BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN A. Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan di dalam KUHP - Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan)

BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

A.

Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan di dalam KUHP
Pada umumnya tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut

“penganiayaan” mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak
perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. penganiayaan diartikan
sebagai perbuatan dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn)
atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa
Indonesia dimuat arti sebegai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”.
Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang
menyangkut “perasaan” atau batiniah.
Penganiayaan merupakan salah satu tindak kejahatan. Dibentuknya
kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het lijf) ini ditujukan bagi
perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa
penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau
luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan
kematian.

Mengenai penganiayaan dalam pasal 351 KUHP, R.Soesilo dalam
bukunya berjudul kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal mengatakan bahwa Undang-Undang tidak
memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut

31

31
Universitas Sumatera Utara

yuriprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. R. Soesilo
dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan
“perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan” :39
“perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali

1.

sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan
sebagainya.
“rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng,


2.

dan sebagainya.
“luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan

3.

lain-lain.
“merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat,

4.

dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua
macam, ialah : 40
1.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan

yang dimaksudkan ini diberi kulifikasi sebagai penganiayaan
(mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/d 358.

39

R. Soesilo kitab undang-undang hukum pidana serta komentar-komnetarnya lengkap
pasal demi pasal (BOGOR : Politeia 1973 ) h. 211
40
Drs. Adami Chazawi op.cit., h. 7

32
Universitas Sumatera Utara

(akan dibahas pada pembahasan, “Undang-Undang yang mengatur
tentang tindak kejahatan, penganiayaan). 41
2.

Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360
Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan
orang lain luka.


Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh :
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kejahatan terhadap tubuh
terbagi menjadi dua macam, yaitu kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan
dengan sengaja dan kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dan berikut akan
dijelaskan tentang kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja :
1.

Kejahatan

terhadap

tubuh

yang

dilakukan

dengan


sengaja
42

(penganiayaan) dapat dibedakan menjadi lima macam. Yakni :

a. Penganiayaan biasa
Pemberian

kualifikasi

sebagai

penganiayaan

biasa

(gewone

mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau
bentuk standard terhadap ketentuan pasal 351 sungguh tepat, setidak-tidaknya

untuk membedakannya dengan bentuk-bentuk penganiayaan lainnya.
Dilihat dari sudut cara pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan
penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Apabila pada
rumusan kejahatan-kejahatan lain, pembentuk Undang-Undang dalam membuat
rumusannya adalah dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya,
41

42

R. Soesilo op.cit., h. 211-214
Drs. Adami Chazawi, SH. op.cit., h. 7

33
Universitas Sumatera Utara

seperti kesalahan, melawan hukum, atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara
melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi kualifikasi
penganiayaan pasal 351 ayat (1) ini, dirumuskan dengan sangat singkat, yaitu
dengan menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling) sama
dengan judul dari Bab XX, dan menyebutkan ancaman pidananya. Suatu rumusan

kejahatan yang amat singkat.
Pasal 351 merumuskan sebagai berikut :43
(1) Penganiayaan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda
paling banyak Rp. 4.500.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Yang termasuk pasal 351 ayat(1),

44

bukan penganiayaan ringan bukan

penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau
matinya orang. Adanya kerancuan antara pasal 351 ayat (1) dengan pasal 352
KUHP sehingga dalam penerapan timbul kerumitan, terutama karena pelanggaran
terhadap pasal 352 KUHP, lazim disebut “tipiring” ( tindak pidana ringan ).

.

43
44

R. Soesilo op.cit h.244
LEDEN MARPAUNG, SH, op.cit., h.52

34
Universitas Sumatera Utara

Oleh karena rumusan kejahatan ini hanya disebut kualifikasinya saja,
maka untuk mencari arti dari istilah itu, terpaksa orang harus menafsirkan tentang
apa arti dari kata penganiayaan.
Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah
pembentukan dari pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan diatas,
penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.
Ternyata dalam doktrin penganiayaan diberi arti yang tidak jauh berbeda
dengan pengertian yang dirumuskan pertama pada rancangan dari pasal yang

bersangkutan sebagaimana yang sudah diterangkan diatas.
Jadi menurut doktrin penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :45
1.

adanya kesengajaan

2.

Adanya perbuatan

3.

Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
a.

Rasa sakit pada tubuh, dan atau

b.

Luka pada tubuh.


Unsur yang pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan
ketiga berupa unsur objektif.
Kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk
disamping harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan yang demikian lebih
nyata lagi pada rumusan pada ayat 4.

45

ibid., h. 10

35
Universitas Sumatera Utara

Mengenai unsur tingkah laku sangatlah bersifat abstrak, karena dengan
istilah/kata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang kongkrit tak terbatas
wujudnya, yang pada umumnya wujud perbuaatan-perbuatan itu mengandung
sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh.
Luka diartikan terdapatnya/terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi
lain dari rupa semula sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit,

putusnya jari tangan, bengkak pada pipi dan lain sebagainya.
Sedangkan rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada
tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau
penderitaan. 46
Dalam hal penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan pada dasarnya
juga percobaan dapat terjadi, dan sudah ada kepentingan hukum yang
dibahayakan, tetapi bahaya terhadap suatu kepentingan hukum di sini dipandang
oleh pembentuk Undang-Undang tidak sebesar bahaya pada kejahatan lain seperti
pembunuhan (Pasal 338), pencurian (pasal 362) dan lain sebagainya. Bahaya yang
ditimbulkan merupakan bahaya yang dipandang sebagai bahaya yang belum patut
untuk dipidana. Oleh karena itu terhadap percobaan penganiayaan biasa dan
ringan tidak diancam pidana oleh Undang-Undang.

46

Ibid., h. 11

36
Universitas Sumatera Utara

b.

Penganiayaan Ringan
Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte

michandeling) oleh Undang-Undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal
352, yang rumusannya sebagai berikut :47
a.

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau larangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana
sebagai pengaiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3
bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500

b.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya.

Penganiayaan bentuk ringan tidak terdapat dalam WvS Belanda. Dengan
dibentuknya penganiayaan ringan ke dalam KUHP kita (Hindia Belanda) adalah
sebagai perkecualian dari asas Concordantie.
a. Mengenai batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan.
b. Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan.
Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang :
a. Bukan berupa penganiayaan berencana (353) 48
b. Bukan penganiayaan yang dilakukan :
1. Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya, tentang
“ibu pasal ini mengatakan “ibu” saja sedangkan tentang bapa
47
48

R. Soesilo op.cit h.245-246
R. Soesilo, op.cit., h. 246

37
Universitas Sumatera Utara

dikatakan “bapa yang syah”, oleh kerena tentang ibu senantiasa dapat
diketahui, ialah yang melahirkan anak itu, sedangkan tentang bapa
yang dapat diketahui, hanya “bapa yang syah” saja artinya lelaki yang
kawin dengan perempuan yang melahirkan anak itu.49
2. Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
3. Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan untuk dimakan atau diminum.
c. Tidak, karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat yang
menyebabkan orang itu menjadi sakit atau tidak dapat menjalankan
jabatannya atau pekerjaannya sementara.50
Tiga unsur itulah, di mana unsur b dan c terdiri dari beberapa alternative, yang
harus dipenuhi untuk menetapkan suatu penganiayaan sebagai penganiayaan
ringan. Dengan melihat unsur penganiayaan ringan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penganiayaan berencana (pasal 353) dan penganiayaan terhadap orangorang yang memiliki kualitas tertentu dalam pasal 365, walaupun pada
penganiayaan berencana itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 51

49

Ibid., h. 247
Ibid., h.248
51
http;//wirdjann.blogspot.com/2015/07/hukum-pidana-penganiayaan.html?m=1
13september 23:55 wib
50

38
Universitas Sumatera Utara

c. Penganiayaan berencana
Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai
berikut :52
1.

Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun.

2.

Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah
dipdana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

3.

Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Ada tiga macam penganiayaan berencana, yakni :
a. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau
kematian.
b. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat.
c. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian.
Pada kejahatan yang dirumuskan pasal 353 dalam praktik hukum diberi
kualifikasi lebih dulu (meet voorbedachte) sebelum perbuatan dilakukan.
Direncanakan lebih dahulu adalah bentuk khusus dari kesengajaan (opsettelijk)
dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat
subjektif,

53

tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat

perencanaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan, hal ini dapat

52
53

KUHAP & KUHP Bab XX pasal 353 ayat (1), (2), (3)
Leden Marpaung, S.H., op.cit.., h. 56

39
Universitas Sumatera Utara

disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan dan juga terdapat pada
pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). 54
Di dalam doktrin, banyak dibicarakan oleh para ahli tentang istilah
direncanakan lebih dulu, yang pada dasarnya istilah ini mengandung pengertian
yang harus memenuhi syarat-syarat, yakni : 55
a. Pengambilan keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak
dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang, (kebalikan dari
pengambilan keputusan secara tiba-tiba atau tergesa-gesa tanpa
dipikirkan lebih jauh tentang misalnya akibatnya baik atas diri
orang lain maupun atas diri sendiri).
b. Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat
sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang
cukup. Dalam jarak tersedianya waktu yang cukup itu, dapat
digunakan olehnya untuk berpikir-pikir/memikirkan, yakni : 56
1) Perihal apakah perbuatan yang telah menjadi keputusannya
itu akan dilaksanakan dengan suatu resiko/akibat yang
disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, ataukah ia
akan meneruskannya atau membatalkan niat jahatnya.
2) Apabila ia sudah berketepatan hati untuk melaksanakan
kehendak yang telah menjadi keputusannya, sebagaimana
cara dan dengan alat apa serta bilamanakah sat yang tepat
untuk melaksakannya.
54

Drs. Adami Chazawi op.cit., h. 26-27
Ibid., h. 27
56
Ibid., h. 27

55

40
Universitas Sumatera Utara

3) Bagaimana cara untuk menghilangkan jejak, dan lain
sebagainya, yang segala hal/sesuatu yang dipikirkannya itu
adalah segala sesuatu yang dapat diputuskannya sendiri
berhubungan dengan adanya suasana yang tenang tadi
d. dalam melaksanakan perbuatan (yang telah menjadi keputusannya
tadi ) dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang. Maksudnya
ketika melaksanakan perbuatan itu suasana hati, pikiran tidak
dikuasai oleh perasaan seperti emosi yang tinggi was-was/takut,
tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

e. Penganiayaan Berat.
Penganiayaan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi sebagai
penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah
sebagai berikut :57
(1)

Barang siapa sengaja melukai berat orang lain oleh karena melakukan
penganiayaan berat dengan penjara paling lama 8 tahun

(2)

Jika perbuatan itu pengakibatkan kematian bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun.
Dengan mengingat pengertian penganiayaan seperti yang sudah

diterangkan di bagian muka, dengan menghubungkannya pada rumusan

57

R. Soesilo op.cit., h.246

41
Universitas Sumatera Utara

penganiayaan berat di atas, maka pada penganiayaan berat mempunyai unsurunsur sebagai berikut :58
a. Kesalahan : kesengajaan (opzettelijk)
b. Perbuatan : melukai berat.
c. Objeknya : tubuh orang lain.
d. Akibat : luka berat.

Perbuatan melukai berat adalah rumusan perbuatan yang bersifat abstrak,
artinya suatu rumusan perbuatan yang tidak dengan terang sebagaimana
bentuknya, dengan begitu bentuknya perbuatan terdiri dari banyak perbuatan
konkret yang dapat diketahui setelah perbuatan terwujud. Dalam hal ini sama
dengan rumusan perbuatan menghilangkan nyawa pada pembunuhan 338)
Penganiayaan berat hanya ada dua bentuk, yakni :59
1. Penganiayaan berat biasa (ayat 1) dan
2. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
Di dalam KUHP, juga di dalam perundang-undangan pidana yang lain,
tidak ada dirumuskan di dalam pasal-pasal,

60

Berbagai rumusan tindak pidana

yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa
elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara
sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula
58

Drs. Adami Chazawi, SH. op.cit., h. 32
Drs. Adami Chazawi op.cit h. 33
60
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si op.cit., h. 55

59

42
Universitas Sumatera Utara

yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan
undang-undang. 61
Pompe mengadakan pembagian elemen strafbaar feitatas :62
1. Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum)
2. Schuld (unsur kesalahan)
3. Subsociale (unsur bahaya/gangguan/merugikan).

Menurut ilmu pengetahuan doktrin pengertian penganiayaan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka
pada orang lain. Berdasarkan doktrin tersebut bahwa setiap perbuatan dengan
sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan
yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari
cukup banyak perbuatan yang sengaja menimbukan rasa sakit atau luka pada
tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana.
Menurut Buku II KUHP Bab XX yang mengatur tentang tindak pidana
penganiayaan yakni pasal 351 ayat 1 KUHP yang berbunyi :63
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
(2) jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun
(3) jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
61

Mohammad Ekaputra, op.cit., h. 103
Ibid., h. 104
63
KUHAP DAN KUHP Bab XX pasal 351 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
62

43
Universitas Sumatera Utara

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

1.

Pengertian Saksi Dan Saksi Korban
Pada pengungkapan suatu kasus pidana, mulai dari tahap penyidikan

sampai dengan tahap pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah
diharapkan. Dan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan
sebagaimana diketahui bahwa menurut sistematika KUHAP ketentuan-ketentuan
menenai pembuktian diatur dalam BAB XVI 64. kasus pidana jika tanpa kehadiran
dan peran dari saksi, dapat dilihat suatu kasus akan mnejadi “dark number”
mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi
dari para penegak hukum adalah testimony yang hanya diperoleh dari saksi atau
ahli.
Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam pasal 184 ayat (1) kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan disidang
pengadilan, dimana keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan padanya (unnus
testis nullus) dan saksi harus memberikan keterangan mengenai apa yang dilihat,
didengar, ia alami sendiri 65. Tidak boleh mendengar dari orang lain (testimonium

64

HMA KUFFA, SH penerapan KUHAP dalam praktik hukum edisi revsi (Jakarta :2008 ) h.

65

Muhammad Yusuf,www.parlemen.net. diakses pada tanggal 14 september 2016

15

44
Universitas Sumatera Utara

de auditu). Dalam pasal 185 ayat 1-7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menjelaskan : 66
1)

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
disidang pengadilan.

2)

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4)

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebgai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.

5)

Baik pendapat maupun rekan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.

6)

Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu

66

DR. Andi Hamzah, S.H kuhp dan kuhap edisi revisi 2008 (Jakarta : Rineka Cipta 2008)

h.306-307

45
Universitas Sumatera Utara

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya
7)

Keterangan dari saksi yang disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti namun keterangan itu sesuai
dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
sebegai tambahan alat bukti sah yang lain
Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah :
3. Syarat objektif saksi
a) Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin
b) Berakal sehat
c) Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah/
perkawinan denga terdakwa
4. Syarat subjektif saksi, mengetahui secara langsung terjadinya tindak
pidana dengan melihat, mendengar dan merasakan sendiri
5. Syarat formil, saksi harus disumpah menurut kepercayaan agamanya.

Pengertian saksi menurut undang-undang No.13 Tahun 2006 pasal 1 ayat
(1) yaitu : 67
“saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, atau alami”

67

undang-undang No.13 Tahun 2006 pasal 1 ayat (1)
46
Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana, bisa dikatakan tidak ada suatu perkara pidana
yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi, hampir semua pembuktian
perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurangkurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Pada umunya saksi yang diajukan dalam sidang pengadian ada empat
jenis, salah satunya adalah saksi yang diajukan oleh penuntut umum disebut saksi
A charge yang keterangannya memberatkan terdakwa, yaitu :

Saksi Korban / Saksi yang Memberatkan
Menurut sifat dan eksistensinya keterangan saksi a charge adalah
keterangan seorang saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam
berkas perkara serta lazim diajukan oleh jaksa / penuntut umum. Saksi A Charge /
saksi yang memberatkan dalam hal ini termasuk saksi korban merupakan salah
satu alat bukti yang utama di dalam pembuktian peradilan pidana. Dalam proses
pemeriksaan perkara tindak pidana alat bukti yang pertama kali di periksa adalah
saksi A Charge, mengingat peranan dan fungsinya yang sangat penting maka
pemerintah menjamin hak dan kewajiban seorang saksi A Charge dan
memberikan perlindungan yang sebagaimana telah diatur di dalam UndangUndang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban.

47
Universitas Sumatera Utara

Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi A Charge dapat
dikatakan sah adalah :
1.

Syarat formil :
Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum
maupun setelah memberikan keterangan (pasal 160 ayat (3) dan (4)
KUHAP). Seorang saksi telah mencapai usia 15 tahun atau sudah
menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai 15 tahun atau belum
menikah dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap
sebagai keterangan biasa (pasal 171 butir a KUHAP). 68

2.

Syarat Materil
Keterangan saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri atau peristiwa pidana
(pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP). 69
Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksian itu
(pasal 1 butir 27 KUHAP). 70

Pengaturan Biaya Denda Dalam Tindak Pidana Penganiayaan
Ancaman pidana denda sebesar Rp.4500,- yang terdapat dalam pasal 351
ayat (1) KUHP telah disesuaikan berdasarkan pasal 3 Peraturan Mahkamah

68

Dr. Andi Hamzah, S.H op.cit h. 279
69
Ibid., h.232
70
http;rendy-ivaniar.blogspt.co.id/2013/04/saksi-yang-meringankan-dan-yang.hmtl?m=1
diakses pada tanggal 14 september 2016 03:02 wib

48
Universitas Sumatera Utara

Agung Republik Indonesia No.2 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. 71
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP
kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2 , 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan
menjadi 1.000(seribu) kali.
Rumusan ketentuan pidana pada pasal 351 ayat (1) KUHP bersifat
alternatif :
“ pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
72

Dalam praktek hukum selama ini, pidana denda jarang sekali

dijatuhkan, hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara dalam hal
jika pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif saja dalam rumusan tindak
pidana yang bersangkutan, kecuali apabila tindak pidana tersebut memang hanya
diancam dengan pidana lain selain denda. Berdasarkan ketentuan pasal 30 ayat (2)
KUHP, pidana kurungan pengganti adalah pengganti dari denda yang tidak
dibayar oleh terpidana. 73

B.

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penganiayaan di Dalam KUHP
Ujung dari proses peradilan pidana itu adalah adanya putusan hakim

yang dimusyawarakan terlebih dahulu dan harus didasarkan atas surat dakwaaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dalam musyawarah

71

Peraturan mahkmah Agung Republik Indonesia No.2 tahun 2012 tentang penyesuaian
batasan pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP
72
Mohammad Ekaputra op.cit h. 164
73
Ibid., h. 160

49
Universitas Sumatera Utara

tersebut hakim ketua sidang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim termuda
sampai hakim tertua sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah
hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta
alasannya.

Putusan dalam perkara Pidana ada tiga macam yaitu :

1. Putusan bebas (pasal 191 ayat (1) KUHAP).
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2) KUHAP)
3. Putusan pemidanaan (pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya pasal
193 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, saat disimpulkan bahwa dari hasil
pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan yakin terdakwa yang bersalah
melakukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yaitu hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya

50
Universitas Sumatera Utara

Pemidanaan salah satunya adalah pidana penjara. 74 Sejak berlakunya
undang-undang No.12 Tahun1995 tentang permasyarakatan pada tanggal 30
Desember 1995, bagi negara Indonesia fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar
penjara tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga
binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan pidana penjara dilakukan dengan sistem
“pemasyarakatan” menggantikan model penjara jaman dahulu yang dianggap
tidak

manusiawi.

Dalam

penetapan seorang terdakwa

dalam

lembaga

pemasyarakatan dilakukan sebagai pembinaan terpidana agar sadar akan
perbuatannya dan tidak lagi melakukan kejahatan dimasa mendatang.

Pada penjatuhan pidana haruslah sesuai dengan pidana yang terdapat
dalam pasal yang dilanggar, putusan pemidanaan diatur dalam pasal 193 KUHAP,
berarti terdakwa dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan ancaman yang
ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai
dengan pasal 194 (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa
didasarkan penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai
terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa, apabila menurut
pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian.

74

Mohammad Ekaputra sistem pidana dalam kuhp dan pengaturannya menurut konsep
kuhp baru ( Medan: USU Press 2010) h.54

51
Universitas Sumatera Utara

Dalam menjatuhkan pemidanaan, Hakim harus mempedomani faktorfaktor yang harus diperhatikan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut : 75

1.

Kesalahan pembuat tindak pidana

2.

Motif dan tujuan melakukan tindak pidana

3.

Cara melakukan tindak pidana

4.

Sikap batin pembuat tindak pidana

5.

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana

6.

Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana

7.

Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan

8.

Penguruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana

9.

Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

10.

Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

76

Bentuk pidana kehilangan kemerdekaan sebagaimana di atur pasal 10

KUHP dan tiga jenis, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan.
Van Hattum dalam Bachtiar Agus Salim, bahwa pidana penjara diartikan sebagai
segala perampasan kemerdekaan yang merupakan pidana dengan berada di dalam
penjara. Putusan yang dijatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa tiada lain
dari pada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan
ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Memang
75

76

Bambang waluyo, Pidana dan Pemidanaan(Jakarta :sinar grafika 2008,) h.91

Mohammad Ekaputra op.cit h. 42

52
Universitas Sumatera Utara

benar hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan
dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan
kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman “minimum” dan
“maksimum”.
Putusan penghukuman/pemidanaan adalah merupakan salah satu dari
jenis putusan pengadilan sebagaimana yang ditentukan berdasarkan pasal 193
undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP )77. Dalam penjatuhan sanksi pidana pembuat Undang-undang
telah memberikan peluang kebebasan yang relatif kepada hakim untuk memilih
jenis pidana berat ringannya pidana dan cara bagaimana pidana tersebut akan
dilaksanakan. Dalam hal jenis sanksi pidana, peluang dan kebebasan Hakim untuk
memiilih bentuk sanksi yang dikehendakinya, dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan : 78

1.

Kesalahan pembuat tindak pidana

2.

Motif dan tujuan melakukan tindak pidana

3.

Sikap batin pembuat tindak pidana

4.

Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

5.

Cara melakukan tindak pidana

6.

Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana

77

Dr. H. M, SH., MH alasan penghapusan pidana teori studi kasus (mengger girang : 2012

78

Mohammad Ekaputra, op.cit., h.66

) h. 115

53
Universitas Sumatera Utara

7.

Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak
pidana

8.

Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana

9.

Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.

10. Pemaafan dari korban/keluarganya korban.
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana.

teridentifikasi dari pencantuman sanksi pidana yang menggunakan baik
sistem alternatif maupun kumulatif dalam perundang-undangan positif.

pemidanaan dilakukan terhadap segala jenis tindak pidana yang
meresahkan masyarakat maupun yang tidak meresahkan masyarakat, salah satu
jenis tindak pidana yang meresahkan masyarakat adalah tindak pidana
peganiayaan. Hal ini terlihat berdasarkan Putusan No.294/Pid.SUS/2015/PN-Mdn.
Terdakwa melakukan tindak pidana penganiayaan kepada rekan kerjanya, bahwa
bermula adanya informasi dari masyarakat disekitar rumah majikan terdakwa
yaitu H.Samsul Rahman yang menyebutkan dirumah H.Samsul Rahman sering
terjadi penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga, maka pada tanggal 27
November 2014 sekira pukul 17.00 WIB petugas kepolisian melakukan
pengecekan ke rumah H.Samsul Rahman yang dijadikan tempat penampungan
pembantu rumah tangga yang terletak di jalan Angsa No.17 Medan, dimana ketika
melakukan pengecekan tersebut petugas kepolisan menemukan 3 (tiga) orang
pembantu rumah tangga yang masing-masing bernama Endang Murdianingsih,

54
Universitas Sumatera Utara

Anis Rahayu, dan Rukmiani yang menerangkan bahwa mereka diperlakukan
secara tidak wajar seperti pemukulan dan pennyiksaan lainnya.

Mengenai tindak pidana penganiayaan telah diatur pada Bab XX pasal
351-358 KUHP, yang mana sanksi hukuman berbeda, ini semua tergantung dari
bentuk perbuatannya, apakah penganiayaan tersebut termasuk penganiayaan biasa,
ringan, berat atau apakah penganiayaan itu sudah direncanakan atau tidak atau
juga berakibat matinya orang atau cacat seumur hidup. Ini semua merupakan salah
satu bentuk untuk menentukan berat atau ringan hukuman yang dikenakan
terhadap pelaku kejahatan. Dan dalam KUHAP ditentukan hakim sebagai pejabat
peradilan pidana yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili
berdasarkan asas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan. Dengan kata lain,
putusan pemidanaan itu tidak lain adalah suatu perintah dari pengadilan untuk
menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana dari pasal tindak pidana
yang dilakukan terdakwa, sebagaimana bunyi vonis hakim yang mengadili
terdakwa tersebut. 79

Tindak pidana penganiayaan atau mishandeling diatur dalam Bab XX,
buku II KUHP, yang terdapat dalam pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5)
yang berbunyi :80

79

80

Dr. H.M. Hamdan, SH., MH. Op.cit h.115
R. Soesilo, op.cit., h.244-245

55
Universitas Sumatera Utara

a)

Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.

b)

Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

c)

Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.

d)

Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan

e)

Percobaan untuk melakukan penganiayaan kejahatan ini tidak
dipidana.

Pada rumusan pasal 351 KUHP, bahwa Undang-undang hanya berbicara
mengenai “penganiayaan” tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana
penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa “kesengajaan
merugikan kesehatan” (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang
dimaksud dengan penganiayaan itu adalah sengaja menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebutkan seseorang itu telah
melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus
mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk menimbulkan rasa sakit pada
orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau merugikan kesehatan
orang lain, dengan kata lain orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang
ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau
untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang
lain tersebut.

56
Universitas Sumatera Utara

Bahwa ia terdakwa KIKI ANDIKA pada sekitar bulan Oktober sampai
bulan november 2014 atau setidak-tdaknya pada waktu lain dalam tahun 2014
bertempat di jalan angsa no.17 medan atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, melakukan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf a,
perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut ;


Bahwa sejak tahun 2013 terdakwa sudah bekerja dirumah majikan
terdakwa yang bernama H.Samsul Rahman yang beralamat di jalan
Angsa No.17 Medan yang mana tugas dan tanggung jawab terdakwa
antara lain sebagai penjaga rumah, pengantar dan penjemput anak H.
Samsul Rahman ke sekolah serta membersihkan sepeda motor.



Bahwa Endang Murdianingsih yang berasal dari Madura dipekerjakan
sebegai pembantu rumah tangga di rumah H.Samsul Rahman sejak 2009,
ketika itu ayah kandung H.Samsul Rahman membawa Endang
Murdianingsih dari yayasan Murni Jaya Jalan kemayoran Bendungan
Jagud Jakarta, yang dimana Endang Murdianingsih di tugaskan untuk
memasak untuk keluarga H.Samsul Rahman, dianggap sering kali
melakukan kesalahan Endang Murnianingsih kerap kali mengalami
penyiksaan yang di lakukan oleh anggota keluarga H.Samsul Rahman
dan oleh terdakwa, seperti yakni :
1.

Terdakwa dengan memukul pipi dan meninju kepala Endang
Murnianingsih dengan menggunakan Tangannya.

57
Universitas Sumatera Utara



Bahwa Anis Rahayu yang berasal dari Malang dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga di rumah H.Samsul Rahman sejak bulan
September 2014, dimana Anis Rahayu di kirim oleh Yayasan wijaya
yang beralamat di jalan Kebun Mangga Jakarta Barat ke rumah H.Samsul
Rahman, Anis Rahayu di tugasi untuk mengurusi anak-anak H.Samsul
Rahman, namun bilamana dalam menjalankan tugasnya Anis Rahayu
dianggap melakukan kesalahan Anis Rahayu sering kali mengalami
penyiksaan yang dilakukan oleh keluarga H.Samsul Rahman dan oleh
Terdakwa sendiri di waktu-waktu yang berbeda diantara bulanOktober
sampai dengan bulan November 2014, penyiksaan yang di alami korban
Anis Rahayu yang dilakukan oleh terdakwa yaitu :
1.

Terdakwa dengan melakukan pemukulan pada pipi dan kepala Anis
Rahayu dengan menggunakan tangannya.



Bahwa Rukmiani yang berasal dari Demak dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga di rumah H.Samsul Rahman sejak bulan
Oktober 2014,dimana Rukmiani dibawa oleh H.Samsul Rahman dari
salah satu Yayasan yang ada di Jakarta, setibanya di rumah H.Samsul
Rahman, Rukmiani ditugasi untuk mencuci pakaian keluarga H.Samsul
Rahman, namun bilamana melakukan kesalahan kerap kali Rukmiani
mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh keluarga H.Samsul Rahman
dan oleh Terdakwa di waktu-waktu yang berbeda diantara bulan Oktober
sampai dengan bulan November 2014, yakni penyiksaan yang dialami
oleh Rukmiani yang di lakukan oleh terdakwa yaitu ;

58
Universitas Sumatera Utara

1.

Terdakwa menampar Rukmiani dengan menggunakan tangannya.

Dalam penjatuhan

sanksi tindak pidana

penganiayaan putusan

No.294/Pid,SUS/2015/PN-Mdn, setelah membaca :


Penetapan

ketua

Pengadilan

Negeri

Medan

Nomor

294/Pid.SUS/2015/PN.Mdn tanggal 05 Febuari 2015 tentang penunjukan
Majelis Hakim
 Penetapan ketua Majelis Hakim Nomor 294/Pid.SUS/2015/PN.Mdn
tanggal 11 Febuari 2015 tentang penetapan hari sidang.
 Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan.
 Setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa,
serta setelah memperhatikan surat dan barang bukti yang diajukan
persidangan.
Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh
penuntut umum tertanggal 01 April 2015 yang pada pokoknya menuntut sebagai
berikut :
1.

Menyatakan KIKI ANDIKA terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah telah melakukan tindak pidana “penganiayaan”, melanggar
pasal 351 ayat (1) KUHP (Dakwaan kedua).

2.

Menjatuhkan pidana penjara terhadap KIKI ANDIKA dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dan dengan perintah terdakwa tetap
ditahan.

59
Universitas Sumatera Utara

3.

Menetapkan barang bukti :Nihil.

4.

Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersilahkan dan dijatuhi
pidana supaya ia dibebani membayar biaya perkara Rp.1000,- (seribu
rupiah).

60
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25