Nasib Buruh Dalam Memperjuangkan Haknya

Nasib Buruh Dalam Memperjuangkan Haknya di Zaman
Orde Baru
( kasus Marsinah )

Disusun Oleh :

AKHMAD FAHRUR ROZI

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
JL. Terusan Raya Dieng 62-64 Malang

ABSTRACT :
Hak Asasi Manusia atau HAM ( Human Rights ) adalah hak yang melekat pada diri
manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap.Pada zaman
orde baru Marsinah meminta kenaikkan gaji untuk kesejahteraan karyawan dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. UU No.26 Tahun 2000 dalam pasal 8
dan pasal 9. Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM
berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secarab paksa. Penindasan kepada
Marsinah adalah bentuk ketakutan negara terhadap sosok-sosok yang berani berjuang dan
mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror
ketakutan kepada siapa saja dalam hal ini rakyat yang ingin melakukan aksi perlawanan


Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Pelanggaran HAM berat, Penindasan kepada Marsinah

I.

Pendahuluan

A.

Latar Belakang
Hak Asasi Manusia atau HAM ( Human Rights ) adalah hak yang melekat pada diri

manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap. Kita sebagai
warga negara yang baik tentunya haruslah saling menghormati satu sama lain dengan tidak
membedakan-bedakan ras, agama, golongan, jabatan ataupun status sosial. Hal inilah yang
kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain,
kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya. Kita tidak bisa lupa dengan sosok aktifis
perempuan HAM buruh yakni ‘’ Marsinah ‘’ Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa
Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha
agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20%

gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun
di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan
April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran
tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3
dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1700 menjadi Rp2250.yang terjadi pada
tanggal 05 mei 1993.
Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi
selama pemerintahan Orde Baru disini Marsinah tidak pernah diketahui secara pasti oleh
siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan
jelas. Kasus yang menimpa “ Marsinah “ ini kemudian kembali terjadi di tahun 1997 yang
menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad M. Syarifuddin alias Udin. Pada
tahun 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya ‘’ Yap Tiam Hiem Award
‘’.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang
penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai
upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin
egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah saya menyusun jurnal
dengan judul’’ Nasib Buruh Dalam Memperjuangkan Haknya di zaman Orde Baru ”, untuk


memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus
Marsinah
II.

Pembahasan
Terkait Propinsi Jawa Timur Mengusulkan Kenaikan Upah Minimum. Di Indonesia

kegiatan ekonomi dijalankan berdasarkan hubungan produksi kapitalis. Sistem kapitalis pada
hubungan industri yaitu, buruh menjual tenaga kerja yang dimiliki kepada pemilik modal.
Negara sebagai institusi kekuasaan, negara bertugas dan bekerja untuk menyediakan kondisikondisi yang diperlukan untuk akumulasi modal dalam perindustrian. Akumulasi modal bisa
didapatkan dari modal asing maupun modal domestik, akibat dari kondisi ini adalah tenaga
kerja yang diberikan oleh buruh dihargai murah. tenaga kerja di Indonesia dihargai dengan
harga yang relatif murah dibandingkan dengan tenaga kerja di luar negeri dikarenakan
sumber daya manusia yang dimiliki orang Indonesia terbatas. Keterbatasan sumber daya
manusia orang Indonesia dalam sektor pendidikan yang kurang karena tidak mempunyai
biaya. Sehingga orang Indonesia setelah mendpatkan pendidikan yang dinilai cukup, seperti
lulusan SD maupun SMP langsung melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik. Buruh pabrik
yang tidak memiliki keterampilan serta pengetahuan yang tinggi akibatnya mendapatkan
upah yang rendah.
Dalam politik perburuhan terdapat aturan hubungan antara buruh, modal dan negara.

Suatu negara membutuhkan modal yang besar untuk membangun perindustrian yang maju,
setelah membangun perindustrian dibutuhkan buruh sebagai tenaga kerja untuk menjalankan
industri. Pembangunan dalam sektor industri membutuhkan biaya yang besar. Biaya untuk
pembangunan suatu indurti pabrik membutuhkan bantuan dana baik dari dalam negeri
maupun luar negeri.Sehingga kerja sama antara luar negeri juga diperlukan untuk penanaman
modal bagi suatu pembanguna pabrik. Setelah perindustrian terbangun dan beroperasi maka
pabrik membutuhkan tenaga kerja untuk menjalankan produk yang akan dihasilkan oleh
suatu pabrik tersebut. Negara berhubungan dengan lembaga-lembaga militer, polisi,
Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), Pemda (yang tergabung dalam Muspida dan Muspida)
untuk menjalankan pengoperasian industri. DPD Tingkat 1 mengusulkan agar dikeluarkan
Surat Keputusan untuk kenaikan upah minimum.
DPD merasa upah minimum yang diterima oleh buruh tidak layak. DPD juga
melakukan upaya pengirimkan ke Menteri Tenaga Kerja untuk segera menaikkan upah buruh
pabrik. Upah minimum yang diterima buruh pabrik pada tahun 1993 tidak seimbang dengan
kebutuhan kehidupan buruh pabrik. Kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran terus

mengalami kenaikan. Beban kerja yang ditanggung oleh buruh tidak sebanding dengan upah
yang diterima. Apabila buruh menerima upah yang lebih rendah maka buruh tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu pemerintah DPD memeperhatikan nasib buruh. Tidak
semua buruh menerima upah yang layak. Buruh yang tidak menerima upah sebagaimana

mestinya mengadukan nasibnya ke DPR dengan tujuan mendapatkan upah yang sebanding.
Jika upah yang diterima masih tidak sesuai dengan apa yang dilakukan buruh, buruh akan
melakukan aksi unjuk rasa. Upah minimum yang diterima buruh tidak mencukupi, sehingga
pemerintah menaikan upah minimum buruh pabrik sebesar 20 persen.
Kenaikan sebesar 20 persen yang terdapat pada Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jatim menjadi bom waktu kasus pemogokan. Kasus pemogokan terjadi di
berbagai daerah dan beberapa pabrik seperti yang terjadi di PT. CPS. Para buruh menerima
upah yang sedikit dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Parah buruh
memperjuangkan hak-haknya dengan cara melakukan demonstrasi dan mogok kerja.
Demonstrasi atau unjuk rasa buruh pabrik merupakan suatu tindakan protes kekecewaan
kaum buruh terhadap perlakukan pemilik modal yang sewenang-wenang terhadap upah.
Surat Edaran yang diukeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur bertujuan untuk membantu
perbaikan nasib para pekerja. Namun, Surat Edaran menjadi pemicu gejolak pemogokan
buruh pabrik. Pemogokan buruh semakin meningkat akibat dikeluarkan Surat Edaran.
Meningkatnya pemogokan adalah karena sikap para pengusaha yang kurang memperhatikan
para pekerjanya. Oleh karena itu, para pengusaha diharapkan segera mempunyai inisiatif
untuk menaikkan upah pekerja. Sikap pengusaha atau pemilik modal hanya mementingkan
diri sendiri dan perusahaannya saja.
Pemilik modal tidak memperhatikan nasib buruh atau karyawan yang bekerja di
perusahaannya. Pemilik modal hanya berpikir bisa memperoleh keuntungan atau laba yang

besar dari perusahaan yang dimilikinya. Pengusaha tidak memperhatikan kesejahteraan buruh
pabrik. Perlakukan yang diterima buruh menjadikan buruh melakukan pemogokan kerja.
Permasalahan kenaikan upah minimum bagi buruh berimbas pada salah salu pabrik di
Sidoarjo. Pabrik yang terkena dampak kenaikan upah adalah PT. CPS. Pada pertengahan
April 1993, karyawan PT Catur Putera Surya (PT.CPS) Porong membahas Surat Edaran yang
dikeluarkan Gubernur Jatim. Pembicaraan karyawan PT. CPS memutuskan untuk melakukan
unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993. PT. CPS memberikan upah kepada karyawannya
sebesar Rp 1.700 perhari. Upah yang diterima oleh karyawan PT. CPS tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dengan permasalah upah karyawan PT. CPS menginginkan kenaikan
upah. Kenaikan upah yang dituntut oleh PT. CPS sebesar Rp 550 perhari. Sehingga upah

yang diterima menjadi Rp 2.250. Dengan kenaikan upah yang diterima maka buruh bisa memenuhi
kebutuhannya. Upah juga merupakan hak yang diterima oleh buruh setelah melakukan
kewajibannya, yaitu bekerja
Hasil Perjuangan Marsinah
Dalam perundingan yang diawasi oleh aparat negara tersebut, dihasilkan 11 kesepakatan yang
menyatakan bahwa:
1. Upah minimum tetap diberlakukan dengan Keputusan Menteri No. 50/Men/1992, dan
kekurangan tunjangan tetap yakni uang makan dan uang transport sebesar Rp 550 yang
sampai saat ini belum diberikan pada saat hari libur resmi nasional dan cuti tahunan, akan

diberikan sesuai dengan masa kerja dan ketentuan yang berlaku mulai pada 1 Maret 1992,
dan pelaksanaannya dimuali pada 15 Mei 1993. 2. Penghitungan upah lembur sudah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (Kep. Men. No 72/Men/1984). 3. Pembayaran upah bagi
karyawan wanita yang mengambil cuti haid diberikan sesuai dengan besar upah yang
diterima. 4. Keikutsertaan dalam program ASTEK ke JAMSOSTEK akan menunggu
petunjuk dan pelaksanaan lebih lanjut. 5. Jumlah THR sampai saat ini belum diatur dalam
Peraturan Pemerintah akan tetapi besarnya THR diberikan sesuai dengan kemampuan
perusahaan yang telah diatur dalam Kesepakatan Kerja Bersama yang ada di perusahaan. 6.
Uang makan dan uang transport sudah masuk dalam satu kesatuan upah sebagai tunjangan
tetap. 7. Keberadaan PUK SPSI yang ada di perusahaan tetap diakui keberadaannya, dan
akan difungsikan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ada.
Pelaksanaan reformasi kepengurusan menunggu sampai masa baktinya habis. 8. Uang cuti
hamil akan diberikan sesuai dengan aturan yang ada (secara tepat waktu).
9. Karyawan yang telah lepas dari masa percobaan, disamakan hak-haknya dengan karyawan
yang lain. Tetapi penentuan besar kecilnya upah dan tunjangan lainnya disesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku. 10. Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogakn kerja), pengusaha
dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan. 11. Pihak karyawan berjanji tidak
akan melakukan aksi pemogokan lagi untuk masa yang akan datang, dan segala permasalahn
perselisihan Hubungan Industrial Pancasila akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang
berlaku dan berpijak pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat dan selanjutnya

karyawan sanggup kerja kembali.
Hasil perundingan itu dituangkan dalam Surat Persetujuan Bersama, yang
ditandatangani oleh 24 orang wakil buruh, Djoko Sadjono dan Marsudi (Depnaker), Ir.
Purnomo dan Abuchoir (Pengurus DPC SPSI Sidoarjo). Kesepakatan ini dibacakan Djoko

Sadjono kepada buruh- buruh PT. CPS yang ada di luar perundingan, dan salinannya
dibagikan di ruang perundingan kepada para wakil buruh.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terakait kasus Marsinah mengenai Pelanggaran Hak
Asasi Manuisa tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 6 yang dimaksud
dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian Pelanggaran HAM
merupakan sebuah bentuk tindakan pelanggaran hak-hak yang dimiliki setiap individu
maupun kelompok ataupun institusi terhadap hak asasi yang dimilikinya tanpa ada dasar atau
alasan yang rasional.
Jenis – jenis Pelanggaran HAM berat dan Pelanggaran HAM biasa terdapat kasus
pelanggaran HAM yang bersifat HAM berat tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam

pasal 8 dan pasal 9,yakni meliputi :
1. Pembunuhan massal (genosida) ; Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara : a) membunuh anggota
kelompok, b) mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap
anggota-anggota, c) kelompok, d) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
akan mengakibatkan kemusnahan, e) secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, f)
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok atau, g) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain
2. Kejahatan Kemanusiaan ; Kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsungterhadap penduduk
sipil, berupa : a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d) pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa; e) perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum intemasional; f) penyiksaan; g) perkosaan, perbudakan seksual,

pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara; h) penganiayaan

terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i) penghilangan orang secara paksa; atau j) kejahatan apartheid.
Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur
setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja
memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh. Senin 3 Mei 1993, sebagian besar
karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang
selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian.
Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR.
Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.

Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS.
Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat
Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993.
Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh
penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang
panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercakbercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama

menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan,
Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono
(satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke
Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari
segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan
kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya
kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam
dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas
nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang
menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa
saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
Dari uraian analisa yang sudah dipaparkan diatas, dalam kasus pejuang buruh
perempuan dalam memperjuangkan hak ( Marsinah ) disini dapat tergambar dengan jelas
bahwa adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh seseorang aparat negara yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku ( UU No.39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia ). Dan tindakan dari aparat tersebut sangat bertentangan dengan UndangUndang, kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh Negara wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia karena dalam
kasus ini adanya unsur pembunuhan, penyiksaan, serta penghilangan orang secara paksa dan
tindakan seperti ini tidak manusiawi dan tidak pantas dilakukan karena hak asasi manusia
yang dimiliki setiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Dalam mengusut kasus Marsinah dalam hal ini Pemerintah dan Aparat penegak hukum
memberi hukuman yang seadil-adilnya sesuai tindakan yang dilakukannya baik dalam
keadaan sengaja maupun tidak sengaja yang bertujuan untuk memberi efek jerah kepada
pelaku pembunuhan Marsinah dan tidak ada korban lagi.
Upaya tindak lanjut dalam penuntasan Kasus Marsinah setelah melalui proses kasasi
di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam kasus

Marsinah tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan
internasional melalui ILO, yang senantiasa menutut pemerintah RI untuk tetap berupaya
mengusut tuntas kasus Marsinah yang dalam catatan ILO kasus tersebut pada awalnya
III.

Kesimpulan
Bahwa semua mengenai hak yang melekat pada diri manusia sejak manusia lahir

yang dimiliknya tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap. Kita sebagai warga negara
yang baik tentunya haruslah saling menghormati satu sama lain dengan tidak membedakanbedakan ras, agama, golongan, jabatan ataupun status sosial. Dalam kasus Marsinah yang
merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus
penghilangan seseorang secara paksa, maka negara sebaiknya memberi perlindungan bagi
kaum buruh yang memperjuangkannya hak-haknya dan berdasarkan Pancasila sebagai
ideologi negara yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang terurai dalam sila ke-2 serta
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dalam mengusut kasus Marsinah dalam hal ini
Pemerintah dan aparat penegak hukum memberi hukuman yang seadil-adilnya sesuai
tindakan yang dilakukannya baik dalam keadaan sengaja maupun tidak sengaja yang
bertujuan untuk memberi efek jerah kepada pelaku pembunuhan Marsinah dan tidak ada
korban lagi. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara terhadap sosoksosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan
kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja dalam hal ini rakyat yang
ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya
menjadi misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan
paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini.
Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali
harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan,
kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang
menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa
sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam
rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah berarti harus
mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai dari tangan
mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.htmlhttp://buser.liputan6.com/read/
52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya
http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html
Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/
http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisissemiotika-berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-DiungkapLagi
http://www.scribd.com/doc/24532924/STUDI-KASUS-MARSINAH#scribd
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-masa/
Undang-Undang No. 26 Tahun2000 tentang ‘’ Pengadilan Hak Asasi Manusia ‘’
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang ‘’ Hak Asasi Manusia ‘’