuensi lain yang penting. Konsekuensi ini adalah bahwa seluruh factor yang
tersedia, baik berupa K maupun berupa L akan selalu terpakai atau tergunakan
secara penuh dalam proses produksi. Ini disebabkan karena dengan fungsi
produksi Neo-Klasik tersebut, berapapun K dan L yang tersedia akan bisa
dikombinasikan untuk proses produksi, sehingga tidak ada lagi kemungkinan
“kelebihan” dan “kekurangan” factor produksi seperti dalam model misalnya,
Harrod-Domar atau Lewis. Posisi “full employment” ini membedakan model
Neo-Klasik. Dengan adanya model Keynesian (Harrod-Domar) maupun model
Klasik. Jadi jelas bahwa penggunaan fungsi produksi Neo-Kalsik sehingga selalu
jelas terdapat ‘full employment’ merupakan ciri utama yang membedakan model
ini dengan model-model pertumbuhan lain.
Ada empat hal yang melandasi model Neo-Klasik:
a).

Tenaga

kerja

(atau

produk),

L,

tumbuh

dengan

laju

tertentu,

misalnya p per tahun
b).

Adanya fungsi produksi Q = F ( K, L ) yang berlaku bagi setiap produksi.

23
Universitas Sumatera Utara

c).

Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat
yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output (Q0. Tabungan
masyarakat S = sQ; bila Q naik S juga naik , dan turun bila Q turun.

d).

Semua tabungan masyarakat diinvestasikan S = I = ∆K. Dalam model NeoKlasik tidak lagi dipermasalahkan mengenai keseimbangan S dan I. Dengan
kata lain perkataan permasalahan yang menyangkut “warranted rate of
growth” tidak lagi relevan. Proses pertumbuhan dalam model Neo-Klasik
selalu memenuhi syarat warranted rate of growth, karena S dinggap selalu
sama dengan I.
Ada dua masalah pokok yang saling berkaitan yamg perlu dipelajari

mengenai proses pertumbuhan Neo-Klasik ini.

Masalah yang pertama

menyangkut pertanyaan : apakah proses tersebut akan membawa perekonomian
pada suatu pola pertumbuhan tertentu dan bisa diramalkan, apakah proses tersebut
berkelanjutan dan sama sekali tidak bisa diduga kemana akan membawa
perekonomian kita ? Dengan kata lain perkataan, apakah proses pertumbuhan
tersebut akan membawa perekonomian pada posisi keseimbangan jangka panjang
(long run equilibrium) atau tidak ?
Masalah yang kedua menyangkut pertanyaan : Apabila memang ternyata
proses semacam itu akhirnya membawa perekonomian pada posisi keseimbangan
jangka panjangnya, apakah ciri-ciri utama posisi ini ) ? Khususnya kita bisa
menanyakan mengenai apa yang terjadi dengan output, capital, tenaga kerja,
tingkat upah, tingkat keuntungan, dsb pada posisi long run equilibrium ini ?

24
Universitas Sumatera Utara

Jawaban bagi kedua masalah tersebut bisa menjadi landasan bagi ekonom
dalam meramalkan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang terhadap suatu
perekonomian, apabila asumsi-asumsi dasar Neo-Klasik tersebut terpenuhi.
Perekonomian Neo-Klasik akan menuju ke suatu posisi keseimbangan jangka
panjang. Kita memerlukan sedikit manipulasi aljabar untuk menjawab pertanyaan
ini.
Anggap bahwa fungsi produksi Q = F ( K, L ) mempunyai ciri constsnt
return to scale artinya apabila K dan L masing-masing dinaikan dengan x%, mak
Q juga akan naik dengan x%. Apabila constant return to scale berlaku, maka kita
bisa menyatakan fungsi produksi tersebut dalam bentuk yang lebih sederhana.
Selanjutnya F ( k, l ) bisa kita nyatakan sebagai suatu fungsi lain F ( k ) yang
hanya mempunyai satu variable ( K saja ) karena angka 1 adalah suatu constant
(bukan variable), sehingga fungsi produksi kita menjadi :
q=f(k)
Persamaan ini mengatakan bahwa output per tenaga kerja adalah fungsi dari
kapita per tenaga kerja, atau output per kapita adalah fungsi capital per kapita.

Selanjutnya, penduduk (atau tenaga kerja) dianggap tumbuh dengan p
setahun dan masyarakat mempunyai kecenderungan menabung yang ditunjukkan
oleh prospensity to save s. Semua yang ditabung diinvestasikan dan menambah
stock capital dengan ∆ K = sQ. setelah mengalami manipulasi aljabar persamaan
menjadi:
K= K . L

25
Universitas Sumatera Utara

Persamaan diatas mengatakan bahwa laju pertumbuhan capital per kapita
sama dengan laju partum buhan stok capital (total) minus laju pertumbuhan
penduduk atau tenaga kerja.
Lalu mana yang disebut keseimbangan jangka panjang ? Solow
mengatakan bahwa posisi long run equilibrium akan tercapai apabila capital per
kapita , k, mencapai suatu tingkat yang stabil, artimya tidak lagi berubah nilainya.
Apabila K constant, maka long run equilibrium akan tercapai. Posisi long run
equilibrium ini juga disebut posisi Steady state. Syarat ini mempunyai
konsekuensi bahwa k = 0.
Ciri yang pertama langsung dapat disimpulkan dari urain di atas , yaitu
bahwa pada posisi tersebut capital yang dipergunakan dalam proses produksi per
pekerja adalah constant (k*) dan output per pekerja atau output perkapita adalah
juga constant (q*). Dengan demikian pula capital – output ratio adalah juga
constant (v*). Karena v*=k* / q*
Ciri yang kedua adalah mengenai laju pertumbuhan output, capital dan
tenaga kerja. Pada posisi long run equilibrium laju pertumbuhan output bisa
disimpulkan dari cirri bahwa output perkapita adalah constant dan penduduk
tumbuh dengann p.. jadi singkatnya pada posisi ini Q, K, L tumbuh dengan laju
yang sama. Dalam model Neo-Klasik, pertumbuhan Q dan K menyesuaikan diri
dengan pertumbuhan penduduk. Dan pertumbuhan penduduklah yang menentukan
laju pertumbuhan ekonomi; semakin cepat pertumbuhan penduduk tumbuh,
semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi. Ini adalah suatu kesimpulan yang
bertolak belakang dengan kesimpulan model Klasik maupun model Keynesian
(Harrod-Domar).

26
Universitas Sumatera Utara

Ciri yang ketiga adalah mengenai Stabilitas dari posisi keseimbangan
tersebut. Posisi keseimbangan model Solow-Swan bersifat “stabil”, dalam arti
bahwa apabila kebetulan perekonomian tersebut tidak pada posisi keseimbangan,
maka akan ada kekuatan-kekuatan yang cenderung membawa kembali
perekonomian tersebut pada posisi keseimbangan jangka panjangnya.
Ciri yang keempat menyangkut tingkat konsumsi danm tingkat tabungan
(investasi)
Ciri yang kelima berkaitan dengan imbalan yang diterima oleh masingmasing factor produksi ( K dan L ), lalu aspek distribusi pendapatan. Karena
hanya ada macam factor produksi, maka GDP ( = Q ) akakn terbagi habis antara
para pemilik capital dan para pemilik factor produksi tenaga kerja (buruh),
Q = rK + wL
Dimana r adalah tingkat keuntungan yang diterima per unit kapital, dan w adalah
tingkat yang diteriama oleh setiap orang buruh. Kita bisa simpulkan bahwa pada
posisi keseimbangan jangka panjang baik r maupun w harus konstan yaitu setiap
unit kapital menerima imbalan berupa keuntungan tertentu (r*) dan setiap pekerja
menerima upah tertentu (w*), dan kedua imbalan ini tidak berubah dalam proses
pertumbuhan selanjutnya.
Bagaimanakah dengan “bagian” (share) antara para pemilik kapital
dengan para “pemilik tenaga kerja” (buruh) di dalam GDP Negara tersebut ?.
Apabila pada posisi keseimbangan Q, L, K tumbuh dengan laju yang sama, dan r
dan w adalah konstan, maka jelas bahwa para pemilik kapital dan kelompok buruh
masing-masimg akan menerima “bagian” dari GDP dalam presentase yang tetap,

27
Universitas Sumatera Utara

yaitu rK/Q akan tetap dan wL/Q juga akan tetap dalam proses pertumbuhan
perekonomian selanjutnya.
Menurut teori ekonomi mikro, imbalan yang diterima oleh suatu factor
produksi (pada posisi equilibrium) akan sama dengan marginal productnya. Jadi
imbalan bagi factor produksi kapital (pada posisi equilibrium) akan sama dengan
MPK.
Ciri yang keenam, berkaitan dengan pertumbuhan produktivitas dapat
dipengaruhi oleh kemajuian teknologi yang diukur dalam satuan efisiensinya.
Misal, apabila jumlah tenaga kerja sebelum adanya kemajuan teknologi adalah
100, dan kemudian ada kemajuan teknologi yang meningkatkan produktivitas
pertenaga kerja dengan 50%nya, maka jumlah tenaga kerja

efektif setelah

kemajuan teknologi adalah 150 (meskipun jumlah manusianya tetap 100, tetapi
kemampuan produksinya meningkat menjadi 150).
Jadi N (Laju pertumbuhan tenaga kerja efektif) tumbuh karena dua sebab,
yaitu:
a). Pertumbuhan jumlah manusia atau pertumbuhan penduduk (misalnya, p per
tahun) dan
b). Pertumbuhan produktivitas per manusia atau kemajuan teknologi (misalnya, t
per tahun)
Jadi

adanya

kemajuan

teknologi

tidak

banyak

merubah

syarat

keseimbangan jangka panjang kecuali adanya koefisien t (laju kemajuan teknologi
atau laju kenaikkan produktivitas per tenaga kerja)

28
Universitas Sumatera Utara

Bahwa Q, K, N tumbuh dengan laju yang sama dan r, w adalah konstan.
Sehingga share dari factor produksi kapital dalam GDP (yaitu rK/Q) adalah
konstan, dan demikian pula share dari faktor produksi tenaga kerja dalam GDP
(yaitu wN/Q) adalah juga konstan.
Model Solow dapat juga dituliskan secara matematis sbb (ibid: 204):
Δk = sf (k) − (n + ∂ + g)k
Dimana:

y = f(k) = F(K/L)
n = tingkat pertumbuhan penduduk
δ = depresiasi
k = modal per pekerja = K/L
y = output per pekerja = Y/L
s = tingkat tabungan
g = tingkat perkembangan teknologi yang mengoptimalkan tenaga
kerja (laboraugmentingtechnological progress)

Pada model Solow tanpa perkembangan teknologi, perubahan modal per
pekerja ditentukan oleh tiga variabel berikut:
a) Investasi (tabungan) per pekerja.
b) Pertumbuhan penduduk: pertumbuhan penduduk akan menurunkan tingkat
modal per pekerja.
c) Depresiasi: persediaan modal akan menurun karena penggunaan modal.
Dalam kondisi steady-state, Δk harus sama dengan nol (ibid: 195),
sehingga:
sf (k*) = (n + ∂)k *
dengan k* adalah k pada kondisi steady-state dan y* = f(k*).
Konsumsi pada kondisi steady-state menjadi (ibid: 196):
c* = f (k*) − (n + ∂)k *

29
Universitas Sumatera Utara

Secara grafis, model pertumbuhan Solow (tanpa perkembangan teknologi) dapat
digambarkan seperti pada Grafik 1 berikut.

GAMBAR 2.1 MODEL DIAGRAM PERTUMBUHAN SOLOW
Solow-Swan Economic memaparkan model suatu teori yang disusun
dengan focus pada peranan perubahan teknologi dalam proses pertumbuhan
ekonomi (economic growth).
Dalam Model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, rasio output modal
diasumsikan konstan, sehingga terdapat suatu hubungan garis lurus antara
peningkatan jumlah modal (melelui investasi) dan peningkatan yang dihasilkan
output. Contoh, jika dibutuhkan modal modal sebesar Rp. 3000,- untuk
memproduksi 1000 output, maka rasio output modalnya adalah satu per tiga,
dalam hal ini diasumsikan berlaku pada penambahan jumlah modal selanjutnya.
sebaliknya, model Solow-Swan menggunakan sebuah fungsi produksi dimana

30
Universitas Sumatera Utara

output merupakan suatu fungsi dari modal dan tenaga kerja, dimana modal dapat
digantikan dengan tenaga kerja tetapi dengan tingkat kesempurnaan yang
bervarias, dan yang menunjukkan pengembalian yang menurun. Jadi apabila
modal ditingkatkan secara relative dibandingkan dengan tenaga kerja, maka
peningkatan yang terjadi dala output secara progresifmenjadi lebih kecil. Dengan
asumsi bahwa suatu rasio output modalmenjadi variable pada saat jumlah modal
suatu negara meningkat, maka pengembalian yang menurun terjadi dan
menghasilkan tambahan output yang lebih kecil secara progresif. Oleh karena itu,
pertumbuhan ekonomi yang terus menerus membutuhkan tidak saja investasi
perluasan modal akan tetapi juga investasi pendalaman modal. Kemajuan
teknologi (teknik, proses dan metode baru produksi yang baru dan produk produk baru) memainkan suatu peranan penting dalam menyeimbangkan
pengembalian yang menurun pada saat jumlah modal meningkat.

3

Tenaga Kerja
Menurut Todaro (2000) Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi dipicu

oleh pertumbuhan penduduk yang mana akan memicu terjadinya pertumbuhan
tenaga kerja secara positif.
Secara umum, pertumbuhan jumlah angkatan kerja akan menyediakan
potensial tenaga kerja yang siap pakai sehingga akan menambah tingkat
produktifitas komoditi perekonomian baik dalam bentuk barang-barang maupun
jasa perekonomian termasuk jasa tenaga kerja itu sendiri. Namun demikian, hal
ini tidak berlaku secara perbandingan linier, oleh karena itu dikenal adanya
pengangguran.

31
Universitas Sumatera Utara

Kemampuan dari penyerapan tenaga kerja ini sangat tergantung dari
faktor-faktor input suatu perekonomian. Seperti modal atau investasi untuk
membuka lapangan usaha atau sentra bisnis baru maupun perluasan kegiatan
perekonomian yang akan memerlukan tenaga kerja sebagai pekerjanya.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa
bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan
dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja
mengandung elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja
(dari sektor ekonomi tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor
modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja.
Menurut Nicholson W. (1991) bahwa suatu fungsi produksi suatu barang
atau jasa tertentu (Q) adalah Q = f (K, L) dimana K merupakan modal atau
realisasi investasi usaha kegiatan ekonomi , dan L adalah jumlah tenaga kerja
yang diserap sehingga (Q) memperlihatkan jumlah maksimal suatu barang/jasa
yang dapat diproduksi dengan menggunakan ragam kombinasi alternatif antara K
dan L. Maka apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan
masukan lainnya dianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang
dapat diproduksi.
Tambahan hasil output produksi ini bila dibandingkan dengan tambahan
satu unit input produksi inilah yang dikenal dengan produk fisik marginal
(Marginal Physical Product).

32
Universitas Sumatera Utara

Simanjuntak (1985) menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah mencakup
penduduk yang sudah bekerja atau juga sedang bekerja , sedang mencari
pekerjaan, dan melakukan kegiatan lainnya baik bersekolah maupun mengurus
rumah tangga.
Dalam metode perhitungan yang dilakukan BPS sebagai instasi pemerintah
yang sah dalam melakukan database statistic di Indonesia menyebutkan bahwa
penduduk berumur 15 tahun keatas terbagi sebagai angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan suatu
kegiatan ekonomi / pekerjaan dengan maksud memperoleh penghasilan atau
keuntungan dimana lamanya bekerja paling sedikit adalah 1 jam secara terus
menerus (continue) selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak
bekerja namun sedang mencari pekerjaan disebut menganggur. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahagian penduduk yang adalah angkatan kerja merupakan
gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia.
Modal manusia dalam terminology ekonomi sering digunakan sebagai
tingkat kapasitas sumber daya manusia. Sisi yang seringkali di lihat dalam hal
modal manusia dalam kapasitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan
yang akan menunjang keahliannya dalam bekerja, tingkat kesehatannya dalam hal
menjamin kuntinuitas pekerjaannya.
Pendidikan memainkan peranan utama dalam hal memanageman suatu
produktifitas usaha agar lebih efisien dan efektif serta penyerapan unsur
modernisasi teknologi industri atau usaha dalam hal kualitasi dan kuantitas output
hasil usaha.

33
Universitas Sumatera Utara

Todaro (2002) menyebutkan, kesuksesan dalam pendidikan bergantung
juga pada faktor kecukupan kesehatan. Disamping itu kesehatan merupakan
prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan dan
pendidikan dapat juga dilihat sebagai komponen vital dalam pertumbuhan dan
pembangunan sebagai input bagi fungsi produksi agregat.
Mankiw (2003) juga menyebutkan, modal manusia sebagai input sumber
daya manusia dalam kegiatan perekonomian adalah pengetahuan dan kemampuan
yang diperolehnya melalui pendidikan mulai dari anak-anak sampai dengan
pelatihan dan pekerjaan. Demikan juga modal fisik manusia juga dibutuhkan
untuk meningkatkan kemampuan memproduksi barang/jasa perekonomian.
Sehingga untuk meningkatkan level modal manusia dibutuhkan suatu investasi
yang mana dilakukan oleh penduduk yaitu dalam bentuk pendidikan seperti
kebutuhan guru, perpustakaan dan waktu belajar.
Oleh karena begitu pentingnya peranan tenaga kerja sebagai bahagian dari
angkatan kerja ini, maka terbentuklah pasar tenaga kerja. Dimana secara singkat,
pasar tenaga kerja ini akan menawarkan sumber daya manusia dari berbagai skill
kemampuan, usia dan kapasitas lainnya sebagai factor input perusahaan/industri
kegiatan ekonomi. Sehingga saja pasar tenaga kerja ini dapat dikatakan
merupakan cerminan dari angkatan kerja suatu daerah pada suatu kurun waktu
tertentu. Batasan dari kurun waktu tertentu yang disebutkan diatas adalah
disebabkan adanya batasan usia kerja pada manusia sebagai sumber daya
perekonomian.
Pasar tenaga kerja ini ataupun angkatan kerja ini akhirnya memiliki
interaksi yang nyata terhadap pasar barang dan jasa sebagai output akhir kegiatan

34
Universitas Sumatera Utara

ekonomi dan terhadap pasar modal sebagai kombinasi factor input usaha. Berikut
dibawah ini memperlihatkan skema interaksi keterkaitannya secara sederhana.
(Ehrenberg and Smith, 2003)

Gambar 2.2 Keterkaitan pasar tenaga kerja, Pasar Modal/Investasi
dan Pasar barang & jasa lainnya.
Sumber : Ehrenberg and Smith, 2003.
Menurut Nicholson (2003), Perubahan di pasar barang misalkan
meningkatnya permintaan barang dan jasa. Perusahaan akan meresponnya dengan
meningkatkan produksi. Peningkatan produksi tentu akan mempengaruhi
permintaan faktor-faktor input. Perusahaan akan memilih faktor produksi yang
lebih menguntungkan dengan membandingkan biaya modal dan biaya tenaga
kerja yang terjadi di pasar modal dan pasar tenaga kerja.
Pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh permintaan tenaga kerja dan
penawaran tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja berkaitan dengan produksi
barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga pemerintah.
Perusahaan membutuhkan faktor-faktor produksi dalam melakukan kegiatannya.
Sedangkan, penawaran tenaga kerja sumbernya adalah rumah tangga. Rumah
tangga menyediakan tenaga kerja dimana keahlian dan kemampuan mereka

35
Universitas Sumatera Utara

tersedia untuk digunakan perusahaan atau lembaga pemerintah dalam proses
produksi. Berikut ini adalah skema gambarnya.

Gambar 2.3 Kurva Penawaran dan Permintaan Pasar Tenaga kerja.
Sumber : Ehrenberg and Smith, 2003.
Gambar diatas mendeskripsikan pasar tenaga kerja yang menghubungkan
penawaran dan permintaan tenaga kerja. Dititik equilibrium (Lo, Uo), jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan ke pasar tepat sama dengan jumlah diminta pasar.
Ditingkat upah U2, jumlah tenaga kerja yang diminta sebesar L1 sedangkan jumlah
yang ditawatkan sebesar L2. Sehingga dalam kondisi ini terjadi excess supply
tenaga kerja, sebesar (L2-L1). Pada tingkat upah U1, jumlah tenaga kerja yang
diminta sebesar L2 tetapi yang tersedia atau ditawarkan hanya L1. Maka dalam
kondisi tersebut terjadi overdemand tenaga kerja.
Pasar tenaga kerja biasanya memberikan hasil (outcomes), seperti
(Ehrenberg dan Smith, 2003):
a) The terms of employment antara lain seperti gaji, kompensasi dan kondisi
kerja.
b) The levels of employment berupa jabatan/kepercayaan, keahlian dan komposisi
demograpi tenaga kerja.

36
Universitas Sumatera Utara

4

Teori & Konsep penawaran tenaga kerja,
Ada 2 (dua) kategori dalam masalah penawaran tenaga kerja, yaitu

(Ehrenberg dan Smith, 2003):
1.

Keputusan individual untuk membagi waktunya antara bekerja atau leisure.
Ini berkaitan dengan partisipasi individu dalam angkatan kerja. Bekerja
part-time atau full-time work, waktu di rumah dan bekerja untuk dibayar.

2.

Keputusan untuk menerima suatu pekerjaan dan masalah bekerja di lain
geografi/wilayah.

Keputusan Bekerja – Bersenang-senang (Work - Leisure)
Bekerja (work) merupakan waktu yang digunakan untuk mendapatkan
penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan, leisure merupakan waktu
yang digunakan tidak menghasilkan pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan
tersebut. Untuk mendapatkan suatu informasi tentang optimal pembagian waktu
bekerja dan leisure, dapat dilihat pada indifference curve (preferensi individu
untuk bekerja) dan budget constrain (Borjas, 2005).

Gambar 2.4 Reservation of Wage
Sumber : Borjas, 2005

37
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 dihalaman sebelumnya, memberikan ilustrasi tentang
keputusan individual untuk bekerja. Pada titik X individu memutuskan tidak akan
bekerja. Karena pada titik X indifferent curve-nya masih lebih rendah dari E. Atau
sepanjang budget constraint G, indifferent curve-nya akan selalu lebih rendah atau
minimal sama dengan indifferent curve yang terjadi pada titik E.
Titik E adalah titik terjadinya reservation wage atau merupakan titik gaji
terendah yang dapat diterima pekerja untuk bekerja. Titik E menjelaskan juga
bahwa seseorang masih dapat mengkonsumsi tanpa bekerja karena masih ada
penghasilan mereka dari nonlabor income (mungkin dari bunga tabungan, hasil
sewa tanah/rumah ataupun pemberian dari orang tuanya yang cukup kaya).
Titik Y merupakan titik singgung budget constraint H dengan indifference
curve U2. Titik Y merupakan titik yang memberikan utility lebih tinggi dari titik
E. Karena tingkat utility di titik Y lebih tinggi dari titik E maka individu akan
memutuskan untuk bekerja. Atau dengan kata lain sepanjang budget constraint H
individu akan memutuskan untuk bekerja. Karena sepanjang garis tersebut utility
pekerja akan lebih tinggi dari pada titik E atau gaji yang diterima lebih tinggi dari
reservation wage (Borjas, 2005).
Titik singgung indifferent curve dengan budget line merupakan titik
optimum seseorang untuk bekerja, di mana perpaduan antara utility individu dan
kendala yang dihadapi. Berikut ini adalah fungsinya secara umum :
U = f (C, L)
Dimana

:

C = konsumsi barang & Jasa
L = Leisure

Utility maksimum dapat tercapai bila ΔC⁄ΔL═ - MUL⁄MUC, artinya
konsumsi dapat dipertukarkan dengan leisure. Untuk mengkonsumi barang

38
Universitas Sumatera Utara

tentunya individu harus bekerja. Bekerja dan leisure dua hal yang dapat
dipertukarkan dan sekaligus memiliki trade-off antara keduanya.
Sedangkan budget constraint dirumuskan dengan (Borjas, 2005) :
C = wh + V
Misalkan, T = h + L, maka C = w(T-L) + V, atau bias juga :
C = (wT+V)-wL
Dimana

:

C = konsumsi barang & Jasa
w = Upah
L = Leisure
T = Total waktu
h = Waktu untuk bekerja
V = Nonlabor Income.

Dari persamaan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa
bekerjapun seseorang masih dapat mengkonsumsi barang. Penghasilan yang
dipergunakan untuk konsumsi barang tersebut berasal dari penghasilan yang
dihasilkan tanpa bekerja atau pada titik tersebut disebut endowment point.
Dalam Mc Connell, Brue, dan Macpherson, (1999), Keputusan individu
untuk menambah jam kerja dipengaruhi oleh perubahan sebagai berikut :
a) Income effect. Individu akan mengurangi jam kerjanya bila income meningkat
tetapi wage rate konstan.
b) Substitution effect mengindikasikan perubahan keinginan menambah jam
kerja karena perubahan wage rate tetapi income konstan.
c) Jika substitution effect lebih dominan dari income effect, keinginan individu
untuk bekerja menjali lebih lama, saat wage rate meningkat. Sebaliknya, jika
income effect lebih besar dari substitution effect, kenaikan wage rate akan
menyebabkan keinginan untuk bekerja semakin sedikit.

39
Universitas Sumatera Utara

Wage elastisity of labor supply (Es) merupakan persentase perubahan
dalam kuantitas dari penawaran tenaga kerja dibagi dengan persentase perubahan
dalam wage rate.
Bila elasitas (Es) bernilai :
1.

Es = 0, inelastis yang sempurna

2.

Es < 1, relative inelastis

3.

Es > 1, relative elastis

Kenaikan tingkat upah tenaga kerja awalnya akan menambah keinginan
waktu bekerja individu. Namun kenaikan gaji akan mencapai titik optimal. Gaji
naik di atas titik optimal justru akan mengurangi keinginan individu untuk bekerja
(income effect). Ini dikenal dengan backward-bending labor supply curve (Mc
Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).
Konsep penawaran tenaga kerja (Labor Supply) memiliki beberapa
dimensi yakni diantaranya (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):
1) Ukuran dan komposisi demografi populasi yang tergantung pada
kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (net immigration),
2) Tingkat partisipasi angkatan kerja (labor force participation rate),
yang merupakan tingkat persentase populasi working-age (usia kerja)
dengan actual-working (yang bekerja) atau seeking-work (sedang
mencari pekerjaan / menganggur).
3) Jumlah jam kerja seminggu atau setahun, dan
4) Kualitas angkatan kerja.

40
Universitas Sumatera Utara

Tingkat partisipasi angkatan tenaga kerja (the labor force participation)
merupakan nilai perbandingan antara actual labor force dengan potensial labor
force. Actual labor force adalah angkatan kerja yang bekerja dan menganggur
atau angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Potential labor force atau
tenaga kerja (man power) adalah populasi dikurangi dengan jumlah anak-anak
atau penduduk usia 15 tahun (SUDA BPS SUMUT, 2007) dan masyarakat yang
dilembagakan (people who are institutionalized).

Net effect dari semua tingkat partisipasi tergantung pada ukuran: addedwork effect dan discouraged-work worker effect. Added-work effect terkait dengan
kehilangan pekerjaan suatu seorang anggota keluarga akan ditutupi oleh anggota
keluarga yang lain untuk mencari pekerjaan yang baru. Tujuannya untuk
menutupi kehilangan penghasilan akibat dari berhentinya anggota lain tersebut
dari dunia kerja.
Added-work effect menambah tingkat partisipasi kerja. Discouraged-work
effect berkaitan dengan masalah psikologis pekerja yang kehilangan keinginan
untuk bekerja kembali. Pekerja yang pernah diberhentikan karena resesi akan
merasa

pesimis

untuk

mendapatkan

pekerjaan

kembali

sesuai

dengan

keinginannya, minimal seperti yang pernah mereka dapatkan sebelumnya.
Discourafe-work effect sifatnya mengurangi tingkat partisipasi angkatan
kerja (Mc Connell, Brue, dan Macpherson,1999).
Tingkat partisipasi angkatan kerja berbanding terbalik dengan tingkat
pengangguran. Semakin besar tingkat pengangguran semakin kecil tingkat

41
Universitas Sumatera Utara

partisipasi angkatan kerja. Kondisi pasar tenaga kerja yang memburuk dengan
peningkatan pengangguran dan penurunan wage rate menyebabkan partisipasi
angkatan kerja menurun (discourage-work effect). Banyak usia muda yang
sebenarnya telah dapat memasuki dunia kerja enggan berpartisipasi. Mereka lebih
memilih untuk tetap di tempat sekolah/kuliah atau melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Maka selanjutnya, kaitan antara pertumbuhan penduduk yang notabenenya
adalah sumber dari angkatan kerja terhadap perekonomian memiliki hubungan
pengaruh secara positif ataupun negative tergantung pada kemampuan system
perekonomian daerah/negara tersebut dalam menyerap dan memanfaatkan
semaksimal mungkin atas pertambahan angkatan kerja tanpa melupakan sisi
tingkat kematian dan pergeseran kurva usia kerja.

5

Modal / Investasi
Dalam Sukirno (2000), Investasi merupakan salah satu faktor penting

dalam

menentukan

tingkat

pendapatan

nasional.

Kegiatan

investasi

memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi
dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan taraf kemakmuran.
Investasi adalah pengeluaran oleh sektor produsen (swasta) untuk
pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang digunakan atau untuk
perluasan pabrik dan barang-barang input produksi lainnya yang tahan lama.
Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan
kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan akhirnya
akan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat.

42
Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa meningkatnya kegiatan investasi
diharapkan akan meningkatkan permintaan agregat, pendapatan nasional serta
kesempatan kerja.
Investasi ataupun modal usaha ini akan membuka kesempatan kerja yang
baru dan memberikan kegiatan ekonomi yang baru ataupun juga ekspansi usaha.
Sehingga menciptakan pertambahan output barang-barang dan jasa ekonomi baik
secara kuantitas maupun kualitasnya.
Investasi

dapat

diartikan

sebagai

pengeluaran

atau

perbelanjaan

penanaman modal yang digunakan untuk membeli barang-barang dan jasa dengan
harapan dapat memberikan keuntungan pada masa yang akan datang (Bappeda
Kota Medan, 2000).
Ketika pendapatan nasional meningkat, maka diasumsikan bahwa tingkat
konsumsi barang-barang dan jasa juga meningkat. Dari sisi mikro ekonomi dunia
bisnis maka ini berarti membutuhkan tambahan sumber input agar memproduksi
barang-barang dan jasa output lebih banyak lagi. Untuk itu diperlukan suatu
investasi dalam sisi input usaha.
Dornbusch & Fischer (2004) berpendapat bahwa investasi adalah
permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas
produksi atau pendapatan di masa mendatang. Dimana secara umum, dalam
investasi mencakup 2 (dua) hal penting tujuan utamanya yaitu : untuk mengganti
bagian dari penyediaan modal yang rusak (asset yang terkena depresiasi) dan
sebagai tambahan at