Terjemahan Metafora Pada Novel The Fault In Our Stars Dalam Bahasa Indonesia

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penerjemahan
Kajian dalam penerjemahan dipelopori oleh Newmark (1988) yang mendefinisikan
terjemahan sebagai berikut: ―Translation is the superordinate term for converting the
meaning of any source language utterance to the target language‖. Maksud dari definisi
tersebut adalah bahwa didalam penerjemahan terjadi suatu proses konversi makna ujaran dari
bahasa sumber kedalam bahasa sasaran. Selanjutnya dalam melakukan proses penerjemahan,
Newmark (1988:5) menjelaskan bahwa teks adalah sesuatu yang memiliki dinamika dan
bukan sekedar sesuatu yang statis. Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan pesan yang
ditulis dalam BSu ke BSa dengan mengutamakan kesepadanan makna. Tentu dalam hal
melakukan proses penerjemahan, penerjemah membutuhkan keahlian yang cukup dalam
menguasai tata bahasa, kemampuan membaca dan memahami teks bacaan pada kedua
bahasa.
Proses penerjemahan merupakan kegiatan pengalihan suatu pesan dari BSu ke dalam
BSa. Proses ini bersifat kognitif karena sifatnya yang abstrak dan tidak dapat dilihat karena
terjadi dalam otak penerjemah sehingga hanya dia sendiri yang mengetahuinya dan
mengambil suatu keputusan yang tepat. Machali (2009) menyatakan bahwa ―proses
penerjemahan merupakan rangkaian tahapan yang harus dilalui oleh seorang penerjemah agar
bisa sampai pada hasil akhir‖.

Sementara itu, menurut Munday (2001: 5) pengertian dari penerjemahan ini adalah
As changing of an original verbal language into a written text in a different verbal language.
Maksud dari teks tersebut adalah bahwa terjemahan merupakan pertukaran bahasa lisan yang
original ke dalam teks tertulis dalam sebuah bahasa lisan yang berbeda. Terkait dengan

Universitas Sumatera Utara

perihal ekuivalensi yang ditetapkan sebagai suatu kata kunci, Catford (1965:20-21)
menyatakan bahwa translation is The replacement of textual material in one language (SL) by
equivalent textual material in another language (TL) and the term equivalent is a clearly a
key term. Pemahaman dari definisi tersebut adalah bahwa suatu penerjemahan merupakan
proses pertukaran atau pengalihan suatu teks dari bahasa sumber dengan mencari
kesepadanan terdekat ke dalam bahasa sasaran. Meskipun sangat jarang terdapat padanan
suatu kata dalam bahasa sumber yang sama dengan arti dalam bahasa sasaran, namun
keduanya dapat berfungsi secara ekivalen pada saat keduanya dapat saling dipertukarkan
(interchangeable). Berdasarkan ketiga definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas,
terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan adalah suatu pekerjaan yang menyangkut
keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan,
yakni adanya ekuivalensi makna. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah
transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (sasaran language),

dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk (Nababan, 2010).
Dari perspektif yang agak berbeda namun masih relevan dengan translasi sebagai
penggunaan interpretatif bahasa (interpretative use of language), Ernst dan Gutt memberi
pengertian penerjemahan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk pernyataan ulang
(restate) apa yang telah dinyatakan atau dituliskan oleh seseorang dalam suatu bahasa ke
dalam bahasa lainnya. The translation is intended to restate in one language what someone
else said or wrote in another language (Ernst & Gutt dalam Hickey, 1998: 46). Terkait
dengan perihal makna, Larson mendefinisikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga langkah pendekatan, yakni: 1)
mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks
bahasa sumber; 2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya; dan 3)

Universitas Sumatera Utara

mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur
gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran (Larson, 1984: 3).
Bell menegaskan pengertian penerjemahan yang hampir sama dengan Catford, yakni
penerjemahan sebagai suatu bentuk pengungkapan suatu bahasa dalam bahasa lainnya
sebagai bahasa sasaran, dengan mengedepankan semantik dan ekuivalensi. Translation is the
expression in another language (or sasaran language) of what has been expressed in

another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences (Bell, 1991: 4-5).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat
adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut
keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang kemudian adanya transfer
makna dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran. (BSa), dengan keakuratan pesan,
keterbacaan, dan keberterimaan yang akan bermuara pada produk terjemahan yang baik,
sebagaimana dikemukakan Halliday dalam Steiner bahwa terjemahan yang baik adalah suatu
teks yang merupakan terjemahan ekivalen terkait dengan fitur-fitur linguistik yang bernilai
dalam konteks penerjemahan. A good translation is a text which is a translation (i.e. is
equivalent) in respect of those linguistic feautures which are most valued in the given
transalation context. (Halliday, 2001: 17).
Penerjemahan bukanlah suatu hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang dapat
dikategorikan sebagai sesuatu yang kompleks. Disebut kompleks karena penerjemahan tidak
terlepas dari berbagai faktor lain yang terkait dengan linguistik, seperti faktor budaya
misalnya. Kompleksitas penerjemahan yang telah disinggung pada bahagian latar belakang
sebelumnya ditegaskan oleh Hatim, bahwa dalam proses penerjemahan tidak hanya
menyangkut kosa kata dan tata bahasa semata, melainkan juga menyangkut perihal budaya.
(A translation work is a multi-faceted activity; it is not a simple matter of vocabulary and
grammar only but that it can never be separated from the culture (Hatim, 2001: 10).


Universitas Sumatera Utara

Di samping keharusan akan kemahiran dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran,
penerjemahan sebagai proses juga mensyaratkan keterampilan lain; keluwesan, dan
kepemilikan wawasan mengenai berbagai disiplin ilmu, tergantung jenis teks yang sedang
diterjemahkan. Pada poin ini, Hatim yang dikutip oleh Richards menjelaskan: Translation as
very probably the most complex type of event yet produced in the evolution of the cosmos.
(Hatim, 2001: 11). Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh seorang penerjemah seperti
diuraikan di atas, menuntut keterampilan lebih untuk menerapkan penggunaan dua pilar
utama sebagai penyangga penerjemahan, yakni yang pertama penerapan teknik-teknik
penerjemahan dan penerapan penggeseran-pergeseran pada teks yang diterjemahkan.
Oleh karena kompleksitas proses penerjemahan, maka profesionalisme adalah sesuatu
yang mutlak. Profesionalisme dalam hal ini ditandai dengan beberapa kompetensi, yakni:
1) Kompetensi dalam dua bahasa (ideal bilingual competence),
2) Memiliki keahlian (expertise) dalam pengetahuan dasar genre teks serta terampil
menyimpulkan (inference), dan
3) Kompetensi dalam komunikasi (Bell, 1991: 38-41).
Kepemilikan keahlian serta kompetensi tersebut di atas merupakan penanda seorang
penerjemah ideal, yang seterusnya akan dapat dengan piawai menerapkan teknik-teknik
penerjemahan dalam pekerjaannya. Dalam melaksanakan kegiatan penerjemahan, penerjemah

tidak terlepas dari permasalahan teknis. Berbagai jenis teknik penerjemahan tersebut di atas
adalah suatu keniscayaan yang harus dimiliki.

2.2 Jenis-jenis Terjemahan
Pada dasarnya terjemahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis: (1) terjemahan
intralingual atau rewording, yakni interpretasi tanda verbal dengan menggunakan tanda lain
dalam bahasa yang sama; (2) terjemahan interlingual atau translation proper, merupakan

Universitas Sumatera Utara

interpretasi tanda verbal dengan menggunakan bahasa lain; dan (3) terjemahan intersemiotik
atau transmutation, yakni `interpretasi tanda verbal dengan tanda dalam sistem tanda nonverbal (Jakobson dalam Venuti, 2000: 114). Tipe penerjemahan pertama atau intralingual
menyangkut proses menginterpretasikan tanda verbal dengan tanda lain dalam bahasa yang
sama. Dalam penerjemahan tipe yang kedua (interlingual translation) tidak hanya
menyangkut mencocokkan/membandingkan simbol, tetapi juga padanan kedua simbol dan
tata aturannya atau dengan kata lain mengetahui makna dari keseluruhan ujaran. Terjemahan
tipe ketiga yakni transmutation, menyangkut pengalihan suatu pesan dari suatu jenis sistem
simbol ke dalam sistem simbol yang lain seperti lazimnya dalam Angkatan Laut Amerika
suatu pesan verbal dapat dikirimkan melalui pesan bendera dengan menaikkan bendera yang
sesuai dalam urutan yang benar (Nida, 1964: 4). Jenis terjemahan yang dimaksudkan dalam

hal ini adalah terjemahan interlingual atau translation proper.
Sementara Larson dalam Choliluddin (2005: 22) mengklasifikasi terjemahan dalam
dua tipe utama, yakni terjemahan berdasarkan bentuk (Form-based translation) dan
terjemahan berdasarkan makna (Meaning-based translation). Terjemahan berdasarkan
bentuk, cenderung mengikuti bentuk bahasa sumber yang dikenal dengan terjemahan harfiah,
sementara terjemahan berdasarkan makna cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa
sumber dalam bahasa sasaran secara alami. Terjemahan tersebut dikenal dengan terjemahan
idiomatik.

2.3 Ekuivalensi dalam Terjemahan
Bahasa sasaran yang menjadi produk atau hasil suatu proses penerjemahan, idealnya
adalah merupakan hasil yang ekivalen dengan keakuratan pesan dari bahasa sumber,
keterbacaan, dan keberterimaan produk. Ekuivalensi tersebut menyangkut ekuivalensi pada
tataran leksem (kata), frasa (above word level), gramatikal, tekstual, maupun pada tataran

Universitas Sumatera Utara

pragmatik. Namun dalam hal ini, Mona Baker menyatakan bahwa keseluruhan tataran
tersebut digunakan dengan syarat bahwa meskipun ekuivalensi dapat dipraktikkan, hal itu
tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor linguistik dan budaya; yang oleh karena itu sifatnya

adalah relatif. It is used here with the proviso that although equivalence can usually be
obtained to some extent, it is influenced by a variety of linguistic and cultural factors and is
therefore always relative. (Baker, 1992: 6).
Oleh karena adanya konsep yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan
penempatan atau representasi suatu teks yang ekivalen dari suatu bahasa ke bahasa lainnya,
maka teks bahasa yang berbeda dapat menjadi ekivalen pada tingkatan yang berbeda; baik
secara keseluruhan, maupun sebahagian dalam kaitannya dengan konteks semantik, sintaksis,
leksem, dan lain-lain; serta dalam tingkatan penerjemahan kata demi kata, frasa demi frasa,
dan klausa demi klausa. Text in different language can be equivalent in different degrees,
level of presentation, and ranks. (Bell, 1991: 6).
Berbeda dengan Baker, Mary Snell dan Hornby menggunakan istilah parallel teks
sebagai pengganti ekuivalen. Suatu hasil terjemahan selalu diperoleh dari teks lain; teks
paralel, yakni hasil dari dua teks yang independen dari sisi linguistik dan berasal dari suatu
situasi yang sangat identik. A translation is always derived from another text. Parallel texts
are two linguistically independent product arising from identical situation. (Snell, 1998: 86).
Namun secara substansi keduanya adalah sama, karena ekuivalensi dengan keparalelan
adalah dua terminologi yang bersinonim - yakni bahwa pesan yang dikandung oleh bahasa
sumber sampai kepada pembaca melaui bahasa sasaran.
Ketidakakuratan dalam penerjemahan ditandai dengan ketidakekuivalenan antara
bahasa sumber dengan bahasa sasaran, yang kemudian disebut sebagai produk terjemahan

yang tidak baik sebab baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran tidak mengandung ide
yang sama, sebagaimana dikemukakan oleh Halliday: that translation equivalence is defined

Universitas Sumatera Utara

in ideational terms; if a text does not match its source text idetionally, it does not quality as a
translation, so the question whether it is a god translation does not arise. (Halliday dalam
Steiner, 2001: 16).

2.4 Penilaian Kualitas Terjemahan

Pembahasan mengenai produk terjemahan sulit untuk lepas dari aspek kualitas
terjemahan. Menurut Silalahi (2012: 26), penilaian terhadap kualitas terjemahan terkait erat
dengan fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi antara penulis asli dengan pembaca
sasaran. Ada tiga tingkat kualitas terjemahan yaitu keakuratan, keberterimaan dan
keterbacaan. Dari ketiga tingkat di atas, masalah keakuratan pesan menempati prioritas utama
sebagai konsekuensi dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks dapat disebut
terjemahan jika teks tersebut mempunyai padanan (equivalence relation) dengan teks sumber.
Penelitian ini hanya menilai kualitas terjemahan dari sisi keakuratannya saja. Strategi
penilaian kualitas terjemahan yang digunakan khususnya penilaian tingkat keakurataan

terjemahan yaitu Accuracy Rating Instrument yang dikemukakan oleh Nababan (2004) dalam
Silalahi (2012). Dalam penerapannya strategi ini menggunakan penilaian angka skala 1-3
yang dibagi menjadi akurat, kurang akurat, dan tidak akurat. Angka-angka yang digunakan
dalam instrumen ini ialah sebagai nilai kecenderungan untuk menilai suatu teks.

Kualitas terjemahan diibaratkan seperti tiga sisi yang saling berhubungan. Sisi
pertama adalah sisi keakuratan dalam pengalihan pesan. Sisi yang kedua adalah sisi tingkat
keberterimaan terjemahan dan sisi yang ketiga adalah sisi tingkat keterbacaan dari
terjemahan. Keutuhan dari suatu kualitas terjemahan dapat dilihat dari ketiga sisi tersebut.
2.5 Keakuratan Terjemahan
Menurut Nababan (2004: 61) keakuratan terjemahan berkaitan dengan seberapa jauh
isi teks bahasa sumber dapat tersampaikan dengan benar ke dalam bahasa sasaran. Terkadang

Universitas Sumatera Utara

kita menemukan terjemahan yang isi atau pesan yang terkandung pada TSa sesuai dengan isi
atau pesan yang terkandung pada TSu, tetapi cara mengungkapkan isi atau pesan tersebut
tidak sesuai dengan kaidah atau norma budaya yang berlaku pada Bsa. Dan terkadang ada
juga suatu terjemahan yang dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Bsa, tetapi tingkat
keakuratan pesannya rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil terjemahan dapat berupa

terjemahan akurat, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat.
Suatu terjemahan dapat dikatakan akurat jika terjemahan tersebut tidak mengalami
distorsi makna. Maksudnya adalah makna kata, frasa, klausa dan kalimat yang ada di bahasa
sumber dalihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Kesimpulannya adalah jika suatu
terjemahan diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran tanpa ada penambahan
ataupun penghilangan informasi yang tidak sesuai dengan teks sumbernya, maka terjemahan
yang dihasilkan adalah terjemahan yang akurat.
Sedangkan jika di dalam suatu terjemahan ditemukan makna kata, istilah teknis, frasa,
klausa dan kalimat pada BSunya mengalami distorsi makna (terjemahan ganda) ataupun ada
makna yang dihilangkan dan menggangu keutuhan pesan, maka terjemahan tersebut
dikatakan terjemahan kurang akurat.
Sementara itu, suatu terjemahan dikatakan terjemahan tidak akurat adalah jika makna
kata, istilah teknis, frasa, klausa ataupun kalimat pada Bsu dialihkan secara tidak akurat
kedalam BSa atau dihilangkan sehingga keutuhan pesan yang ada Bsu tidak diterjemahkan ke
dalam BSa. Hal tersebut dapat terjadi bila penerjemah; 1) tidak menemukan padanan kata
yang tepat, 2) melakukan penghilangan yang tidak perlu, 3) melakukan penambahan yang
tidak perlu dan 4) adanya pergeseran yang dapat menyebabkan distorsi makna.

Universitas Sumatera Utara


2.6 Makna Figuratif

Makna figuratif atau makna kiasan (figurative meaning, tranfered meaning) adalah
pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh frasa ‘mahkota
wanita‘ tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya
yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata,
namun frasa ini dimaknai sebagai ‗rambut wanita‘ Selain itu, makna kiasan terdapat pula
pada peribahasa atau perumpamaan. Misalnya, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau
terlampaui. Makna figuratif muncul dari bahasa figuratif (figurative language) atau bahasa
kiasan. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan
sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan
penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna
khusus (Abrams,1981:63).

Menurut

Abrams

(1981:63)

bahasa

figuratif

(figurative

language)

adalah

penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai seharihari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu
penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus.

Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile, metafora,
metonimia, sinekdoke, dan personifikasi.
1. Simile adalah majas yang membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lainnya
dengan menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung
yang digunakan contohnya seperti, bagaikan, bak, layaknya, laksana, dll.
Contoh:
Guru bagaikan pelita dalam hidup kita.

Universitas Sumatera Utara

2. Metafora adalah bahasa non-literal atau figuratif yang mengungkapkan
perbandingan antara dua hal secara implicit.
Contoh:
Bibir guci itu mulai retak
3. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai nama
seluruh atau sebaliknya.
Contoh:
Mereka menjual Koran demi sesuap nasi (makan).
4. Metonimia adalah sebuah majas yang menggunakan sepatah-dua patah kata yang
merupakan merek, macam atau lainnya yang merupakan satu kesatuan dari sebuah
kata.
Contoh:
Kaisan selalu pergi ke sekolah dengan menggunakan Honda (seharusnya sepeda
motor)
5. Personifikasi adalah salah satu majas dalam Bahasa Indonesia. Personifikasi
adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati.
Contoh:
Saat ku melihat rembulan, dia seperti tersenyum kepadaku seakan-akan aku
merayunya.

Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd yang dikutip oleh
Pradopo (1994:93) membedakan bahasa kiasan dan sarana retoris (rethorical device). Sejalan
dengan pendapat Altenbernd, Abrams (1981:63) mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan
sarana retoris ke dalam bahasa figuratif. Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan

Universitas Sumatera Utara

bahasa penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh
efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63).

Figurative language is a deviation from what speakers of a language apprehends as
the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve
some special meaning or effect.
Bahasa kiasan atau figure of speech yaitu alat untuk memperluas makna kata atau
kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau membagi serta
mengasosiasikan dua hal.

Keraf (1994:137) mengatakan bahwa untuk menetapkan apakah suatu perbandingan
itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:

1)

tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan

2)

perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut

3)

perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu ditemukan. Jika tak ada kesamaan
maka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.

Keraf menyebut metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini pertama-tama
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu
hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara
kedua hal tersebut.

2.7 Metafora
Kajian tentang metafora sudah menjadi topik bahasan sejak zaman Aristoteles. Secara
etimologis, metafora dibentuk dari dua kata Yunani, yakni meta yang bermakna di atas atau
sesuatu yang melebihi dari seharusnya atau standarnya; dan pherein yang bermakna
mengalihkan atau memindahkan. Dengan demikian, metafora dapat dimaknai sebagai

Universitas Sumatera Utara

pengalihan citra sesuatu kepada sesuatu yang lain atau dengan kata lain metafora merupakan
bahasa figuratif yang membandingkan dua hal dengan mengatakan benda yang satu dengan
benda lainnya. Sifat manusia yang sangat kompleks menimbulkan keragaman manusia dalam
bertindak dan bertutur. Setiap orang dapat mengungkapkan sesuatu hal dengan beragam cara.
Demikian juga dengan metafora, ia adalah hasil keragaman sifat manusia dalam
mengungkapkan pikiran, tindakan, dan perasaannya.
Penggunaan metafora tentu ada maksudnya, atau ada sesuatu yang melatari
penggunaannya, misalnya karena kesopanan, keterbatasan dari penggunaan bahasa langsung,
keindahan dan sebagainya. Sebagai contoh ―Engkau adalah MATAHARIKU‖ penggunaan
kata matahari sebagai pengalihan dari engkau adalah karena konsep matahari sesuai dengan
apa yang dinginkan maksudnya oleh penuturnya. Matahari mewakili sesuatu yang
mempunyai daya energi maha besar tanpa habis; sebagai sumber penerangan; mampu
memberi kehangatan; langgeng (dalam arti keberadaannya dipercayai akan ada sampai hari
Kiamat); dan lain-lain. Kemudian kemungkinan ungkapan tersebut diucapkan oleh seseorang
kepada kekasihnya dengan tujuan agar kekasihnya kagum karena dibandingkan dengan
sesuatu yang luar biasa. Dengan demikian dari konteks tersebut dapat dikatakan bahwa
pengalihan atas sesuatu yang lain karena memang sesuai dengan maksudnya. Apabila
menggunakan istilah selain matahari, mungkin apa yang penutur inginkan tidak tercapai.
Alwi dkk (1993:484) menyatakan bahwa metafora ialah cara menyatakan sesuatu
dengan memakai kata atau frasa yang artinya berbeda benar dari arti yang biasa. Ungkapan
memerangi kebodohan, umpamanya, merupakan hubungan metaforis antara verba memerangi
dan nomina kebodohan karena kebodohan dianggap sebagai musuh. Metafora disebutkan
oleh Keraf (1992:139) merupakan semacam analogi yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata,
dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Lakoff dan Johnson (1980:3) melihat metafora bukan sekadar fenomena bahasa,
melainkan juga melibatkan pikiran dan tindakan manusia: ―… metaphor is pervasive in
everyday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual
system, in terms of which we both think and act is fundamentally methaporical in
nature‖.Metafora diperoleh dan dimengerti secara kognitif oleh manusia berdasarkan
pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan melalui bahasa.
Batasan

metafora

yang

dikemukakan

oleh

Lakoff

dan

Johnson

(1980:

1993) terletak pada salah satu aspek utama metafora, yaitu ungkapan metaforis
{metaphorical/linguistic expression). Pada awalnya, batasan metafora hanya dibatasi pada
bentuk

linguistis.

Namun,

dalam

pengertian

Lakoff

dan

Johnson

metafora tidak saja beroperasi pada tataran bentuk bahasa semata melainkan juga
dalam pikiran (thought) seorang penulis atau tindakan (action) seorang pembicara.
Teori metafora konseptual yang diciptakan oleh Lakoff (1993) beroperasi pada
tataran pikiran. Metafora menghubungkan dua domain konseptual, yaitu RSu dan
RSa (Deignan 2005). Dengan kata lain, definisi metafora yang digagas oleh
Lakoff dan Johnson secara komprehensif mencakup aspek linguistis dan aspek
kognitif/konseptual penggunaan bahasa dalam konteks tertentu.
Dilihat dari segi sintaksis, metafora dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1) metafora
nominatif yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat, dan
karena nomina posisinya dalam kalimat berbeda-beda, metafora nominatif dapat dibagi lagi
menjadi metafora nominatif subjektif dan metafora objektif atau yang biasa disebut metafora
nominatif komplementatif, (2) metafora subjektif, yaitu metafora yang lambang kiasnya
muncul hanya pada subjek kalimat, sementara komponen-komponen kalimat yang
mengandung metafora tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung.
(3) metafora predikatif, yaitu metafora yang lambang kiasnya hanya terdapat pada

Universitas Sumatera Utara

predikat kalimat, sedangkan subjek dan komplemen kalimat (jika ada) masih dinyatakan
dalam makna langsung, dan (4) metafora kalimat, yaitu metafora yang seluruh lambang
kiasnya jenis ini tidak terbatas pada nominatif (baik subjek maupun objek) dan predikatnya
saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu merupakan lambang kias
(Wahab, 1990:142-144).
Secara semantik, metafora selalu mengandung dua macam makna, yaitu makna kias
dan makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud dapat diungkapkan melalui serangkaian
prediksi yang dapat diterapkan bersama pada lambang atau simbol kias dan makna langsung.
Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di pelbagai
bahasa, pilihan citra oleh Ulmann (1977) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1)
metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak
ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa
ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau
tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan
dengan mulut gua, mata pisau, kepala keluarga, dan lain-lain.
Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk
menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa,
misalnya kambing hitam, mengadu domba, otak udang, dan lain-lain. Metafora dengan unsur
binatang juga dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah.
Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia
disamakan dengan sejumlah tak terbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau,
singa, buaya, dst, sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa ―Seperti
kerbau dicocok hidung‖, dan ungkapan ―buaya darat‖.

Universitas Sumatera Utara

Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang
abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat
transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk
memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‗satu kecepatan yang
luar biasa‘, moncong senjata ‗ujung senjata‘, dan lain-lain.
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan
pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari
orang sering mendengar ungkapan ―manis dilihat‖ untuk pakaian walaupun makna manis
selalu dikatkan dengan indra rasa; ―panas di telinga‖ merupakan pengalihan dari indra rasa
ke indra pendengaran.

2.7.1 Jenis Metafora
Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua kelompok: metafora
mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live metaphor). Metafora mati merupakan bagian
dari konstruksi idiomatis dalam leksikon sebuah bahasa. Ketika sebuah metafora mati
digunakan,

pendengar

atau

pembaca

tidak

memikirkan

makna

literal

kata-kata

pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan tersebut secara
langsung. Sebagai contoh, ketika mendengar metafora berbentuk idiom 'kaki meja',
pendengar tidak perlu memikirkan makna kata kaki dan meja secara terpisah untuk
memahami metafora tersebut.
Metafora hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau pembicara pada saat
dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal dengan membandingkannya kepada
sesuatu yang sudah dipahami. Berbeda dengan metafora mati yang sudah lama digunakan
sehingga kesan metaforisnya tidak begitu menonjol, kesan metaforis metafora hidup terasa

Universitas Sumatera Utara

sangat kental setelah perbandingan antar dua hal dalam ungkapan tersebut dipahami dengan
baik. Metafora hidup sering digunakan untuk menarik minat pembaca atau pendengar, karena
jika ungkapan yang didengar atau dibaca tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang
pendengar atau pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan tersebut,
penggunaannya, dan tujuan pembicara atau penulis menggunakannya.
Sebagai Contoh:
‗Ina‘s decision is a nightmare for his brother‘
‗Keputusan Ina adalah sebuah mimpi buruk untuk saudaranya.
Untuk memahami metafora di atas, penting untuk memahami makna dasar dari
nightmare (mimpi buruk) yang berkaitan dengan topik ‗Ina‘s decision‘ (keputusan Ina).
Menurut Merriam Webster Dictionary Online makna dasar nightmare adalah a dream that
frightens a sleeping person; a very bad dream dan a very bad or frightening experience or
situation. Berdasarkan penjelasan di atas Nightmare adalah mimpi yang sangat buruk atau
suatu pengalaman/ situasi yang menakutkan. Oleh karena itu, Pembaca akan menarik
kesimpulan bahwa apapun keputusan (decision) yang disampaikan Ina membuat saudaranya
takut atau tidak bahagia.

2.7.2 Fungsi Metafora
Metafora sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari untuk memperkenalkan
konsep baru dalam penawaran makna yang lebih tepat. Namun ungkapan ini lebih sering
digunakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi. Selain untuk memperkenalkan sebuah
fenomena baru dalam berkomunikasi, metafora digunakan untuk mengungkap makna secara
singkat dan padat serta sekaligus menghadirkan efek puitis dalam sebuah karya sastra.

Universitas Sumatera Utara

Metafora adalah bahasa kiasan yang umum diucapkan dalam berbagai bahasa. Tentu
saja, penulis menggunakan metafora dalam karya-karyanya (biasanya dalam bentuk karya
seni seperti puisi, cerita dongeng, novel, dan lainnya) dengan berbagai tujuan. Sejalan dengan
fungsi metafora, Newmark (1958: 292) menyatakan ada tiga fungsi metafora, yaitu:
1. Untuk menggambarkan entitas (benda atau orang), peristiwa, kualitas, konsep atau
tindakan secara lebih komprehensif dan padat dari pada menggunakan bahasa harfiah.
2. Fungsi pragmatik (estetis) atau konotatif yaitu untuk mengungkapkan makna, menarik
minat pembaca, mengklarifikasikan sesuatu, menyenangkan pembaca atau memberikan
kejutan pada pembaca.
3. Hal ini juga digunakan untuk menunjukkan kemiripan antara dua kurang lebih objek
yang berbeda.

2.7.3 Masalah dalam Menerjemahkan Metafora
Menurut Newmark (1998: 104), masalah utama dalam penerjemahan secara umum
adalah pemilihan strategi terjemahan bagi sebuah teks, sedangkan masalah penerjemahan
yang paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora. Sebagai akibat dari kesulitan
itu, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut. Beberapa pakar
penerjemahan berpendapat bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan seperti seperti Nida
(1964) dan Vinay and Darbelnet (1958) dan Fung and Kiu (1987) dalam Yingying Zhang
(2009). Fung and Kiu mengungkapkan even when the same object or experience exists in
both languages, the metaphors involved might still be untranslatable due to the different
values attached to it in each language (diakses tanggal 27 Mei 2015). Tetapi disisi lain juga
tidak sedikit para ahli penerjemahan yang menganggap bahwa metafora adalah bagian dari

Universitas Sumatera Utara

bahasa dan dapat diterjemahkan seperti Rolf Kloepfer (1965) dalam Dagut (1976), Katharina
Reiss (1971) dalam Dagut (1976)
Newmark adalah salah satu pakar penerjemahan yang mempercayai bahwa metafora
dapat diterjemahkan menggunakan strategi terjemahan. Selanjutnya menurut Dagut (1987:
24), ada tiga hal yang menyebabkan metafora itu sulit untuk diterjemahkan. Ketiga hal
tersebut adalah 1) metafora dalam BSu adalah merupakan unsur semantik yang baru sehingga
BSa tidak memiliki persediaan padanan untuk metafora tersebut, 2) metafora merupakan
bagian dari sebuah bahasa dan semua bahasa pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dari
budaya, akibatnya hampir semua metafora sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya.
Kesimpulannya adalah bahwa metafora hanya dapat dipahami jika nilai-nilai budaya yang
terkait dengannnya sudah dipahami terlebih dahulu. 3) metafora merupakan media untuk
mengungkap makna secara kreatif, singkat, dan padat. Oleh karenanya, agar seorang
penerjemah mampu menerjemahkan metafora dengan mudah maka penerjemah tersebut
harus mampu menulis dengan penuh kreatifitas.
Sementara itu, Larson mempunyai pendapat yang berbeda dengan Dagut. Menurut
Larson (1998: 275-276) dalam Pardede (2013), ada enam hal yang menyebabkan metafora
sulit untuk dipahami dan diterjemahkan. Keenam hal tersebut adalah 1) citra yang digunakan
dalam metafora mungkin saja tidak lazim dalam BSa. 2) topik metafora tidak selalu
dinyatakan dengan jelas. 3) titik kesamaan kadang-kadang implisit sehingga sulit
diidentifikasi atau mengakibatkan pemahaman yang berbeda bagi penutur bahasa lain. 4)
perbedaan antara budaya BSu dan BSa dapat membuat penafsiran yang berbeda terhadap titik
kesamaan. 5) BSa mungkin tidak membuat perbandingan seperti yang terdapat pada metafora
TSu, 6) setiap bahasa memiliki perbedaan dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.
Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa metafora memiliki keunikan dalam
penerjemahan sehingga keunikannya tersebut membuat pandangan para ahli terhadap

Universitas Sumatera Utara

penerjemahan majas ini cukup beragam. Keunikan metafora ini bermakna bahwa metafora
tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa secara langsung, penerjemah harus menemukan
padanan kata yang tepat untuk mengalihkannya ke dalam Bsa sesuai dengan pemahaman dan
kebudayaan penuturnya. Berdasarkan prosedur dan strategi yang ada, terlihat bahwa
keunikannya membuat penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan pemilahan
elemen-elemen yang ada dan analisis terhadap unsur-unsur itu untuk memperoleh
pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun internal lainnya.
2.7.4 Strategi Penerjemahan Metafora
Strategi penerjemahan adalah langkah-langkah yang digunakan dalam memecahkan
masalah-masalah penerjemahan. Lörscher (2005) dalam Silalahi (2012) mendefinisikan
strategi penerjemahan sebagai prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan
masalah. Oleh karena itu, strategi penerjemahan dimulai dari disadarinya permasalahan dan
diakhiri dengan dipecahkannya permasalahan atau disadarinya bahwa masalah tersebut tidak
dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu. Karena metafora merupakan bentuk ungkapan
yang paling sulit diterjemahkan, beberapa ahli mencoba merumuskan strategi khusus untuk
menerjemahkannya. Ahli penerjemahan yang pertama kali berkontibusi secara signifikan bagi
penerjemahan metafora adalah Dagut, Newmark dan Larson.
Menurut Dagut (1987: 28), metafora merupakan sebuah penyimpangan kreatif
terhadap sistem semantis. Oleh karena itu, secara teoretis, metafora tidak memiliki ungkapan
yang sepadan dalam bahasa lain. Jika penerjemahan terminologi-terminologi yang
diinstitusionalkan, seperti polisemi dan idiom dilakukan melalui substitusi (menemukan dan
mengedit padanan-padanan yang telah tersedia dalam Bsa), penerjemahan metafora
merupakan aktivitas penciptaan ulang (a re-creation job). Dengan kata lain, penerjemah
harus mereproduksi metafora-metafora yang berterima dalam konteks linguistik dan budaya
BSa. Akan tetapi, Dagut tidak memberikan uraian mengenai strategi-strategi yang dapat

Universitas Sumatera Utara

digunakan untuk menerjemahkan metafora. Newmark merupakan salah satu pakar
penerjemahan yang yakin bahwa metafora dapat diterjemahkan.
Menurut Newmark (1981: 88-91), secara garis besar, penerjemahan metafora
dilakukan dalam dua langkah: (1) mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan,
dan (2) menentukan prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora
tersebut ke dalam BSu. Dia menyarankan tujuh strategi terjemahan metafora berikut.
Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama dalam BSa dengan
cara mereproduksi citra yang sama di TSa. Strategi ini sesuai untuk metafora yang memiliki
frekuensi dan keberlakuan yang sepadan antara BSu dan BSa. Kedua, mengganti citra dalam
BSu dengan citra standar yang berterima dalam BSa, atau menerjemahkan metafora menjadi
metafora lain namun dengan makna yang sama. Strategi ini dapat digunakan dengan baik jika
frekuensi citra dalam register BSa sama dengan dalam register BSu.
Pendekatan ini lazim digunakan untuk menerjemahkan metafora standar yang
kompleks, seperti idiom dan pepatah yang citranya selalu mengandung konotasi kultural
sehingga tidak dapat diterjemahkan secara semantis ke BSa. Ketiga, menerjemahkan
metafora menjadi simile sambil mempertahankan citra. Strategi ini sesuai digunakan jika citra
BSu tidak memiliki kesepadanan di dalam BSa. Sebagai contoh, ―He is hanging on a thread
in the coming competition‖ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi simile
―Nasibnya bagai telur di ujung tanduk dalam kompetisi mendatang.‖ Keempat,
menerjemahkan metafora menjadi sebuah simile dengan menambahkan citra. Strategi ini
sesuai digunakan jika citra BSu tidak memiliki kesepadanan di dalam Bsa, penerjemah dapat
mengubah metafora tersebut menjadi sebuah simile. Sebagai contoh, ungkapan ―I read you
like a book‖ dapat diterjemahkan menjadi ―Aku memahami kamu semudah memahami
buku.‖ Kelima, mengubah metafora menjadi makna harfiah (sense). Strategi ini untuk
menerjemahkan metafora yang sarat dengan makna harfiah atau register (termasuk frekuensi,

Universitas Sumatera Utara

tingkat formalitas, muatan emosional, dan keumuman). Sebagai contoh, ungkapan ―His
business continues to flourish‖ dapat diterjemahkan menjadi ―Bisnisnya terus maju pesat.‖
Ke enam, menghapus metafora jika metafora tersebut tidak ada manfaatnya, atau hanya
membuat TSa menjadi bertele-tele. Sebagai contoh, ungkapan ―He is a snail; he always
walks slowly‖, cukup diterjemahkan menjadi ―Dia berjalan lambat sekali‖. Ketujuh,
menggunakan metafora yang sama yang dikombinasikan dengan deskripsi harfiah atau
keterangan tambahan diantara dua tanda baca koma. Prosedur ini digunakan untuk
menerjemahkan metafora yang tidak memiliki padanan berterima dalam BSa. Dalam konteks
ini, keterangan tambahan tersebut digunakan untuk memperkuat citra agar metafora itu
dipahami pembaca TSa. Newmark menyusun daftar strateginya berdasarkan preferensi.
Dengan kata lain, disarankan agar penerjemah memprioritaskan penggunaan masing-masing
strategi tersebut sesuai dengan urutan dalam daftar di atas.
Strategi ke dua digunakan jika, misalnya karena benturan budaya, strategi pertama
tidak dapat digunakan. Strategi ke tiga dipakai hanya jika strategi ke dua tidak sesuai dengan
kebutuhan, dan seterusnya. Newmark dan Larson yakin bahwa metafora dapat diterjemahkan
setelah penerjemah mengidentifikasi unsur-unsur pembentuknya, yaitu topik, citra dan titik
kesamaan. Selain itu, penerjemah juga harus mengetahui konteks ungkapan secara
menyeluruh agar makna metafora tersebut dapat dipahami.
Teori utama yang dijadikan sebagai landasan analisis strategi terjemahan metafora
dalam penelitian ini adalah lima strategi penerjemahan metafora usulan Larson (1998:278279), yang tediri dari: (1) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di
dalam BSa; (2) menerjemahkan metafora BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa
membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora; (3) menerjemahkan metafora BSu
menjadi metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu
tersebut; (4) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa yang

Universitas Sumatera Utara

disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut; dan (5) menerjemahkan
metafora menjadi ungkapan non-metaforis.
Contoh penggunaan strategi terjemahan metafora seperti yang dikemukakan Larson
sebagai berikut. Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama ke
dalam BSa. Hal ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat dipahami pembaca
TSa tanpa adanya salah pengertian. Sebagai contoh, metafora bahasa Inggris ―economic
growth‖ dan ―flow of traffic‖ dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
metafora ―pertumbuhan ekonomi‖ dan ―arus lalu lintas‖. Ke dua, menerjemahkan metafora
BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa membuat simile lebih mudah dipahami
daripada metafora. Sebagai contoh, metafora bahasa Inggris ―The road is a snake‘‘, yang
mengungkapkan bahwa bentuk jalan tersebut berbelok-belok seperti seekor ular, lebih baik
diterjemahkan menjadi simile ―Jalan itu seperti ular.‖ Ke tiga, menerjemahkan metafora
BSu menjadi metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu
tersebut. Sebagai contoh, ungkapan ―icy needles‖ lebih baik diterjemahkan menjadi ―jarumjarum dingin‖ ke dalam bahasa Indonesia. Kedua metafora ini memang sangat berbeda. Akan
tetapi, karena dalam kultur bahasa Indonesia citra ―dingin‖ lebih sesuai daripada citra ―icy‖,
sehingga makna metafora ―jarum-jarum dingin‖ lebih mudah dipahami daripada ―jarumjarum es‖, maka penerjemahan tersebut akan lebih efektif. Ke empat, menerjemahkan
metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa yang disertai dengan penjelasan
tentang makna metafora tersebut. Sebagai contoh, metafora ―The tongue is a fire‖ bias
diterjemahkan menjadi ―Lidah adalah api. Api menghanguskan benda-benda, dan ucapan kita
dapat menyakiti orang lain.‖ Ke lima, menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non
metaforis. Dengan demikian, TSa berubah menjadi ungkapan dengan makna harfiah. Strategi
ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan metafora berbentuk idiom yang kesan

Universitas Sumatera Utara

metaforisnya benar-benar hampir tidak disadari penutur. Sebagai contoh, metafora ―He was a
pig‘‘ diterjemahkan menjadi ―Dia sangat berantakan‖ atau ―Dia tidak pernah rapi‖.
Jika daftar strategi Newmark dan Larson di atas dibandingkan, terlihat tidak ada
perbedaan substansial. Jumlah strategi Newmark lebih banyak karena adanya dua strategi
yang tidak terdapat dalam daftar Larson: (a) pengalihan metafora menjadi simile dengan
menambahkan citra; dan (b) strategi penghapusan. Pada penelitian ini, teori strategi
terjemahan yang digunakan adalah teori Larson karena menurut peneliti strategi penghapusan
seharusnya dihindari karena setiap metafora sarat dengan makna.
Untuk memilih strategi penerjemahan yang baik bagi sebuah metafora tertentu,
penerjemah perlu membuat pertimbangan menyeluruh terhadap semua aspek, termasuk
tujuan penerjemahan, target pembaca dan jenis teks. Berikut ini adalah uraian singkat
terhadap ke tiga aspek tersebut.
1. Tujuan Penerjemahan
Penerjemahan pada umumnya bertujuan untuk menghasilkan teks tertentu bagi
pembaca kalangan tertentu di lingkungan tertentu. Maksud dan tujuan penerjemahan tersebut
merupakan faktor kunci yang secara signifikan memengaruhi prinsip-prinsip yang digunakan
penerjemah. Misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyampaikan nilai-nilai budaya BSu,
penerjemah akan memberi penekanan pada BSu sebanyak mungkin. Jika tujuannya adalah
untuk memastikan bahwa teks terjemahan memiliki muatan emosional dan persuasif yang
sama seperti aslinya, penerjemah akan menggunakan strategi lain, untuk memastikan
pembaca dapat memahami hasil terjemahan dengan baik.
2. Pembaca Target
Setiap penerjemahan berorientasi pada publik BSa, karena menerjemahkan adalah
tindakan untuk menghasilkan teks bagi publik bahasa tertentu untuk tujuan tertentu dan
kelompok pembaca tertentu dalam lingkungan tertentu (Nord, 1987: 12). Oleh karena itu,

Universitas Sumatera Utara

pembaca target dianggap sebagai faktor penting lainnya yang mempengaruhi pemilihan
strategi

terjemahan

oleh

penerjemah.

Hal

ini

megindikasikan

bahwa

sebelum

menerjemahkan, penerjemah perlu bertanya diri sendiri: Siapa pembaca target? Apa latar
belakang mereka (misalnya golongan sosial, usia dan jenis kelamin)? Apakah mereka
berwawasan luas atau sederhana, awam atau ahli? Informasi seperti itu akan membantu
penerjemah untuk memutuskan tingkat formalitas, kadar emosional, dan kesederhanaan yang
perlu dia buat dalam proses penerjemahan.
3. Jenis Teks
Keputusan tentang pendekatan penerjemahan yang akan digunakan tidak terlepas dari
faktor jenis teks. Semua teks memiliki fungsi ekspresif, informatif dan vokatif. Namun salah
satu fungsi ini akan berperan dominan, sedangkan dua lainnya bersifat tambahan. Ketika
menerjemahkan karya sastra, yang secara umum dianggap sebagai saluran budaya,
penerjemah harus mereproduksi bentuk dan isi BSu tanpa mengganggu ―rasa‖ budaya TSu.
Di sisi lain, penerjemahan karya ilmiah dan laporan teknis, yang fungsi didominasi oleh
fungsi informatif, harus menggunakan register yang sesuai. Sedangkan pada teks vokatif,
gaya yang dominan adalah persuasif atau imperatif. Oleh karena itu, terjemahan yang berhasil
untuk teks jenis ini adalah yang memicu tanggapan yang diinginkan dari pembaca teks
sasaran.
2.8 Penelitian Yang Relevan
Beberapa penelitian dengan tema yang hampir sama dengan penelitian ini, yakni
karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang penerjemahan metafora adalah:
1.

Penelitian Pardede (2013) mengungkapkan ke 174 metafora bahasa Indonesia dalam

antologi puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian diterjemahkan dengan
menggunakan tiga strategi, yaitu: (1) menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama
(59,8%); (2) menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama (35,6%);

Universitas Sumatera Utara

dan (3) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis atau makna harfiah
(4,6%).
Karya ilmiah Pardede ini memberikan kontribusi yang bermanfaat terkhusus dalam
menganalisis strategi terjemahan dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Larson.
Namun penelitian ini menganalisis strategi terjemahan metafora dari bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia pada sebuah novel serta mengukur tingkat keakuratan terjemahan
sedangkan objek pada penelitian Pardede adalah strategi terjemahan metafora pada puisi dari
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris serta tidak menilai tingkat keakuratan terjemahan.
2.

Shafa Firda Nila (2013) dalam tesisnya ―Teknik Penerjemahan Metafora, Simile dan

Personifikasi dalam Novel The Kite Runner dan Dampaknya terhadap Kualitas Terjemahan‖
menunjukkan bahwa terdapat 14 teknik penerjemahan yang digunakan dalam terjemahan
metafora, simile, dan personifikasi novel The Kite Runner, yaitu penerjemahan harfiah 192
data (46.5%), peminjaman 49 data (11.9%), modulasi 35 data (8.5%), kompensasi 25 data
(6.1%), amplifikasi 21 data (5.1%), amplifikasi linguistik 19 data (4.6%), reduksi 18 data
(4.4%), transposisi 15 data (3.6%), kompresi linguistik 14 data (3.4%), generalisasi 10 data
(2.4%), teknik penghilangan 5 data (1.2%), adaptasi dan kreasi diskursif masing-masing 4
data (1.0%), serta partikularisasi 2 data (0.5%). Untuk kualitas terjemahan, dilihat dari tingkat
keakuratan, sebanyak 312 data (88.1%) tergolong terjemahan akurat, 38 data (10.8%)
termasuk terjemahan kurang akurat, dan 4 data (1.1%) merupakan terjemahan tidak akurat.
Dilihat dari aspek keberterimaan, sebanyak 332 data (93.8%) merupakan terjemahan yang
berterima dan sebanyak 22 data (6.2%) merupakan terjemahan yang kurang berterima.
Sementara dari aspek keterbacaan, sebanyak 350 data (98.9%) memiliki tingkat keterbacaan
tinggi dan 4 data (1.1%) memiliki tingkat keterbacaan sedang. Dari hasil analisis dampak
teknik

penerjemahan

terhadap

kualitas

terjemahan,

teknik

penerjemahan

harfiah,

peminjaman, modulasi, kompensasi, amplifikasi, amplifikasi linguistik, transposisi, kompresi

Universitas Sumatera Utara

linguistik, generalisasi, adaptasi, dan partikularisasi mampu menghasilkan terjemahan
metafora, simile, dan personifikasi yang berkualitas. Sementara teknik reduksi, kreasi
diskursif, dan penghilangan cenderung menghasilkan terjemahan yang kurang berkualitas.
Dari hasil penelitian Shafa Firda Nila dapat menyumbangkan kontribusi terhadap
penelitian ini yaitu menambah pengetahuan penulis mengenai metafora dan cara
mengevaluasi penilaian kualitas terjemahan metafora khususnya keakuratan terjemahan
metafora.
3.

Retno Hendrastuti, M.R. Nababan, Tri Wiratno (2013) dalam jurnal ―Kajian

Terjemahan Metafora yang menunjukkan sikap dalam Buku Motivasi The Secret‖
menunjukkan bahwa (1) ada 15 jenis teknik penerjemahan dari total 292 teknik yang
ditemukan dalam terjemahan metafora yang menunjukkan sikap dalam buku The Secret, (2)
penilaian terhadap kualitas terjemahan menunjukkan hasil kualitas yang tinggi (3) penerapan
teknik-teknik penerjemahan menghasilkan tingginya kualitas

terjemahan karena dapat

mengakomodasi perbedaan kaidah bahasa dan budaya serta mengalihkan bentuk, jenis
makna, dan sikap.
Hasil penelitian jurnal ini juga memberikan kontribusi terhadap penelitian ini yaitu
menambah pengetahuan penulis mengenai metafora dan cara mengevaluasi penilaian kualitas
terjemahan metafora khususnya keakuratan terjemahan metafora.
4.

Luh Nyoman Tri Lilasari (2012) dalam tesisnya The translation of live metaphors in

―harry potter and the deathly hallows‖ into ―harry potter dan relikui kematian‖
menjabarkan makna yang tersirat dalam live metaphors yang diterapkan dalam novel
tersebut, dan kemudian menganalisa strategi yang digunakan untuk menerjemahkannya ke
dalam versi Indonesianya serta menemukan jenis shift atau perubahan yang muncul pada
proses penerjemahannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa sulit untuk menjelaskan makna
metafora jika topik dan/atau titik kesamaan pada live metaphors dinyatakan tersirat tidak

Universitas Sumatera Utara

tersurat secara jelas. Strategi yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan live
metaphors pada novel ini ada tiga yaitu dengan mempertahankan citra metaforanya,
menerjemahkannya dalam bentuk simile, atau langsung menerjemahkan arti yang sebenarnya
dengan atau tanpa mempertahankan citra metaforanya. Strategi yang pertama yang paling
sering diterapkan yaitu mempertahankan citra metaforanya dalam versi Indonesia. Keempat
jenis category shifts ditemukan dalam penerj