Pelayanan Resep di Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan kefarmasian

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Menkes, RI., 2004).

Pada penelitian Purwastuti, digolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien menghadapi beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi. Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanan saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

2.1.1 Pengelolaan perbekalan kefarmasian

Pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Menkes, RI., 2014).


(2)

Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjamin terlaksananya pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang baik.

Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi: a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai

Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan puskesmas.

Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:

i. perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati kebutuhan;

ii. meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan iii. meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas.

b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai

Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.


(3)

c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai

Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.

Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat dan bahan medis habis pakai berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Masa kedaluwarsa minimal dari obat yang diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.

d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai

Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

i. bentuk dan jenis sediaan;

ii. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban); iii. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan


(4)

e. Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai

Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya.

Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat.

f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai

Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.

Pengendalian obat terdiri dari: i. Pengendalian persediaan; ii. Pengendalian penggunaan; dan

iii. Penanganan Obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa. g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan

Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai secara tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya (Menkes, RI., 2014).


(5)

Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah:

i. Bukti bahwa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai telah dilakukan; ii. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan

iii. Sumber data untuk pembuatan laporan.

h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai

Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:

i. mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;

ii. memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai; dan

iii. memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan (Menkes, RI., 2014).

2.1.2 PelayananFarmasi klinis

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(Menkes, RI., 2014).

Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:

a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

b. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.


(6)

c. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.

d. Melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Menkes, RI., 2014).

Pelayanan farmasi klinik meliputi:

a. Pengkajian Resep, Penyerahan obat, dan Pemberian Informasi obat

Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:

i. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien. ii. Nama, dan paraf dokter.

iii. Tanggal resep.

iv. Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi:

i. Bentuk dan kekuatan sediaan. ii. Dosis dan jumlah obat. iii. Stabilitas dan ketersediaan. iv. Aturan dan cara penggunaan.

v. Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat). Persyaratan klinis meliputi:

i. indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat. ii. Ketepatan Duplikasi pengobatan.


(7)

iv. Kontra indikasi. v. Efek adiktif.

Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian.

Tujuan:

i. Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. ii. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.

b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Tujuan:

i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.

ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat (contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai).


(8)

c. Konseling

Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien.

Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.

Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat (Menkes, RI., 2014).

d. Ronde/Visite Pasien

Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.

Tujuan:

i. Memeriksa obat pasien.

ii. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.


(9)

iii. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat.

iv. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien.

Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga tercapai keberhasilan terapi obat.

e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Tujuan:

i. Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.

ii. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan (Menkes, RI., 2014).

f. Pemantauan terapi obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Tujuan:


(10)

ii. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat (Menkes, RI., 2014).

g. Evaluasi penggunaan obat

Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).

Tujuan:

i. Mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu. ii. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu

(Menkes, RI., 2014). 2.2 Pelayanan Resep

Pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Menkes, RI.,2014). 2.2.1 Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014).

Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap ,Apoteker harus menanyakan obat kepada dokter penulis resep.


(11)

2.2.2 Standard penulisan resep

Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambillah). Dibelakang tanda ini (R/) biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Suatu resep yang lengkap harus memuat:

a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter atau dokter gigi b. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat c. Memberi tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep

d. Tanda tangan atau paraf dokter penulisan resep sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlalu

e. Nama pasien, jenis kelamin, umur, serta alamat

f. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimal.

2.2.3 Skrining Resep

Skrining resep adalah hasil evaluasi dengan cara membandingkan literatur dan ketentuan yang telah ditetapkan terhadap resep dokter. Tahapan proses skrining resep meliputi:

a. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu : nama dokter, nomor ijin praktek, Alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin dan berat badan pasien

b. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat


(12)

c. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), membuat kartu pengobatan pasien

d. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan (Menkes, RI., 2004).

2.2.4 Indikator mutu pelayanan resep

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, digunakan tujuh imdikator untuk evaluasi mutu pelayanan yaitu:

a. Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

b. Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. c. Kemasan obat yang diserahkan

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

d. Penyerahan obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.


(13)

e. Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

f. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

g. Monitoring penggunaan obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2.3 Kepuasan Pasien

2.3.1 Definisi kepuasan pasien

Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapan-harapannya (Kothler, 1999).

Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen


(14)

merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).

Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006).

2.3.2 Faktor – faktor kepuasaanpasien

Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih sulit. Kepuasan konsumen adalah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen adalah merupakan faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008).

Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor:

a.Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen. b.Prosedur yang tidak membingungkan konsumen.

c.Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen. d.Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.


(15)

e.Proses penyembuhan yang dirasakan konsumen.

Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor antara lain:

a. Kualitas produk atau jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan.

b. Kualitas pelayanan

Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkannya.

c. Faktor Emosional

Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

d. Harga

Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.


(16)

e. Biaya

Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan.

Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus:

a. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, b.mampu mengambil keputusan yang tepat,

c.mampu berkomunikasi antar profesi,

d.mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, e.mampu mengelola SDM secara efektif,selalu belajar sepanjang karier. f. membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan

pengetahuan (Menkes, RI., 2004).

Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuaran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005).

Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu:

a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat.

c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”.


(17)

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.

e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi (Supranto, 2006).

2.4 Puskesmas

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes, RI., 2006).

Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:

a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, b. pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan c. pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.

Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:

a. papan nama “apotek” yang dapat terlihat jelas oleh pasien b. ruang tunggu yang nyaman bagi pasien


(18)

c. peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelasukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain

d. tersedia tempat dan alat untuk mendisplaiin formasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan

e. tersedia sumber informasi dan literature obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisiterakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI)

f. tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, g. tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria,

serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

h. tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau computer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik

i. tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat (Depkes, RI., 2006).


(1)

e. Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

f. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

g. Monitoring penggunaan obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2.3 Kepuasan Pasien

2.3.1 Definisi kepuasan pasien

Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapan-harapannya (Kothler, 1999).

Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen


(2)

merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).

Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006).

2.3.2 Faktor – faktor kepuasaanpasien

Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih sulit. Kepuasan konsumen adalah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen adalah merupakan faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008).

Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor:

a.Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen. b.Prosedur yang tidak membingungkan konsumen.

c.Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen. d.Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.


(3)

e.Proses penyembuhan yang dirasakan konsumen.

Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor antara lain:

a. Kualitas produk atau jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan.

b. Kualitas pelayanan

Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkannya.

c. Faktor Emosional

Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

d. Harga

Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.


(4)

e. Biaya

Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan.

Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus:

a. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, b.mampu mengambil keputusan yang tepat,

c.mampu berkomunikasi antar profesi,

d.mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, e.mampu mengelola SDM secara efektif,selalu belajar sepanjang karier. f. membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan

pengetahuan (Menkes, RI., 2004).

Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuaran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005).

Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu:

a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat.

c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”.


(5)

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.

e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi (Supranto, 2006).

2.4 Puskesmas

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes, RI., 2006).

Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:

a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, b. pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan c. pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.

Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:

a. papan nama “apotek” yang dapat terlihat jelas oleh pasien b. ruang tunggu yang nyaman bagi pasien


(6)

c. peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelasukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain

d. tersedia tempat dan alat untuk mendisplaiin formasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan

e. tersedia sumber informasi dan literature obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisiterakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI)

f. tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, g. tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria,

serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

h. tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau computer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik

i. tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat (Depkes, RI., 2006).