esay Permasalahan Lingkungan Kerusakan L
esay
Permasalahan Lingkungan
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Oleh:
Nama : Fidhy Kurnia Damopolii
NIM : 471 413 035
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2014
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan
secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia
dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan
kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga
sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap
pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola
alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang
semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu
contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah
bidang pertambangan.
Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk
sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD),
menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya
kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.
Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di
seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara
tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan
tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang
signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan
jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat
ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak
lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).
Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas
ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan
muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang
ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.
Aktivitas Pertambangan
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang
dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan
galian (bahan tambang) terdiri dari:
a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan
keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.
b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti;
emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.
c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak
langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali,
pasir, tras, dampal dan lain-lain.
Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya
tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada
umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah
(underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam
mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.
Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing)
yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan
penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu
dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman
bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan,
baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada
permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.
Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan
dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil
yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing.
Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam
dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang
mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan
mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang
dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100%
(Pohan, dkk, 2007).
Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi
dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut
sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor
18 tahun 2008).
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca
pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung
pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan,
2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang
melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2002).
Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan.
Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat
dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).
Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:
1. Perubahan vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang
sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di
dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro,
keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan
menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.
Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami
2. Perubahan topografi
Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang
berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil
galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah
pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak
hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan
memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang
membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas
pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.
Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan
3. Perubahan pola hidrologi
Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi
yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan
terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang
dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi,
aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang
mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya
badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun
(Ptacek, et.al, 2001).
Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan
4. Kerusakan tubuh tanah
Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk
untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub
soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah
(Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan
baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap
erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan
topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah
potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah
yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi
kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan
terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya
sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung
dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.
Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada
kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan
memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida
terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan
terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang
terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan
kualitas lingkungan.
Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing
juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak
lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.
Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di
luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).
Permasalahan Lingkungan
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Oleh:
Nama : Fidhy Kurnia Damopolii
NIM : 471 413 035
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2014
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan
secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia
dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan
kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga
sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap
pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola
alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang
semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu
contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah
bidang pertambangan.
Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk
sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD),
menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya
kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.
Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di
seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara
tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan
tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang
signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan
jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat
ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak
lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).
Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas
ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan
muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang
ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.
Aktivitas Pertambangan
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang
dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan
galian (bahan tambang) terdiri dari:
a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan
keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.
b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti;
emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.
c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak
langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali,
pasir, tras, dampal dan lain-lain.
Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya
tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada
umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah
(underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam
mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.
Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing)
yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan
penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu
dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman
bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan,
baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada
permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.
Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan
dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil
yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing.
Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam
dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang
mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan
mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang
dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100%
(Pohan, dkk, 2007).
Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi
dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut
sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor
18 tahun 2008).
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca
pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung
pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan,
2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang
melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2002).
Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan.
Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat
dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).
Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:
1. Perubahan vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang
sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di
dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro,
keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan
menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.
Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami
2. Perubahan topografi
Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang
berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil
galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah
pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak
hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan
memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang
membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas
pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.
Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan
3. Perubahan pola hidrologi
Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi
yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan
terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang
dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi,
aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang
mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya
badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun
(Ptacek, et.al, 2001).
Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan
4. Kerusakan tubuh tanah
Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk
untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub
soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah
(Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan
baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap
erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan
topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah
potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah
yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi
kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan
terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya
sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung
dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.
Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada
kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan
memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida
terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan
terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang
terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan
kualitas lingkungan.
Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing
juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak
lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.
Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di
luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).