Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Ikan Segar Hasil Laut (Studi Pada UD. CTK)

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB
UNDANG -UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perjanjian dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut
KUHPerdata
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk menunaikan prestasi. 12 Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika
seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dalam perjanjian ini timbul suatu perikatan atau
hubungan hukum antara dua orang tersebu. Perjanjian ini sifatnya konkret. 13
Pengertian pengertian singkat di atas dijumpai terdapat beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada suatu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi.
Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan

dirinya terhadap seseorang atau lebih. 14 Perjanjian juga dapat diartikan suatu

12

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : PT.Alumni, 1986), hlm 6.
Lukman Santoso. Hukum Perjanjian Kontrak, (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hlm 8.
14
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
13

13

Universitas Sumatera Utara

peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain, atau ketika 2(dua) orang
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Hal-hal yang diperjanjikan adalah:
a. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misal: jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa, hibah dan lain-lain);
b. Perjanjian berbuat sesuatu (perjanjian perburuhan dan lain-lain);

c. Perjanjian tidak berbuat sesuatu (tidak membuat tembok yang tinggi-tinggi,
dan lain sebagainya). 15
Mengenai defenisi perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1313 KUH
Perdata, para ahli hukum perdata berpendapat sebagai berikut :
1) Defenisi ini tidak lengkap karena menunjuk pada perbuatan, seharusnya
perbuatan hukum. Perjanjian diadakan dengan tujuan untuk memperoleh
akibat hukum, perbuatan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk
menciptakan akibat hukum.
2) Defenisi ini bersifat sempit karena hanya menunjuk pada perjanjian sepihak,
yaitu perjanjian yang hanya mempunyai kewajiban pada satu pihak,
sedangkan ada perjanjian yang mengandung hak dan kewajiban pada kedua
pihak, seperti perjanjian timbal balik.
3) Defenisi ini terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji
kawin, yaitu perbuatan hukum yang terletak dalam hukum keluarga yang
bersifat perjanjian juga, tetapi istimewa sifatnya karena dikuasai oleh
ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga KUH Perdata buku III tentang
perikatan, secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup

15


Lukman Santoso, Op.cit, hlm.12.

14

Universitas Sumatera Utara

perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam figur ini tidak ada unsur
persetujuan. 16
Berdasarkan itu pula beberapa ahli hukum memberikan defenisi daripada
perjanjian. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan harta kekayaan.
Defenisi di atas, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu
persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu, juga perjanjian
yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan. Perumusan ini erat
hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 17
Setiawan, mendefenisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengingatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. 18

Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur perjanjian,
antara lain:
(a)

Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;

(b)

Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap;

(c)

Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu memenuhi kebutuhan pihak-pihak
dalam perjanjian;

(d)

Adanya prestasi yang akan dilaksanakan;

16


Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2015), hlm 83-84.
17
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta,
2011, hlm. 222.
18
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Putra Arbardin. Cet. XI, 1999), Hlm.
49.

15

Universitas Sumatera Utara

(e)

Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

(f)


Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Menurut bahasa Arab ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian atau

kontrak, yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-ahdu), Al-Qur’an memakai
kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua
berati masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. 19
Istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis,
sedangkan kata al-‘aqadu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau
evereenkomst, yang dapat

diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang

untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan pihak lain. Jadi hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan
sebagaimana yang telah disyaratkan dalam Al-Qur’an. 20
Penjelasan di atas, yang lebih tepat seharusnya akad di terjemahkan dengan
perjanjian, yang walaupun dikatakan perikatan, namun itu sebenarnya adalah
perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan al-‘ahdu justru lebih tepat
diterjemahkan sebagai pernyataan atau tekad seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, jadi hanya merupakan janji untuk diri sendiri, dan bukan

berjanji untuk orang lain sebagaimana yang sering disebut perjanjian sepihak
(perjanjian beban sepihak). 21
Berdasarkan uraian di atas, suatu perjanjian memiliki unsur yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

19

Ahmadi Miru (1), Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2012) Hlm 5.
20
Qur’an Surat Ali Imran ayat 76, yang artinya : (bukan demikian), sebenarnya siapa yang
menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertyakwa.
21
Ibid, Hlm 6.

16

Universitas Sumatera Utara


1. Unsur essensialia
Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur
essensialia, karena tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya tentang
“sebab yang halal”, merupakan essensialia akan adanya perjanjian. Dalam jual
beli, harga dan barang, yang disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan
unsur essensialia. Dalam perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian
merupakan unsur essensialia. Begitu pula dalam bentuk tertentu merupakan unsur
essensialia dalam perjanjian formal.
2. Unsur naturalia
Unsur ini dalam perjanjian diatur dalam undang-undang, tetapi para pihak
boleh menyingkirkan atau menggantinya. Dalam hal ini ketentuan undang-undang
bersifat mengatur atau menambah (regelend atau aanvullendrecht).
Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahann atau
kewajiban pembeli menanggung biaya pengambilan. Hal ini diatur dalam Pasal
1476 KUH Perdata:
“Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh si pembeli”.
Anak kalimat dari pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang
(hukum) mengatur berupa kebolehan bagi pihak (penjual dan pembeli menentukan
kewajiban mereka berbeda dengan yang disebutkan dalam undang-undang itu.

Begitu juga kewajiban si penjual menjamin (vrijwaren) aman hukum dan cacat
tersembunyi kepada si pembeli atas barang yang dijualnya itu. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 1491 KUH Perdata.
3. Unsur accidentalia
17

Universitas Sumatera Utara

Unsur ini sama hanya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang sifatnya
penambahan dari para pihak. Undang-undang (hukum) sendiri tidak mengatur
tentang hal itu. Contohnya dalam perjanjian jual beli benda-benda pelengkap
tertentu bisa ditiadakan. 22
2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kata kesepakatan para
pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Sebagai
contoh, apabila dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang barang
dan harga maka lahirnya suatu kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak
diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undang-undang. Walaupun
demikian, kesepakatan saja tidak cukup untuk lahirnya suatu kontrak, karena ada
persyaratan lain untuk sahnya suatu kontrak, sebagaimana yang akan diuraikan

lebih lanjut.
Menurut hukum kontrak (law of contract) USA, ditentukan empat syarat
sahnya perjanjian, yaitu: (1) Adanya penawaran (offer) dan penerimaan
(acceptance); (2) Adanya persesuaian kehendak (meeting of minds); (3) adanya
konsiderasi; (4) Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties)
dan pokok persoalan yang sah (legal subject matter). 23
a) Syarat umum sahnya perjanjian
Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur
dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia, yang berlaku untuk semua bentuk
dan jenis perjanjian, yaitu sebagai berikut :
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
22
23

I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Hlm. 43-44.
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., Hlm 224-225.

18

Universitas Sumatera Utara


1.
2.
3.
4.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecapakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu hal tertentu;
Suatu sebab yang halal.” 24

b) Syarat tambahan sahnya perjanjian
Syarat tambahan terhadap sahnya perjanjian yang juga berlaku terhadap
seluruh bentuk dan jenis perjanjian adalah sebagaimana yang disebut antara
lain dalam Pasal 1338 (ayat 3) dan 1339 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
(1) Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik;
(2) Perjanjian mengikat sesuai kepatutan;
(3) Perjanjian mengikat sesuai kebiasaan;
(4) Perjanjian harus sesuai dengan undang-undang (hanya terhadap yang
bersifat hukum memaksa);
(5) Perjanjian harus sesuai ketertiban umum. 25
Menurut Subekti syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu dua syarat yang pertama
(1 dan 2), dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orang atau
subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir (3
dan 4) dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 26 Tidak terpenuhnya salah satu
dari ke empat syarat tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian
tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika
terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam

24

Pasal 1320 KUH Perdata, lihat juga pasal 1365 NBW.
Munir Faudy (2), Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014),
Hlm 185-186.
26
Subekti (1), Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), Hlm 17.
25

19

Universitas Sumatera Utara

hal tidak terpenuhnya unsur objektif) dengan pengertian bahwa pelaksanaan
perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan.
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan adalah salah satu syarat sahnya perjanjian. Oleh karena itu,
saat lahirnya perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidaknya perjanjian
adalah dari adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat
satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk
mengikatkan diri. Hal yang penting pada suatu perjanjian adalah, bahwa masingmasing pihak menyatakan bahwa persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak
lainnya.
Menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut terpenuhi.
Hal ini merupakan suatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk itu pada
umumnya para praktisi hukum lebih cendrung berpendapat bahwa untuk
mengetahui sejak saat kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses
terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai
proses penawaran dan penerimaan. 27
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui
(overenstemende wil verklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan penawaran (aanbod), sedangkan pernyataan pihak yang
menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Penawaran berlangsung
dalam proses yang diwujudkan dalam bentuk kata-kata dan dapat juga dalam
bentuk prilaku. Penawaran yang diikuti dengan penerimaan bersama-sama

27

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:
Sarana Bakti Persada, 2005), Hlm 7.

20

Universitas Sumatera Utara

melahirkan perjanjian. 28 Cara-cara terjadinya penawaran dan penerimaan dapat
dilakukan dengan tegas, maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat
dipahami/dimengerti oleh para pihak, bahwa telah terjadi penawaran dan
penerimaan.
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya
kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah :
1) dengan cara tertulis;
2) dengan cara lisan;
3) dengan simbol-simbol tertentu; bahkan
4) dengan berdiam diri.
Berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut di atas, maka secara garis
besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang
mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa
kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu atau diam-diam. 29
Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran yang diikuti dengan penerimaan,
atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan adanya pihak yang menawarkan dan
adanya pihak yang menerima penawaran. Penawaran pada dasarnya merupakan
pernyataan kehendak, oleh karenanya harus dinyatakan/diutarakan, penawaran
adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian rupa dan bila penawaran tersebut
diterima, akan melahirkan perjanjian.
Adapun jenis-jenis penawaran terdiri dari: a) penawaran umum, b)
penawaran yang tidak mengikat, c) penawaran yang mengikat dengan jangka

28
29

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., Hlm 108.
Ahmadi Miru (1), Op. Cit., Hlm 27-28.

21

Universitas Sumatera Utara

waktu tertentu, dan d) penawaran yang mengikat dengan jangka waktu yang tidak
tertentu.30
b. Kecapakan membuat perjanjian
Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang
dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban,
baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Untuk
mengadakan suatu kontrak, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi
bahwa para pihak/salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap
menurut hukum.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung
jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian.
Kedudukannya sama dengan seorang anak yang yang belum dewasa. Kalau
seorang anak belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau
kuratornya. 31 Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan kontrak jika
orang tersebut belum berumur 21 tahun kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup
21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, maka oleh
hukum dianggap cakap kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah
pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.32
Seseorang dianggap tidak cakap apabila belum berusia 21 tahun dan belum
menikah, berusia 21 tahun tapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros.

30

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Loc. Cit.
Subekti (1), Op.Cit., hlm 18.
32
Ahmadi Miru (1), Op. Cit., Hlm 42.
31

22

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa tak cakap
untuk membuat perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus sub c di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam
undang-undang sekarang ini tidak berlaku lagi, karena hak perempuan dan lakilaki telah disamakan dalam membuat perjanjian, sedangkan untuk orang-orang
yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak
tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu. 33
c. Suatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu (een bepaald
onderwerp) dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat ke-3, adalah prestasi yang
menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan
luasnya pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas
kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum). 34
Syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak
jika timbul suatu perselisihan. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja yang menjadi pokok suatu perjanjian. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada

33

Ibid, Hlm 43.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2010, Hlm. 191.
34

23

Universitas Sumatera Utara

atau sudah berada ditangannya siberutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak
diharuskan oleh undang-undang. Juga tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlahnya tidak disebutkan, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan. 35 Misalnya dalam melakukan perjanjian kerja, merupakan suatu
persetujuan bahwa pekerja mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaga dan
pikirannya kepada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menerima
upah, yang dilakukan selama suatu masa tertentu (Pasal 1333 dan 1601 KUH
Perdata).36
KUH Perdata memberikan beberapa syarat tertentu agar persyaratan
perihal/objek tertentu dari suatu perjanjian

dapat diterima oleh hukum.

Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah berupa barang yang
dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata);
2. Minimal sudah dapat ditentukan jenis barang yang menjadi objek perjanjian
ketika perjanjian tersebut dibuat (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata);
3. Boleh saja jumlah barang yang menjadi objek perjanjian masih tidak
tertentu ketika perjanjian dibuat, asal saja jumlah barang tersebut dapat
ditentukan atau dapat dihitung di kemudian hari (Pasal 1333 ayat (2) KUH
Perdata);
4. Barang yang menjadi objek perjanjian boleh saja barang yang baru akan
ada di kemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata);
5. Namun kemudian, tidak dibuat suatu perjanjian terhadap barang-barang
yang masih dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUH
Perdata).37
d. Suatu Sebab Yang Halal
Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang
menerjemahkan “sebab yang halal” (eene geoorloofde oorzaak) beberapa sarjana
mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro,

35

Subekti (1), Op.Cit.,Hlm 19.
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit., Hlm 17.
37
Munir Faudy (2), Op.Cit., Hlm 200-201.

36

24

Universitas Sumatera Utara

yang memberikan pengertian sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari
perjanjian, sedangkan Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu
sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang
saling dipertukarkan oleh para pihak. 38
Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tapi yang
dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut hukum Islam, terdapat syarat yang bersifat umum yang harus
diperhatikan. Dengan demikian terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yang
wajib dipenuhi, yaitu sebagai berikut :
a) Tidak menyalahi hukum syariat, karena Rasulullah SAW. bersabda : “segala
bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun ia
terdiri dari seratus syarat.
b) Harus sama-sama ridha dan berdasarkan kesepakatan bersama. Karena
pemaksaan menafikan kemauan. Tidak ada penghargaan terhadap akad yang
menafikan kebebasan seseorang.
c) Harus jelas dan tidak samar sehingga tidak mengandung berbagai interprestasi
yang bisa menimbulkan salah paham pada waktu penerapannya. 39
Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud Pasal 1320
KUH Perdata syarat ke-4, harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337
KUH Perdata. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai
apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa, namun yang dimaksudkan di sini
menunjuk pada adanya hubungan tujuan (kausa finalis), yaitu apa yang menjadi
tujuan para pihak untuk menutup kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak
saat penutupan kontrak. Misalnya, dalam suatu kontrak jual beli, tujuan para pihak
dalam menutup kontrak adalah pembayaran harga barang (oleh pembeli) dan

38
39

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. Hlm. 193-194.
Ahamadi Miru (1), Op.Cit., Hlm 45.

25

Universitas Sumatera Utara

pengalihan kepemilikan barang (oleh penjual). Menurut Hoge Raad, causa sebagai
tujuan bersama yang hendak dicapai para pihak harus diukur menurut keadaan
pada saat perjanjian ditutup.40
Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal, tidak sah
menurut hukum, dapat dibedakan secara tegas antara sebab dan motif. Motif
adalah alasan yang mendorong bathin seseorang untuk melakukan sesuatu hal.
Bagi hukum motif tidak penting, sebab dalam hubungan kerja misalnya, bagi
pengusaha ingin mendapatkan tenaga/jasa dari pekerja dan bagi pekerja ingin
mendapatkan imbalan upah (Pasal 1337 KUH Perdata).
Menurut Yurisprudensi, yang ditafsirkan dengan kata sebab, adalah isi atau
maksud dari perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu
dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembentukan undang-undang
berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Perjanjian yang dibuat dengan
sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum. 41

B. Jenis-jenis Perjanjian Dalam KUH Perdata Dan Asas-Asas Umum Dalam
Perjanjian
1. Jenis-Jenis Perjanjian
Jenis-jenis perjanjian dapat dibedakan berdasarkan sebagai berikut :
a. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam:

40
41

Agus Yudha Hernoko, Loc.Cit.
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit., Hlm 18.

26

Universitas Sumatera Utara

1) Perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian ini kedua belah pihak masing
harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi.
Contoh, seperti perjanjian jual beli (Pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian
sewa menyewa, dan perjanjian kredit.
2) Perjanjian timbal balik tidak sempurna atau perjanjian timbal balik
kebetulan

(onvolmaakt

wederkerige

of

toevaling

wederkerige

overeenskomts). Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban
yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak pertama.
Umpama: Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 Jo. 1808 KUH Perdata).
Yang memberi kuasa (lastgever) harus mengganti hanya ongkos-ongkos
yang betul-betul telah dikeluarkan oleh yang menerima kuasa (lasthebber).
3) Perjanjian sebelah (eenzijdige overrenkomst) yaitu perjanjian dalam mana
hanya suatu pihak mempunyai kewajiban atau prestasi. Umpama:
(a) Perjanjian pinjam ganti (verbruiklening) Pasal 1754 KUH Perdata
dalam mana yang meminjam mempunyai kewajiban membayar kembali
apa yang telah dipinjamnya.
(b) Perjanjian pemberian atau hibah atau schenking pada Pasal 1666 KUH
Perdata, hanya pihak pemberi (penghibah) saja yang memberikan
prestasi.
b. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam:
1) Perjanjian dengan cuma-cuma (om niet) yaitu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa
suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima sesuatu manfaat
bagi dirinya sendiri, umpama suatu hibah (schenking) Pasal 1666 KUH
27

Universitas Sumatera Utara

Perdata dan suatu perjanjian pinjam-pakai (bruiklening) Pasal 1740 KUH
Perdata.
2) Perjanjian atas beban (onder bezwarenden) yaitu perjanjian yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
dan tidak berbuat sesuatu. Dalam Pasal 1314 KUH Perdata pembentuk
undang-undang tidak memberi suatu defenisi, baik untuk suatu perjanjian
dengan cuma, maupun untuk suatu perjanjian atas beban.
Suatu perjanjian timbal-balik selalu merupakan suatu perjanjian atas beban,
akan tetapi tidak selalu perjanjian atas beban merupakan suatu perjanjian
timbal-balik, umpama: suatu perjanjian pinjam-ganti dengan bunga
(verbruiklening op interessen).
c. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam:
1) Perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang tercipta dengan tercapainya
persetujuan kehendak pihak-pihak.
2) Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila di samping
persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoire diikuti pula
dengan penyerahan barang (levering).
Perjanjian riil adalah umpama suatu perjanjian penitipan, kredit, pinjampakai, pinjam-ganti, dan gadai. Apabila barang yang bersangkutan belum
diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de
contrahendo voorovereenkomst).
d. Dilihat dari segi perjanjian itu dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu
perjanjian comulatif dan perjanjian aleatoir.

28

Universitas Sumatera Utara

1) Perjanjian comulatif atau perjanjian membalas (vergeldende overeenkomst),
yaitu perjanjian dimana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang
berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.
2) Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untunguntungan (kansovereenkomst), yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu
prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya suatu
keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak
beruntung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjianperjanjian

itu

diadakan

justru

berhubungan

dengan

kemungkinan

dipenuhinya syarat itu.
e. Dilihat dari segi pokok kelanjutan. Pembagian ini dibedakan:
1) Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli, ialah untuk menyerahkan
barang perjanjian jual-beli).
2) Perjanjian accessoir¸yaitu perjanjian untuk menjamin cacat tersembunyi,
perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian penangguhan (borgtocht);
dan penyerahan hak milik atas kepercayaan.
f. Dilihat dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakam dalam:
1) Perjanjian primair, maksudnya perjanjian utama atau pokok.
2) Perjanjian secundair, maksudnya menggantikan perjanjian yang asli
(oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti
kerugian.
g. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam:
1) Perjanjian yang lahir dari undang-undang.
2) Perjanjian yang lahir dari persetujuan.
29

Universitas Sumatera Utara

h. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dibagi dalam:
1) Perjanjian dalam arti sempit, ialah yang terjadi dengan kesepakatan
perjanjian.
2) Perjanjian dalam arti luas, ialah termasuk juga yang terjadi dengan tanpa
kesepakatan. 42
2. Asas-Asas Umum Dalam Perjanjian
Hukum kontrak mengenal banyak asas, empat di antaranya yang banyak
dibahas adalah :
1. Asas konsensualisme;
2. asas kebebasan berkontrak;
3. asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda);
4. asas itikad baik. 43
Untuk lebih memahami masing-masing di atas, maka di bawah ini akan
diterangkan lebih lanjut tentang masing-masing asas tersebut.
a. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan, dengan
demikian apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak,
walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa
dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban
bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat

42

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul: Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas
Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), Hlm 207-209.
43
Ahmadi Miru (1), Op.Cit., Hlm. 8.

30

Universitas Sumatera Utara

obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut.
Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku bagi
semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual,
sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riil tidak berlaku, karena terhadap
kontrak formal memerlukan formalitas tertentu untuk lahirnya kontrak, sedangkan
untuk kontrak riil, lahir pada saat penyerahan barang yang menjadi objek kontrak.
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini mengajarkan bahwa
ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada
keadaan bebas untuk menentukan hal-hal apa saja yang ingin mereka uraikan
dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Akan tetapi, sekali mereka sudah
membuat/menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak
sudah terikat (tidak lagi bebas) kepada apa-apa saja yang telah mereka sebutkan
dalam kontrak atau perjanjian tersebut.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;
Bebas menentukan bentuk perjanjian;
Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan
Kebebasan-kebebasan lainnya. 44
Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai konsekuensi dari sistem

terbuka (open system) dari hukum kontrak atau hukum perjanjian tersebut. Jadi

44

Ibid, Hlm. 10.

31

Universitas Sumatera Utara

siapa pun bebas membuat sebuah kontrak atau perjanjian, asal saja dilakukan
dalam koridor-koridor hukum sebagai berikut:
1) Memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
2) Tidak dilarang oleh undang-undang.
3) Tidak melanggar kebiasaan yang berlaku.
4) Dilaksanakan sesuai dengan unsur itikad baik. 45
c. Asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda)
Secara harfiah, pacta sunt servanda berarti bahwa “perjanjian itu mengikat.”
Dalam hal ini, kalau sebelum berlakunya perjanjian berlaku asas kebebasan
berkontrak, dalam arti bahwa para pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa
yang mereka ingin masukan ke dalam perjanjian, maka setelah perjanjian
ditandatangani atau setelah berlakunya suatu perjanjian, maka para pihak sudah
tidak lagi bebas tetapi sudah terikat terhadap apa-apa yang mereka telah tentukan
dalam perjanjian tersebut. 46
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dengan demikian, apabila dicermati, maka asas
mengikatnya kontrak dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang-undang”
bagi mereka yang membuatnya.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
45
46

Munir Faudy (2), Op.Cit., Hlm. 181.
Ibid, Hlm. 182.

32

Universitas Sumatera Utara

KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Hal kedua yang mendasari keberadaan pasal 1338 KUH
Perdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat
hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak
dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur maupun
pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. 47 Suatu perjanjian yang
dibuat oleh debitur dan pihak ketiga yang mengetahui bahwa perjanjian tersebut
akan merugikan kepentingan kreditur adalah perjanjian yang dilakukan tidak
dengan itikad baik. Oleh karena itu memberikan hak kepada kreditur yang dapat
membuktikan itikad tidak baik tersebut untuk meminta pembatalan perjanjian
yang merugikan kepentingannya tersebut. 48
Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan
dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya
ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap
prakontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum
memenuhi syarat hal tertentu.49
Asas itikad baik ini, sebenarnya dikenal pula dalam hukum Islam, hanya
saja tidak disebut secara langsung dengan itikad baik, tetapi lebih menekankan
pada kejujuran. Hal ini dapat dilihat dari dua hadist Rasulullah Saw., yang
artinya: 50

47

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada 2003), Hlm. 80.
48
Ibid, Hlm. 81.
49
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group), 2004, Hlm. 5.
50
Ahmadi Miru (1), Op.Cit., Hlm 13-14. Sebagaimana dikutip dari Yusuf Qardhawi, 1995,
Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press), Hlm 752.

33

Universitas Sumatera Utara

“Sesungguhnya para pedagang itu akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai
pendurhaka, kecuali yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.” (HR
Tirmidzi); dan
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan diperhatikan oleh Allah pada hari
kiamat…. ‘Lalu Rasulullah Saw. menyebutkan salah satunya ialah : ‘Orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dan Ashabus
Sunan).
Di luar dari ke-4 asas yang dikemukakan oleh para ahli hukum pada
umumnya, menurut Prabandari, dikenal juga asas perjanjian menurut Hukum
Perjanjian Nasional yang disesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang
terdiri atas 8 (delapan) asas, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Asas kebebanan mengadakan perjanjian;
Asas konsensualisme;
Asas kepercayaan;
Asas kekuatan mengikat;
Asas persamaan hukum;
Asas moral;
Asas kepatutan;
Asas kebiasaan (yang menurut Badrulzaman, 1989, juga merupakan asas
perjanjian nasional). 51

C. Akibat Hukum dan Berakhirnya Suatu Perjanjian
1. Akibat Hukum Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian yang sah memiliki akibat-akibat sebagai berikut:
a. Bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata). Ini artinya,
setiap perjanjian mengikat para pihak. Dari perkataan “setiap” dalam pasal di
51

Danang Sunyoto dan Wika Harisa Putri, Hukum Bisnis: Beberapa Aturan untuk Para
Pelaku Bisnis dan Masyarakat Umum dalam Rangka Menegakkan Hukum dan Mengurangi
Penyimpangan Usaha, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustitia, 2016), Hlm. 79-80.

34

Universitas Sumatera Utara

atas dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan
berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Sehingga para
pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa
tersebut. Misalnya, terhadap ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
b. Bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Jadi,
berdasarkan ketentuan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa jika
perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tidak mengikat.
Ada perjanjian-perjanjian di mana untuk setiap pihak atau untuk salah satu
pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan. Misalnya sewamenyewa, perjanjian kerja, dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian tersebut dapat
diakhiri secara sepihak, mengingat asasnya para pihak harus diberi
kemungkinan untuk saling membebaskan dirinya dari hubungan semacam itu.
Untuk menghindari hal tersebut, biasanya akan dibuat perjanjian untuk jangka
waktu tertentu, dan selama masa tersebut perjanjian dapat diakhiri dengan kata
sepakat para pihak.
c. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3
KUH Perdata). Adapun yang dimaksud dengan itikad baik adalah menjelaskan
perjanjian menurut kepatutan dan keadilan. Hoge Raad berpendapat bahwa
ketentuan mengenai itikad baik adalah ketentuan yang menyangkut ketertiban
umum dan kesusilaan yang tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak.
Pasal 1339 KUH Perdata menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat,
kebiasaan, dan undang-undang. Sedangkan Pasal 1347 KUH Perdata mengatur
35

Universitas Sumatera Utara

hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam
dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Yang
dimaksud dengan kebiasaan tersebut dalam Pasal 1339 KUH Perdata bukanlah
kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu
selalu diperhatikan. Kebiasaan yang biasanya diperjanjikan, suatu janji yang
selalu harus diadakan pada waktu membuat perjanjian dari suatu perjanjian dari
suatu jenis tertentu. Kebiasaan yang selamanya diperjanjikan dapat dibuat secara
tertulis maupun tidak. 52
2. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Perincian tentang hapusnya perikatan disebutkan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata, yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti oleh
penyimpanan

dan

penitipan,

pembaharuan

hutang,

perjumpaan

utang

(kompensasi), percampuran hutang, pembebasan utang, musnahnya barang yang
terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal dan lewatnya
waktu (daluwarsa).
Menurut Subekti, perincian yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUH
Perdata tidaklah lengkap karena merupakan hapusnya perikatan akibat lewatnya
ketetapan waktu dalam suatu perjanjian. Kecuali itu juga dikatakan bahwa
perikatan bisa hapus dengan beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap
perikatan, misalnya perjanjian maatshcap atau lastgeving. Dalam hal itu perikatan
hapus dengan meninggalnya atau menjadi kurandus seorang anggota maatschap
atau menjadi pailit orang yang memberi perintah. 53

52

http://legalstudies71.blogspot.co.id/2015/09/hapusnya-suatu-perjanjian-dan-akibat.html
?m=1 diakses pada hari selasa tanggal 14 februari 2017.
53
I Ketut Oka Setiawan, Op. Cit., Hlm. 132.

36

Universitas Sumatera Utara

a. Pembayaran
1. Pengertian
Pengertian pembayaran oleh undang-undang adalah pelaksanaan atau
pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau
eksekusi. Jadi undang-undang tidak hanya merujuk kepada penyerahan uang saja,
tetapi juga penyerahan tiap barang menurut perjanjian yang disebut juga
pembayaran. Bahkan si pekerja melakukan pekerjaan untuk majikannya dikatakan
juga membayar. 54
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal
1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian
pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian
pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada
kreditur. Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang.
Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang
atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang
cukur, atau guru privat. 55
2. Orang yang berwenang dan berhak untuk melakukan pembayaran 56
Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, adalah:
a) Debitur yang berkepentingan langsung;
b) Penjamin atau borgtocher;
c) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur.
Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu:

54

Ibid. Hlm. 133.
Salim H.S, Op.Cit., Hlm.165-166.
56
Ibid. Hlm. 166.
55

37

Universitas Sumatera Utara

a) Kreditur;
b) Orang yang menerima kuasa dari kreditur;
c) Orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan
d) Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH
Perdata)
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah jika debitur melakukan
pembayaran kepada orang yang tidak berwenang? Pertanyaan ini dijawab oleh
pasal 1387 KUH Perdata, yaitu:
1) Pembayaran yang dianggap tidak sah;
2) Pembayaran dapat dibatalkan;
3) Pembayaran bisa dianggap sah dan berharga jika debitur dapat
membuktikan bahwa pembayaran terhadap yang tak berwenang jadi benarbenar telah menolong dan membawa manfaat bagi kreditur.
3. Objek pembayaran
Objek pembayaran ditentukan dalam Pasal 1389 sampai dengan Pasal 1391
KUH Perdata.pasal 1389 KUH Perdata berbunyi: “Tidak seorang kreditur pun
dapat dipaksa menerima pembayaran suatu barang lain dari barang yang terutang,
meskipun barang yang ditawarkan sama harganya dengan barang yang terutang
bahkan lebih tinggi.”
Pada dasarnya yang menjadi objek pembayaran dalam Pasal 1389 KUH
Perdata tergantung dari sifat dan isi perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1390 KUH Perdata yang berbunyi:
“Seorang debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima pembayaran
dengan angsuran, meskipun utang itu dapat memaksa kreditur untuk menerima
pembayaran dengan angsuran, meskipun utang itu dapat dibagi-bagi,” Ketentuan
Pasal 1390 KUH Perdata itu tidak memperhatikan secara seksama ketentuan yang
38

Universitas Sumatera Utara

terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kebebasan kepada
individu untuk membuat perjanjian dengan siapapun. Karena pada saat ini dengan
berkembangnya lembaga perbankan, dimungkinkan pembayaran dilakukan secara
angsuran disertai bunga. 57
4. Tempat pembayaran dilakukan
Pembayaran dilakukan di tempat yang ditentukan di dalam perjanjian. Jika
tempat ini tidak ditentukan dan barang yang harus dibayarkan itu suatu barang
yang sudah tertentu, pembayaran harus dilakukan di tempat barang itu berada
sewaktu perjanjian ditutup. Dalam hal-hal lain, misalnya dalam hal tiada
ketentuan tempat dan pembayaran yang berupa uang, pembayaran itu harus
dilakukan di tempat tinggal si berpiutang. Jadi, tiap pembayaran yang berupa
uang, jika tiada ketentuan lain, harus diantarkan di rumah si berpiutang. Akan
tetapi sebagaimana kita lihat dalam praktek, peraturan ini sudah terdesak oleh
skebiasaan yaitu pembayarannya itu diambil di rumah si berhutang. Undangundang hanya mengadakan satu kekecualian, yaitu dalam hal pembayaran suatu
hutang wesel, di mana oleh Pasal 137 W.v.K. menyatakan bahwa suatu
pembayaran surat wesel harus dimintakan di rumah orang yang berkewajiban
membayaranya. 58
5. Subrogasi
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 KUH Perdata. Subrogasi artinya,
penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat
pembayaran oleh pihak ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur. Tujuan
subrogasi adalah untuk memperkuat posisi pihak ketiga yang telah melunasi
57
58

Ibid.
Subekti (2), Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa 2001), Hlm. 154.

39

Universitas Sumatera Utara

utang-utang debitur dan/atau meminjamkan uang kepada debitur. Yang paling
nyata adanya subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan dan kedudukan kreditur
kepada pihak ketiga (Pasal 1400 KUH Perdata). Peralihan kedudukan ini meliputi
segala hak dan tuntutan termasuk hak privilegi.
b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
Suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak
pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk
mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang
atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka
barang atau uang yang dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c. Pembaharuan utang (novasi)
1. Pengertian
Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424
KUH Perdata. Pengertian novasi atau pembaruan utang atau pembaruan prestasi
dalam kontrak dapat dijelaskan dengan menunjuk Pasal 1413 KUH Perdata, yaitu
suatu perikatan yang bersumber dari kontrak baru yang mengakhiri atau
menghapuskan perikatan yang bersumber dari kontrak lama dan pada saat yang
bersamaan menimbulkan perikatan baru yang bersumber dari kontrak baru yang
menggantikan perikatan yang bersumber dari kontrak lama tersebut.
40

Universitas Sumatera Utara

Novasi atau pembaruan utang atau pembaruan prestasi dalam kontrak
menurut Pasal 1414 KUH Perdata harus dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap
untuk melakukan perbuatan hukum kontraktual. Jadi, syarat-syarat sahnya suatu
kontrak menurut Pasal 1320 KUH Perdata juga harus dipenuhi untuk terjadinya
novasi. Selain itu, keinginan para pihak untuk melakukan novasi atau pembaruan
utang atau pembaruan prestasi dalam kontrak menurut Pasal 1415 KUH Perdata
juga harus dinyatakan secara tegas dalam kontrak baru. 59
Unsur-unsur novasi :
a) Adanya perjanjian baru
b) Adanya subjek yang baru
c) Adanya hak dan kewajiban, dan
d) Adanya prestasi. 60
2. Macam novasi
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu (1) novasi objektif, (2) novasi subjektif yang pasif, dan (3) novasi subjektif
yang aktif. 61
Novasi objektif, yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan
kreditur, di mana perjanjian lama dihapuskan. Ini berkaitan dengan objek
perjanjian. Contohnya, A telah membeli kain baju pada B seharga Rp. 200.000,00,
tetapi harga barang itu baru dibayar Rp. 100.000,00. Akan tetapi, A membeli kain
baju yang lain seharga Rp. 200.000,00 dan harga tersebut belum dibayarnya.

59

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), Hlm. 419-420.
60
Salim H.S., Op.Cit. Hlm 169.
61
Ibid.

41

Universitas Sumatera Utara

Kemudian antara A dan B membuat perjanjian, yang isinya bahwa utang A
sebanyak Rp. 400.000,00 termasuk utang lamanya.
Novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur dan
debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur lama
dibebaskan. Inti dari novasi subjektif yang pasif adalah penggantian debitur lama
dengan debitur baru. Contohnya, A berutang pada B. namun, dalam pelaksanaan
pembayaran utangnya A diganti oleh C sebagai debitur baru, sehingga yang
berutang akhirnya adalah C kepada B.
Novasi subjektif yang aktif, yaitu penggantian kreditur, di mana kreditur
lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur
lama inti novasi ini adalah penggantian kreditur. Contohnya, si Ani berutang pada
Mina. Namun di dalam pelaksanaan perjanjian ini kedudukan si Mina yang
tadinya sebagai kreditur kini diganti si Ali sebagai kreditur. Sehingga perjanjian
utang piutang itu tadinya terjadi antara si Ani (debitur) dengan si Ali (kreditur).
3.

Orang yang cakap melakukan novasi
Pada dasarnya, orang yang cakap melakukan novasi, baik objektif maupun

subjektif adalah orang-orang yang sudah dewasa atau sudah kawin. Ukuran
kedewasaan adalah sudah berumur 21 tahun. Orang yang tidak cakap melakukan
novasi adalah orang yang di bawah umur, di bawah pengampuan, atau istri. Istri
dalam melakukan novasi harus didampingi oleh suaminya. Namun, dalam
perkembangannya istri dapat melakukan novasi secara mandiri (SEMA No. 3
tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kehendak untuk
melakukan novasi harus dilakukan dengan sebuah akta. Ketentuan ini tidak

42

Universitas Sumatera Utara

bersifat memaksa, oleh karena untuk novasi subjektif yang pasif tidak perlu
bantuan debitur (Pasal 1415 KUH Perdata).
4. Akibat novasi
Pasal 1418 KUH Perdata telah menentukan akibat novasi. Salah satu akibat
novasi adalah bahwa debitur lama yang telah dibebaskan dari kewajiban oleh
kreditur tidak dapat meminta pembayaran kepada debitur lama, sekalipun debitur
baru pailit atau debitur baru ternyata orang yang tidak dapat melakukan perbuatan
hukum. 62
d. Perjumpaan utang (kompensasi)
Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si
berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat
diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut Pasal 1426 perhitungan
itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak perlu para pihak menuntut
diadakannya perhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan
dari siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu sama lain, kedua piutang itu harus
mengenai uang atau mengenai sejumlah barang yang semacam, misalnya beras
atau hasil bumi lainnya dari satu kwalitet. Lagi pula kedua piutang itu harus dapat
dengan seketika ditetapkan jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Pada umunya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang
menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam Pasal 1429 KUH Perdata, disebutkan
tiga kekecualian piutang-piutang yang tidak boleh diperhitungkan satu sama lain:
1. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan secara
melawan hak telah diambil oleh pihak lawannya.
62

Ibid. Hlm. 170.

43

Universitas Sumatera Utara

2. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititipkan atau
dipinjamkan pada pihak lawan itu.
3. Jikalau satu pihak menuntut diberikannya suatu tunjangan nafkah yang telah
menjadi haknya.
Jika seorang penanggung hutang ditagih, sedangkan orang yang telah
ditanggung (si berhutang) mempunyai suatu piutang pada si penagih, si
penanggung hutang itu berhak untuk meminta diadakan perhitungan antara kedua
piutang itu. Sebaliknya, Subekti mengatakan jika siberhutang ditagih untuk
membayar hutangnya, sedangkan orang yang menanggung hutangnya itu
mempunyai piutang terhadap sipenagih itu, maka tak dapat dilakukan kompensasi.
Ini sesuai dengan asas yang dianut oleh undang-undang, bahwa perikatan
penanggungan hutang itu hanya suatu buntut belaka dari perikatan pokok, yaitu
perjanjian pinjaman uang antara si berhutang dan si