CARA SEHAT MEROKOK Mendamaikan Motif Kes

CARA SEHAT MEROKOK
Mendamaikan Motif Kesehatan dan Ekonomi

Oleh
ARLIN ADAM
Sosiolog Kesehatan

Kenaikan harga rokok menjadi wacana yang mengemuka di
panggung sosial kita saat ini. Dimulai dari ekspose hasil penelitian
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI menetapkan batas harga
psikologis seseorang tidak mampu membeli rokok Rp. 50.000 per
bungkusnya. Kesimpulan ilmiah tersebut mengandung makna
implikatif dalam mengurangi akses rokok, khususnya bagi generasi
muda sekaligus secara imperatif, memaksa para perokok perlahanlahan mengurangi konsumsi rokoknya atau berhenti sama sekali.
Pemaknaan inilah kemudian yang dipersepsi oleh banyak kalangan,
sehingga menimbulkan respon sesuai kepentingannya masingmasing. Adu argumentasipun tak terelakkan. Kalangan dunia
industri rokok paling gesit melemparkan isu-isu perlawanan sebab
dibalik kesimpulan riset tersebut terbersit ancaman melemahnya
produktivitas industri rokok. Nalar yang digunakan dominan
berdimensi ekonomi bahwa ketika produktivitas industri rokok
menurun, sekitar 6 juta tenaga kerja yang bekerja pada rantai

komoditas ini (penanaman, produksi, dan pemasaran) terancam
menjadi pengangguran. Justifikasi lainnya, cukai rokok memberi
kontribusi sebanyak 148,85 trilyun pada postur APBN (target
penerimaan tahun 2016). Sebuah angka yang signifikan dalam
menopang kemampuan fiskal Negara. Karena itu, kelompok ini
dengan percaya diri dan terang-terangan tampil sebagai aktor
dalam menantang wacana kenaikan harga rokok.
Pengusung
wacana
kenaikan
harga
rokok
mengemas
argumentasinya dalam konteks kesehatan penduduk. Perilaku
merokok dianggap sebagai proses meracuni diri sendiri dan orang
lain akibat asap rokok mengandung berbagai jenis racun yang
membahayakan kesehatan tubuh. Fenomena lain yang dijadikan
justifikasi ilmiah oleh kelompok ini adalah adanya kecenderungan
jumlah perokok di usia muda dan populasi miskin mengalami
peningkatan akibat kemudahan akses terhadap rokok. Kontribusi

terhadap kemampuan fiskal yang dijadikan pilar argumen oleh
kelompok penantang didebat dengan fakta justru Negara

mengeluarkan banyak anggaran hanya untuk membiayai penyakitpenyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok.
Debat yang berkepanjangan tersebut menimbulkan kontestasi
wacana di arena publik. Dua kelompok masing-masing memainkan
kekuatannya dalam rangka memenangkan pertarungan wacana.
Dalam pandangan Foucault, wacana termanifestasi menjadi
pengetahuan yang didalamnya mengandung kekuasaan. Dibalik
pengetahuan ada permainan kekuasaan (power) dan kekuasaan
sering menggunakan pengetahuan tertentu untuk melanggengkan
dirinya.
Pandangan foucauldian kelihatannya dipakai sebagai perkakas
ilmiah oleh dua kelompok kepentingan ini untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga rokok di pasaran.
Karena itu, wacana ini mengalir deras masuk ke istana dan senayan.
Para pengambil kebijakanpun berada di dua kutub dalam merespon
wacana ini, ada yang berdiri di kutub kepentingan kesehatan, tidak
sedikitpula yang menganut aliran di kutub ekonomi. Wacana apapun
yang akhirnya dijadikan sebagai titik tolak pengambilan keputusan,

tentu kita berharap kebijakan yang ada mampu mengakomodir
semua kelompok kepentingan.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu wacana baru sebagai ruang
negosiasi untuk mendamaikan kepentingan kesehatan dan
kepentingan ekonomi. Asumsi dasarnya adalah menjembatani motif
kesehatan dan motif ekonomi, sehingga fenomena merokok tidak
menimbulkan efek penyakit dan pada saat yang bersamaan
konstruksi ekonomi tidak mengalami kegoncangan.
Pemikiran jalan tengah beranjak dari kelemahan pikir yang
melandasi dua motif ini. Motif kesehatan menjadi kurang rasional
karena para perokok akan mencari alternatif lain untuk
menggantikan kebiasaannya, jika harga tidak dapat dijangkau.
Secara positif, alternatif konsumsi ini dapat menumbuhkan industri
domestik pengolahan rokok murah. Motif ekonomi mengalami
kesulitan untuk tetap bertahan dalam menekan harga, karena
tuntutan fiskal negara mendesak dalam menutup defisit anggaran.
Wacana yang ditawarkan untuk menegosiasikan kepentingankepentingan ini adalah perilaku merokok yang sehat. Sepintas
gagasan ini kelihatannya paradoksal, namun rasional. Dalam
pandangan kesehatan, merokok sering diposisikan sebagai faktor
resiko yang memicu timbulnya penyakit, tapi bukan determinan

sepanjang seseorang mampu untuk mengelola pola hidupnya yang
lain secara sehat seperti menjaga nutrisi seimbang, tidak stres,
istirahat cukup, dan olah tubuh yang teratur.

Resep merokok sehat dapat juga diaplikasikan melalui tindakan
untuk memastikan asap rokok tidak dihirup oleh orang lain.
Dibutuhkan suatu penciptaan lingkungan yang sehat dan nyaman
untuk semua serta tidak diskriminatif.
Pusat makna gagasan ini tetap mengakui rokok sebagai faktor resiko
penyakit, akan tetapi membuka ruang kebebasan individu untuk
memilih tindakan yang dianggapnya rasional. Skema tindakan
humanistik seperti ini, justru mampu memproduksi hormon
kebahagiaan yang dalam banyak segi menunjang kualitas
kesehatan seseorang.
Menyiasati merokok sehat harus juga dipraktekkan oleh dunia
industri untuk mengurangi tensi dari penganut pandangan
kesehatan. Rokok yang diproduksi didesain potensinya seminimal
mungkin berakibat pada gangguan kesehatan, fokus pemasaran
tidak menyasar anak-anak dan remaja, dan mengalokasikan
bantuan sosial terhadap program-program pemeliharaan kesehatan.

Pandangan ini menegaskan bahwa dunia industri haruslah
berwawasan kesehatan. Dibalik tujuan profitabilitas terkandung
motif-motif kesehatan menuju kesejahteraan masyarakat.
Apakah wacana ini mampu menyudahi polemik yang
berkepanjangan
tanpa
ujung
ataukah
malah
semakin
memperpanjang debat wacana publik? Semuanya berakhir pada
pemenuhan hasrat kuasa, antara libido ekonomi, libido kesehatan,
atau libido ekonomi-kesehatan. Libido apapun yang memandu,
kepentingan seluruh rakyat di atas segalanya.