Pengaruh Edible Coating dari Pati Jagung dan Pencelupan terhadap Mutu Buah Nenas Terolah Minimal

2

TINJAUAN PUSTAKA

Nenas
Nenas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama
ilmiah Ananas comosus. Nenas pertama kali berasal dari kawasan Brasilia
(Amerika Selatan) dan pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke
Filipina dan Semenanjung Malaysia, serta ke Indonesia. Di Indonesia pada
mulanya nenas hanya dijadikan sebagai tanaman pekarangan rumah dan meluas
menjadi tanaman kebun pada lahan kering di seluruh wilayah nusantara. Saat ini
nenas telah banyak dibudidayakan baik di daerah tropik maupun sub tropik
(Prihatman, 2000). Secara lengkap dapat dilihat dari segi taksonomi tumbuhan,
tanaman nenas diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom
Subkingdom
Superdivisio
Divisio
Kelas
Sub-kelas
Ordo

Familia
Genus
Spesies

: Plantae
: Tracheobionta
: Spermatophyta
: Magnoliophyta
: Liliopsida
: Commelinida
: Bromeliale
: Bromeliaceae
: Ananas
: Ananas comosus L. Merr

(Barus, 2008).
Indonesia

merupakan


salah

satu

negara

yang

telah

banyak

mengembangkan tanaman nenas karena memiliki potensi ekspor yang cukup
tinggi. Tingginya minat masyarakat terhadap konsumsi buah nenas segar juga
turut meningkatkan produksi buah nenas setiap tahunnya (Nasution, dkk., 2012).
Sifatnya yang mudah rusak dan umur simpan buah nenas segar yang relatif
singkat menjadikan produk olahan nenas menjadi komoditas ekspor yang penting
5
Universitas Sumatera Utara


62

untuk dikembangkan agar permintan pasar dapat terpenuhi karena peminatnya
yang juga cukup tinggi (Harnanik, 2012). Adapun kandungan gizi buah nenas
segar (per 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan)
Kandungan gizi
Jumlah
Vitamin A (SI)
130
Vitamin C (mg)
24
Vitamin B1 (mg)
0,08
Kalori (kal)
52
Protein (g)
0,4
Lemak (g)
0,2

Serat (g)
1,4
Karbohidrat (g)
16
Fosfor (mg)
11
Air (g)
85,3
Bagian yang dapat dimakan (%)
53
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1998

Berdasarkan data produksi nenas tahun 2011, ada 5 (lima) provinsi yang
merupakan sentra produksi nenas terbesar di Indonesia yaitu Lampung (yang
berkontribusi sebesar 32,80% terhadap produksi nenas nasional), Jawa Barat
(20,45%), Sumatera Utara (11,89%), Riau (7,10%) dan Jawa Tengah (6,03%).
Secara kumulatif kelima provinsi tersebut memberikan kontribusi sebesar 78,27%
dari total produksi nenas Indonesia. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri, pada
tahun 2011 daerah yang menghasilkan produksi nenas terbesar adalah Kabupaten
Tapanuli Utara yaitu sebesar 144.210 ton (78,72%) dari produksi nenas

di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten penghasil nenas terbesar lainnya adalah
Kabupaten Simalungun dengan produksi sebesar 33.560 ton (18,32%) dan
Kabupaten Tapanuli Selatan dengan 1.962 ton (1,07%) (Pusdatin,2013).
Kerusakan buah nenas dapat disebabkan oleh faktor biotik maupun
abiotik. Faktor biotik berupa serangan mikroba dan serangga, sedangkan faktor

Universitas Sumatera Utara

72

abiotik disebabkan oleh pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal adalah
proses metabolisme seperti aktivitas enzim dan respirasi, sedangkan faktor
eksternal mencakup suhu, mekanis, cahaya, kelembapan, dan kerusakan mekanis
(Harnanik, 2012).
Jagung
Jagung merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di Indonesia.
Beberapa wilayah di Indonesia menjadikan jagung sebagai sumber karbohidrat
utama karena produksinya yang berlimpah. Produksi jagung yang cukup tinggi
didunia juga menjadikannya menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum.
Indonesia merupakan penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dalam

sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
Divisio
Subdivisio
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Monocotyledoneae
: Poales
: Poaceae (Graminae)
: Zea
: Zea mays L.


(Rukmana, 1997).
Tanaman jagung (Zea Mays L) termasuk salah satu komoditas strategis
dan bernilai ekonomis, serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena
kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras.
Jagung juga berperan sebagai pakan ternak, bahan baku industri dan rumah
tangga. Beberapa tahun terakhir kebutuhan jagung terus meningkat, hal ini sejalan
dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk dan

Universitas Sumatera Utara

82

peningkatan kebutuhan untuk pakan (Alam dan Murhaeni, 2008). Komposisi
kimia jagung (per 100 g) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia jagung per 100 g
Komponen
Air (%)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat

Besi (mg)
Kalsium (mg)
Vitamin C (mg)
Vitamin A (IU)
Fosfor (mg)
Niacin (mg)
Riboflavin (mg)
Thiamin (mg)

Kadar
72,20
1,92
1,00
22,80
0,70
3,00
12,00
400,00
111,00
1,70

0,12
0,25

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001

Pati juga merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam jagung.
Penggunaan pati sebagai bahan baku industri menjadi sangat penting untuk
meningkatkan nilai komoditi jagung. Jagung dalam bentuk pati merupakan bahan
setengah jadi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengolahan lanjut.
Pati mempunyai kadar air rendah, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama dan memudahkannya untuk di proses lebih lanjut (Darmajana, 2010).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015) produksi jagung tahun 2014
sebanyak 19,03 juta ton pipilan kering yang menunjukkan terjadinya peningkatan
sebanyak 0,52 juta ton (2,81%) jika dibandingkan dengan hasil produksi pada
tahun 2013. Kenaikan produksi jagung tersebut terjadi di Pulau Jawa dan luar
Pulau Jawa yang masing-masing sebanyak 0,06 juta ton dan 0,46 juta ton.
Terjadinya kenaikan produksi jagung tersebut dikarenakan adanya peningkatan
luas panen sebesar 16,51 ribu hektar (0,43%) dan peningkatan produktivitas
sebesar 11,5 ton/hektar (2,37%).


Universitas Sumatera Utara

92

Pati Jagung
Pati merupakan cadangan makanan utama yang terdapat di dalam
tanaman. Pati terdiri dari dua polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
terdiri dari 70-300 unit glukosa yang mempunyai ikatan rantai lurus, sedangkan
amilopektin mempunyai 100.000 unit glukosa dengan ikatan rantai yang
bercabang. Kandungan amilosa yang terdapat di dalam pati sekitar 20%. Beberapa
ciri-ciri pati antara lain berwarna putih, berbentuk serbuk dan dapat dihidrolisis
oleh asam atau enzim (Gaman dan Sherrington, 1992).
Sifat fungsional yang terkandung di dalamnya pati menjadikannya suatu
komponen yang penting dalam makanan. Pada proses pengolahan makanan
umumnya memerlukan kestabilan pH, kekentalan, emulsi, dan penampakan yang
baik. Sifat-sifat tersebut dapat diperoleh dengan pemilihan pati yang sesuai. Pati
dapat memberikan satu atau lebih dari sifat-sifat tersebut terhadap makanan yang
dihasilkan. Pati umumnya digunakan sebagai bahan tambahan salah satunya
adalah sebagai pengental (Suarni, dkk., 2013).
Pada umumnya terdapat berbagai jenis pati yang mengandung komponen

hidrokoloid, salah satunya adalah pati jagung. Pati jagung dapat dimanfaatkan
untuk membentuk matriks film. Kandungan amilosa yang terdapat pada pati
jagung sekitar 25% sehingga berpotensi mengembangkan kapasitas pembentukan
film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan pati yang mengandung
lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013).
Rendemen pati yang dihasilkan dari masing-masing varietas jagung
berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat agronomis tiap varietas,
termasuk bobot biji, mutu biji, umur panen, dan tipe biji. Varietas jagung lokal di

Universitas Sumatera Utara

102

Indonesia umumnya tergolong tipe biji mutiara. Rendahnya rendemen yang
dihasilkan dapat disebabkan pemisahan serat menggunakan kain saring berlapis,
sehingga masih ada pati yang terbawa bersama serat. Proses ekstraksi yang
dilakukan dengan perlakuan perendaman juga menyebabkan larutnya pati bersama
air rendaman dan ketika waktu pengendapan terpisah sehingga rendemen pati
berkurang (Suarni, dkk., 2013). Struktur molekul amilosa dan amilopektin dapat
dilihat pada Gambar 1.

Amilosa
Ikatan α 1,4-glikosida

Amilopekti

Ikatan α 1,6-glikosida

Gambar 1. Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004)
Stuktur linear amilosa dan struktur bercabang amilopektin dapat dilihat
saat gelatinisasi dan kemampuannya membentuk film. Ketika pati dipanaskan
butir-butir pati akan mengembang dan pecah mengakibatkan keluarnya amilosa
dan amilopektin. Stuktur bercabang dari rantai amilopektin dalam larutan
cenderung kecil untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel dari
amilopektin dan filmnya lemah. Rantai lurus dari amilosa dalam larutannya
cenderung besar untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel

Universitas Sumatera Utara

112

amilosa dan filmnya lebih keras dan kuat dibandingkan gel-gel amilopektin dan
filmnya (Jaya dan Sulistyawati, 2010).
Pada jaringan tanaman terdapat pati dalam bentuk granula (butir) yang
berbeda-beda berdasarkan ukuran, bentuk dan sifat birefringent-nya. Suhu
gelatinisasi berbeda-beda pada tiap jenis pati. Polarized microscope dan juga
viscometer dapat digunakan untuk menentukan suhu gelatinisasi, misalnya jagung
62-70ᵒC, beras 68-78ᵒC dan tapioka 52-64ᵒC, kentang 58-66ᵒC (Winarno,2002).
Beberapa jenis pati dapat dibedakan berdasarkan sifat pasta yang
dihasilkan dari proses pemasakan. Pati serealia (jagung, gandum, beras, dan
sorgum) apabila dipanaskan akan menghasilkan pasta kental yang mengandung
bagian-bagian yang pendek dan setelah dingin menghasilkan gel yang berwarna
buram. Berbeda dengan pati dari serealia, pati dari akar dan umbi (kentang dan
tapioka) ketika dipanaskan akan menghasilkan pasta yang sangat kental dengan
bagian-bagian yang panjang dan setelah dingin pasta akan berwarna putih juga
melunak. Jagung mengandung amilosa yang tinggi, sehingga untuk proses
gelatinisasinya diperlukan suhu yang tinggi sehingga dihasilkan pasta dengan
bagian-bagian yang pendek dan membentuk gel berwarna buram ketika dingin
(deMan, 1997).

Edible Coating
Salah satu teknologi potensial berupa edible coating dapat diterapkan pada
buah dan sayur karena aman untuk dimakan. Di Indonesia pengaplikasian edible
coating pada produk buah dan sayuran masih terbatas. Adanya penambahan
antimikroba perlu dilakukan guna melindungi produk coating dari kerusakan

Universitas Sumatera Utara

122

mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura
(Widaningrum, dkk., 2015).
Edible coating dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis yang terbuat dari
bahan-bahan yang layak untuk dimakan seperti protein, lipida dan polisakarida.
Pelapisannya dapat dilakukan pada permukaan produk makanan dengan cara
pencelupan, penyemprotan dan pengemasan. Edible coating adalah pengemas
alternatif yang tidak menimbulkan masalah lingkungan. Kelebihan utamanya
terletak pada sifat biodegradable, sehingga tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan seperti halnya bahan pengemas sintetik (Pangesti, dkk., 2014).
Penggunaan edible coating akhir-akhir ini telah menjadi perhatian banyak
kalangan baik peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Edible coating juga
mempunyai prospek yang aplikatif untuk industri pangan dan farmasi. Salah satu
contohnya dapat digunakan sebagai bahan pengemas untuk produk buah-buahan
terolah minimal. Keuntungan dari edible coating adalah memperbaiki warna, rasa,
tekstur dan pengendalian mikroorganisme (Lastriyanto, dkk., 2007).
Beberapa keuntungan edible coating yaitu dapat melindungi produk segar
yang bersifat mudah rusak dengan menekan laju respirasi, dapat meningkatkan
kualitas tekstur, membantu mempertahankan senyawa volatil dan mengurangi
kontaminasi mikroba. Meningkatnya permintaan pasar pada buah dan sayur yang
terolah minimal dengan kualitas yang tetap segar, menjadikan edible coating
sebagai bahan pengemas yang lebih penting di masa depan (Lin dan Zhao, 2007).
Sifat edible coating yang efisien juga turut meningkatkan kualitas
pengemasan produk pangan. Aplikasi edible coating sebagai bahan pengemasan
produk pangan dapat mempertahankan kualitas kimiawi produk dalam mencegah

Universitas Sumatera Utara

132

kehilangan nutrisi bahan pangan yang berlebihan, dan mencegah adanya reaksi
terhadap udara, panas, cahaya. Edible coating menjadi salah satu alternatif
pengganti pelapisan dari bahan polimer sintetik yang berpotensi menimbulkan
resiko perubahan kualitas dan berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen
(Kokoszka dan Lenart, 2007).
Edible

coating/film

berbasis

pati

mempunyai

kelemahan,

yaitu

resistensinya terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga
rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat
mekanisnya. Rendahnya stabilitas film akan memperpendek daya simpan
sehingga kurang optimal karena uap air dan mikroba yang masuk melalui film
akan merusak bahan pangan (Garcia et al. 2011 dalam Winarti, 2012).

Bahan-Bahan dalam Pembuatan Edible Coating
Pati merupakan salah satu polimer yang dapat digunakan dalam
pembuatan edible coating. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai
biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena sifatnya yang
ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Dari
berbagai jenis pati, pati jagung merupakan salah satu jenis pati yang mengandung
komponen hidrokoloid digunakan sebagai bahan baku edible coating yang dapat
dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Tingginya kandungan amilosa pati
jagung yaitu sebesar 25%, menjadikan pati jagung dapat mengembangkan potensi
kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan
pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013).
Pati sebagai bahan tunggal yang digunakan dalam pembuatan edible
coating masih menyisakan beberapa kekurangan diantaranya adalah sifat rapuh

Universitas Sumatera Utara

142

dan kaku. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plastisizer.
Plastisizer merupakan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan edible
coating yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis
plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup
efektif digunakan untuk meningkatkan sifat plastis karena memiliki berat molekul
yang kecil (Huri dan Nisa, 2014). Penambahan gliserol ini sangat berpengaruh
terhadap karakteristik edible coating yang akan dihasilkan. Gliserol bersifat
hidrofilik mampu meningkatkan permeabilitas uap air (Mulyadi, dkk., 2012).
Gliserol adalah senyawa golongan alkohol trivalent berbentuk cairan
kental, biasanya dimanfaatkan sebagai food additive. Gliserol memiliki sifat
mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan
menurunkan aw bahan. Gliserol merupakan plastisizer yang hidrofilik sehingga
cocok untuk ditambahkan pada bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik
seperti pati, pektin, gel, dan protein. Peran gliserol sebagai plasticizer dan
konsentrasinya dapat meningkatkan fleksibilitas film (Luthana, 2010 dalam
Murni, dkk., 2013).
Jenis dan konsentrasi dari plastisizer yang digunakan akan berpengaruh
terhadap kelarutan pati. Semakin banyak penggunaan plastisizer maka akan
meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plastisizer yang bersifat
hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan
kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible coating berbasis
pati (Bourtoom, 2008).
Penambahan gliserol sebagai pemlastis akan mengurangi kerapatan dan
gaya antar molekul substrat (pati) dengan gliserol, sehingga lapisan tipis yang

Universitas Sumatera Utara

152

terbentuk lebih fleksibel dan halus. Gliserol yang berlebih akan menyebabkan
lapisan tipis menjadi lunak dan lengket karena gliserol lebih bersifat mengikat air
dan melunakan permukaan. Sebaliknya kekurangan gliserol akan menyebabkan
lapisan tipis menjadi kasar dan rapuh (Indriyati, dkk., 2006).
Dalam pembuatan edible coating juga ditambahkan plastisizer untuk
mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan edible coating
terutama jika disimpan pada suhu rendah. Bahan tambahan yang digunakan selain
gliserol adalah CMC. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari
selulosa dan sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur
yang baik (Pawignya, dkk., 2015). Struktur CMC dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur CMC (Bourtoom, 2008)
CMC (Carboxymethycellulose) merupakan salah satu jenis hidrokoloid
turunan polisakarida tumbuhan yang bersifat larut dalam air panas dan jika
dipanaskan pada suhu 50-70ºC dapat membentuk gel yang reversibel, juga
berfungsi sebagai agen pembentuk tekstur yang elastis. CMC memiliki sifat larut
pada air hangat yang berpotensi meningkatkan kepekatan pada larutan dan
(Lersch, 2010).
Asam askorbat dan asam sitrat merupakan salah satu antioksidan yang
umum digunakan dalam edible coating yang bersifat mudah larut dalam air,

Universitas Sumatera Utara

162

mudah dicerna, harganya yang relatif murah, dan aman dikonsumsi. Fungsi asam
askorbat adalah sebagai penangkap radikal bebas dan dapat memutus reaksi
radikal (Santoso, dkk., 2007). Adanya senyawa antioksidan juga dapat mencegah
terjadinya oksidasi dari produk yang dilapisi dan mencegah masuknya radikal
bebas ke dalam tubuh (Huri dan Nisa, 2014).
Asam askorbat yang ditambahkan pada pembuatan edible coating
diharapkan mampu menurunkan laju degradasi vitamin C yang terkandung dalam
bahan yang dilapisi. Asam askorbat juga mampu melindungi produk yang dilapisi
coating agar terhindar dari degradasi, dan penurunan mutu warna. Hal ini untuk
meningkatkan stabilitas, menjaga nutrisi dan warna sayuran maupun buah yang
dilapisi coating, karena memiliki kemampuan untuk menangkap O2 sehingga laju
respirasi produk yang diberi pelapis berkurang (Miskiyah, dkk., 2011).

Aplikasi Edible Coating
Konsumen yang mengkonsumsi buah potong, menginginkan tidak hanya
dalam bentuk praktis tapi juga terjaga kesegarannya, dan tingkat kematangan yang
seragam. Sifatnya yang mudah rusak menyebabkan umur simpan buah menjadi
singkat dan terjadi penurunan kualitas akibat aktivitas metabolisme buah yang
masih berlangsung. Oleh karena itu, perlu adanya suatu teknologi pengemasan
yang dapat mempertahankan kualitas buah. Salah satunya adalah dengan
teknologi kemasan edible yang merupakan suatu bahan pengemas yang dapat
dimakan, dapat mencegah difusi oksigen, karbondioksida, uap air, sehingga
produk menjadi lebih tahan lama (Alsuhendra, dkk., 2011).
Pelapisan buah dengan edible coating merupakan salah satu cara yang
efektif untuk mempertahankan masa simpan buah. Edible coating merupakan

Universitas Sumatera Utara

172

lapisan tipis berbahan dasar polisakarida yang melapisi bahan pangan dan aman
untuk dikonsumsi. Beberapa keuntungan dari edible coating antara lain
menurunkan aw permukaan bahan, mengurangi terjadinya dehidrasi, mengurangi
kontak dengan oksigen sehingga tidak terjadi ketengikan, mempertahankan flavor
serta memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004).
Salah satu penanganan pascapanen buah dan sayur yang dapat
memperpanjang tingkat kesegaran adalah dengan pengaplikasian edible coating.
Edible coating merupakan lapisan tipis terbuat dari bahan yang dapat dikonsumsi
dan dapat berfungsi sebagai barrier agar tidak terjadi kehilangan kelembaban.
Edible coating bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mampu
mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan
perubahan pigmen dan komposisi nutrisi buah dan sayur (Krochta, dkk., 2002).
Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran antara lain
metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying),
penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan
(dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada
sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang
digunakan sebagai bahan coating (Winarti, dkk., 2012).

Pengolahan Minimal Buah-Buahan
Buah yang terolah minimal adalah buah yang telah mengalami perlakuan
pencucian, sortasi, pengupasan, dan pemotongan. Buah yang terolah minimal
dapat disajikan secara praktis, sehingga konsumen dapat membeli buah sesuai
kebutuhannya dengan kualitas yang tetap terjamin. Buah yang terolah minimal

Universitas Sumatera Utara

182

juga menawarkan jaminan mutu dibandingkan buah dalam kondisi utuh karena
konsumen dapat langsung melihat kondisi buahnya (Garnida, 2007).
Konsumen saat ini cenderung menginginkan buah dengan sensori buah
yang segar, praktis, dan menyehatkan. Hal ini menjadikan para peneliti untuk
mengembangkan teknologi alternatif dari pengolahan nenas dengan teknologi olah
minimal. Aplikasi teknologi olah minimal dapat dilakukan oleh industri skala
kecil menengah maupun industri besar. Hal tersebut harus didukung dengan
pengetahuan teknis yang memadai serta ketersediaan peralatan yang mudah
diterapkan dan harga yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan konsumen
dalam negeri maupun mancanegara. Teknologi olah minimal yang telah diuji coba
untuk mengawetkan dan mengolah buah nenas antara lain adalah penggunaan
suhu rendah, proses pembekuan, MAP, penggunaan ozon, UV, membran,
dehidroosmosis, dan teknologi hurdle (Harnanik, 2013).
Produk terolah minimal mempunyai beberapa kelemahan, antara lain
sangat mudah mengalami kerusakan dan masa simpannya yang relatif lebih
singkat. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kerusakan seperti penyimpangan
flavor, penurunan tekstur, perubahan warna, dan kontaminasi pada buah yang
dapat menurunkan daya penerimaan konsumen (Ahmad, dkk., 2010).
Perubahan sifat fisik akibat perlakuan yang diberikan dapat menyebabkan
kerusakan pada produk terolah minimal. Suatu upaya pencegahan perlu dilakukan
untuk meminimalisir terjadinya kerusakan dan memperpanjang masa simpan
produk. Salah satu cara yang telah banyak dilakukan adalah dengan pengemasan
termodifikasi disertai penyimpanan pada suhu rendah (Corbo, dkk., 2006). Cara
yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerusakan produk terolah minimal dan

Universitas Sumatera Utara

192

dapat memperpanjang masa simpan antara lain dengan penggunaan edible
coating/film, penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan zat aditif, dan
modifikasi atmosfer (Nasution, dkk., 2012).
Penggunaan edible coating yang sesuai karakteristik masing-masing buah
terolah minimal dapat memperpanjang masa simpan buah segar dan menjaga
kualitasnya sehingga dapat memenuhi permintaan terhadap buah terolah minimal.
Pengaturan kondisi penyimpanan
karbondioksida,

aroma

dan

yang baik terhadap kelembaban, oksigen,

rasa

dalam

sistem

pangan,

menunjukkan

kemampuannya edible coating dalam mempertahankan kualitas makanan dan
memperpanjang masa simpan produk segar (Lin dan Zhao, 2007).

Pengemasan
Penggunaan plastik di dunia diperkirakan mencapai 700.000 ton per tahun.
Plastik yang telah digunakan kebanyakan dibuang begitu saja bahkan dibakar
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Proses daur ulang plastik yang cukup
mahal, menyebabkan munculnya dorongan untuk mencari solusi mengenai bahan
kemasan yang ramah lingkungan, aman terhadap bahan pangan dan memiliki nilai
ekonomis. Edible coating merupakan salah satu solusi bahan pengemas ramah
lingkungan sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan di Indonesia
(Pangesti, 2014).
Pengemasan diperlukan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan
agar tetap baik. Umumnya jenis pengemas yang sering digunakan adalah plastik
yang dapat mencemari lingkungan karena bersifat nonbiodegradable. Plastik juga
dapat mencemari bahan pangan yang dikemas karena adanya zat karsinogen yang
dapat berpindah ke dalam bahan pangan yang dikemas. Oleh sebab itu perlu dicari

Universitas Sumatera Utara

202

bahan pengemas yang memiliki karakter biodegradable kuat dan ramah
lingkungan (Huri dan Nisa, 2014).
Pengemasan produk pangan merupakan proses pembungkusan bahan
pangan dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan
melindungi makanan sampai ke konsumen. Pengemasan yang baik diharapkan
kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan. Meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap masalah kesehatan memicu meningkatnya permintaan
kemasan biodegradable yang mampu menjamin keamanan produk pangan
(Kusumawati dan Putri, 2013).

Penyimpanan dengan Suhu Rendah
Suhu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap umur simpan
buah-buahan dan sayuran segar yang disimpan. Hal tersebut dapat terjadi karena
buah-buahan dan sayur-sayuran segar adalah komoditi yang hidup sehingga masih
melakukan proses metabolisme terutama respirasi dan reaksi kimia lainnya
(Panggabean, 2010).
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menekan aktivitas respirasi dan
metabolisme, menunda proses penuaan, pematangan, dan pelunakan, mencegah
perubahan warna dan tekstur, kehilangan air dan pelayuan, serta menurunkan
aktivitas mikroorganisme penyebab kerusakan. Namun perlu diperhatikan buah
yang disimpan pada suhu rendah bisa mengalami chilling injury (Harnanik, 2012).
Beberapa cara untuk mempertahankan kualitas dan kesegaran buah serta
memperpanjang umur simpan buah, yaitu dengan menyimpan buah pada ruang
pendingin (suhu rendah). Penyimpanan pada ruang bertekanan dan modifikasi
atmosfer ruangan juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan

Universitas Sumatera Utara

21 2

produk hortikultura. Pelapisan buah dengan edible coating yang dikombinasikan
pada penyimpanan suhu rendah juga dapat memperpanjang masa simpan
buah-buahan (Marpaung, dkk., 2015).
Tujuan dari penyimpanan pada suhu rendah adalah untuk memperpanjang
masa simpan buah. Suhu penyimpanan dingin harus disesuaikan, apabila suhu
yang diberikan terlalu rendah akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dingin.
Buah yang disimpan pada suhu rendah dapat membantu proses pendistribusian
produk ke konsumen agar tetap dalam keadaan segar meskipun dengan jarak jauh,
dengan pengaturan distribusi yang baik maka pemasaran dapat terkendali terutama
pada saat produk berlimpah, dan diharapkan dapat menghindari terjadinya harga
yang fluktuatif (Napitupulu, 2010).
Buah-buahan dan sayuran yang tidak disimpan pada suhu rendah
umumnya cepat rusak dan akan mengalami penurunan nilai ekonomisnya.
Buah-buahan dan sayuran yang disimpan dalam ruang pendingin maka
proses-proses hidup dapat dihambat. Bahan makanan yang disimpan pada suhu
rendah dapat bersifat akseptabel untuk dimakan manusia untuk waktu yang lebih
lama (Desrosier, 1988).
Produk hortikultura yang disimpan pada suhu rendah dapat mengalami
kehilangan air atau menyerap air sehingga terjadi perubahan tekstur dan
penampakan. Penyimpanan dingin dapat mengurangi laju reaksi kimia namun
perubahan tersebut tetap akan terjadi dan mengakibatkan perubahan aroma dan
cita rasa. Mutu produk pangan yang diawetkan dengan teknik pendinginan dapat
ditentukan dari segi warna, aroma, citarasa, tesktur serta penampakan yang baik
dari produk pangan tersebut (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

222

Pengaruh Lama Pencelupan Terhadap Edible Coating
Metode pencelupan telah umum diterapkan untuk melapisi buah-buahan
dan sayuran. Lapisan tersebut dibuat dengan mencelupkan bahan ke dalam larutan
coating yang memiliki karakteristik densitas, viskositas, dan permukaan yang
baik, serta kecepatan penarikan makanan dari proses pencelupan dalam larutan
coating (Vargas, dkk., 2008 dan Cisneros-Zevallos, dkk., 2003 dalam
Dhanapal, dkk., 2012).
Lama pencelupan dapat mempengaruhi kadar CO2, O2 dan air dalam
produk. Semakin lama pencelupan maka coating atau film yang terbentuk akan
semakin tebal. Tebalnya film akan menghambat keluar masuknya CO2 dan O2
sehingga dapat memperlambat respirasi dan kehilangan air dapat ditekan serta
kehilangan berat dapat berkurang (Mardiana, 2008).
Metode pencelupan efektif untuk melapisi permukaan bahan yang tidak
rata, selain itu juga dapat dilakukan oleh para petani karena aplikasinya yang lebih
mudah dan sederhana dibanding metode lainnya (Ghasemzadeh, dkk., 2008).
Penggunaan metode coating dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan susut
berat lebih besar pada buah, karena permukaan buah langsung tertutupi oleh
lapisan film sehingga proses transpirasi buah lebih rendah (Siswanti, 2008)

Universitas Sumatera Utara