Peran Keluarga dalam Partisipasi Politik

Peran Keluarga dalam Partisipasi Politik

Sosialisasi politik dimulai sejak masa kanak-kanak. Sebelum seorang anak
masuk sekolah, keluarga, dalam hal ini orang tua berperan sebagai agen utama
sosialisasi politik. Dengan masuknya seorang anak ke sekolah, maka yang
berperan sebagai agen sosialisasi baginya adalah keluarga dan sekolah. Apa ynag
dipelajari seorang anak? Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak Amerikan
tahu siapa presiden mereka, dan mereka sadar akan adanya Partai Republik dan
Demokrat. Di Indonesia pun, cukup banyak anak-anak yang belum genap 9 tahun
tahu siapa presiden Republik Indonesia. Tapi apakah anak-anak Indonesia pun
tahu jumlah dan nama-nama partai politik yang ada di negeri ini? Pertanyaan ini
sukar dijawab dengan ya, mengingat banyak jumlah partai politik yang ada di
Indonesia dewasa ini. Sosialisasi politik di kalangan anak-anak pun merupakan
upaya untuk membentuk beberapa sikap politik yang penting. Sekolah dan orang
tua mulai memengaruhi kepekaan anak-anak akan pentingnya politik (Thio, 1998:
42: maran, 2001). orang tua pun seringkali mengalihkan identifikasi partai mereka
(dukungan mereka terhadap suatu partai politik) kepada anak-anak mereka. Jika
kedua orang tua mereka emndukung partai yang sama, mereka mungkin
mendukung partai itu. Namun sejalan dengan pertambahan usia, identifikasi
mereka dengan dukungan orang tua.
Di Amerika Serikat, pengaruh orang tua pada umumnya lebih kuat di

kalangan republikan yang konservatif ketimbang di kalangan demokrat yang
liberal. Seperti dikemukakan oleh Frederic Koening, anak-anak konservatif lebih
merasa terpanggil untul membela tradisi-tradisi warisan generasi-generasi tua dan
memiliki respek yang lebih besar terhadap tokoh pemimpin, seperti orang tua.
Anak-anak juga mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap pemerintah
pada umumnya, khususnya terhadap para politisi. Dengan bertambahnya usia,
dukungan terhadap sistem politik pun cenderung meningkat. Tetapi kepercayaan
terhadap pejabat-pejabat pemerintah tampaknya merosot. Gejala ini tidak hanya
terjadi di Amerika Serikat, tetapijuga di negara-negara lain.

1

Sosialisasi politik berlanjut di masa ketika anak-anak telah
bertumbuh menjadi remaja dan pemuda. Di masa-masa seperti ini, kepercayaankepercayaan politik seseorang dipengaruhi oleh teman-teman, keluarga, dan
rekan-rekannya. mereka bisa memperngaruhi dukungan kita terhdap partai politik
tertentu.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton
dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan
presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai
tokoh kekuasaan. Mereka juga mengutarakan empat tahap dalam sosialisasi

politik dari anak, yaitu: (1) pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti
otang tuan anak, presiden, dan polisi. (2) perkembangan pembedaan antara
otoritas internal dan yang eksternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat
pemerintah. (3) pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal,
seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu),
dan (4) perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka
yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
#( Basrowi, Sukidin, Suko Susilo. 2012. Sosiologi Politik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. )#

Menurut Almond dan Powell Jr. , struktur politik dapat dibedakan ke
dalam sistem, proses, dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada
organisasi dan indtitusi yang memelihara atau mengubah (maintain or change)
struktur politik, dan secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi
politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik. Ketiga fungsi ini hampir selalu
ada dalam sistem politik. Fungsi-fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi
bagaimana generasi muda dan anak-anak mendapatkan sosialisasi kehidupan
politik dari berbagai institusi seperti keluarga, tempat-tempat ibadah, lingkungan
kerja, sekolah, dan lain sebagainya.
Proses sosialisasi akan sangat berpengaruh terhadap budaya politik, dan
faktor-faktor yang turut memengaruhi di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, karakter nasional. Pembedaan budaya politik seringkali didasarkan pada
ketakinan bahwa ciri-ciri umum yang spesifik dan utama memberikan anggota
suatu bangsa yang membedakan dirinya oleh orang lain sebagaimana halnya

2

dirinya. Orang-orang Perancis berbeda dengan orang-orang Inggris, Rusia, Jerman
ataaupun Amerika. Demikian juga, orang-orang Indonesia berbeda dengan orangorang Malaysia, Thailand ataupun Filipina, meskipun barangkali mereka adalah
serumpun. Kedua, orientasi terhadap kekuasaan. Ketiga, rekrutmen pemimpin.
Pemimpin politik lebih dari pada orang-orang biasa yang mempunyai pengaruh
terhadap kelompok-kelompok politik. Cara dimana mereka naik ke puncak
kekuasaan – untuk meraih kontrol alat-alat kekuasaan politik – adalah aspek
signifikan dalam budaya politik suatu bangsa. Dalam banyak negara,
kepemimpinan politik dimonopoli oleh keluarga-keluarga khusus, status sosial,
agama, latar belakang etnik, dan pendidikan. Hasilnya hanya sekelompok kecil
anggota masyarakat yang dapat berharap untuk mendapatkan kekuasaan, dan tidak
mengherankan

jika


kebijakan

publik

lebih

merefleksikan

kepentingan-

kepentingannya. Terakhir, gaya politik. Sikap individu terhadap proses politik dan
pandangannya mengenai hubungannya itu memberi perbedaan gaya pada budaya
politik. Sebagai contoh, individu melihat bahwa proses perubahan akan sangat
dipengaruhi oleh berbagai tindak kekerasan, hukum, dan kepentingan.
Selanjutnya, individu-individu ini akan mencari sesuatu yang mungkin mereka
dapat melalui kekuatan, memenangkannya melalui tawar-menawar atau mereka
akan meraihnya dengan menggunakan keduanya.

#( Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era


Reformasi.)#

Menurut Almond, sarana-sarana sosialisasi politik yang baku adalah:
keluarga, sekolah, kelompok bermain (peer groups), lingkungan pekerjaan dan
organisasi profesi, media massa dan kontak-kontak politik langsung, dengan
catatan, tiga sarana yang disebutkan pertama, terutama keluarga, merupakan
sarana yang terpenting karena keluarga merupakan lembaga pertama bagi
seseorang, yang ikatan di antara anggota-anggotanya bersifat emosional dan
berlangsung lama. Keluarga, terutama kedua orang tua, merupakan sumber
pertama bagi seorang anak dalam mengenal dan memahami lingkungannya. Oleh
sebab itu, seorang anak cenderung mengembangkan sikap partisan terhadap
preferensi nilai yang dianut orangtuanya.

#( Suleman, Zulfikri. 2010. Demokrasi untuk

Indonesia: pemikiran politik bung hatta. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.)#

3

Pendapat Abcarian dan Masannat menjelaskan bahwa di dalam masyarakat

yang sedang mengalami perubahan yang pesat, yang ditandai dengan konflik antar
generasi. Sikap politik para individu cenderung mirip dengan orang tuanya.
Banyak studi menunjukkan bahwa anak-anak cenderung mempertahankan polapola identifikasi partai politik yang sama dengan orang tuanya, dan bahwa anakanak tidak terlalu banyak memperhatikan soal politik bilamana orang tuanya tidak
mengembangkan atau mengalihkan sikap politiknya kepada mereka. Berkaitan
dengan hal ini, beberapa kualifikasi berdasarkan kesimpulan yang dibuat oleh
studi McClosky dan Dahlgren patut diperhatikan. Para penulis juga menemukan
bahwa pengaruh keluarga semacam itu kuat kalau dilandasi kekompakan keluarga,
seperti di antara ibu dan ayah; bahwa perngaruh keluarga itu hebat kalau para
anggotanya masing-masing dekat satu sama lain; dan bahwa pengaruh keluarga
itu akan terus memperngaruhi orientasi politik di seluruh kehidupannya.
Lingkungan keluarga dan orang-orang di sekitar wakil rakyat akan
mempengaruhi sikap dan perilaku dari si wakil tersebut, sehingga akan
menimbulkan budaya politik tertentu. Menurut Almond dan Verba (1984:14),
“budaya politik merupakan orientasi sikap politik terhadap sistem politik dan
bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem
terseb –internalize-ut”.

#( Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik.Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana Indonesia. )#


Lewat

proses

sosialisasi,

seorang

individu

menghayati,

mendarahdagingkan –internalize- nilai-nilai, norma dan aturan yang dianut
kelompok di mana ia hidup. akhirnya “kertas putih” tersebut menjadi diri yang
unik. Artinya ia memiliku seperangkat sikap, nilai, kesukaan dan ketidaksukaan,
tujuan dan maksud, pola reaksi dan konsep yang mendalam dan konsisten tentang
dirinya sesuai dengan latar belakang budaya, status sosial keluarga maupun
perannya dalam keluarga.


4

Menurut Keinston, tidak ada satu institusi yang lebih berjalinan secara erat
dengan institusi lainnya seperti institusi keluarga. Artinya institusi-institusi yang
ada di dalam masyarakat, termasuk juga institusi pendidikan, tidak mungkin
dipisahkan hubungannya dengan institusi keluarga.

#( Ihromi. 1999. Bunga Rampai Sosiologi

Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)#

5

Daftar Pustaka

Basrowi, Sukidin, Suko Susilo. 2012. Sosiologi Politik. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.
Suleman, Zulfikri. 2010. Demokrasi untuk Indonesia: pemikiran
politik bung hatta. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik.Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Ihromi. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia

6