X HUKUM AGAMA HINDU TUGAS BAB I.pdf

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sistem politik dan hukum Hindu adalah alat untuk menegakkan dharma. Hal ini
ditegaskan oleh Maharsi Kautilya bahwa pentingnya Veda dipelajari adalah untuk
menegakkan dharma (kewajiban) dalam masyarakat,yaitu catur,varna dan catur,ashrama, sepe
rti berikut.Hukum yang ditulis dalam pengetahuan Veda bermanfaat untuk menjelaskan
kewajiban masing-masing varna (Catur Varna: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, Sudra) dan empat
tingkatan

kehidupan

(Catur

Ashrama:

Brahmacari,

Grehasta,

Vanaprastha,


Parivrajaka atau Sanyasin) (Arthasastra, III.I.4).

Kemudian, juga dalam Kautilya Arthasastra III.I.16 dan 17 dijelaskan tugas seorang
kepala negara adalah menjaga kewajiban hidup (catur varna dan catur asrama)agar dapat
dilaksanakan sepenuhnya. Mengingat pelanggaran terhadap pelaksanaan kewajiban
ini merupakan penyebab kehancuran dunia-kehidupan. Di sinilah, hukum (dandaniti)
mendapakan makna pentingnya dalam kehidupan umat manusia. Pemikiran ini telah
mendorong para Maharsi Hindu di masa lampu menyusun Dharmasastra sebagai kompedium
hukum Hindu pada setiap zaman (yuga) demi menjaga tegaknya dharma.

Sankha Likhita mengelompokkan Dharmasastra menjadi empat sebagai berikut:
1. Manawa Dharmasastra, untuk zaman Kerta Yuga.
2. Gautama Dharmasastra, untuk zaman Treta Yuga.
3. Sankha Likhita Dharmasastra, untuk zaman Dwapara Yuga.
4. Parasara Dharma Sastra, untuk zaman kali Yuga.

Kitab-kitab ini dapat dikatakan sebagai sumber hukum Hindu yang pada bagian-bagian
tertentu menginspirasi perkembangan hukum Hindu di Indonesia. Dalam perkembangannya
hukum Hindu di Indonesia dapat ditelusuri dalam berbagai kitab, seperti Kutara Manawa,

Usana Gajahmada, Sarasamuscaya, Adigama, Purwadigama Krtapati, Krtasima, Negara
Kertagama, Rajasana, Siwasasana, Putra Sasana, danRsi Sasana. Kitab-kitab ini menunjukkan
bahwa hukum Hindu telah diterapkan di nusantara, bahkan jauh sebelum sistem hukum
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

1

kolonial menjadi sumber hukum di Indonesia. Perubahan sistem politik sejak masuknya Islam
dan berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda secara sistematis telah menenggelamkan
hukum Hindu dalam sistem perpolitikan nasional.

Bali sebagai pulau yang mayoritas pendudukannya beragama Hindu dan memiliki
hukum adat yang kuat, tampaknya juga tidak mampu melawan kekuatan negara. Peradilan adat
Bali (raad van kertha) yang pernah lahir sekitar tahun 1930-an harus ditutup dengan terbitnya
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Kemudian, juga terbitnya undang – undang

Nomor 14 Tahun 1974 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman semakin
memperkuat ketentuan penghapusan lembaga peradilan adat tersebut. Mengingat dalam salah
satu penjelasan UU No. 14/1974 menyebutkan bahwa peradilan adalah peradilan negara
dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi
peradilan-peradilan swapradja atau peradilan adat yang dilakukan bukan badan peradilan
negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka tertutup kemungkinan untuk membentuk lembaga
peradilan adat, kecuali bila dilakukan judicial review terhadap Undang-undang tersebut.

Walaupun demikian, tampaknya peluang dibentuknya pengadilan agama masih cukup
memungkinkan, bila mengacu pada alasan yuridis terbentuknya Peradilan Agama (Islam).
Peradilan Agama ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tanggal 29
Desember 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini diterbitkan untuk mengatur
susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang
selama ini masih beraneka karena didasarkan pada:
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882
Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Sya’riah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957

Nomor 99).
Dengan asumsi yang sama, juga semestinya pemerintah memberikan pengakuan pada
hukum Hindu, bila umat Hindu mampu menunjukkan kekhasan dan kekhususan sistem
hukumnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang Pengadilan Agama
Hindu, baik aspek filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologisnya. Makalah ini secara khusus
akan mengungkap aspek sosiologisnya.

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

2

BAB II
LANDASAN SOSIOLOGIS
2.1. Ranah Hukum Hindu


Gambar 1.1 Rapat Hukum Adat
Indonesia bukanlah negara agama ataupun negara sekuler, tetapi negara hukum.
Ketegasan tentang hal ini diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 yang
kemudian, diganti dengan Tap MPR Nomor 3 Tahun 2000 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia. Dengan adanya hirarki seperti ini, maka setiap
produk perundang-undangan dan peraturan hukum tidak boleh bertentangan dengan hirarki
yang lebih tinggi. Demikian juga dengan hukum agama yang mungkin diberlakukan dalam
sistem hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional. Oleh
karena itu, untuk menunjukkan sifat khas dan kekhususan hukum Hindu perlu diungkap ranah
hukum Hindu yang dapat diterapkan dalam Peradilan Agama Hindu.

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

3


Penelusuran terhadap sistem hukum Hindu dapat dilakukan dengan menggali
kitab Dharmasutra dan berbagai pemikiran yang bersumber daripadanya. Topik pokok
mengenai hukum Hindu disebut Wyawaharapada yang dikembangkan secara berbeda oleh
beberapa penulis Dharmasutra, seperti Gautama, Apastambha, dan Baudhayana.Gautama
membahas pokok-pokok hukum pidana dan perdata yang ditulisnya dalam Gautama
Dharmasastra, khususnya Bab XII.

Berbeda dengan Gautama, Apastambha menambahkan pokok-pokok materi
Wyawaharapada dengan beberapa masalah yangsebelumnya belum dibahas Oleh Gautama,
seperti :
(1) hukum tentang perzinahan;
(2) hukum tentang bunuh diri, pencurian, sengketa tanah;
(3) hukum tentang sengketa antara buruh dan majikan;
(4) hukum tentang pelanggaran dharma secara terus-menerus; dan
(5) hukum tentang penyalahgunaan hak milik.

Sementara itu, Baudhayana menambahkan pokok-pokok hukum dalam bebarapa topik,
seperti berikut.
(1) Hukum yang membenarkan seseorang membunuh orang lain karena membela
diri.

(2) Hukuman bagi seorang Brahmana.
(3) Penghukuman atas golongan rendah yang dipersalahkan karena membunuh
Brahmana.
(4) Penghukuman atas pembunuh yang hukumnya dibedakan menurut status orang
yang dibunuh.
(5) Penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan mengenai ternak orang lain dan
hewan-hewan lainnya.
Di samping itu, juga Maharsi Wasistha menguraikan tentang hukumkekerabatan,
anak, perkawinan, dan waris. Penjelasan lebih luas dapat disimak dari pandangan Manu dan
Yajnawalkya dalam Dharmasastra. Kedua penulis ini telah membahas beberapa topik hukum
secara luas dan mendalam. Berdasarkan kitabDharmasastra yang ditulis oleh Manu (Manawa
Dharmasastra atau Manu Smrti),paling tidak terdapat 18 topik hukum atau Wyawaharapada,
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

4


sebagai berikut.

1. Rinadana (hukum tentang tidak membayar hutang);
2. Niksepa (hukum tentang deposito dan perjanjian);
3. Asmawi Wikraya (hukum tentang penjualan barang tak bertuan);
4. Sambhuya-Samutthana (hukum tentang perikatan atau kontrak);
5. Dattasyanapakarma (hukum tentang hibah dan pemberian);
6. Wetanadana (hukum tentang tidak membayar upah);
7. Samwidwyatikarma (hukum tentang pengingkaran perjanjian);
8. Krayawikrayanusaya (hukum tentang pelaksanaan jual beli);
9. Swamipalawiwada (hukum tentang perselisihan antara buruh dan majikan);
10. Siwawiwada (hukum tentang perselisihan perbatasan);
11. Wakparusya (hukum tentang penghinaan);
12. Dandapurusya (hukum tentang penyerangan);
13. Steya (hukum tentang pencurian);
14. Sahasa (hukum tentang kekerasan);
15. Strisamgraham (hukum tentang suami istri);
16. Stripundharma (hukum tentang kewajiban seorang istri);
17. Wibhaga (hukum tentang pembagian waris);

18. Dyutasamahwaya (hukum tentang perjudian dan pertaruhan).

Dari delapan belas ranah hukum dalam Manawa Dharmasastra tersebut dapat
dipahami bahwa hukum Hindu menyangkut hukum perdata dan pidana. Dari tema tersebut
sebagian memang telah diatur penyelesaiannya menurut hukum negara di Indonesia. Akan
tetapi, terdapat tema-tema khusus yang memerlukan penyelesaian secara khusus menurut
hukum Hindu karena sistem negara tidak mampu mengakomodasi seluruh kepentingan dan
rasa keadilan umat Hindu. Oleh karena itu, ranah ini dapat dikembangkan pada aspek-aspek
khas dan khusus misalnya, hukum tentang perkawinan dan perceraian, pencurian benda-benda
sakral, hibah dan pemberian, pengangkatan anak, dan hukum waris.

Selain ranah hukum tersebut, juga Arthasastra menjelaskan tata urutan penyelesaian
kasus-kasus hukum, meliputi (1) dharma, merujuk pada Manawa Dharmasastra; (2) bukti,
berdasarkan kesaksian; (3) acara, tradisi yang diterima dan dipraktikkan di masyarakat; dan
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU


5

(4) rajyasastra, yaitu hukum tertulis dari Raja. Adapun hakim tertinggi dari sistem hukum
Hindu ini adalah Brahmanasista, yaitu seorang pendeta yang telah memahami sistem hukum
Hindu. Tata cara penyelesaian kasus hukum ini tampaknya dapat digunakan untuk
menunjukkan kekhasan dan kekhususan sistem peradilan agama Hindu. Dengan kata lain,
sistem peradilan agama Hindu dapat dilakukan dengan menyesuaikan tata urutan tersebut
dengan sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.

2.2. Hukum Hindu dan Hukum Adat
Secara sosiologis, umat Hindu di Indonesia berasal dari latar belakang suku yang
berbeda. Realitas sosial ini membuka peluang terjadinya dikontinuitas, bahkan konfrontasi
antara hukum Hindu dan hukum adat yang diwarisi oleh umat Hindu di Indonesia pada daerah
masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang mendalam untuk mengatasi hal
tersebut sehingga kehadiran Pengadilan Agama Hindu menjadi fungsional untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan umat Hindu. Di sinilah, landasan filosofis dan yuridis hukum
Hindu dieksplorasi secara mendalam untuk mengatasi persoalan sosiologis yang akan muncul
pada ranah-ranah tertentu.
Secara filosofis dan yuridis, sumber hukum Hindu dapat dirujuk pada ajaranManawa

Dharmasastra, II. 6, sebagai berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti) merupakan sumber pertama dari dharma.
Kemudian, smerti (tafsir atas Weda), tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang
mendalami ajaran suci Weda (sila), adat istiadat (acara), dan kepuasan pribadi (atmanastuti).
Dari sloka ini dapat dipahami bahwa sumber hukum Hindu secara berurutan
adalah Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Kelima sumber hukum Hindu ini dapat
diinterpretasi

lebih

lanjut

bahwa Sruti adalah

kitab

suci

Veda

(Catur

Veda),

sedangkan Smerti adalah seluruh kitab suci yang merupakan penjabaran dan penafsiran
dari Sruti. Dalam

konteks

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

ini,

seluruh

kitab

suci

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

agama

Hindu

selain Catur

6

Veda, sepertiManawa Dharmasastra, Sarasamuccaya, Kutara Manawa, Negara Kertagama,
Purwadigama, dan lain sebagainya dapat dikompilasikan menjadi sumber hukum dalam sistem
peradilan Hindu. Selanjutnya, sila atau perilaku orang suci dapat diaplikasikan dalam sistem
peradilan Hindu dengan menjadikan orang-orang suci yang berkompeten ini sebagai saksi ahli.
Kesaksian dari orang suci ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dari hakim Pengadilan
Agama Hindu dalam memutuskan perkara. Kemudian, acara yang berarti adat istiadat dihargai
dan dijadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara peradilan. Pada
akhirnya, atmanastutiyang berarti kepuasan hati dapat dimaknai sebagai pertimbangan final
dari hakim untuk memutuskan perkara demi terciptanya rasa keadilan semua pihak yang
bersengketa.
Mencermati sumber hukum Hindu tersebut, tampaknya Pengadilan Agama Hindu
dapat dibentuk tanpa harus mempertentangkan antara hukum Hindu dan hukum Adat.
Mengingat dalam sistem hukum Hindu, juga adat menjadi salah satu sumber hukum yang layak
dihormati dan dipatuhi. Dari sinilah, Pengadilan Agama Hindu harus dibangun dengan
menggunakan dua pendekatan sosiologis, yaitu monokultur dan multikultur. Pendekatan
monokultur berarti harus ada sistem hukum Hindu yang dapat diterapkan secara universal bagi
seluruh umat Hindu di Indonesia, misalnya dalam Hukum Perkawinan, Pencurian Benda-benda
Sakral, serta Hukum Hibah dan Pemberian. Sebaliknya, pendekatan multikultur bahwa sistem
hukum Hindu harus mampu mengadopsi dan mengadaptasi hukum adat yang unik dan khas
dari masing-masing daerah, seperti dalam Hukum Perceraian, Waris, dan Pengangkatan Anak.

(1) Hukum Perkawinan
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal (2) menyatakan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Interpretasi atas pasal ini bahwa perkawinan harus dilakukan dalam satu
agama. Dalam praktiknya, proses perkawinan umat Hindu di luar Bali seringkali mengalami
kendala terutama dalam pencatatan administratifnya. Malahan dalam kasus perkawinan beda
agama, proses adminitratif ini menjadi penyebab terjadinya konversi agama karena hambatanhambatan administratif untuk menikah secara Hindu. Secara de yure, memang untuk umat nonIslam pencatatan dilakukan di Catatan Sipil, tetapi secara de facto proses untuk itu seringkali
kurang berpihak pada umat Hindu. Oleh karena itu, diperlukan adanya instansi yang secara
khusus mengurusi administrasi perkawinan umat Hindu dan Pengadilan Agama Hindu dapat
mengambil peran tersebut. Artinya, keberadaan Pengadilan Agama Hindu ini penting untuk
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

7

memberikan kepastian hukum bagi umat Hindu dalam penyelesaian proses administrasi
perkawinan tanpa diskriminasi.
Adapun persyaratan sahnya perkawinan menurut agama Hindu dapat ditetapkan
adalah tri saksi, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusa saksi. Bukti hukum dari dewa
saksi dan bhuta saksi adalah rohaniawan Hindu yang muput upacarapawiwahan tersebut
dengan berbagai sebutan menurut tradisi lokal di masing-masing daerah. Seperti
misalnya, pamangku, sulinggih (Bali dan Indonesia umumnya), Wasi(terutama daerah Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Dukun (Tengger) atau pemuka-pemuka adat yang
berafiliasi ke agama Hindu. Sementara itu, manusa saksi dapat dibuktikan legalitasnya dengan
tanda tangan perangkat desa, Parisada, atau umat beragama Hindu yang dibuktikan dengan
KTP. Apabila seluruh persyaratan ini telah dipenuhi maka Akta Perkawinan dapat diproses di
Pengadilan Agama Hindu tanpa melalui jalur administrasi yang panjang dan berbelit-belit.

(2) Hukum Pencurian Benda Sakral
Pencurian benda-benda sakral menjadi ranah penting yang perlu ditangani dengan
sistem hukum yang khusus, seperti peradilan Hindu. Mengingat ranah ini tidak semata-mata
menyangkut hukum pidana yang bernilai secara material, tetapi juga religius-spiritualnya.
Hukum negara yang hanya mempertimbangkan nilai material dari kasus pencurian benda sakral
cenderung

mencederai

rasa

keadilan

umat

Hindu.

Misalnya,

kasus

pencurian pratima yang sempat marak terjadi di Bali menjadi salah satu bukti betapa sistem
hukum negara tidak mampu mengakomodasi kepentingan umat Hindu. Seorang
pencuri pratima divonis dengan hukuman 2 bulan penjara dalam proses persidangan selama 6
bulan sehingga sama artinya dengan bebas. Putusan ini benar secara hukum formal karena nilai
material pratima yang bahan dasarnya kayu cendana relatif kecil. Akan tetapi, bila kasus seperti
ini diselesaikan dalam peradilan agama, bisa jadi hukuman yang diputuskan akan lebih tinggi
karena juga mempertimbangkan rasa keadilan umat Hindu.

(3) Hukum Hibah dan Pemberian
Persoalan Hibah dan Pemberian adalah masalah krusial yang dapat digarap dengan
terbentuknya Pengadilan Agama Hindu. Mengingat hibah dan pemberian ini seringkali tidak
dilengkapi dengan legalitas yang memadai sehingga dapat menimbulkan konflik sosial. Hal ini
dapat berkaca dari berbagai kasus sengketa palaba pura yang terjadi di Bali karena
penghibahan tanah palaba pura tidak tercatat secara legal. Demikian juga dengan asset-asset
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

8

yang dihibahkan, baik oleh perorangan maupun kelompok kepada lembaga keagamaan Hindu
seringkali menjadi sumber ketegangan yang antiproduktif bagi kemajuan umat Hindu sendiri.
Meskipun aspek legal ini dapat diperoleh melalui sistem hukum negara, tetapi penyelesaian
hukum ketika terjadi sengketa terkadang tidak memuaskan berbagai pihak. Misalnya, sengketa
tanah palaba pura dapat dimenangkan oleh pemberi hibah (atau keturunannya) karena secara
legal sertifikat tanah tersebut masih atas nama pemilik, bukan atas nama pura sehingga
mencederai rasa keadilan bagi pangemongnya. Dengan kasus seperti ini, Pengadilan Agama
Hindu dapat menyelesaikan sengketa dengan pertimbangan dan keputusan yang mungkin
berbeda dengan sistem peradilan hukum negara.

(4) Hukum Perceraian
Perceraian merupakan perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama (Islam)
di Indonesia. Dalam ranah hukum, perceraian tidak saja berhubungan dengan pemutusan
hubungan suami-istri, tetapi juga menyangkut kedudukan, hak, dan kewajiban suami-istri yang
telah bercerai. Artinya, ada dampak ikutan yang mesti dipertimbangkan dari sebuah perceraian,
seperti pembagian kekayaan, pengasuhan anak, dan status sosial pada sistem sosial khusus
misalnya, tradisi wangsa di Bali. Dalam konteks inilah diperlukan pengadilan agama Hindu
yang dapat memberikan keputusan tentang perkara perceraian dan seluruh implikasi yang
ditimbulkannya menurut Hukum Hindu. Akan tetapi, pendekatan yang digunakan mesti
multikultur dengan mengadopsi sistem hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Hal
ini sekaligus menegaskan karakter Hindu Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai
kebhinekaan menurut desa, kala, dan patra.
Menyimak proses peradilan agama Islam, tampaknya model pemutusan perkara
perceraian dilakukan dengan tiga langkah, yaitu pembinaan, mediasi, dan putusan persidangan.
Model ini pada dasarnya juga dapat diterapkan dalam sistem peradilan Hindu dengan sifatnya
yang spesifik. Pembinaan kepada pihak yang akan bercerai merupakan pendekatan persuasif
yang dapat memberikan efek positif bagi batalnya perceraian. Dilanjutkan dengan mediasi
yang melibatkan pihak ketiga dan difasilitasi oleh pengadilan juga memungkinkan perceraian
batal terjadi. Lebih penting dari itu bahwa ketiga proses ini memerlukan waktu yang relatif
lama karena seluruh tahapan harus diikuti sebelum pengadilan memutuskan. Hal ini dapat
memberikan dampak psikologis bagi orang yang akan bercerai sehingga dapat menekan angka
perceraian itu sendiri. Artinya, model putusan perceraian yang dibuat bertahap seperti ini dapat

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

9

memberikan implikasi positif, baik secara psikologis maupun sosiologis kepada umat Hindu
untuk berpikir ulang sebelum memasukkan masalah rumah tangga ke ranah perceraian.
Masalah ikutan dari perceraian yang penting untuk diperhatikan adalah hak mengasuh
anak. Hal ini berkaitan erat dengan hukum adat yang dianut oleh masing-masing umat Hindu
sehingga sifatnya spesifik di tiap-tiap daerah. Bagi umat Hindu etnis Bali yang menganut
sistem patrilineal hak asuh anak dapat diberikan kepada pihak laki-laki (purusa). Sementara
itu, bagi etnis Jawa yang menggunakan sistem paternalistik hak asuh anak dapat mengadopsi
sistem perundang-undangan negara, misalnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Boleh jadi,
juga bagi umat Hindu yang berasal dari etnis matrilineal juga penting diperhatikan sistem
adatnya. Dengan asumsi seperti ini, maka hukum perceraian Hindu dapat diatur dengan
mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus, yaitu (1) tahapan perceraian dapat diberlakukan
bagi seluruh umat Hindu, dan (2) hak asuh anak diputuskan dengan mengadopsi sistem hukum
adat yang berlaku di masing-masing daerah. Penghargaan terhadap multikulturalisme dalam
sistem hukum ini, justru dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan pada setiap umat
Hindu.

(5) Hukum Waris
Mencermati sistem waris yang diafirmasi dalam berbagai hukum adat, tampaknya
hukum waris Hindu memerlukan pembahasan khusus. Dengan model pendekatan multikultur
hukum adat diadopsi dan diadaptasi dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Pada
masyarakat Jawa yang menggunakan sistem kekerabatan paternalistik memiliki beberapa
sistem waris yang unik seperti contoh kasus berikut. Pak Sumitro punya empat orang anak,
yakni Susilo, Dhanu, Suyati, dan Endang. Sebelum meninggal, Pak Sumitro ingin membagi
warisannya berupa sawah seluas 1 hektar, sebuah rumah, dan pekarangan seluas 50 are. Maka
sistem pembagiannya adalah sebagai berikut.
1. Sawah 1 hektar dibagi menjadi 5 bagian (masing-masing 20 are), yaitu 4 (empat)
bagian untuk anak-anaknya dan 1 (satu) bagian menjadi milik Pak Sumitro
sebagai tunggu urip. Secara leksikal, tunggu urip berarti penunggu hidup, tetapi
di sini dimaksudkan adalah tanah milik keluarga (Bali: druwe tengah) yang tidak
boleh dibagi lagi selama Pak Sumitro masih hidup, bahkan juga setelah
meninggal kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak. Misalnya, untuk biaya
pengobatan Pak Sumitro ketika sakit.
SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

10

2. Secara tradisi, rumah menjadi milik anak terakhir. Akan tetapi, karena
pertimbangan khusus rumah ini dapat dimiliki oleh anak yang tinggal bersama
Pak Sumitro dengan asumsi siapapun yang merawat Pak Sumitro selama
hidupnya. Misalnya, Endang sebagai anak terakhir ternyata menikah dan
membangun rumah sendiri bersama suaminya, sedangkan Suyati yang mau
menempati rumah itu bersama suaminya. Maka secara otomatis, hak atas rumah
tersebut menjadi milik Suyati. Sementara itu, pekarangannya tetap dibagi
menjadi lima bagian (masing-masing 10 are), seperti pembagian sawah di atas.

3. Pembagian warisan berupa tanah pekarangan diatur secara adil menurut patokan
jalan raya. Dengan maksud bahwa ketika tanah itu dijual harganya relatif sama.
Misalnya, tanah 50 are tersebut posisinya memanjang ke belakang dengan ukuran
(10 x 50 meter) dari jalan raya. Kalau tanah ini dibagi menjadi 5 dengan samasama mendapatkan rai (muka, jalan raya), maka setiap orang mendapat bagian 2
x 50 meter memanjang ke belakang. Posisi ini tentu tidak akan produktif untuk
keperluan tertentu, misalnya untuk membuat rumah. Oleh karena itu,
pembagiannya dapat diatur ulang dengan cara nyusuk, yaitu siapa yang mau
mendapatkan bagian paling dekat dengan jalan raya harus mengeluarkan uang
tambahan untuk membeli bagian yang lain sesuai dengan harga yang berlaku di
daerah tersebut.

Di samping sistem waris yang berlaku seperti tersebut di atas, pada beberapa daerah
di Jawa juga masih berlaku sistem pembagian waris yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan dengan sistem sapikul-sagendongan. Sapikul berarti pihak laki-laki mendapatkan 2
bagian, sedangkan perempuan mendapatkan 1 bagian (sagendongan). Sementara itu,
masyarakat Bali yang menjadi mayoritas pemeluk agama Hindu dan sekarang tersebar di
berbagai daerah dapat tetap diadopsi sistem waris adatnya. Mengingat terdapat beberapa
kesamaan antara sistem waris adat Bali denganManawa Dharmasastra yang cenderung
mengarah ke sistem patrilineal. Artinya, diperlukan kecermatan dalam menyusun kitab
undang-undang hukum waris Hindu yang dapat diterapkan bagi seluruh umat Hindu di
Indonesia dengan tetap mengakomodir kepentingan lokal.

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

11

(6) Hukum Pengangkatan Anak
Berkenaan dengan hukum pengangkatan anak terdapat dua persoalan krusial yang
harus ditetapkan dalam sistem hukum Hindu, yaitu (1) keabsahan pengangkatan, baik secara
agama maupun dinas; (2) hak dan kewajiban anak yang diangkat; dan (3) sistem waris kepada
anak yang diangkat. Pada masalah pertama, Pengadilan Agama Hindu dapat menjadi institusi
yang melegitimasi pengangkatan seorang anak dengan mempertimbangkan upacara agama dan
kesaksian terkait dengan hal tersebut.

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

12

BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini yakni bahwa Hukum adalah sesuatu
yang sangat penting di terapkan di masyarakat terutama atau khususnya masyarakat yang
HINDU DI BALI hal ini dapat mencerminkan sikap dan perilaku yang muncul dalam
masyarakat manusia itu sendiri dalam perwujudan riil pada sikap dan selalu berpandangan
bahwa suatu masyarakat bangsa pada umumnya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 dan Pancasila yang akan mempengaruhi sikap mental suatu masyarakat.
3.2.SARAN
Adapun saran dari penulisan makalah ini yakni semua pihak atau masyarakat bali
khususnya agar mentaatti hukum atau kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat,guna untuk
mensejahterakan masyarakat agar tidak terjadinya juga ketumpang tindihan antara polemikpolemik permasalahan di masyarakat yang ada, serta seandainya ada permasalahan yag terjadi
di masyarakat agar cepat di musyawarahkan secara kekeluargaan.!

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

13

3.3.Daftar Pustaka

SMK N 1 DENPASAR
TAHUN AJARAN2016/2017

LANDASAN SOSIOLOGIS
PEMBENTUKAN PERADILAN
AGAMA HINDU

14