Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Promosi Kesehatan Kerja
Promosi kesehatan pekerja didefnisikan sebagai upaya untuk mengubah
perilaku yang merugikan kesehatan populasi pekerja (ontologi), agar didapat
kesehatan

dan

kapasitas

kerja

yang

optimal

(aksiologi)

dengan


acara

mengkombinasikan dukungan pendidikan, organisasi kerja, lingkungan dan keluarga
(epistemiologi) (Kurnawidjaja, 2008).
Promosi kesehatan di tempat kerja merupakan komponen kegiatan pelayanan
pemeliharaan/perlindungan kesehatan pekerja dari suatu pelayanan kesehatan kerja.
Promosi kesehatan kerja didefinisikan sebagai proses yang memungkinkan pekerja
untuk meningkatkan kontrol terhadap kesehatannya. Jika dilihat dalam konteks yang
lebih luas, promosi kesehatan di tempat kerja adalah rangkaian kesatuan kegiatan
yang mencakup manajemen dan pencegahan penyakit baik penyakit umum maupun
penyakit yang berhubungan dengan perilaku serta peningkatan kesehatan pekerja
secara optimal (Maulana, 2009).
2.1.1 Program Promosi Kesehatan Pekerja
Ottawa Charter merupakan hasil konferensi yang memberikan perhatian lebih
pada perkembangan paradigma baru dalam kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Berikut ini adalah tahapan dalam penerapan promosi kesehatan yaitu:
1.


Build Health Public Policy untuk memastikan bahwa pengembangan kebijakan
dilakukan oleh semua sektor terkait yang berkontribusi terhadap kesinambungan
penerapan promosi kesehatan.

2.

Create Supportive Environment (fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual)
yang mendeteksi secara cepat perubahan di masyarakat, khususnya dalam bidang
teknologi dan organisasi di tempat kerja, dan memastikan bahwa terdapat
kontribusi yang positif terhadap kesehatan masyarakat.

3.

Strengthen Community Action sehingga komunitas memiliki kapasitas untuk
mengatur prioritas dan membuat keputusan untuk masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan mereka.

4.

Develop Personal Skills untuk mengajarkan skill dan pengetahuan kepada

masyarakat agar dapat mengatasi perubahan dalam komunitas mereka.

5.

Reorient Health Services untuk menciptakan sistem yang berfokus pada
kebutuhan setiap orang dan merangkul partner sejati di antara provider dan user
pelayanan kesehatan (WHO, 1986).

2.2 Penyuluhan
Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang dilakukan
melalui pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif diartikan sebagai rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara sistematik, terencana, dan terarah dengan peran serta
aktif individu, kelompok, atau masyarakat untuk memecahkan masalah dengan

memperhitungkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Penyuluhan
kesehatan pada dasarnya adalah suatu proses mendidik individu/masyarakat supaya
mereka dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Seperti halnya
proses pendidikan lainnya, pendidikan kesehatan mempunyai unsur masukanmasukan yang setelah diolah dengan teknik-teknik tertentu akan menghasilkan
keluaran yang sesuai dengan harapan atau tujuan kegiatan tersebut. Tidak dapat
disangkal, pendidikan bukanlah satu-satunya cara mengubah perilaku, tetapi

pendidikan juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam perubahan
pengetahuan setiap individu (Sarwono, 2004).
Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan
yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana
individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat,
tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara
perseorangan maupun secara kelompok dengan meminta pertolongan (Effendy,
2003).
Tujuan dari penyuluhan antara lain agar individu/masyarakat mengubah
perilaku menjadi perilaku hidup sehat, hal ini sesuai dengan pendapat Azwar dalam
Fitriani (2011) bahwa penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan yang dilakukan
dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak
saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang
ada hubungan dengan kesehatan.

2.2.1 Metode Penyuluhan
Menurut Notoatmodjo (2012), metode penyuluhan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal.
Metode yang dikemukakan antara lain :
1.


Metode penyuluhan perorangan (individual)
Dalam penyuluhan kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku

baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau
inovasi. Dasar digunakan pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai
masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku
baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara lain:
a.

Bimbingan dan penyuluhan
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif. Setiap

masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikoreksi dan dibantu penyelesaiannya.
Akhirnya klien akan dengan sukarela, berdasarkan kesadaran dan penuh pengertian
akan menerima perilaku tersebut.
b. Wawancara
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi
mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum menerima

perubahan, untuk mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau akan diadopsi itu
mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum maka perlu
penyuluhan yang lebih mendalam lagi.

2.

Metode penyuluhan kelompok
Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya

kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok
yang besar, metodenya akan berbeda dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu
metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran penyuluhan. Metode ini
mencakup :
a.

Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode
baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar.
1) Ceramah
Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.
2) Seminar

Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan
menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari seseorang ahli atau
beberapa orang ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan dianggap
hangat di masyarakat.

b.

Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang. Metode
yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah pendapat, bola
salju, memainkan peranan, permainan simulasi.

3. Metode penyuluhan massa
Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang
sifatnya massa atau publik. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti tidak
membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, tingkat

pendidikan dan sebagainya, maka pesan kesehatan yang akan disampaikan harus
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pada
umumnya bentuk pendekatan masa ini tidak langsung, biasanya menggunakan media
massa. Beberapa contoh dari metode ini adalah ceramah umum, pidato melalui media

massa, simulasi, dialog antara pasien dan petugas kesehatan, sinetron, tulisan di
majalah atau koran, bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan
sebagainya
2.2.2 Media Penyuluhan
Menurut Notoatmodjo (2012), penyuluhan tidak dapat lepas dari media
karena melalui media pesan disampaikan dengan mudah untuk dipahami. Media
dapat menghindari kesalahan persepsi, memperjelas informasi, dan mempermudah
pengertian. Media promosi kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu promosi
kesehatan. Dengan demikian, sasaran dapat mempelajari pesan-pesan kesehatan dan
mampu memutuskan mengadopsi perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan.
Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media dibagi
menjadi 3 (tiga) (Notoatmodjo, 2012) yakni:
1. Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan yaitu:
a. Flip chart (lembar balik) ialah media penyampaian pesan kesehatan dalam bentuk
lembar balik, dimana tiap lembar berisi gambar peragaan dan dibaliknya berisi
informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut.
b. Booklet ialah pesan-pesan kesehatan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun
gambar.

c. Poster ialah lembaran kertas dengan kata-kata dan gambar atau simbol untuk

menyampaikan pesan/ informasi kesehatan.
d. Leaflet ialah penyampaian informasi kesehatan dalam bentuk kalimat, gambar
ataupun kombinasi melalui lembaran yang dilipat.
e. Flyer (selebaran) seperti leaflet tapi tidak dalam bentuk lipatan.
f. Rubrik atau tulisan pada surat kabar atau majalah mengenai bahasan suatu
masalah kesehatan.
g. Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan
2. Media elektronik sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan
memiliki jenis yang berbeda, antara lain:
a. Televisi: penyampaian informasi kesehatan dapat dalam bentuk sandiwara,
diskusi, kuis, cerdas cermat seputar masalah kesehatan.
b. Radio: penyampaian pesan-pesan kesehatan dalam bentuk tanya jawab, sandiwara
radio, ceramah tentang kesehatan.
c. Video: penyampaian informasi kesehatan dengan pemutaran video yang
berhubungan dengan kesehatan.
d. Slide dan Film strip
3. Media papan (Bill Board) yang dipasang di tempat umum dapat diisi dengan pesan
kesehatan. Media papan disini juga mencakup pesan kesehatan yang ditulis pada
lembaran seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan umum.


2.2.3 Proses Adopsi dalam Penyuluhan
Berbicara tentang penyuluhan tidak terlepas dari bagaimana agar sasaran
penyuluhan dapat mengerti, memahami, tertarik dan mengikuti apa yang kita
suluhkan dengan baik dan benar atas kesadarannya sendiri berusaha untuk
menerapkan ide-ide baru tersebut dalam kehidupannya. Menurut penelitian Rogers
(1974), indikasi yang dapat dilihat pada diri seseorang pada setiap tahapan adopsi
dalam penyuluhan adalah sebagai berikut :
1. Tahap sadar (awarness), pada tahap ini seseorang sudah mengetahui sesuatu yang
baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain.
2. Tahap minat (interest), pada tahap ini seseorang mulai ingin mengetahui lebih
banyak tentang hal-hal baru yang sudah diketahuinya dengan jalan mencari
keterangan atau informasi yang lebih terperinci.
3. Tahap menilai (evaluation), pada tahap ini seseorang mulai menilai atau
menimbang-nimbang serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan diri,
misalnya kesanggupan serta resiko yang akan ditanggung, baik dari segi sosial
maupun ekonomis.
4. Tahap mencoba (trial), pada tahap ini seseorang mulai menerapkan atau mencoba
dalam skala kecil sebagai upaya mencoba untuk meyakinkan apakah dapat
dilanjutkan.
5. Tahap penerapan (adoption), pada tahap ini seseorang sudah yakin akan hal baru

dan mulai melaksanakan dalam skala besar (Notoatmodjo, 2012).

2.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap
objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran
(telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa
dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang
tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Kedua
aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif dan
objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek
tertentu (Dewi dan Wawan, 2010)
Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan seseorang terhadap objek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
dalam 6 (enam) tingkatan, yaitu :

1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa
komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesa (Synthesis)
Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek.

2.4 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat lansung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Newcomb salah seorang ahli psikososial dikutip
Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Seperti halnya dengan pengetahuan,
sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai

(Valuing),

mengajak

orang

lain

untuk

mengerjakan

atau

mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan instrumen yang memproteksi
pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat
kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi
oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko
kecelakaan (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak
biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang
(Prasetyo, 2009).
Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja
difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan

kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia
pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan
sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja tidak dapat dipisahkan
dengan proses produksi baik jasa maupun industri.
Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu ilmu
multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi
lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga
kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah
terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran,
peledakan, dam pencemaran lingkungan.
Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan
kerja adalah sebagai berikut:
1. Agar setiap pegawai/tenaga kerja mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, selektif
mungkin.
3. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya
4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi
pegawai/tenaga kerja.
5. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.
7. Agar setiap pegawai/tenaga kerja merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.

2.6 Bahaya Pekerjaan
The International Labour Organizational (1986), mendefinisikan bahaya
kerja (work hazard) adalah suatu sumber potensi kerugian atau suatu situasi yang
berhubungan dengan pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja yang berpotensi
menyebabkan kerugian/gangguan.
Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat
mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut disebut potensial, jika faktor-faktor
tersebut belum mendatangkan kecelakaan. Jika kecelakaan telah terjadi, maka bahaya
tersebut sebagai bahaya nyata. Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan
tentang sebab-sebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan disuatu perusahaan
diketahui dengan mengadakan analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan
cara analisa harus betul-betul diketahui.
Tempat kerja merupakan salah satu tempat yang memiliki bahaya kerja yang
dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Kesehatan
pekerja berfokus pada dua penyebab:pertama, kesehatan kaitannya dengan pejanan
bahaya fisik, dan kedua, kesehatan kerja yang disebabkan bahaya psikososial.
Terpapar stresor bahaya psikososial di tempat kerja terkait dengan sejumlah masalah
kesehatan, termasuk gangguan perilaku dan penyakit lainnya.

Bahaya kerja diklasifikasikan dalam lima kategori, antara lain biologis,
penyakit menular, kimia, lingkungan, dan bahaya psikososial. Bahaya biologis dan
bahaya infeksi: agen infeksi dan biologis, seperti virus, jamur dan parasit,yang dapat
ditularkan melalui kontak dengan pasien terinfeksi atau cairan tubuh kontaminasi.
Penyakit menular yang menjadi perhatian besar saat ini, HIV, rubella (campak),
rubella (campak jerman), herperviruses (herpes simplek), varicella (cacar air/ herpes
zoster), dan cytomegalovirus (CMV), dan Mycobacterium tuberculosis (TBC).
Bahaya kimia : berbagai bentuk bahan kimia yang beracun atau berpotensi
mengganggu system tubuh, termasuk obat-obatan, solutions dan gas. Bahaya
lingkungan dan bahaya mesin : faktor-faktor yang dihadapi dalam lingkungan kerja
yang mengakibatkan atau mungkin terjadi kecelakaan, luka, strain, atau
ketidaknyamanan (peralatan kurang atau mengangkat perangkat, lantai licin). Bahaya
fisik : bahaya dalam lingkungan kerja seperti radiasi, listrik, suhu dan kebisingan
dapat menyebabkan trauma. Bahaya psikososial: masalah antar pekerja, stress (Iftadi,
2010)
Menurut Syukri sahab (1997) dalam Suryani (2012), umumnya sumber
bahaya yang ada di tempat kerja atau didalam proses produksi berasal dari:
1. Manusia
Pada suatu tempat kerja, hanya sejumlah kecil tenaga kerja mengalami
persentase kecelakaan yang tinggi. Tenaga kerja tersebut dipandang cenderung
menderita kecelakaan. Statistik kecelakaan menunjukkan bahwa 10-25% tenaga kerja
terlibat dalam 55-85% dari seluruh kecelakaan.

2. Mesin dan peralatan
Mesin dan peralatan sering juga menimbulkan potensi bahaya maka seluruh
peralatan harus didesain, dipelihara dan digunakan dengan baik. Pengendalian potensi
bahaya dapat dipengaruhi oleh bentuk peralatan, ukuran, berat ringannya peralatan,
kenyamanan operator dan kekuatan yang diperlukan untuk menggunakan atau
mengoperasikan peralatan kerja dan mesin – mesin.
3.

Metode Kerja atau Cara Kerja
Cara kerja yang salah dapat membahayakan pekerja itu sendiri maupun orang

lain disekitarnya. Cara kerja yang demikian antara lain:
a. Cara mengangkat dan mengangkut
b. Cara kerja yang mengakibatkan kecelakaan dan cedera terutama yang sering
terjadi adalah pada tulang punggung.
c. Memakai Alat Pelindung Diri yang tidak semestinya dan cara pemakaiannya
salah.
d. Lingkungan Kerja, Bahaya dari Lingkungan kerja dapat digolongkan atas berbagai
jenis bahaya yang dapat mengaberbagai gangguan kesehatan dan penyakit akibat
kerja. Bahaya tersebut antara lain berdasarkan:
1) Faktor Lingkungan Fisik
Bahaya yang bersifat fisik seperti suhu yang panas, terlalu dingin, terpapar
bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, dan adanya paparan radiasi.

2) Faktor Lingkungan Kimia
Bahaya yang bersifat kimia berasal dari bahan – bahan yang digunakan
maupun bahan yang dihasilkan selama proses produksi. Bahan ini terpapar di
lingkungan kerja karena cara kerja yang salah, kerusakan atau kebocoran dari
peralatan atau instalasi yang digunakan dalam proses.
3) Faktor Lingkungan Biologi
Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga maupun
dari binatang lainnya yang ada di tempat kerja.
4) Faktor Ergonomi
Gangguan yang disebabkan oleh beban kerja yang terlalu berat, peralatan
yang digunakan tidak serasi dengan tenaga kerja atau tidak sesuai dengan
anthropometri tubuh tenaga kerja.
5) Faktor Psikologi
Gangguan jiwa yang dapat terjadi karena keadaan lingkungan sosial tempat
kerja yang tidak sesuai dan menimbulkan ketegangan jiwa pada karyawan, seperti
berhubungan dengan atasan dan bawahan yang tidak harmonis
2.6.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang secara sistematis dan terus
menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan timbulnya risiko atau
kerugian terhadap kekayaan, hutang, dan personil perusahaan. Proses identifikasi
risiko ini mungkin adalah proses yang terpenting, karena dari proses inilah, semua

risiko yang ada atau yang mungkin terjadi pada suatu proyek, harus diidentifikasi
(Darmawi, 2008).
Identifikasi bahaya merupakan langkah penting dalam proses pengendalian
risiko karena hanya setelah bahaya diketahui maka dapat dirumuskan cara
mengatasinya. Identifikasi bahaya harus dimulai sejak suatu proyek dimulai yaitu
pada tahap desain atau konsep dan dilanjutkan dalam bentuk yang berbeda sepanjang
siklus kegiatan. Khusus untuk industri proses, identifikasi bahaya yang diterapkan
terhadap suatu rancangan operasi adalah sangat penting karena :
1.

Merupakan

alat

pemeriksa

bahwa

pengetahuan

bidang

pengendalian

bahaya/risiko telah diterapkan dengan baik.
2.

Laporan hasilnya akan memberikan landasan dalam pengembangan prosedur
operasi yang akan dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari.
Masih menurut Darmawi (2008) proses identifikasi harus dilakukan secara

cermat dan komprehensif, sehingga tidak ada risiko yang terlewatkan atau tidak
teridentifikasi. Dalam pelaksanaannya, identifikasi risiko dapat dilakukan dengan
beberapa teknik, antara lain:
1.

Brainstorming

2.

Questionnaire

3.

Industry benchmarking

4.

Scenario analysis

5.

Risk assessment workshop

6.

Incident investigation

7.

Auditing

8.

Inspection

9.

Checklist

10. HAZOP (Hazard and Operability Studies)
Hanafi (2006) setelah risiko–risiko yang mungkin terjadi diidentifikasi dan
dianalisa, perusahaan akan mulai memformulasikan strategi penanganan risiko yang
tepat. Strategi ini didasarkan kepada sifat dan dampak potensial/ konsekuensi dari
risiko itu sendiri. Adapun tujuan dari strategi ini adalah untuk memindahkan dampak
potensial risiko sebanyak mungkin dan meningkatkan kontrol terhadap risiko. Ada
lima strategi alternatif untuk menangani risiko, yaitu:
1. Menghindari risiko
2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian
3. Meretensi risiko
4. Mentransfer risiko
5. Asuransi

2.7 Lingkungan Tempat Kerja yang Panas
Proses produksi suatu barang didalam industri sering memerlukan suhu yang
tinggi, yang diperoleh dari suatu sumber panas (dapur peleburan baja, dapur
peleburan gelas, dapur pembakaran keramik dan lain-lain (Soeripto, 2008).
Umumnya di dalam industri sering kita jumpai adanya perbedaan suhu yang
besar antara satu tempat dengan tempat yang lain, dan hal ini mengakibatkan

terjadinya perbedaan panas yang besar pula. Energi panas yang berasal dari sumber
(dapur, pengecoran logam, motor atau dari sumber yang lain) akan dipancarkan
secara langsung atau melalui permukaan dapur dan masuk ke lingkungan tempat
kerja yang bersuhu dingin dan menyebabkan suhu udara di tempat kerja naik, dengan
demikian iklim atau cuaca ditempat kerja berubah dan menimbulkan tekanan panas
yang akan diterima oleh tenaga kerja yang bekerja sebagai beban panas tambahan.
Panas mempunyai pengaruh yang buruk terhadap tubuh. Dalam kaitan ini, ada satu
hal yang sangat penting untuk diketahui dari tenaga kerja yang bekerja di lingkungan
tempat kerja yang panas yaitu; tentang sumber panas (Soeripto, 2008).
Menurut Santoso (2004) tekanan panas (heat stress) adalah beban iklim kerja
yang diterima oleh tubuh manusia.Tekanan panas adalah kombinasi dari suhu udara,
kelembaban udara, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi yang dihubungkan
dengan produksi panas oleh tubuh (Suma’mur, 2009).
Tekanan panas (heat stress) adalah batasan kemampuan penerimaan panas
yang diterima pekerja dari kontribusi kombinasi metabolisme tubuh akibat
melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan (seperti temperatur udara, kelembaban,
pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas) dan pakaian yang digunakan. Pada
saat heat stress mendekati batas toleransi tubuh, risiko terjadinya kelainan kesehatan
menyangkut panas akan meningkat (ACGIH, 2001).
2.7.1

Sumber Panas dari Lingkungan Kerja Panas
Menurut Soeripto (2008), ada dua macaam sumber panas yang sangat penting

untuk para tenaga kerja yang bekerja di lingkungan tempat kerja yang panas, yaitu:

1. Panas Metabolisme.
Tubuh manusia akan selalu menghasilkan panas selama masih hidup. Proses
yang menghasilkan panas di dalam tubuh ini disebut proses metabolism. Panas
metabolism meningkat, apabila beban kerja (aktivitas kerja) meningkat. Dalam
rangka menjaga kelangsungan hidup maka suhu tubuh harus dipelihara agar tetap
konstan (370C). kenyataan bahwa tubuh hanya memiliki kemampuan yang sangat
terbatas (sedikit) dalam menimbun (menyimpan) panas yang dihasilkan dari
metabolism. Oleh karena itu kelebihan panas metabolisme yang terbanyak (yang
dihasilkan) harus dibuang atau dikeluarkan dari dalam tubuh ke udara sekitarnya
(udara lingkungan tempat kerja).
2. Panas dari luar tubuh (datang dari lingkungan tempat kerja).
Hal ini sangat penting sangat penting untuk dua alasan, yaitu:
a. Panas dari lingkungan kerja secara nyata dapat menambah beban panas kepada
tubuh
b. Bahwa faktor-faktor panas lingkungan tempat kerja termasuk suhu udara,
kecepatan gerak udara, kelembaban udara dan panas radiasi (baik radiasi dari
tubuh/dapur maupun radiasi dari matahari). Ini semua menentukan kecepatan
(kemampuan) tubuh dalam mengeluarkan (melepaskan) panas ke udara
lingkungan tempat kerja.
Menurut Soeripto (2008), adapun batas faktor suhu panas ditempat kerja dapat
dilihat pada tabel tentang nilai ambang batas (Yaglou) yang banyak digunakan di
bawah ini:

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Pajanan Panas yang Diperkenankan (dalam 0C)
Peraturan Kerja dan Istirahat
(Work Rest Regimen)
Beban kerja terus menerus
75% Kerja – 25% Istirahat (setiap jam)
50% Kerja – 50% Istirahat (setiap jam)
25% Kerja – 25% Istirahat (setiap jam)
2.7.2

Ringan
30,0
30,6
31,4
32,2

Beban Kerja
Sedang
26,5
28,0
29,4
31,1

Berat
25,0
25,9
27,9
30,0

Cara-Cara Tubuh Kehilangan Panas
Panas terutama dapat dipancarkan (dihamburkan) dari tubuh ke sekitarnya

dengan cara konduksi, konveksi dan penguapan keringat serta radiasi. Dalam hal ini
darah memainkan peranan yag sangat penting, yaitu: darah membawa panas dari
dalam tubuh ke kulit, di mana panas dapat dihamburkan ke sekitarnya. Kecepatan
panas yang dihamburkan (dipindahkan) ini tergantung kepada keadaan lingkungan.
Panas dapat dipindahkan dari lingkungan ke tempat kerja dengan cara:
a. Konduksi yaitu perpindahan panas dari partikel yang satu ke partikel yang lain
yang saling berhubungan dalam keadaan tetap (tidak bergerak), misalnya
perpindahan panas dari kulit ke udara. Dalam kondisi sebagaimana disebutkan,
agar perpindahan panas dapat berlangsung (terjadi), maka suhu udara harus lebih
dingin dari suhu kulit.
b. Konveksi yaitu sirkulasi udara diatas kulit, yang dihasilkan adalah peningkatan
kegiatan pendinginan. Sebagai contoh: penggunaan kipas angin secara terus
menerus (kontinu) akan menggerakkan udara dingin yang lain kea rah kulit dan
mendorong (memindahkan) udara yang telah hangat oleh pengaruh kulit, ini
adalah cara umum untuk mendinginkan tubuh, sama seperti prinsip-prinsip

konduksi/konveksi. Gerakan udara (kecepatan gerakan udara) yang lebih cepat
mempunyai pengaruh mendinginkan yang lebih besar.
c. Penguapan yaitu cara pendinginan tubuh yang dilakukan dengan menguapkan
keringat yang di permukaan kulit. Kecepatan penguapan untuk mendinginkan
tubuh ini umumnya menjadi lebih besar oleh karena dipercepat dengan konveksi
atau cepat gerak udara yang melintasi kulit.
d. Radiasi yaitu perpindahan panas dari benda yang panas ke suatu benda yang lebih
dingin yang ada disekitarnya dalam suatu lingkungan tempat kerja (perpindahan
panas dengan cara radiasi umumnya tidak memerlukan media). Panas dipindahkan
melalui suatu ruang, sedang benda-benda tidak saling menyentuh antara yang satu
dengan yang lain. Sebagai contoh panas dari suatu ketel uap atau dari matahari
akan dipindahkan ke benda-benda yang ada disekitarnya. Dengan cara yang sama
bila sekitarnya lebih dingin dari suhu tubuh, maka suhu tubuh akan dipindahkan
ke ligkungan sekitarnya. Apabila suhu lingkungan sekitar tubuh lebih tinggi dari
suhu tubuh, maka tubuh akan menyerap panas dari lingkungan.
Apabila suhu udara lingkungan tempat kerja naik sampai pada suatu batas
titik tertentu, dimana suhu lingkungan tersebut lebih tinggi daripada suhu tubuh,
maka panas yang hilang atau pendinginan dengan cara konduki, konveksi, dan radiasi
akan berheenti, dan suhu tubuh mulai naik. Bila keadaan seperti ini terjadi, tenaga
kerja dalam keadaan bahaya dan dapat menderita (mengalami) sakit yang disebabkan
oleh panas (Soeripto, 2008).

2.7.3

Akibat Tekanan Panas
Sebagai akibat masuknya energi panas ke lingkungan tempat kerja, maka

dapat menimbulkan perubahan iklim di dalam lingkungan tempat kerja tersebut.
Perubahan iklim/cuaca ini telah menyebabkan terjadinya tekanan panas (heat stress)
yang akan di terima oleh tenaga kerja yang bekerja di lingkungan tempat kerja
tersebut sebagai beban panas tambahan (di samping beban panas yang di hasilkan
tubuh sebagai akibat pelaksanaan kerja), yang dapat mengakibatkan banyak
pengararuh negatif kepada tenaga kerja baik yang berupa gangguan pekerjaan
(pelaksanaan kerja) maupun gangguan kesehatan. Yang berupa gangguan pekerjaan
termasuk: kepala pusing, mata berkunang-kunang, perut mual, berkeringat, dan cepat
lelah. Keadaan seperti ini jelas akan mengakibatkan banyak waktu kerja yang hilang
dan lebih lanjut akan menurunkan produktivitas tenaga kerja. Perlu diketahui bahwa
reaksi tubuh dari setiap orang terhadap kondisi panas suatu lingkungan tempat kerja
adalah tidak sama (berbeda-beda), namun akan tergantung dari aktivitas seseorang
dan kondisi panas lingkungan tempat kerja saat itu (Soeripto, 2008).
Kelainan atau gangguan yang tampak secara klinis akibat tekanan panas,
dibagi menjadi empat kategori dasar yaitu: malaria rubra, heat cramps, heat
exhaustion, heat stroke, dan supersaturasi urin dan kristalisasi urin.
1. Millaria Rubra
Millaria rubra sering dijumpai di kalangan militer atau pekerja fisik lainnya
yang tinggal di daerah iklim panas. Tampak adanya bintik papulovesikal kemerahan
pada kulit yang terasa nyeri bila kepanasan. Hal ini terjadi sebagai akibat sumbatan

kelenjar keringat dan terjadi retensi keringat disertai reaksi peradangan. Kelainan ini
dapat mengganggu tidur sehingga efisiensi fisiologis menurun dan meningkatkan
kelelahan kumulatif. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
faktor yang lebih serius. Adanya kelainan kulit menyebabkan proses berkeringat dan
evaporasi terhambat, sehingga proses pendinginan tubuh terganggu.
2. Heat Cramps
Heat cramps dapat terjadi sebagai kelainan tersendiri atau bersama dengan
kelelahan panas (heat exhaustion). Kejang otot timbul secara mendadak, terjadi
setempat atau menyeluruh, terutama otot ekstremitas dan abdomen. Penyebab
utamanya karena defisiensi garam. Kejang otot yang berat dalam udara panas
menyebabkan keringat diproduksi banyak. Bersama dengan keluarnya keringat maka
tubuh juga kehilangan elektrolit.
3. Heat Exhaustion (kelelahan panas)
Kelelahan panas timbul sebagai akibat kolaps sirkulasi darah perifer karena
dehidrasi dan defisiensi garam. Dalam usaha menurunkan panas, aliran darah perifer
bertambah, sehingga produksi keringat bertambah. Penimbunan darah di perifer
menyebabkan darah yang dipompa dari jantung ke organ lainnya tidak mencukupi
sehingga timbul gangguan. Kelelahan panas dapat terjadi pada keadaan dehidrasi atau
defisiensi garam tanpa dehidrasi. Kelainan ini dapat dipercepat pada orang yang
kurang minum, berkeringat banyak, mutah, diare atau
mengakibatkan pengeluaran cairan tubuh yang berlebih.

penyebab lain yang

4. Heat Stroke (sengatan panas)
Heat stroke adalah suatu keadaan darurat medik dengan angka kematian yang
tinggi. Pada kelelahan panas, mekanisme pengatur suhu bekerja berlebihan tetapi
masih berfungsi, sedangkan pada heat stroke ini mekanisme pengatur suhu tidak
berfungsi disertai dengan terhambatnya proses evaporasi secara total. Tekanan panas
yang berlebihan merupakan beban tambahan yang harus diperhatikan dan
diperhitungkan. Beban tambahan berupa paparan panas dapat menyebabkan beban
fisiologis seperti kerja jantung menjadi bertambah. Tekanan panas yang berlebih juga
dapat mengakibatkan perubahan fungsional pada organ yang bersesuaian pada tubuh
manusia serta dapat rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan
meningkatkatnya jumlah angka kesalahan kerja sehingga dapat menurunkan efisiensi
kerja.
5. Supersaturasi urin dan Kristalisasi urin
Kristalisasi urin dapat terjadi pada pekerja yag terpapar pada suhu 29-310C
WBGT. Suhu lingkungan kerja yang panas akan menyebabkan usaha mendinginkan
tubuh dengan jalan mengeluarkan keringat dan meningkatkan penguapan melalui
paru-paru juga ikut meningkat. Pengeluaran cairan yang relatif banyak akan
mempengaruhi kesimbangan cairan di dalam tubuh sehingga cairan tubuh berkurang
disusul dengan pemekatan urin sehingga akan terjadi keadaan supersaturasi urin.
Keadaan ini akan mempengaruhi ion-ion di dalam urin sehingga mempermudah
kristalisasi urin.

Menurut Tarwaka, dkk (2004) secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat
pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Gangguan perilaku dan performasi kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering
melakukan istirahat curian.
2. Dehidrasi adalah suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan
baik oleh penggantian cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan
kesehatan. Pada kehilangan cairan tubuh < 1,5 % gejalanya tidak nampak,
kelelahan muncul lebih awal dan mulut mulai kering.
3. Heat Rush adalah keadaan seperti biang keringat buntat, gatal kulit akibat kondisi
kulit terus dasah. Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat pada tempat
yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat.
4. Heat Cramps adalah kejang-kejang otot tubuh (tangan dan kaki) akibatnya
keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari dalam tubuh
yang kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit
garam natrium.
5. Heat Syncope atau fainting. Keadaan ini disebabkan karena aliran darah ke otak
tidak cukup karena sebagian besar aliran darah dibawa kepermukaan kulit atau
perifer yang disebabkan karena pemaparan suhu tinggi.
2.7.4 Pencegahan dan Pengendalian Panas
Menurut Soeripto (2008) bahwa pengendalian panas dapat dilakukan melalui
penerapan Hygiene. Yang dimaksud dengan penerapan hygiene adalah tindakan-

tindakan yang diambil perorangan untuk mengurangi risiko penyakit yang disebabkan
oleh panas. Adapun pengendalian tekanan panas melalui penerapan hygiene adalah:
1. Penggantian cairan
Kehilangan air yang sangat banyak dari tubuh dalam bentuk keringat adalah
untuk tujuan pendinginan dengan penguapan. Kehilangan dapat mencapai 6 liter air
dalam 1 hari, air yang hilang ini harus diganti dengan minum air dingin atau
minuman yang berasa seperti es the encer, atau dengan rasa jeruk. Air minum harus
disediakan bagi pekerja yang bekerja dilingkungan tempat kerja panas, dengan cara
seperti itu mereka didorong untuk minum dengan jumlah sedikit sedikit tetapi sering
dilakukan.tenaga kerja yang hanya minum bila haus saja tidak akan memberikan hasil
yang memuaskan. NIOSH menyarankan agar tenaga kerja minum sebanyak 150-200
CC setiap 15-20 menit.
2.

Aklimatisasi
Penyesuaian fisiologis terhadap pajanan panas secara bertahap bagi pekerja,

dengan beraklimatisasi maka tubuh daoat meningkatkan kemampuannya untuk
berkeringat dan dapat mengeluarkan garam melalui keringat.
3. Self Determination
Pembatasan terhadap pajanan panas, dimana pekerja dapat menghindari
terhadap cuaca panas apabila sudah merasakan terpapar suhu panas secara berlebihan,
misalnya pekerja istirahat ditempat yang dingin sejenak.

4. Diet
Diet makanan seimbang dan mempunyai nilai gizi yang baik adalah sangat
penting untuk mempertahankan kesehatan yang prima.
5. Gaya hidup dan status kesehatan
Tenaga kerja harus tidur cukup dan berolahraga, tidak mempunyai kebiasaan
meminum minuman yang mengandung alkohol dan obat-obatan terlarang. Tenaga
kerja sebaiknya tidak mempunyai penyakit kronis seperti jantung, paru-paru, ginjal
dan hati. Karena tenaga kerja yang memiliki penyakit tersebut mempunyai toleransi
yang sangat rendah terhadap tekanan panas.
6. Pakaian Kerja
Pakaian kerja sebaiknya dari bahan yang mudah menyerap keringat seperti
bahan yang terbuat dari katun, sehingga penguapan mudah terjadi.
Menurut Soeripto (2008), pengendalian panas secara teknis dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. Mengurangi beban kerja, menurunkan beban kerja dari berat ke ringan dapat
menurunkan tingkat tekanan panas.
2. Menurunkan suhu udara, dengan memasang ventilasi dengan pendinginan secara
aktif.
3. Menurunkan kelembaban udara
4. Menurunkan panas radiasi, memasang perisai pada dapur panas.
5. Meningkatkan gerakan udara.
6. Ganti pakaian

2.7.5 Pencegahan dan Pengendalian Lingkungan Kerja Panas Penggorengan
Kerupuk
Pada penyuluhan kesehatan yang akan dilakukan ini, ada beberapa tindakan
yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian lingkungan kerja panas
pada penggoreng kerupuk yaitu:
a.

Kepada pekerja diharuskan banyak minum air putih. Air diperlukan untuk
mencegah terjadinya dehidrasi akibat berkeringat dan pengeluaran urine.

b.

Adanya waktu istirahat yang disediakan, cara ini bermanfaat untuk menghindari
terjadinya efek kelehan yang berlebih.

c.

Pakaian yang digunakan pekerja sebaiknya berbahan katun dan menyerap
keringat, longgar agar aliran udara dapat masuk.

d.

Pada saat pekerja melakukan kegiatan penggorengan, cara berdiri pekerja harus
diperhatikan, pekerja berdiri jangan melawan arah angin agar panas dari tungku
tidak langsung terpapar kepada pekerja.

e.

Pada lingkungan kerja, khususnya pada tungku penggorengan dibuat pembatas
yang terbuat dari plat alumunium agar tidak mudah terbakar, pembatas ini dibuat
agar dapat membatasi pemaparan seseorang terhadap panas.

f.

Adanya ventilasi yang dibuat pada tempat dapur, ini berguna untuk mengalirkan
udara ke sekitar pekerja dengan tujuan meggantikan udara yang panas dengan
udara yang sejuk dan dialirkan dengan kecepatan tinggi.

g.

Adanya pengaturan lama kerja, pengaturan lama bekerja digunakan untuk
menghindari terjadinya gangguan akibat terpapar suhu udara yang tinggi,

lamanya kerja dan istirahat harus disesuaikan dengan tingkat tekanan panas yang
dihadapi oleh pekerja.

2.8 Landasan Teori
Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil
“TAHU” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Skiner (1938) dalam Notoadmodjo tahun 2012, seorang ahli psikologi,
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui
proses: StimulusOrganismeRespons, sehingga teori skiner ini disebut teori ”S-OR” (stimulus-organisme-respons).
TEORI S-O-R

STIMULUS

ORGANISME

Gambar 2.1 Landasan Teori

RESPONS
TERTUTUP
Pengetehuan
Sikap

RESPONS
TERBUKA
Praktik
Tindakan

Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu :
a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut elicting stimuli. Karena
menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang dan kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan yang lain.
Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena
berfungsi untuk memperkuat respons.
Berdasarkan teori ”S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat
dikelompokkan menjadi dua , yaitu :
a.

Perilaku tertutup (Cover vehavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat dinikmati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, perse persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk ”unobservable behavior” atau
”covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

b.

Perilaku terbuka (Overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons tershadap stimulus sudah berupa
tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau ”observable
behavior”.

2.9

Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan bahwa yang

akan diteliti adalah pengetahuan dan sikap pekerja, namun untuk mengetahui ada
tidaknya peningkatan pengetahuan dan sikap maka sebelum dilakukan intervensi
dilakukan pre-test dan untuk melihat sejauh mana perubahan pengetahuan dan sikap
setelah diberikan penyuluhan dilakukan post-test. Kerangka konsep dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:
PrPpppppp
Sebelum Intervensi
Pengetahuan dan Sikap
Pekerja tentang bahaya
lingkungan kerja panas

Sesudah Intervensi
Pengetahuan dan Sikap
Pekerja tentang bahaya
lingkungan kerja panas

Intervensi Penyuluhan tentang
Bahaya Lingkungan Kerja Panas
dengan Metode Ceramah dan
Leaflet

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Guru-Guru SD di Kecamatan Medan Selayang Terhadap Penatalaksanaan Gigi Avulsi

2 81 66

Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Ceramah tentang Bahaya Narkoba terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMA Raksana Medan Tahun 2014

2 86 181

Pengetahuan dan Sikap Suami Terhadap Perawatan Bayi di Lingkungan VI Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010

0 62 56

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 3 135

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 16

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 7

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

1 2 4

Pengaruh Penyuluhan Bahaya Lingkungan Kerja Panas Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Penggoreng Kerupuk Industri Kecil Di Wilayah Kecamatan Medan Selayang Tahun 2015

0 0 39

Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Ceramah tentang Bahaya Narkoba terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMA Raksana Medan Tahun 2014

0 0 54