Pengaruh Interaksi Peradaban Islam-Barat Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi (Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi yang dikenal pada Abad 21 merupakan suatu sistem pemerintahan. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi, akan tetapi untuk pertanggungjawaban akan suatu kebijakan. Pemerintahan yang diktator, kebijakan dapat diambil tanpa perlu melakukan diskusi yang lama seperti dalam pemerintahan yang demokratis. Namun, kebijakan dalam pemerintahan yang demokratis merupakan kepentingan bersama setiap inividu yang berada di dalamnya karena didasarkan pada suara terbanyak. Dengan kata lain, sekalipun kebijakan tersebut belum tentu dapat menyelesaikan masalah bahkan merugikan negara tersebut tetap mendapat dukungan publik.

Ide demokrasi merupakan satu ideologi politik yang berprinsip kepada persamaan hak, kebebasan dan keadilan. Ide demokrasi ini diwujudkan menjadi suatu sistem pemerintahan yang digunakan oleh suatu negara dengan adanya pembagian kekuasaan negara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin persamaan hak, kebebasan serta tegaknya keadilan. Demokrasi dikenalkan ke seluruh dunia pada Abad 21 melalui negara Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua sebagai satu gagasan yang menjunjung tinggi persamaan, kebebasan dan keadilan.

Sejarah negara Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ide demokrasi telah mengalami peristiwa penting yang menjadi pemicu diterapkannya gagasan tersebut, yaitu Perang Sipil antara negara-negara di utara dan negara-negara di selatan. Negara di belahan utara menginginkan dihapuskannya perbudakan sedangkan negara di belahan selatan yang masih tergantung kepada perbudakan


(2)

bersikeras mempertahankannya. Karena adanya perbedaan ini, negara-negara di belahan selatan ingin memisahkan diri dari Negara Perserikatan. Perang dimenangkan oleh negara belahan utara dan perbudakan dihapuskan. Presiden saat itu adalah Abraham Lincoln yang sesuai dengan pidatonya menegaskan kembali bahwa negara-negara di belahan utara dan selatan tetap masih dalam kesatuan politis, yang pemerintahannya berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Pernyataan presiden tersebut bermakna penegasan tentang persamaan hak manusia. Sebuah negara dengan pemerintahan yang setiap warga memiliki hak untuk ikut di dalamnya dalam menentukan berbagai kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada individu itu sendiri. Adanya nilai-nilai tersebut tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat pada Abad Pertengahan yang mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Para filsuf Barat telah mengemukakan berbagai pemikiran mereka tentang negara dan sistem pemerintahan yang terbaik, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Jean Jacques Rousseau. Kehadiran para filsuf tersebut beserta pemikirannya berawal dari gerakan Renaissance.

Menurut catatan sejarah, Renaissance adalah suatu periode yang berlangsung selama 25 sampai 50 tahun dan secara umum dapat dikatakan berpusat pada sekitar tahun 1500. Era ini dapat digambarkan sebagai kebangkitan jenius dari dunia seni, pemikiran, dan literatur yang menarik Eropa keluar dari kegelapan intelektual di Masa Kegelapan. Renaissance bukan merupakan suatu evolusi perluasan dari Masa Kegelapan yang terjadi secara alami, namun lebih merupakan sebuah revolusi budaya; sebuah reaksi atas kekakuan pemikiran dan tradisi di era sebelumnya.

Secara defenitif, kata “renaissance” bermakna kebangkitan atau kehidupan kembali. Periode yang dikenal sebagai Renaissance dipandang sebagai suatu penemuan kembali pencerahan yang terjadi pada masa keemasan peradaban Yunani dan Romawi (yang dianggap sebagai “peradaban klasik”). Bahkan,


(3)

sementara di era ini dapat ditemukan banyak orang membaca literatur klasik dan mempertimbangkan kembali pemikiran-pemikiran klasik, inti sesungguhnya dari Renaissance melibatkan sejumlah besar inovasi dan penemuan. Banyak universitas-universitas dibuka di seluruh Eropa, dan ada kebutuhan mendesak untuk penyebarluasan gagasan.1

1

Megandaru W Kawuran. 2008. Kamus Politik Modern. Yogyakarta: Pura Pustaka. Hlm. 687.

Renaissance merupakan sejarah penting karena era ini dengan segera dan menyeluruh telah berhasil mempengaruhi jalannya begitu banyak aspek sejarah peradaban Barat. Dan saat ini, abad 21 telah dipengaruhi oleh peradaban Barat baik dari ilmu pengetahuan dan teknologi ataupun dari nilai-nilai yang dianut oleh kebanyakan masyarakat di dunia.

Pada awalnya penulis memahami bahwa kebangkitan masyarakat Barat (Renaissance) adalah berkat tokoh-tokoh Barat pada abad 12-16 M. Pemikir-pemikir Barat seperti Copernicus misalnya, dianggap sebagai pencetus kebangkitan masyarakat Barat tanpa pengaruh peradaban lain. Sebutan Abad Kegelapan sekitar abad ke 5-10 M di Eropa oleh para ahli sejarah dan ilmuwan memiliki alasan, yaitu sedikitnya dokumentasi yang dapat memberitahukan kepada masyarakat Abad 21 tentang keadaan abad tersebut. Bisa dikatakan pada saat itu begitu kosongnya tradisi ilmiah sampai-sampai hanya segelintir manusia yang mau menulis. Dan sekitar abad ke 6 M, sebuah peradaban baru muncul yang berkembang begitu cepat dari daerah padang pasir yang tandus yang jauh dari wilayah Eropa, yaitu di Hijaz Arab (sebutan untuk semenanjung Arabia). Hanya dalam waktu kurang dari 25 tahun sesosok manusia, Muhammad bin Abdullah, mampu membawa kehidupan barbar yang tidak mengenal budaya membaca dan menulis menuju peradaban yang gemilang di Kota Madinah (sebuah kota yang dilandasi oleh persamaan hak dan sistem musyawarah). Dalam kepercayaan Islam, dia adalah rasul (utusan) Allah.


(4)

Setelah kematian NabiMuhammad SAW, banyak muslim (sebutan untuk orang yang memegang ajaran Islam) yang hidup untuk mencari ilmu pengetahuan.

Al-Quran (kitab suci sebagai pedoman hidup bagi muslim) dan Sunnah (segala

perkataan dan perilaku yang dicontohkan oleh Muhammad sebagai pedoman hidup bagi muslim) menjadi kajian utama.Dalam motivasi menyebarkan ajaran Islam, melalui perdagangan sampai pada penaklukan peradaban-peradaban lain yang berkuasa dengan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya, mereka mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan dari peradaban lain. Terjadi interaksi peradaban Islam dengan peradaban Persia, India, Cina dan Yunani melalui Romawi (selanjutnya disebut dengan peradaban Barat).

Sebelum masa Renaissance di Eropa, ketika peradaban Barat masih berada dalam otoritas Gereja, ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam di Timur Tengah mengalami perkembangan yang cepat sebagai konsekuensi bagi muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuanberdasarkan wahyu pertama yang berisi perintah untuk membaca dengan keimanan terhadap adanya Tuhan yang menciptakan manusia dari segumpal darah dan membaca dengan mengangungkan Tuhan yang mengajar manusia dengan perantara qolam (pena), yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui. Ilmu pengetahuan dipelajari dari penerjemahan manuskrip Yunani, India dan Cina ke dalam bahasa Arab di Baghdad pada abad ke 8 M yang melahirkan para astronom, fisikawan, filsuf, ahli matematika, ahli kimia. Pengetahuan ini kemudian dibawa ke Cordoba (Spanyol) hingga mempengaruhi masyarakat Barat seperti Thomas Aquinas dan Nicolaus Copernicus.2

Dalam konteks kelahiran dan perkembangan peradaban Barat itu, Roger Garaudy menyebut tiga pilar peradaban Barat. Yaitu, peradaban Yunani-Romawi, Judeo Kristiani, dan Islam.3

2

John Freely. 2011. Cahaya dari Timur: Peran Ilmuwan dan Sains Islam Dalam Membentuk Dunia Barat. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hlm. 328-343.

3

Roger Garaudy. 1984. Janji-Janji Islam terj. Prof. H.M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11.


(5)

memberikan dampak bagi masyarakat Barat dalam hal ilmu pengetahuanwalaupun kebanyakan masyarakat Barat pada awalnyamengatakan bahwa pemikir-pemikir Barat pada masa Renaissance tidak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam pada abad Pertengahan. Barat selama ratusan tahun menyangkal kontribusi warisan intelektual peradaban Islam ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis Barat secara objektif memperlihatkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban Barat. Di antara mereka adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russel, Louis Masignon, dan lain-lain.4

1. Bagaimana pengaruh interaksi peradaban Islam dengan peradaban Barat dalam Perang Salib terhadap perkembangan ide demokrasi?

Ide demokrasi sebagai gagasan yang berasal dari peradaban Barat yang kemudian diadopsi oleh seluruh dunia, menjadikan penulis tertarik untuk melihat bagaimana peradaban Islam mempengaruhi munculnya kembali ide demokrasidalam peradaban Barat. Penulis melihat dari rentangan waktu, ada interaksi peradaban Barat dengan peradaban Islam.Dalam hal ini, penulis membahas interaksi kedua peradaban tersebut dalam Perang Salib karena menurut penulis telah terjadi interaksi dalam perang tersebut yang kemudian menyebabkan masyarakat Barat untuk mempertimbangkan kembali tentang otoritas Gereja di Eropa melalui gerakan Renaissance.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

4

Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikira, Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 20.


(6)

C.Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana interaksi peradaban Islam denganperadaban Baratpada Abad Pertengahan?

2. Bagaimana pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembangan ide demokrasi?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat interaksi peradaban Islamdengan peradaban Baratpada Abad Pertengahan.

2. Untuk melihat pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembanganide demokrasi.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada:

1. Ilmu Pengetahuan; tulisan ini diharapkan menjadi sumbangan dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai literatur yang dapat dipertanggungjawabkan khususnya tentang studi ilmu politik yang berfokus ide demokrasi dalam peradaban Barat.

2. Departemen Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara, tulisan ini diharapkan menjadi bahan yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan departemen khususnya kajian tentang ide demokrasi dalam peradaban Barat.


(7)

3. Masyarakat, tulisan ini diharapkan menjadi literatur untuk menambah wawasan bagi masyarakat yang berminat terhadap studi ilmu politik; agar menambah wawasan dan informasi mengenai ide demokrasidalam peradaban Barat.

F. Kerangka Teori

1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi. Suatu tindakan timbal-balik, oleh karena itu, tidak mungkin terjadi apabila tidak dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kontak dipandang sebagai tahap permulaan untuk terjadinya interaksisosial. Kontak merupakan kata serapan dari bahasa Latin, yaitu con atau cum dan tango. Con diartikan sebagai bersama-sama, sedangkan tango bermakna menyentuh. Dengan demikian, secara harfiah makna dari kontak adalah bersama-sama menyentuh.

Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi dengan komunikasi. Kata komunikasi yang diserap dari bahasa Inggris,

communication, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico memiliki

makna sebagai membagi, communis berarti membuat kebersamaan, communicare yang maknanya berunding atau bermusyawarah, atau communicatio yang memiliki arti sebagai pemberitahuan, penyampaian atau pemberian.5

Interaksi sosial dapat dilakukan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.6

5

Ibid. Hlm. 1-4. 6

SoerjonoSoekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Hlm. 63.


(8)

dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).7

Pruitt dan Rubin juga mengemukakan ada tiga fungsi positif dari konflik.

Pertama, konflik sebagai persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial.

Masyarakat menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau mengganggap bahwa kebijakan yang berlaku tidak masuk akal biasanya mengalami pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya. Dengan kata lain, jika kebijakan baru yang dianggap oleh masyarakat tidak masuk akal tersebut dibatalkan maka konflik dapat dihindari begitu juga dengan perubahan. Kedua, konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi kedua belah pihak yang bertikai --- beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat Ketiga bentuk interaksi tersebut, pertentangan atau konflik adalah bentuk interaksi yang sesuai dengan penelitian ini, yakni Perang Salib sebagai konflik. Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” --- yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Sedangkan Pruit dan Rubin mendefinisikan konflik dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan defenisi Webster yang kedua, yaitu konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa

aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

7


(9)

integratif --- yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi. Ketiga, konflik dapat mempererat persatuan kelompok. Tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas kelompok tampaknya akan merosot.8

Ketiga, tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak.

Memiliki aspirasi yang tinggi dan berkeyakinan bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi adalah aspek yang diperlukan bagi persepsi mengenai konflik Pada Bab 2 dalam bukunya, Pruitt dan Rubin menjelaskan sumber-sumber (penyebab, penulis) konflik. Pertama, adanya determinan tingkat aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan yang kedua bersifat idealistis. Masing-masing pertimbangan dapat timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu berdasarkan prestasi masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, aturan dan norma, pembandingan dengan orang lain, dan terbentuknya kelompok pejuang (struggle

group).

Kedua, adanya determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Hanya

karena memiliki aspirasi yang tinggi semata-mata tidak cukup dapat menyebabkan orang terlibat di dalam konflik. Suatu pihak pun harus percaya bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan kedua belah pihak mencapai aspirasi masing-masing. Bila aspirasi pihak lain rendah atau bersifat fleksibel, maka aspirasi tersebut tidak dianggap sebagai ancaman bagi pihak yang bersangkutan, sehingga tidak akan terjadi konflik.

8


(10)

kepentingan, tetapi itu saja tidak cukup. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Ini adalah masalah persepsi mengenai alternatif --- yang dapat digunakan untuk mencapai sebuah keadaan yang dapat diterima semua pihak.9

2. Hakikat Peradaban

Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang mensinonimkan dua kata kebudayaan (Arab, al-Tsaqafah; Inggris, culture) dan peradaban (Arab, al-Hadharah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.

Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kelakukan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan, istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.10

Penjelasan lebih luas mengenai konsep peradaban, penulis mengacu pada tulisan Samuel P. Huntington dalam bukunya “Benturan Antarperadaban dan

9

Ibid. Hlm. 21-39. 10

Badri Yatim. 2011.Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 1-2.


(11)

Masa Depan Politik Dunia”, dia menjelaskan bahwa konsep peradaban dapat dipahami sebagai berikut.

Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai

peradaban, baik singular (tunggal, penulis) maupun plural (banyak, penulis). Ide tentang peradaban dikembangkan oleh pemikir Perancis abad XVIII, yang memperlawankannya dengan konsep “barbarisme.” Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan sebuah ‘tolok ukur’ yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan penilaian terhadap pelbagai (dinamika kehidupan) masyarakat, yang selama abad XIX, orang-orang Eropa banyak melakukannya melalui upaya-upaya intelektual, diplomatis, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan masyarakat Eropa. Pada saat yang bersamaan, orang-orang mulai berbicara tentang peradaban dalam konteks plural. Hal ini berarti adanya “penolakan terhadap suatu peradaban yang dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup, atau sesuatu yang lebih dari itu” dan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa terdapat tolok ukur tunggal bagi apa yang disebut sebagai ‘berperadaban,’ “tersaring,” dalam kata-kata Braudel, “untuk sebuah privilege (hak istimewa, penulis) dari sekelompok orang atau ‘elite’ tertentu.” Sekalipun terdapat pelbagai bentuk peradaban singular, namun “ia telah kehilangan sebagai identitasnya,” dan sebuah peradaban dalam pengertian plural dapat saja disebut sebagai “tidak cukup berperadaban´dalam konteks singular.

Kedua, sebuah peradaban, kecuali di Jerman, adalah sebuah entitas

kultural. Para pemikir Jerman abad XIX membedakan secara tajam antara masing-masing peradaban dikarenakan pelbagai faktor, seperti faktor-faktor mekanis, teknologikal, material dan kebudayaan; termasuk di dalamnya nilai-nilai, pelbagai


(12)

pandangan hidup, kualitas-kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari suatu masyarakat. Pembedaan ini hanya dapat dijumpai di Jerman, tetapi tidak di luar Jerman. Beberapa antropolog bahkan telah menarik ke belakang hubungan antar-kebudayaan dan menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan masyarakat-masyarakat nonurban yang dicirikan sebagai primitf, tidak berubah, sedangkan masyarakat-masyarakat urban yang telah berperadaban, berkembang dinamis dan lebih kompleks. Upaya-upaya ini dimaksudkan untuk membedakan antara kebudayaan dengan peradaban, yang bagaimanapun juga, tidak dapat ditemukan baik di Jerman ataupun di luar Jerman. Dalam hal ini, sejalan dengan pendapat Braudel bahwa “tidak mungkin, dalam konteks Jerman, untuk meisahkan

kebudayaan dari bangunan dasarnya, peradaban.”

Seluruh faktor objektif yang merumuskan pelbagai corak peradaban, bagaimana-pun juga, yang terpenting, pada umunya, adalah faktor agama, sebagaimana ditekankan oleh orang-orang Athena. Pada tataran yang luas, dalam sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umumnya identik dengan agama-gama besar dunia; dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, sebagaimana yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent).

Sebuah hubungan penting yang ada dalam kaitan dengan pembagian masyarakat dan karakteristik budaya ke dalam pelbagai corak perdaban dan pembagian mereka melalui karakteristik fisikal ke dalam pelbagai suku bangsa. Sekalipun demikian, peradaban dan suku bangsa (ras) tidak identik. Orang-orang yang memiliki kesamaan ras dapat benar-benar terpisahkan melalui peradaban; orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan melalui peradaban. Utamanya, melalui dua agama besar, Kristen dan Islam yang mampu menaungi kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa. Pembedaan krusial antara pelbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, institusi-institusi, dan struktur-struktur sosial mereka, bukan pada ciri-ciri fisikal mereka, seperti bentuk kepala dan wana kulit.


(13)

Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satu pun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya. Perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas-nasionalitas, pelbagai kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki perbedaan kultur pada tingkatan yang berbeda dari heterogenitas kultural. Kultur dari sebuah perkampunagn di selatan Italia barangkali berbeda dari kultur dari sebuah perkampungan di utara Italia. Namun, secara umum, keduanya sama-sama memiliki kultur Italia yang membedakan mereka dari (kultur) perkampungan-perkampungan Jerman. Komunitas-komunitas Eropa, sebaliknya, akan memiliki pelbagai budaya yang sama yang membedakan mereka dari komunitas-komunitas Cina dan Hindu. Orang-orang Cina, Hindu, dan orang-orang Barat, bagaimanapun juga, bukanlah bagian dari pelbagai entitas kultural yang lebih luas. Mereka menegakkan peradaban-peradaban. Sebuah peradaban adalah bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari makhluk-makhluk lainnya. Ia terdefinisikan baik dalam faktor-faktor objektif pada umumnya, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan-kebiasaan, institusi-institusi, maupun identifikasi diri yang bersifat subjektif. Setiap masyarakat memiliki pelbagai tingkatan identitas: seorang penduduk Roma barangkali akan mengidentifikasikan diri sebagai orang Roma, orang Italia, seorang Katolik, seorang Kristen, sebagai orang Eropa, orang Barat. Peradaban memiliki tingkatan identifikasi yang sangat luas yang dengannya seseorang mengidentifikasikan diri secara kuat. Peradaban-peradaban besar dimana “kita” berada di dalamnya, secara kultural menjadikan kita bagai di rumah sendiri dan dibedakan dari “mereka” yang berada di “luar sana.” Peradaban-peradaban bisa jadi melibatkan pelbagai kelompok masyarakat dalam jumlah yang besar, seperti peradaban Cina, atau dengan kelompok masyarakat yang sangat kecil, peradaban Anglofon Karibia.


(14)

Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat lama; ia berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, “realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama.” “Keunikan dan esensi utama”-nya adalah kontinuitas historisnya yang panjang. Peradaban adalah fakta kesejarahan yang membentang dalam kurun waktu yang sangat panjang.” Kekuasan-kekuasaan berkembang dan jatuh, pemerintahan-pemerintahan datang dan pergi, peradaban-peradaban tetap ada dan”menopang kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi”.

Kelima, karena peradaban-peradaban merupakan entitas-entitas kultural,

bukan entitas-entitas politis, sehingga tidak berpegang pada tatanan, penegakan keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai negosiasi, atau menetapkan “kebijakan-kebijakan” yang biasa dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Komposisi politis peradaban yang begitu bervariasi menyajikan pembedan-pembedaan di dalam peradaban itu sendiri. Suatu peradaban bisa saja mencakup satu atau beberapa kesatuan politis. Kesatuan-kesatuan tersebut dapat berupa negara-kota, kekaisaran-kekaisaran, federasi-federasi, konfederasi-konfederasi-federasi, atau negara-bangsa. Semua itu merupakan bentuk pemerintahan.11

3. Hubungan Renaissance dan Ide Demokrasi

Sejarah tentang paham demokrasi itu menarik; sedangkan sejarah tentang demokrasi itu sendiri menurut Held membingungkan. Ada dua fakta historis yang penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat. Beragam jenis rezim politik di seluruh dunia mendeskripsikan dirinya sebagai demokrat. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang satu dengan yang lain sering berbeda secara substansial. Demokrasi kelihatannya melegitimasi kehidupan politik modern: penyusunan dan penegakan hukum

11

Samuel P Huntington. 2000. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam. Hlm. 38-46.


(15)

dipandang adil dan benar jika ‘demokratis’. Pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman Yunani kuno hingga sekarang mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja.

Kedua, sementara banyak negara pada saat ini menganut paham

demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa pada abad ke-20 sendiri menggambarkan dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga: Fasisme, Nazisme, dan Stalinisme hampir saja menghancurkannya. Demokrasi telah berkembang melalui perlawanan sosial yang intensif. Demokrasi juga sering dikorbankan dalam perlawanan serupa.

Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformasi politik di berbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini: demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan menolak “demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana Barat dan Timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.

Permasalahan yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan tentang demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di dalam praktik. Berbagai negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri yang tidak sedikit di antaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur yang sangat tidak demokratis, kendati di atas kertas menyebutkan “demokrasi”


(16)

sebagai asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi tentang politik sampai pada identifikasi bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas demokrasi normatif dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif menyangkut rangkuman gagasan-gagasan atau idealita tentang demokrasi yang terletak di dalam alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di lapangan yang tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya. Ada yang menyebut istilah lain untuk demokrasi normatif dan empirik ini, yakni demokrasi sebagai “essence” dan demokrasi sebagai “preformence”. Dalam ilmu hukum istilah yang sering dipakai adalah demokrasi “dassollen” dan demokrasi

dassein”. Karena sering terjadinya persilangan antara demokrasi normatif dan

demokrasi empirik itulah, maka diskusi-diskusi tentang pelaksanaan demokrasi menjadi objek yang senantiasa menarik.

Pada permulaan pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Klasik dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.

Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Klasik

abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung (direct

democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat

keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu negara-kota). Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak


(17)

berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).

Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600-1400). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal; yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta Piagam Besar 1215.

Sebelum Abad Pertengahan berakhir di Eropa pada permulaan abad ke-16 muncul banyak negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk yang modern, maka masyarakat Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah

Renaissance (1350-1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti

Itali, dan ReformasiGereja(1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya.

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada

kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Klasik yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata

diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah masalah-masalah

keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlu adanya kebebasan beragama serta ada


(18)

garis pemisah yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini dinamakan “pemisahan antara Gereja dan Negara”.

Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa

Barat memasuki masa “Aufklarung” (Abad Pemikiran) beserta

Rasionalismesekitar tahun 1650-1800, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Timbulah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas. Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial).12

4. Pandangan Pemikir Islam tentang Negara

1. Al-Mawardi

Menurut Al-Mawardi, perbedaan bakat, pembawaan, dan kemampuan antara manusialah yang mendorong bagi mereka untuk saling membantu. Kelemahan manusia, yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri, dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan akhirnya sepakat untuk mendirikan negara.

Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Al-Mawardi ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al’Ikhtiar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial

12


(19)

atau perjanjian masyarakat atas dasar sukarela, suatu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hakbagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karena itu, imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.13

Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para anggota masyarakat. Tokoh yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang

2. Ibnu Khaldun

Adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk atau keadaan yang hanya mungkin hidup dan bertahan dengan bantuan makanan. Sementara itu, kemampuan manusia (orang) tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan.

Manusia supaya hidup perlu makan dan untuk aman harus dapat membela diri terhadap serangan dari makhluk-makhluk hidup lain. Dua hal tersebut tidak dapat dilakukan seorang diri, maka diperlukan adanya kerjasama antar sesama manusia, dan itulah sebabnya mengapa organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup manusia.

13


(20)

memungkinkannya bertindak sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim itu adalah raja atau kepala negara.14

5. Pandangan Pemikir Barat tentang Negara

Teori-teori tentang asal-usul negara dapat dimasukkan ke dalam dua golongan besar, yakni pertama teori-teori yang spekulatif; dan kedua teori-teori yang historis atau teori-teori yang evolusionis. Adapun teori-teori yang masuk kategori teori-teori spekulatif adalah teori perjanjian masyarakat, teori teokratis, teori kekuatan.

1. Teori Perjanjian Masyarakat

Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Teori ini dipandang tertua dan tepenting. Setiap perenungan mengenai negara dan masyarakat, mau tidak mau akan menghasilkan paham-paham yang mendasarkan adanya negara dan masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya. Persetujuan-persetujuan itu dapat dinyatakan secara tegas (expressed) atau dianggap telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).

Teori perjanjian masyarakat terbukti dapat mempengaruhi pemikiran politik di benua Eropa sejak Abad Pertengahan sampai ke masa Renaissance dan terus sampai abad ke-18. Beberapa sarjana yang menganut teori perjanjian masyarakatantara lain: Richard Hooker, Hugo de Groot (Grotius), Benedictus de Spinoza, Samuel Pufendorf, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Tetapi penulis yang paling berpengaruh mengenai perjanjian masyarakat ialah Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ. Rousseau. Teori-teori pejanjian masyarakat didasarkan atas paham, bahwa kehidupan manusia dipisahkan dalam dua zaman, yakni zaman sebelum manusia bernegara

14


(21)

dan zaman sesudah manusia memasuki hidup bernegara atau zaman yang disebut Melamed sebagai Staatlosen Zustand dan Staatzustand.

Peralihan dari zaman pra-negara ke zaman bernegara terlaksana dengan perjanjian yang dibuat dengan sengaja atau tidak dengan sengaja oleh semua manusia yang pada suatu waktu tertentu bersama-sama mendiami suatu wilayah. Keadaaan tak bernegara disebut keadaan alamiah (state of nature, status

naturalis), di mana individu hidup tanpa organisasi dan pimpinan, dengan kata

lain tanpa hukumyang mengatur hidup mereka.

Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal dan dibedakan dua macam perjanjian masyarakat, yakni yang disebut perjanjian masyarakat sebenarnya dan perjanjian pemerintahan. Dengan perjanjian masyarakat yang sebenarnya dibentuk suatu badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang bersama-sama mengadakan perjanjian itu. Dengan perjanjian masyarakat yang sebenarnya terbentuklah sociatas atau masyarakat manusia. Perjanjian ini secara teknis disebut pactum unionis atau pacte d’association (istilah Otto von Gierke), atau social contract proper dalam bahasa Inggris.

Bersamaan atau kemudian daripada pembentukan masyarakat atau

societas itu diadakan pula perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang

yang diberikan kekuasaan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dihormati dan ditaati oleh kedua belah pihak, yakni rakyat dan orang atau kelompok orang itu. Orang atau badan yang dibentuk itu diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan atas nama rakyat. Perjanjian ini melahirkan pemerintah atau negara. Perjanjian pemerintahan ini secara teknis disebut pactum subjectionis atau pacte de

government (istilah Rousseau) atau contract of government.15

15


(22)

2. Teori Ketuhanan

Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan sarjana-sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja-raja yang mutlak.Doktrin ketuhanan lahir sebagai resultante-resultante kontroversial dari kekuasaan politik dalammasa Abad Pertengahan. Kaum monarchomach, yaitu mereka yang berpendapat bahwa raja yang berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh, menganggap sumber kekuasaan adalah rakyat, sedangkan raja-raja pada waktu itu menganggap sumber kekuasaan mereka diperoleh dari Tuhan. Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak kepada siapa pun.

Teori ketuhanan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori ketuhanan yang langsung dan teori ketuhanan tidak langsung. Pengertian teori ketuhanan yang langsung adalah untuk menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara itu langsung berasal dariTuhan. Dan adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan.

Adapun yang dimaksud dengan teori ketuhanan yang tidak langsung ialah manakala bukan Tuhan sendiri yang memerintah melainkan raja atas nama Tuhan. Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Dengan doktrin tersebut diusahakan agar kekuasaan raja mendapatkan sifatnya yang suci (dalam arti “Ketuhanan”), sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan pelanggaran terhadap Tuhan.16

Dalam teori kekuatan negara yang pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbentuk dari

3. Teori Kekuatan

16


(23)

penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan. Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap sebagai faktor tunggal dan terutama yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pendiri negara itu.

Menurut Hobbes, syarat penting untuk menjadi seorang raja adalah orang yang fisiknya kuat melebihi yang lainnya agar dapat mengatasi segala kekacauan yang timbul dalam masyarakat. Demikian pula pendapat Machiavelli, bahwa seorang raja harus kuat dan caranya untuk mengatasi segala kekacauan yang dihadapi negara, ia dapat mempergunakan segala alat yang menguntungkan baginya. Kalau perlu alat yang dipergunakan boleh melanggar perikemanusiaan.

Menurut teori kekuataan ekonomi sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx, yang menganggap bahwa negara itu merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia di dalam masyarakat untuk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuannya. Marx mengaggap ada pertentangan kelas di dalam masyarakat karena adanya perbedaan kekuatan ekonomi, yakni kaum yang ekonominya kuat dan kaum yang ekonominya lemah. Pertentangan antara dua kelas itu ditujukan untuk merebut kekuasaan negara sebab negara adalah alat kekuasaan.17

6. Doktrin Ide Demokrasi Modern

1. John Locke (1632-1704)

Menurut Locke, keadaan bebas merdeka (state of liberty) bukanlah keadaanbebas sekehendaknya (not a state of license). Manusia tidak berkebebasan untuk menghancurkan dirinya atau makhluk lain karena keadaan alam kodrat

17


(24)

mempunyai hukum alam yang mengatur, yang tak lain ialah rasio. Locke lantas percaya bahwa rasio mengajarkan pada semua manusia agar tidak mengganggu sesamanya atas rights of life, libertyandproperty (yaitu hak-hak asasi yang meliputi kehidupan, kemerdekaan, hak milik). Rasio yang tidak membolehkan manusia untuk mengganggu sesamanya itu disimpulkan dari keyakinan Kristen bahwa semua manusia adalah milik Tuhan. Atas pemikirannya ini, Locke dipandang sebagai bapak Hak-Hak Asasi.

Menurut Locke, masyarakat pertama adalah antara suami dan istri, yang merupakan awal masyarakat antara orang tua dan anak-anak, selanjutnya masyarakat antara tuan dan hamba. Namun demikian, semuanya itu masih belum membentuk masyarakat politis. Masyarakat politis atau sipil barulah terbentuk manakala setiap orang dengan berkesepakatan dengan orang-orang lain ditundukkan pada kekuasaan politis atas persetujuan mereka sendiri, dan melalui persetujuan itulah dibentuk sebuah masyarakat agar terpelihara kehidupan yang tenteram dan damai serta dapat menikmati rights of life, liberty and property. Atas pemikiran di muka, Locke dipandang sebagai eksponen teori masyarakat sipil.

Pada teori itu sudah tersimpul social contract (kontrak sosial, perjanjian masyarakat), yaitu manusia-manusia dalam persekutuan setuju menyerahkan

natural rights (hak-hak alamiah) kepada masyarakat. Namun menurut Locke, sifat

penyerahan adalah tidak sepenuhnya. Kemudian, masyarakat (one body politic) yang dibentuk oleh persekutuan itu membentuk pemerintah (one government), yang tugas utamanya adalah menjaga hak milik dan melindungi hak kebebasan warga. Atas pemikiran ini, Locke dipandang sebagai eksponen “teori jaga malam oleh pemerintah”.

Locke meyakini bahwa perjanjian yang berlangsung itu adalah pactum

union (perjanjian penyatuan) dari orang-orang yang bebas, sederajat dan

bergabung dalam persekutuan. Pada perjanjian ini, hak dan status kebebasan orang-orang tidak diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Sesudah


(25)

masyarakat membentuk pemerintah dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah, orang-orang masih mempunyai hak-hak dan status kebebasan. Betapapun juga, pemerintah memegang kekuasaan politik yang terbatas, yaitu dibatasi konstitusi.

Locke yakin bahwa melalui konstitusi dan pembatasan kekuasaan,

Leviathan yang perkasa pun tak akan hidup lama. Adanya penyerahan kekuasaan

dari masyarakat kepada pemerintah menunjukkan sifat tidak langsung dan asas konstitusional dari perjanjian masyarakat. Sebagai konsekuensinya, apabila pemerintah yang diserahi kekuasaan itu adalah seorang monarch atau raja maka ada monarki konstitusional. Namun bila pemerintah itu tak lain adalah mayoritas itu sendiri, maka ada demokrasi konstitusional. Jelaslah bahwa doktrin Locke mengenai perjanjaian masyarakat merupakan jalinan dari doktrin-doktrin liberalisme, konstitusionalisme, dan pembatasan kekuasaan. Sistem doktrin itulah yang hingga kini masih diyakini kebenarannya untuk diimplementasikandan bahkan ditransplantasikan ke berbagai negara di dunia, tentu saja dengan berbagai variasi serta modifikasinya.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa alih-alih menggunakan istilah

state untuk menyebut negara, Locke baru mengenal istilah commonwealth atau

persemakmuran yang merupakan padanan kata Latin, civitas. Menurut dia,

Commonwealth adalah suatu independent community, sedangkan bentuknya

ditentukan menurut kriteria kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang, sehingga dapat diperoleh bentuk-bentuk sebagai berikut:

1. Demokrasi sepenuhnya (prefectdemocracy) yaitu apabila kekuasaan mayoritas atau masyarakat dapat menggunakan kekuasaan itu dalam membuat undang-undang dan dalam melaksanakan undang-undang melalui pejabat-pejabat yang ditunjuk.


(26)

2. Oligarki (oligarchy), yaitu apabila mayoritas itu dapat meletakkan kekuasaan membentuk undang-undang di tangan beberapa orang yang terpilih dan pewaris-pewaris mereka atau pengganti-pengganti mereka. 3. Monarki (monarchy), yaitu apabila kekuasaan membentuk

undang-undang di tangan satu orang.

4. Monarki turun-temurun (hereditarymonarchy), yaitu apabila

kekuasaan membentuk undang-undang di tangan satu orang dan pewaris-pewarisnya.

5. Monarki elektif (electivemonarchy), yaitu apabila kekuasaan membentuk undang-undang di tangan satu orang, tetapi pada saat kematiannya, kekuasaan untuk menunjuk pengganti kembali kepada mayoritas.

Bagi Locke, tujuan besar pembentukan masyarakat adalah menikmati

properties dan sarananya adalah undang-undang. Badan legislatif diunggulkannya

sebagai kekuasaan tertinggi, keramat dan tak dapat diubah. Itulah sebabnya Locke hampir senantiasa menentang hak pengadilan untuk memutuskan bahwa tindakan legislatif itu tidak konstitusional (Michael H. Hart, 2003: 256). Tak mengherankan kalau dia yakin bahwa penetapan kekuasaan legislatif adalah pelestarian masyarakat dalam suatu commonwealth.

Locke kemudian menunjukkan adanya tiga kekuasaan commonwealth, yaitu;

1. Kekuasaan legislatif (legislative power), yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang. Inilah kekuasaan tertinggi dan dipisahkan dari kekuasaan eksekutif.

2. Kekuasaan eksekutif (executive power), yaitu kekuasaan yang harus selalu menjaga atau mengupayakan pelaksanaan undang-undang yang


(27)

telah dibuat dan tetap berlaku. Bagi Locke, hak pengadilan adalah bagian dari kekuasaan eksekutif.

3. Kekuasaan federatif (federative power), yaitu kekuasaan untuk berperang dan berdamai, mengadakan liga dan perserikatan, serta melakukan transaksi dengan orang atau masyarakat di luar

commonwealth. Kekuasaan ini berbeda dari kekuasaan eksekutif,

namun keduanya tidak dapat dipisahkan.

Doktrin Locke berpengaruh besar pada rakyat Inggris, sarjana-sarjana Perancis dan Amerika Serikat. Para perantau Inggris yang berangkat ke benua Amerika dengan menumpang kapal Mayflower telah mempraktikkan ajaran Locke dengan serta merta. Di Perancis, Rousseau mengembangkan doktrin ajaran

contarct social meskipun pada alur yang bebeda, yaitu menopang demokrasi dan

kebebasan absolut tetapi tidak menganjurkan revolusi; sedangkan Montesquieu memerlukan diri datang ke Inggris untuk meninjau monarki konstitusional dan sekembalinya ke Perancis mengembangkan teori kekuasaan yang memisahkan kekuasaan yudisial dari kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, Jonathan Mayhew (1720-1766) dan John Adams (1798-1801) melancarkan doktrin no

taxation without representation (tiada pajak tanpa perwakilan) pada tahun 1765;

sedangkanthe Founding Fathers of United States memasukkan gagasan-gagasan penting seperti all men created free and equal dan unalienable rights dalam

Declaration of Independence (1776).18

Bagi Montesquieu, negara dan hukum tumbuh melalui proses sosial yang menyejarah. Negara ialah hasil perkembangan masyarakat. Maka, masyarakatlah yang primer, bukan negara. Hukum (undang-undang) negara merupakan penjelmaan saja dari hukum (kebiasaan) masyarakat yang sudah berlangsung

2. Charles de Montesquieu (1689-1755)

18


(28)

lebih lama. Maka, hukum masyarakat itulah yang primer, bukan undang-undang. Jelaslah bahwa paham hukum Montesquieu amat maju untuk ukuran zamannya, yaitu yuridis historis-sosiologis.

De L’Esprit des Lois merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi

ajaran mengenai sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandungnya dan ajaran pemisahan kekuasaan-kekuasaan negara. Menurutnya, sistem pemerintahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Pemerintahan monarkis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh satu orang berdasarkan asal-usul keturunan (misalnya raja, kaisar, ratu) dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman menjalankan pemerintahan. Satu orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara, dapat terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang kepada orang-orang tertentu berdasarkan prinsip tadi, sehingga mereka itu memperoleh hak-hak istimewa untuk menjalankan misi negara dengan baik dan seimbang. Maka, pemerintahan monarkis ini kadang-kadang dikenali sebagai pemerintahan aristokratik, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang yang berasal dari golongan aristokrasi dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman menjalankan pemerintahan.

2. Pemerintahan despotis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seorang raja tanpa berlandaskan undang-undang atau aturan tertulis yang berkepastian. Hukum yang berlaku disesuaikan dengan kehendak pribadi sang raja dan cenderung represif. Pemimpin negara yang berkuasa berdasarkan prinsip ketakutan. Pemerintahan kediktatoran ini mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada dalam suasana pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakukan sebagai budak-budak tanpa ada secuil hak.


(29)

3. Pemerintahan republik, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat untuk menjamin terwujudnya kebijakan yang berpihak pada publik dan berlakunya hukum undang-undang atas diri rakyat sendiri. Pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip kebajikan. Maka, pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk pada konstitusi. Apabila rakyat tidak mampu mematuhi hukum undang-undang yang pada dasarnya penjelmaan kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara mengalami kemunduran dan kehancuran.

Montesquieu mengagumi Inggris yang menurut pengamatannya selama 18 bulan di sekitar tahun 1732 merupakan monarki konstitusional dan dapat dicontoh sebagai model pemerintahan terbaik. Inggris memang menyatakan diri sebagai monarki konstitusional sesudah bangkitnya GloriusRevolution (1688-1689). Monarki konstitusional merupakan bentuk campuran pemerintahan monarki dan pemerintahanrepublik. Monarki konstitusional yaitu kerajaan yangpemerintahannya dipegang oleh seorang raja yang tidak mampu bertindak sewenang-wenang karena terdapat konstitusi yang mengatur serta membatasi kekuasaan politik raja, dan pemerintahan itu mengakui serta menghormati hak-hak kebebasan politik rakyat. Jelaslah bahwa paham politik Montesquieu ialah liberalisme.

Montesquieu lantas menganjurkan Perancis untuk membina kestabilan politik melalui golongan-golongan agama, aristokrat dan parlemen untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang tertentu dan berbeda-beda. Tujuan utama golongan-golongan itu ialah mewujudkan keseimbangan antara wewenang raja dan kebebasan rakyat. Wewenang raja meliputi hak-hak istimewa itu jangan sampai menjadi arbitrer, sedangkan kebebasan rakyat jangan sampai menjadi anarkis dan mengganggu stabilitas negara.


(30)

Jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah separation de pouvoir atau pemisahan kekuasaan berupa kuasa eksekutif, legislatif, dan yudisial. Pemisahan kekuasaan itu pada gilirannya diistilahi oleh Immanuel Kant sebagai trias politica atau tiga kuasa politik dalam karyanya, Rechtslehre (Science of Right,

Jurrisscientia).

Berdasarkan separation de pouvoir itu, kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan negara, serta menetapkan keadaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada beberapa orang.

2. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk, memperbaiki, serta mengamandemen undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan parlemen atau dewan perwakilan rakyat karena rakyat melalui wakilnya dapat menjadi penentu atas hukum undang-undang yang pada gilirannya digunakan sebagai sarana untuk mengatur rakyat itu sendiri.

3. Kekuasaan yudisial, yaitu kekuasaan yang menerapkan serta

mempertahankan undnag-undang, dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya bukan merupakan urusan raja dan parlemen, melainkan badan tersendiri dan terpisah yang beranggotakan hakim-hakim.

Montesquieu meyakini bahwa badan tersendiri itu tidak mungkin mengganggu stabilitas negara dan sewenang-wenang sebab hakim hanyalah corong dari undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang yang sudah ditetapkan badan pembentuknya. Hakim tidak lain adalah la


(31)

bounce qui pronounce les paroles de la loi, mulut yang hanya mengucapkan kata-kata peraturan undang-undang. Undang-undang itu sendiri hanya merupakan penjelmaan secara tegas dan sadar dari kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat. Montesquieu menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan itu pulalah yang sesungguhnya mampu menopang hak-hak kebebasan politik rakyat.19

7. Nilai-Nilai Dalam Ide Demokrasi Modern

Di Perancis, ajaran negara hukum dikembangkan berdasarkan dua unsur, yaitu pemisahan kekuasaan dan hak-hak dasar, sedangkan ajaran kedaulatan rakyat akan dikukuhkan oleh pemikir politik berikutnya, Jean Jacques Rousseau.

Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory memberi defenisi demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut:A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted one the principle of political equality and under conditions of political

freedom(dalam bahasa Indonesia, sistem politik yang demokratis ialah di mana

kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).

Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai, yakni: (1)menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict); (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society); (3)menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); (4) membatasi

19


(32)

pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); (5) mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku; dan (5) menjamin tegaknya keadilan.

Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut.Pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab.Kedua, suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi.Ketiga, suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.Keempat, pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.

Kelima, sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan

mempertahankan keadilan.

Hampir semua teoritisi –bahkan sejak zaman klasik– selalu menekankan bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau

demos/populous. Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang

senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan; kedua, deciding the outcome, yaitu tahap pengambilan keputusan.20

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu

G. Metodologi Penelitian

20


(33)

gejala atau fenomena.21Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif yang berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.22

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang menekankan pengkajian sumber pengumpulan datanya yang berprinsip pada studi kepustakaan. Metode kualitatif deskriptif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep dan ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam literatur, dokumen, dan buku akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan itu.

Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang tidak diperoleh dari prosedur statistik atau bentuk hitungan. Penelitian kualitatif mengacu kepada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda, yang meliputi pengumpulan data lapangan, observasi, ataupun library research.23

Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbabagai sumber yang telah ada seperti

2. Teknik Pengumpulan Data

21

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 42.

22

Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 20.

23

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm. 30.


(34)

buku, majalah, jurnal, literatur dan dokumen resmi. Dengan demikian teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research). Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data yang berbentuk keterangan atau informasi tertulis, baik yang bersifat akademis maupun administratif. Praktisnya, kegiatan studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan topik yang diteliti.

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini,interaksi peradaban Islam-Barat dalam Perang Salib pada Abad Pertengahan yang mempengaruhi munculnya ide demokrasi kembali di Eropa melalui gerakan Renaissance dianalisa berdasarkan sumber-sumber kajian kepustakaan yang ada. Kajian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memahami interaksi sosial, Renaisance, peradaban Islam, peradaban Barat dan ide demokrasi.


(1)

3. Pemerintahan republik, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat untuk menjamin terwujudnya kebijakan yang berpihak pada publik dan berlakunya hukum undang-undang atas diri rakyat sendiri. Pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip kebajikan. Maka, pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk pada konstitusi. Apabila rakyat tidak mampu mematuhi hukum undang-undang yang pada dasarnya penjelmaan kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara mengalami kemunduran dan kehancuran.

Montesquieu mengagumi Inggris yang menurut pengamatannya selama 18 bulan di sekitar tahun 1732 merupakan monarki konstitusional dan dapat dicontoh sebagai model pemerintahan terbaik. Inggris memang menyatakan diri sebagai monarki konstitusional sesudah bangkitnya GloriusRevolution (1688-1689). Monarki konstitusional merupakan bentuk campuran pemerintahan monarki dan pemerintahanrepublik. Monarki konstitusional yaitu kerajaan yangpemerintahannya dipegang oleh seorang raja yang tidak mampu bertindak sewenang-wenang karena terdapat konstitusi yang mengatur serta membatasi kekuasaan politik raja, dan pemerintahan itu mengakui serta menghormati hak-hak kebebasan politik rakyat. Jelaslah bahwa paham politik Montesquieu ialah liberalisme.

Montesquieu lantas menganjurkan Perancis untuk membina kestabilan politik melalui golongan-golongan agama, aristokrat dan parlemen untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang tertentu dan berbeda-beda. Tujuan utama golongan-golongan itu ialah mewujudkan keseimbangan antara wewenang raja dan kebebasan rakyat. Wewenang raja meliputi hak-hak istimewa itu jangan sampai menjadi arbitrer, sedangkan kebebasan rakyat jangan sampai menjadi anarkis dan mengganggu stabilitas negara.


(2)

Jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah separation de pouvoir atau pemisahan kekuasaan berupa kuasa eksekutif, legislatif, dan yudisial. Pemisahan kekuasaan itu pada gilirannya diistilahi oleh Immanuel Kant sebagai trias politica atau tiga kuasa politik dalam karyanya, Rechtslehre (Science of Right, Jurrisscientia).

Berdasarkan separation de pouvoir itu, kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan negara, serta menetapkan keadaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada beberapa orang.

2. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk, memperbaiki, serta mengamandemen undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan parlemen atau dewan perwakilan rakyat karena rakyat melalui wakilnya dapat menjadi penentu atas hukum undang-undang yang pada gilirannya digunakan sebagai sarana untuk mengatur rakyat itu sendiri.

3. Kekuasaan yudisial, yaitu kekuasaan yang menerapkan serta

mempertahankan undnag-undang, dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya bukan merupakan urusan raja dan parlemen, melainkan badan tersendiri dan terpisah yang beranggotakan hakim-hakim.

Montesquieu meyakini bahwa badan tersendiri itu tidak mungkin mengganggu stabilitas negara dan sewenang-wenang sebab hakim hanyalah corong dari undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang yang sudah ditetapkan badan pembentuknya. Hakim tidak lain adalah la


(3)

bounce qui pronounce les paroles de la loi, mulut yang hanya mengucapkan kata-kata peraturan undang-undang. Undang-undang itu sendiri hanya merupakan penjelmaan secara tegas dan sadar dari kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat. Montesquieu menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan itu pulalah yang sesungguhnya mampu menopang hak-hak kebebasan politik rakyat.19

7. Nilai-Nilai Dalam Ide Demokrasi Modern

Di Perancis, ajaran negara hukum dikembangkan berdasarkan dua unsur, yaitu pemisahan kekuasaan dan hak-hak dasar, sedangkan ajaran kedaulatan rakyat akan dikukuhkan oleh pemikir politik berikutnya, Jean Jacques Rousseau.

Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory memberi defenisi demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut:A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted one the principle of political equality and under conditions of political freedom(dalam bahasa Indonesia, sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).

Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai, yakni: (1)menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict); (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society); (3)menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); (4) membatasi

19


(4)

pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); (5) mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku; dan (5) menjamin tegaknya keadilan.

Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut.Pertama, pemerintahan yang bertanggung jawab.Kedua, suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi.Ketiga, suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.Keempat, pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. Kelima, sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

Hampir semua teoritisi –bahkan sejak zaman klasik– selalu menekankan bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau demos/populous. Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan; kedua, deciding the outcome, yaitu tahap pengambilan keputusan.20

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu G. Metodologi Penelitian

20


(5)

gejala atau fenomena.21Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif yang berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.22

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang menekankan pengkajian sumber pengumpulan datanya yang berprinsip pada studi kepustakaan. Metode kualitatif deskriptif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep dan ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam literatur, dokumen, dan buku akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan itu.

Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang tidak diperoleh dari prosedur statistik atau bentuk hitungan. Penelitian kualitatif mengacu kepada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda, yang meliputi pengumpulan data lapangan, observasi, ataupun library research.23

Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbabagai sumber yang telah ada seperti

2. Teknik Pengumpulan Data

21

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 42.

22

Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 20.

23

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm. 30.


(6)

buku, majalah, jurnal, literatur dan dokumen resmi. Dengan demikian teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research). Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data yang berbentuk keterangan atau informasi tertulis, baik yang bersifat akademis maupun administratif. Praktisnya, kegiatan studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan topik yang diteliti.

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini,interaksi peradaban Islam-Barat dalam Perang Salib pada Abad Pertengahan yang mempengaruhi munculnya ide demokrasi kembali di Eropa melalui gerakan Renaissance dianalisa berdasarkan sumber-sumber kajian kepustakaan yang ada. Kajian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memahami interaksi sosial, Renaisance, peradaban Islam, peradaban Barat dan ide demokrasi.