Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekayaan merupakan persoalan penting dalam kehidupan manusia yang
memiliki hubungan erat dengan harta. Setiap kepemilikan harta akan berdampak pada
hak dan kewajiban serta penggunaan dan pembagian harta tersebut bagi pemilik harta
dan orang lain. Adanya berbagai sistem hukum yang dijadikan rujukan dalam
berbagai persolan harta dan kekayaan dalam perkawinan, menandakan betapa
pentingnya ketentuan

hukum yang mengatur tentang kekayaan dalam keluarga.

Terbentuknya sebuah perkawinan, bukan hanya sekedar ikatan di antara dua insan
manusia, tetapi juga memiliki ikatan-ikatan lainnya yang berhubungan dengan
pengaturan harta yang dimiliki mereka.
Sejak perkawinan dimulai, kekayaan yang dimiliki suami dan istri mengalami
percampuran harta dengan sendirinya. Ketentuan umum ini berlaku bagi suami dan
istri selama di antara keduanya tidak memiliki perjanjian tambahan. Percampuran

harta tersebut berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan
berlangsung. Jika di antara keduanya berkeinginan menyimpang dari ketentuan
tersebut, maka mereka harus melakukan perjanjian perkawinan.50 Dalam ketentuan
hukum, percampuran harta tersebut dikenal juga dengan harta bersama dan harta
bawaan.

50

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Pembimbing, 1961), hlm. 31.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Harta bersama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sejak tanggal terjadinya perkawinan
sampai perkawinan tersebut putus akibat perceraian dan kematian. Adapun harta
bawaan merupakan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang

diperoleh tersebut merupakan hadiah atau warisan yang sepenuhnya berada di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.51
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)52, harta atau amwal pada
dasarnya memiliki beberapa asas kepemilikan harta, sebagaimana disebutkan pada
Pasal 19, yaitu:
a. Amanah, bahwa pemilikan Amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah
Subhanahu wata’ala untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup.
b. Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan
penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi.
c. Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi pemenuhan
kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terdapat
hak masyarakat.
d. Manfaat, bahwa pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk
memperbesar manfaat dan mempersempit madharat.
Asas-asas kepemilikan harta tersebut secara jelas menerangkan bahwa setiap
kepemilikan harta memiliki status, tujuan dan fungsinya masing-masing, sehingga
penggunaan dan pemberian harta tersebut dapat diarahkan sesuai dengan
kepentingannya amsing-masing. Namun demikian, dalam realitas yang terjadi di
tengah


masyarakat,

kepemilikan

harta

dalam

kehidupan

keluarga,

sering

51
Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam: Kompetensi Peradilan Agama tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 33.
52
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ditetapkan berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 02 tahun 2008. Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:

Mahkamah Agung RI., 2013), hlm. 40-41.

Universitas Sumatera Utara

3

menimbulkan masalah manakala harta tersebut diberikan kepada anggota keluarga
atau orang lain. Pemberian harta tersebut, baik dilakukan secara sukarela dari si
pemilik harta saat masih hidup, atau harta yang diwariskan akibat si pemilik harta
tersebut meninggal dunia.
Dari sekian banyak persoalan kepemilikan harta dan pembagian harta tersebut
kepada keluarga atau orang lain adalah mengenai hibah, yaitu pemberian atau
pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (aqad), tanpa mengharap imbalan yang
telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.53 Pemberian dalam bentuk
hibah sering terjadi konflik, mulai dari barang hibah yang diberikan dan dipindah
tangankan kepemilikannya, sampai persoalan kebabsahan perjanjian atau transaksi
hibah dan penarikan hibah kembali.
Dalam hukum positif di Indonesia, ada beberapa sistem hukum yang
menerangkan tentang hibah.


Dalam KUHPerdata, pasal 1666 disebutkan bahwa

hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu yang guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.54 Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam, hibah diartikan sebagai pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.55 Sementara dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, didefinisikan hibah
sebagai penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa imbalan apapun.56
53

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998 ), hlm. 466.
54
Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979), hlm. 387.
55
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171, huruf g.
56
Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, Pasal 668 ayat (9).


Universitas Sumatera Utara

4

Dari ketiga definisi tersebut, secara jelas disebutkan bahwa hibah harus diberikan
selama pemberi hibah dan penerima hibah masih hidup dan diberikan atas dasar
kerelaan dan tidak mengharapkan imbalan.
Dalam praktiknya, transaksi hibah yang diberikan oleh pemilik harta
dilakukan dalam berbagai bentuk, cara dan sasaran penerima hibah. Ada pemilik
harta yang menyerahkan hibahnya kepada orang lain, anak dan keluarganya dalam
bentuk pemberian tanah atau benda yang dimilikinya. Di samping itu, terdapat pula
berbagai tujuan atau latar belakang pemberian hibah yang dilakukan si pemilik harta.
Mulai atas dasar kasih sayang terhadap kondisi ekonomi penerima hibah,
menghindari perselisihan, sampai pengaruh hukum adat yang berlaku di tempat si
pemilik harta tersebut.
Terjadinya konflik dalam pemberian harta dari pemberi hibah dan penerima
hibah, kadangkala terkait dengan keabsahan perjanjian hibah, kejelasan status objek
harta yang dihibahkan dan hal-hal lainnya yang terkait antara pemberi hibah dan
penerima hibah. Konflik yang terjadi tersebut juga ditambah dengan lemahnya

pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan yang terkait dengan hibah tersebut.
Saat ini banyak masyarakat salah memahami hakikatd an perbedaan antara hibah,
wakaf, wasiat dan warisan. Keempat hal tersebut, jika dipahami secara mendasar
terdapat perbedaan, baik dari aspek status pemberi harta maupun ketentuan harta
yang diberikan.
Akibat kesalahpahaman dan kuatnya berbagai konflik yang terjadi dalam
transaksi hibah di antara pemberi hibah dan penerima atas barang hibahnya, akhirnya

Universitas Sumatera Utara

5

berujung pada pengadilan untuk memutuskan atau menetapkan terhadap sengketa
hibah yang diperkarakan. Hal ini juga terjadi pada kasus sengketa hibah yang
dilimpahkan ke Pengadilan Agama Medan, Nomor 249/Pdt.G/2010/PA Mdn. pada
tahun 2010.
Kasus yang diperkarakan di Pengadilan Agama Kelas IA Medan ini berkaitan
dengan gugatan pembatalan hibah atau penarikan hibah dari Penggugat sebagai
pemberi hibah kepada Tergugat dan Turut Tergugat


sebagai penerima hibah.

Tergugat dalam hal ini adalah anak-anak tergugat dan istri penggugat yang telah
diceraikan saat kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Agama Medan pada tahun 2010.
Sementara Penggugat adalah ayah dari Tergugat dan mantan suami Turut Tergugat.
Pada saat kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Agama Medan, Penggugat telah
menikah dengan wanita lain.
Berdasarkan salinan putusan hukum dalam kasus ini, pokok perkara yang
disampaikan Penggugat57 di persidangan dapat disimpulkan beberapa hal penting.
Pertama, Penggugat merasakan bahwa Tergugat tidak mempedulikan dan tidak
pernah memperhatikan kondisi Penggugat yang pada tanggal 24 Juni 2002 tinggal di
Jakarta mengalami sakit stroke, asam urat dan gagal fungsi ginjal berdasarkan bukti
dokter saat Penggugat dirawat dan diopname di RSP-AD Jakarta. Kedua, Penggugat
menganggap bahwa surat pemberian hibah yang dibuat oleh para tergugat dibuat dan
dikonsep sedemikian rupa, tanpa diketahui oleh Penggugat dalam kondisi yang tidak

57

Salinan Putusan Akhir Hakim Pengadilan Agama Medan Nomor 249 Pdt. G/2010/PA
Mdn. Tanggal 5 Oktober 2010, hlm. 8-13.


Universitas Sumatera Utara

6

sehat dan tidak stabil, karena Penggugat dalam keadaan sakit stroke, asam urat dan
gagal ginjal. Dengan kondisi tersebut, para Tergugat membujuk rayu dan memaksa
agar Penggugat menandatangani surat pemberian hibah tanggal 14 September 2002
tersebut, dan surat asli pemberian hibah tersebut tidak pernah diterima Penggugat
sampai persidangan tersebut, sehingga isi pemberian hibah dalam surat tersebut tidak
otentik kebenarannya.
Ketiga, para Tergugat dianggap telah merekayasa surat pemberian hibah
tanggal 14 September 2002 dengan memasukkan nama EL dan AR sebagai saksi
dalam surat pemberian hibah tersebut. Padahal, Penggugat pada saat diperbuat surat
hibah ini, tidak mengenai nama EL dan para Tergugat telah mendaftarkan pada
Notaris pada tanggal 21 Maret 2004 (dua tahun setelah dibuatnya surat pemberian
hibah tanggal 14 September 2002). Sementara pendaftaran tersebut tidak dihadiri dan
diberitahu kepada Penggugat dan tidak disetujui Penggugat, karena tindakan para
Tergugat telah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keempat, para
Tergugat dianggap telah mengambil inisiatif dalam membuat dan mengonsep surat

pemberian hibah tanggal 14 September 2002. Dengan melihat kondisi Penggugat
tidak stabil dan sakit, dikhawatirkan Penggugat akan meninggal dan harta beralih
warisan kepada istri Penggugat yang baru, maka para tergugat membujuk dan merayu
Penggugat untuk menandatangani surat pemberian hibah tanggai 14 September 2002.
Kelima, Penggugat menganggap surat pemberian hibah (14 September 2002)
yang telah didaftarkan pada Notaris (21 Maret 2004), dua tahun setelah terbitnya
surat pemberian hibah tersebut, dibuat dalam kondisi Penggugat yang sedang sakit

Universitas Sumatera Utara

7

dan tidak stabil, sehingga surat tersebut dapat dibatalkan, sesuai dengan Pasal 213
KHI, pendapat para ahli hukum Islam, dan didasari Pasal 1683 KUH Perdata.
Keenam, Penggugat menyatakan sangat memerlukan biaya untuk berobat saat
persidangan tersebut. Sementara para Tergugat tidak pernah memperdulikan dan
mengurus Penggugat. Dengan alasan hukum inilah, Penggugat mengajukan gugatan
agar surat pemberian hibah (14 September 2002) dinyatakan tidak sah dan tidak
berkekuatan hukum yang menjadi wewenang Pengadilan Agama Medan.
Dalam amar putusan di Pengadilan Agama ini, hakim mengabulkan tuntutan

pemberi hibah untuk mengembalikan kembali harta yang dihibahkannya. Hakim juga
memandang bahwa perjanjian hibah yang telah dilakukan sebelum kasus ini
dilimpahkan ke Pengadilan Agama, tidaklah sah dan tidak berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, para penerima hibah diwajibkan untuk menyerahkan harta hibah
yang telah diberikan sebelumnya.
Ada sejumlah pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan, mengabulkan
tuntutan pengembalian kembali hibah. Pertama, perjanjian hibah yang dilakukan
batal demi hukum, karena bertentangan dengan syarat-syarat dan rukun hibah dimana
surat hibah dibuat tidak di hadapan 2 (dua) orang saksi, dan salah seorang saksi tidak
menandatangani surat hibah dimaksud. Kedua, akta hibah di bawah tangan, meskipun
dilegalisasi kemudian di notaris, tetap mengalami cacat formil, karena akta otentik
memiliki kekuatan formil manakala para pihak memungkiri isi dari akta yang
dilegalisir notaris. Ketiga, orang tua yang memberi hibah kepada anak-anaknya, rnaka
ia berhak menarik kembali hibah tersebut selama anak tersebut masih hidup.

Universitas Sumatera Utara

8

Dari putusan Pengadilan Agama Medan di atas, memberikan sejumlah hal
penting yang sangat mendasar tentang ketentuan hukum mengenai hibah. Keabsahan
hibah, pengembalian hibah atau pembatalan hibah sangat ditentukan oleh persyaratan
yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah aspek
perjanjian yang dilakukan pada saat hibah dilakukan. Menurut Wirjono, perjanjian
adalah suatu perbuatan yang berkaitan dengan harta benda antara dua pihak dalam
satu pihak berjanji atau dianggap untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan pihak
yang lain berhak menuntut perjanjian itu.58 Dalam Hukum Islam perjanjian disebut
dengan akad yang berisikan tiga hal penting, di antaranya:
1. Akad merupakan keterkaitan antara ijab dan kabul yang berakibat pada
timbulnya akibat hukum.
2. Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan
ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang
menyatakan kehendak pihak lain.
3. Akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum atau hukum akad (hukm al‘aqd).59
Dalam KUHPerdata, penghibahan bersifat obligator saja, yaitu belum
memindahkan hak milik, karena hak milik baru dapat pindah dengan dilakukannya
levering atau penyerahan secara yuridis. Penghibahan juga bukan merupakan jual beli
dan tukar menukar, tetapi salah satu bagian bagi pemindahan hak milik. Artinya,
penghibah tidak dapat memperjanjikan bahwa akan tetap berkuasa untuk menjual dan
memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam penghibahan.
Penghibahan seperti ini dianggap hukumnya batal.60

58

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sumber Bandung, 1980),

hlm.9.
59

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2007), hlm. 68-69.
60
Pasal 1668, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

9

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga telah memuat beberapa subtansi yang
terkait dengan syarat orang yang menghibahkan dan harta yang dihibahkan, hibah
orang tua kepada anak, pencabutan atau pembatalan hibah dan ketentuan mengenai
pemberian hibah dari pemberi hibah yang sudah mendekati ajalnya. Sedangkan dasar
hukum hibah dalam hukum waris Islam terdapat dalam Alquran dan hadis Rasulullah
SAW, yang mengartikan hibah sebagai pemberian dari seseorang kepada orang lain.61
Sebagaiman disebutkan dalam dua ayat Alquran berikut ini:
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati.” (QS. An-Nisa: 4).62
Artinya: “…Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat anak
yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang
menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam
kemelaratan, Penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).63
Disebutkan pula dalam hadis Nabi SAW., sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Saling memberi
hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai”64 Pemberian hibah dalam Islam,
sesungguhnya memiliki beberapa fungsi sebagaimana disebutkan oleh Moh. Daud
61

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 116.
62
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemah, edisi tahun 2002, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005), hlm. 78.
63
Ibid., hlm. 28.
64
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemahan Noor Hasanuddin, Cet. Ke- IV, jilid I, (Jakarta:
Pena Pundit Aksara, 2006), hlm. 463.

Universitas Sumatera Utara

10

Ali. Pertama, menjembatani kesenjangan antara golongan yang mampu dengan
golongan yang tidak mampu. Kedua, sarana mewujudkan keadilan sosial. Ketiga,
salah satu upaya untuk menolong golongan lemah. Di samping itu, dalam Islam juga
terdapat lima hikmah dari pemberian hibah. Pertama, menghidupkan rasa
kebersamaan dan tolong menolong. Kedua, menumbuhkan sifat sosial dan
kedermawanan. Ketiga, mendorong manusia berbuat baik. Keempat, menjalin
hubungan antara sesama manuisa. Kelima, salah satu cara pemerataan rezeki atau
pendapatan.65
Penarikan kembali hibah merupakan salah satu persoalan yang timbul dalam
sengketa hibah yang berdampak hukum terhadap harta yang dihibahkan, kelanjutan
status kepemilikan harta yang dihibahkan dan hal-hal lainnya yang terkait dengan hak
penerima hibah. Selama ini, penyelesaian kasus-kasus yang terkait dengan
pembatalan atau penarikan hibah, selain diselesaikan secara hukum melalui ketentuan
KUH

Perdata

dan

Kompilasi

Hukum

Islam,

sebagian

masyarakat

juga

menyelesaikannya secara adat dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi
masyarakat adat tersebut. Pemahaman secara mendalam terhadap sumber-sumber
sistem hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan hibah
sangatlah penting, termasuk sistem hukum Islam yang bersumber dari fikih,
Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang berlaku di
Indonesia sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa hibah.

65

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1988), hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara

11

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini sangat penting untuk
mengkaji lebih dalam tentang persoalan hibah dengan judul, “Penarikan Kembali
Hibah dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Agama Medan No. 249/pdt.G/2010/PA.mdn).”
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan tentang hibah dalam tinjauan Hukum Islam?
2. Apa dasar-dasar pertimbangan hakim dalam putusan akhir Pengadilan Agama
Medan No. 249/pdt.G/2010/PA.mdn dan akibat hukum dari putusan tersebut?
3. Bagaiman tinjauan Hukum Islam terhadap penarikan kembali hibah dan
penggunan hibah untuk hal-hal yang bertentangan dengan kemaslahatan umat
manusia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan tentang pengaturan hibah dalam tinjauan Hukum
Islam.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam
memutuskan

perkara

hibah

di

Pengadilan

Agama

Medan

No.

249/pdt.G/2010/PA.mdn dan akibat hukumnya bagi para pihak yang terkait
dengan harta yang dihibahkan.

Universitas Sumatera Utara

12

3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam tentang penarikan kembali hibah
dan penggunaan hibah untuk hal-hal yang bertentangan dengan kemaslahatan
hidup manusia.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat menjadi bahan kajian tentang putusan hakim di pengadilan agama
tentang ketentuan penarikan kembali hibah.
2. Dapat menjadi bahan pemikiran bagi penerapan hukum di Indonesia
khususnya dalam kasus-kasus penarikan kembali hibah dan dampak-dampak
hukum yang diakibatkan dari kasus tersebut.
3. Dapat menjadi bahan perbandingan bagi hukum lainnya selain hukum Islam
dalam penyelesaian sengketa hibah, khususnya yang berhubungan dengan
kasus penarikan kembali hibah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Universitas
Sumatera Utara, khususnya di Fakultas Hukum dan Prodi Magister Kenotariatan,
menunjukkan tidak adanya topik yang sama bahasannya dengan penelitian yang
penulis lakukan. Penelitian tentang hibah yang telah dibahas sebelumnya cenderung
mengkaji persoalan hibah dengan aspek-aspek lainnya. Di antara penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, yaitu:
1. Penelitian Maya Primasari, tentang “Pengalihan Hak Atas Tanah Melalui

Universitas Sumatera Utara

13

Hibah Wasiat dan Proses Balik Namanya (Suatu Kajian Hukum di Kota
Medan).66 Hasil penelitian Maya Primasari ini menyimpulkan bahwa sesuai
dengan peraturan hukum atau perundangan yang berlaku, pelaksanaan hibah
wasiat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, membuat terlebih
dahulu Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) dan/atau akta Pemisahan dan
Pembagian Warisan yang dibuat di hadapan Notaris. Kedua, membuat Surat
Keterangan Hak Warisan (SKHW) dengan diketahui Lurah/Kepala Desa
dan/atau disahkan oleh Camat. Ketiga, membuat Surat Keterangan Hak Waris
dan/atau Pemisahan dan Pembagian Warisan, yang dibuat oleh/dihadapan
Pejabat Kantor Balai Harta Peninggalan. Keempat, mengajukan permohonan
kepada Kantor Pengadilan Agama untuk diterbitkan penetapan tentang
Keterangan Hak Waris dan/atau Pemisahan dan Pembagian Warisannya.
Kelima, mengajukan permohonan kepada Kantor Pengadilan Negeri agar
diterbitkan penetapan tentang Keterangan Hak Waris dan/atau Pemisahan dan
Pembagian Warisannya. Selanjutnya, dilakukan pendaftaran/permohonan
balik namanya pada Kantor Pertanahan Medan untuk dikeluarkan atau
diterbitkan balik namanya.
2. Penelitian Lili Triana, tentang “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Adat”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
Islam secara jelas menegaskan bahwa hubungan antara orang tua angkat
66

Maya Primasari, “Pengalihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah Wasiat dan Proses Balik
Namanya (Suatu Kajian Hukum di Kota Medan)”, Tesis, (Medan: Magister Kenotariatan, Universitas
Sumatera Utara, 2003).

Universitas Sumatera Utara

14

dengan anak angkatnya tidak menyebabkan keduanya mempunyai hubungan
waris mewaris. Dengan demikian, seorang anak angkat tidak mewarisi harta
orang tua angkatnya. Sedangkan menurut adat istiadat yang ada di Indonesia
memiliki berbagai karakteristik. Tidak semua anak angkat mewarisi harta
orang tua angkatnya. Sebaliknya. Terdapat beberapa daerah yang menganggap
anak angkat sebagai anak kandung, sehingga berhak atas harta orang tua
angkatnya.67
3. Penelitian Agustina Darmawati, tentang “Analisis Yuridis Atas Harta GonoGini yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan
Agama Medan No. 691/Pdt.G/2007/PA.Medan”. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa harta gono-gini yang dihibahkan kepada ayah kepada anaknya menjadi
milik si anak, selama pemberian hibah itu tidak lebih dari sepertiga dan
diperhitungkan sebagai warisan, yang mana harta hibah tersebut dapat ditarik
kembali.68
Dengan demikian, dari penelitian sebelumnya terlihat beberapa perbedaan,
terutama aspek atau tinjauan sistem hukum dan subjek kajian yang dibahas, sehingga
keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Penelitian
ini lebih memfokuskan pada aspek penarikan kembali harta hibah yang ditinjau
berdasarkan sistem Hukum Islam yang bersumber dari fikih Islam, Kompilasi Hukum
67
Lili Triana, “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat
(Studi Kota Medan)”. Tesis, (Medan: Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2004).
68
Agustina Darmawati, “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini yang Dihibahkan Ayah
Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 691/Pdt.G/2007/PA.Medan”. Tesis,
(Medan: Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2009).

Universitas Sumatera Utara

15

Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang berlaku di Indonesia sebagai
panduan hakim di Pengadilan Agama saat memutuskan perkara-perkara yang
berkaitan dengan persoalan keperdataan dan ekonomi Islam, termasuk sengketa
pembatalan atau penarikan hibah yang terjadi bagi umat Islam di Indonesia.
F. Landasan Teori dan Konsepsi
1.

Landasan Teori
Teori dalam sebuah penelitian sangat penting untuk dijadikan panduan dalam

menganalisa subjek dan objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah maqashid syariah, yang dikemukakan oleh Imam Al-Syatibi dan teori
maslahah atau kemaslahatan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fikih. Menurut
Satria Effendi M. Zein,69 arti dari maqashid syariah adalah tujuan Allah dan RasulNya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Setiap rumusan hukum tersebut
memiliki tujuan yang dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Alquran dan hadis sebagai
alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
manusia. Menurut Al-Syatibi, seperti dikutip Apsari,

70

semua ayat-ayat Alquran dan

hadist berisikan hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat manusia
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.
Sedangkan definisi maslahah atau kemaslahatan menurut Imam al-Ghazali

69

Satria Effendi M. Zain, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 233.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 63.
70

Universitas Sumatera Utara

16

adalah mengambil manfat atau menolak kemudharatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujaun syara’.71 Berdasarkan aspek kualitas dan kepentingan kemaslahatan,
kemaslahatan dalam tiga bentuk. Pertama, Al-maslahah al-Dharuriyyah, yaitu
kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok umat manusia, termasuk di
dalamnya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara aqal pikiran, memelihara
keturunan

dan

memelihara

harta.

Kedua,

Al-maslahah

al-Hajiyyah,

yaitu

kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok atau
mendasar yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan dasar manusia. Ketiga, Al-maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan
yang sifatnya pelengkap dalam bentuk keleluasaan yang dapat menempurnakan
kemaslahatan sebelumnya.72
Setiap perintah dan larangan Allah, baik dalam Alquran maupun hadis yang
dirumuskan dalam fiqh (hukum Islam), akan terlihat bahwa semuanya mempunyai
tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mengandung hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam Alquran, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam.’73 Kata-kata ‘rahmat bagi seluruh alam’ dalam
ayat di atas dimaknai sebagai kemaslahatan umat. Dalam kaitan ini, para ulama
sepakat bahwa pada dasarnya setiap ketentuan dalam hukum Islam mengandung
71
Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis), hlm. 36.
72
Ibid., hlm. 39.
73
QS. Al-Anbiya, ayat 107. Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI,
Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah, edisi tahun 2002, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005),hlm. 332

Universitas Sumatera Utara

17

kemaslahatan untuk umat manusia.
Dalam pandangan Imam Al-Syatibi, sebagaimana ditulis Amir Syarifuddin,
kemaslahatan (maslahah) dan maqashid syariah merupakan dua hal penting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam. Ada dua bentuk kemaslahatan
(maslahah) yang dirumuskan oleh para ulama Ushul Fikih, di antaranya:
a. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan bagi umat manusia atau
disebut jalb al-manafi’ (membawa manfaat). Artinya, adakalanya kebaikan
dan kesenangan dirasakan langsung oleh orang melakukan perbuatan yang
diperintahkan, namaun ada pula kebaikan dan kesenangan dirasakan setelah
sesuatu perbuatan itu dilakukan, atau dirasakan hari kemudian.
b. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan atau disebut dar’u
al-mafasid. Kerusakan dan keburukan adakalanya dirasakan langsung setelah
melakukan perbuatan yang dilarang. Namun, adakalanya juga dirasakan
kesenangan saat melakukan perbuatan dilarang tersebut, tetapi setelah itu
yang dirasakannya adala hkerusakan dan keburukan.74
Hukum Islam juga memiliki lima prinsip-prinsip pokok (al Kulliyat alKhamsah) yang wajib diwujudkan dan dipelihara oleh manusia, sehingga didatangkan
syariat yang mengandung perintah, larangan, dan kebolehan yang harus dipatuhi.
Kelima prinsip tersebut yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara harta.75

74

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),

hlm. 208.
75

Zamakhsyari, Op.Cit., hlm. 13-26.

Universitas Sumatera Utara

18

Sedangkan yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya
(manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan menjadi tujuan pokok
pembinaan pokok adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Menurut Al-Syatibi, sebagaimana ditulis Zamakhsyari, ada 3 (tiga) kategori tingkatan
kebutuhan manusia, yaitu:
(1) Dharuriyat (kebutuhan primer) adalah kemaslahatan mendasar yang
mencakup dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima prinsip
pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seandainya
kemaslahatan tersebut hilang, maka kehidupan manusia dapat hancur dan
tidak selamat, baik di dunia dan di akhirat. Perjanjian kontrak, perdagangan,
hibah dan transaksi lainnya bertujuan untuk mempertahankan harta kekayaan
dan keturunan.
(2) Hajiyat (kebutuhan sekunder), yaitu kemasalahatn dalam rangka perwujudan
dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Hajiyyat merupakan aspek-aspek hukum yang
dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum
dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.
(3) Tahsiniyah (kebutuhan tertier), dimaksudkan untuk mewujudkan dan
memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok
kebutuhan mendasar di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan
akhlak mulia. Tidak terwujud dan terpeliharanya kebutuhan tahsiniyah ini
tidaklah membawa terancamnya eksistensi jiwa, akal, keturunan dan harta,

Universitas Sumatera Utara

19

melainkan dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi dan
masyarakat. Dalam memelihara harta, ditetapkan berbagai batasan dan sopan
santun dalam mendapatkan dan memanfaatakan harta. 76
Menurut Dede Rosyada, syariah mempunyai dua konotasi, yaitu syariah
dalam arti agama dan syariah dalam konotasi hukum fikih. Sementara Syariah dalam
konotasi hukum Islam terbagi dua, yaitu syariah ilahi dan syariah wadh’i. Syariah
ilahi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang langsung dinyatakan secara eksplisit
dalam Alquran dan Assunnah. Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal
untuk semua waktu dan tempat dan tidak dapat berubah karena tidak ada yang
kompeten untuk mengubahnya.77
Dalam pandangan Abdul Wahab Khallaf, seperti dikutip Dede Rosyada,
tujuan syari’ dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orang-orang
mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan
mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri, hajiy ataupun yang tahsini.78
Ketentuan-ketentuan yang dharuri adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat
memelihara kepentingan hidup mansuia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya
mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuanketentuan dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

76
77

Ibid., hlm. 8.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994),

hlm. 10.
78

Ibid., hlm. 29.

Universitas Sumatera Utara

20

Hibah sangat terkait dengan harta yang dimililki manusia. Dalam pandangan
Islam, harta merupakan sarana (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah,
bukan tujuan akhir (ghayah). Untuk itu, ketika seseorang diamanahkan harta yang
banyak, si pemilik harta dituntut untuk menyisihkan dan mengeluarkan hak-hak orang
lain yang dititipkan Allah kepada dirinya. 79
Dalam Islam juga terdapat sisi pengadaan (al-wujud) dan sisi peniadaan (al‘adam) dalam pemeliharaan harta. Untuk memelihara harta, ajaran Islam
memerintahkan beberapa hal.
(1) Islam memerintahkan setiap muslim untuk bekerja keras dan mencatat rezeki
lewat jalan yang halal.
(2) Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa salah satu hal yang diminta
pertanggungjawaban dari Allah dari manusia adalah terkait masalah harta,
dari mana harta didapat dan bagaimana menggunakannya.
(3) Islam mengajarkan bahwa harta adalah wasilah (sarana untuk mencapai ridha
Allah), bukan ghayah (tujuan akhir).
(4) Islam mengajarkan bahwa satu-satunya harta yang dapat menemani seseorang
dalam perjalanannya mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah
adalah harta yang dinafkahkan untuk ibadah, apalagi sedekah jariyah.
(5) Islam memerintah umatnya untuk mempertahankan hartanya dari pihak-pihak
yang ingin mengambilnya dengan cara paksa. 80

79
80

Zamakhsyari, Op.Cit., hlm. 25.
Ibid., hlm. 19.

Universitas Sumatera Utara

21

Berdasarkan maksud tersebut di atas, pada prinsipnya, menurut Mohd. Daud
Ali, hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara
mutlak, karena hak mutlak pemilikan atas sesuatu benda hanya ada pada Allah.
Namun, karena diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk
menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka ‘hak milik’ seseorang atas
sesuatu benda, diakui dengan pengertian: (1) hak milik itu harus diperoleh secara
halal; (2) harus berfungsi sosial. Di samping itu, hubungan manusia dengan benda
atau hak milik seseorang atas harta kekayaannya, haruslah senantiasa memperhatikan
tiga hal utama, yaitu: (1) cara memperolehnya; (2) fungsi hak milik; (3) cara
memanfaatkannya.81
Oleh karena itu, aturan-aturan kepemilikan dan pelimpahan kepemilikan harta
dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan hibah, sangat terkait dengan tujuan dan
fungsi dari maqashid syariah yang semuanya berkaitan dengan kemaslahatan
(maslahah). Harta yang dihibahkan secara mendasar merupakan sarana (wasilah)
dalam mendekatkan diri manusia kepada Allah, sehingga harta bukanlah tujuan akhir.
Untuk itu, penyerahan harta dalam bentuk hibah yang dilakukan sesuai dengan syarat
dan ketentuan hukum Islam, bertujuan untuk memelihara harta dari upaya-upaya
tidak sah atas kepemilikan harta tersebut. Upaya memelihara harta dalam Islam
merupakan salah-satu lima unsur kemaslahatan dalam maqashid syariah atau tujuan
dari pensyariatan dalam hukum Islam.

81

Mohammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara

22

2.

Konsepsi
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsepsi yang harus dijelaskan agar

memudahkan dalam memahami istilah-istilah mendasar dalam penelitian. Konsepsi
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk
kepentingan seseorang atau untuk kepentingan sesuatu badan sosial,
keagaamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli
warisnya. Intinya adalah pemberian, yakni pemberian suatu benda semasa
hidup seseorang, tanpa mengharapkan balasan.82
b. Penarikan kembali hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan,
meskipun hibah tersebut terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami
isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang
dilakukan atau diberikan orangtua kepada anaknya.83
c. Hukum Islam adalah istilah yang diperkenalkan oleh ulama kontemporer
Indonesia sebagai terjemahan dari fikih Islam (al-Fiqh al-Islami) atau syariat
Islam (al-syariah al-Islami). Syariat berarti peraturan yang diturunkan Allah
kepada manusia untuk dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya ,
dengan sesamanya, dengan lingkungannya dan dengan lingkungannya.
Adapun fikih artinya hukum-hukum syara’ yang memiliki sifat praktis dan

82

Ibid., hlm. 24.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), hlm. 139.
83

Universitas Sumatera Utara

23

diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.84 Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, syari’at
dalam istilah fikih Islam adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk
para hamba-Nya dengan perantaraan Rasul-Nya yang diamalkan dengan
penuh keimanan, baik hukum yang berkaitan dengan akidah maupun dengan
akhlak.

85

Adapun fikih adalah hukum-hukum yang diperoleh manusia

(ulama-ulama atau mujtahid) dengan jalan ijtihad.86 Kata hukum juga identik
dengan kata “fiqh”. Selain itu, ulama juga mengindetikkan hukum Islam
dengan syari’at. Kata “hukum Islam” adalah dalam pengertian sempit,
sedangkan kata “syari’at” mengandung pengertian yang luas. 87 Sementara itu,
Amir Syarifuddin mengartikan hukum Islam sebagai “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.”88 Dalam konteks Indonesia, maka Hukum Islam yang
dijadikan rujukan formal adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991 dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2008, khususnya untuk masalah-masalah
yang terkait dengan ekonomi syariah.
84

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), hal. 4-5.
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, cet I, (Jakarta:
Tintamas, 1975), hlm. 9.
86
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhi Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan
tuntas. Cet I., (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 158.
87
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Darul Ulum Press,
1994), hlm. 35.
88
Ismuha, dkk., Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 18.
85

Universitas Sumatera Utara

24

d. Pengadilan Agama adalah sebuah lembaga peradilan di bawah Peradilan
Agama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

89

Peradilan Agama

merupakan peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Berdasarkan
Pasal 49, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perbuahan atas Undangundang No. 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama menyebutkan Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah
dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
e. Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari setiap perbuatan hukum
yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatlainnya yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang
bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.90
f. Kemaslahatan (al-mashlahah) adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Dalam makna lain, kemaslahatan juga diartikan dengan
mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau keburukan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara’.91
G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dimana dilakukan pendekatan

terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan

89

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 71.
91
Zamakhsyari, Op.Cit., hlm. 36.

90

Universitas Sumatera Utara

25

perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan
dengan permasalahan.92 Pendekatan perundang-undangan (statute approach),
merupakan suatu penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.93 Dalam
bahasa yang lain, jenis penelitian yang yuridis normatif, difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.94

Dalam kaitannya

dengan penelitian ini, maka sistem hukum yang akan dikaji adalah Hukum Islam,
baik yang berasal dari fikih maupun Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Sordjono, dalam penelitian normatif, sumber yang berasal dari bahan
pustaka merupakan data dasar dimana dalam penelitian ini penulis mengumpulkan
bahan primer dan bahan sekunder.95 Selanjutnya menganalisis hukum tersebut, baik
yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pengaturan tentang penarikan kembali hibah.
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
menguraikan dan menganalisis tentang kasus penarikan kembali hibah di Pengadilan
Agama Medan, menurut hukum Islam. Penelitian ilmiah ini didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.96
2.

Sumber Data
Sumber data merupakan segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
92

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 12.
93
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 1993
94
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Banyumedia,
2005), hlm. 295.
95

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Rajagrafindo, 2007), hlm. 37.

96

Ibid., hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara

26

mengenai data. Dalam penelitian ini, sumber data yang dijadikan sebagai rujukan
untuk mengkaji dan menganalisi permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Data primer yaitu sumber data yang secara langsung memberikan data kepada
pengumpul data.97 Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber
pertama atau tempat objek penelitian dilakukan. Oleh karena itu, data primer
dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan dokumen salinan resmi putusan
Nomor 249/Pdt.G/2010/PA Mdn. yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Medan, tentang kasus penarikan kembali hibah yang telah diberikan pemberi
hibah kepada penerima hibah. Di samping itu, data primer juga diperoleh dari
hasil wawancara peneliti dengan hakim di Pengadilan Agama Medan. dan
Notaris di kota Medan.

b.

Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel dan jurnal yang berkenaan
dengan penelitian yang dilakukan.98

3.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, di

antaranya:
a. Penelitian

kepustakaan

(library

research),

yaitu

dengan

membaca,

mempelajari dan menganalisa berbagai literatur atau buku-buku, peraturan
97

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 308.

98

Ibid

Universitas Sumatera Utara

27

perundang-undangan dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan
objek dan subjek penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data
primer dengan wawancara. Wawancara merupakan percakapan yang
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan.99 Melalui wawancara ini pula peneliti menggali informasi secara
mendalam dari informan tentang kasus putusan Pengadilan Agama Medan
tentang penarikan kembali hibah.

Dalam penelitian ini, informan yang

diwawancarai terdiri dari hakim Pengadilan Agama Medan dan Notaris yang
berada di kota Medan.
c. Dokumentasi
Pengumpulan melalui dokumentasi atau dokumenter dengan melakukan
penelaahan terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah,
termasuk di dalamnya putusan pengadilan, perjanjian, laporan-laporan dan
arsip-arsip lainnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dokumen
atau salinan putusan Pengadilan Agama Nomor 249/Pdt.G/2010/PA Mdn.
adalah bagian penting dari data untuk dianalisa lebih lanjut.
4.

Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yang disajikan

secara deskriptif dengan pendekatan yuridis formal. Dalam analisis ini, data yang

99

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),

hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

28

berasal dari peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan narasumber atau
informan penelitian, serta sumber-sumber hukum yang ada yang berkaitan dengan
hibah sangat penting untuk menjawab permasalahan penelitian. Data-data yang
diperoleh tersebut, kemudian disusun secara sistematis, diolah dan dievaluasi secara
kualitatif. Kemudian, ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

1 2 14

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

0 0 22

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

0 2 39

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

0 3 5

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 16

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 2

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 29

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN) Chapter III V

0 4 49

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 4