Sejarah Lengkap Kerajaan Mataram Islam K

Sejarah Lengkap Kerajaan Mataram Islam
(Kesultanan Mataram)
Admin I May 18, 2015 Sejarah
Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam) merupakan kerajaan Islam di tanah Jawa
yang berdiri pada abad ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng Sela
dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit. Asalusul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,
berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas
jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), ia
adalah putra Ki Ageng Pemanahan.

Kerajaan Mataram Islam (Kesultanan Mataram)
Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan
Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah menerima bantuan VOC pada masa
akhir menjelang keruntuhan.

Bendera Kerajaan Mataram Islam
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian. Kerajaan ini meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat ditemui hingga kini, seperti kampung Matraman di
Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Jawa Barat (Pantura), penggunaan hanacaraka, serta
beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku sampai sekarang.


Masa awal
Setelah Sutawijaya merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya ia kemudian naik tahta
dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah,
mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram berada di
daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang
(timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian
dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal kekuasaan diteruskan oleh putranya, yaitu Mas
Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang / Kerajaan Mataram Hindu)
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena dia wafat karena
kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu tahta pindah ke putra keempat
Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro memiliki
penyakit syaraf sehingga tahta nya beralih dengan cepat ke putra sulung Mas Jolang yang
bernama Mas Rangsang pada masa pemerintahan Mas Rangsang, Kerajaan Mataram
mengalami masa kejayaan.

Terpecahnya Mataram
Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh dari Karta.
Pada saat itu, ia tidak lagi memakai gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal dari kata

'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh
Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot dengan VOC. Pada tahun 1677
Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi sehingga ia dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat tunduk pada VOC
sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan pemberontakan terus terjadi. Pada
tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura. karena kraton yang lama dianggap telah
tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (tahun 1703-1708),
Pakubuwana I (tahun 1704-1719), Amangkurat IV (tahun 1719-1726), Pakubuwana II (tahun
1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena ia tidak patuh(tunduk) kepada
VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki
dua orang raja dan hal tersebut menyebabkan perpecahan internal di Kerajaan. Amangkurat
III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile" hingga akhirnya tertangkap
di Batavia dan dibuang ke Ceylon.
Baca Juga: Kerajaan Sriwijaya
Kekacauan politik ini baru terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta
(Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti.
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian

sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta merupakan 'ahli waris' dari Mataram.

Peristiwa Penting
 Tahun 1558: Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang
Adiwijaya atas jasanya yang telah mengalahkan Arya Penangsang.
 Tahun 1577: Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau
Kotagede.
 Tahun 1584: Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru (raja) di Mataram,
yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring
Pasar". Ia mendapat gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai
Senapati Utama Pajang).
 Tahun 1587: Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porakporanda diterjang badai letusan Gunung Merapi. namun Sutawijaya dan pasukannya
selamat.
 Tahun 1588: Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
'Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama' yang artinya Panglima Perang dan Ulama
Pengatur Kehidupan Beragama.
 Tahun 1601: Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang
bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan

Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu di hutan Krapyak.
 Tahun 1613: Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena Pangeran Aryo sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya
Raden Mas Rangsang.
 Tahun 1645: Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
 Tahun 1645 - 1677: Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,
yang dimanfaatkan oleh VOC.
 Tahun 1677: Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di
pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai
memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
 Tahun 1680: Susuhunan Amangkurat II memindahkan pusat pemerintahan (ibu kota)
ke Kartasura.
 Tahun 1681: Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
 Tahun 1703: Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
Susuhunan Amangkurat III.
 Tahun 1704: Atas pertolongan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan
Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III
kemudian membentuk pemerintahan pengasingan.
 Tahun 1708: Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai

wafatnya pada 1734.
 Tahun 1719: Susuhunan Paku Buwono I meninggal kemudian digantikan putra
mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal
Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
 Tahun 1726: Susuhunan Amangkurat IV meninggal kemudian digantikan Putra
Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.

 Tahun 1742: Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II
berada dalam pengasingan.
 Tahun 1743: Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian yang sangat berat
(menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama Mataran belum melunasi
hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai
imbalan atas pertolongan yang diberikan VOC.
 Tahun 1745: Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di
tepian Bengawan Beton.
 Tahun 1746: Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari
10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar

dan satu kerajaan kecil.
 Tahun 1749: 11 Desember Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan
Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru ditundukkan
sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan
sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. pada 15 Desember van
Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
 Tahun 1752: Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di daerah Pesisiran
(daerah pantura) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-Raden
Mas Said.
 Tahun 1754: Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Pada
tanggal 23 September, Nota Kesepahaman Hartingh-Mangkubumi. 4 November, Paku
Buwana III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya
pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
 Tahun 1755: 13 Februari menjadi Puncak perpecahan, hal ini ditandai dengan
Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan
Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar 'Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah' atau
dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
 Tahun 1757: Perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram. sehingga muncul

Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan
Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga
antara Sultan Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said dan
VOC. Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta.
 Tahun 1788: wafat nya Susuhunan Paku Buwono III.
 Tahun 1792: wafat nya Sultan Hamengku Buwono I wafat.
 Tahun 1795: wafat nya KGPAA Mangku Nagara I wafat.
 Tahun 1799: dibubarkan nya VOC oleh benlanda
 Tahun 1813: Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat
sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas
dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku
Alam".
 Tahun 1830: Akhir perang Diponegoro. Semua daerah kekuasaan Surakarta
dan Yogyakarta dirampas Belanda. Pada 27 September, Perjanjian Klaten
menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara

permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem
Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara resmi dikuasai
Belanda.


Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah
Perang Diponegoro.

Peninggalan kerajaan mataram Islam:
Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros
selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang
sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam
kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini.
Baca Juga: Kerajaan Majapahit
Masjid Agung Negara
Masjid ini dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.

Masjid Agung Negara
Kompleks Makam Pendiri Kerajaan di Imogiri
Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita dapat menemukan kompleks
makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh.
Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu
kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa

menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

Permakaman Imogiri pada tahun 1890
Sekian Artikel tentang Sejarah Kerajaan Mataram Islam (Kesultanan Mataram), semoga
artikel diatas dapat bermanfaat bagi sobat MARKIJAR, seandainya sobat ingin membaca
lebih banyak Artikel bertama sejarah, silakan klik Label Sejarah yang ada di widget sebelah
kanan atas.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya (Lengkap)
Admin I May 17, 2015 Sejarah
ั atau "Ṣ̄rī wichạy")
Sriwijaya (disebut juga Srivijaya; dalam bahasa Thailan: ศรีวช
ิ ย
merupakan kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi
pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.


Letak Kerajaan
Merupakan kerajaan yang berdiri di Sumatra pada abad ke-7. Pendirinya adalah Dapunta
Hyang, Sriwijaya memiliki sebutan Kerajaan Nasional I sebab pengaruh kekuasaannya
mencakup hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di sekitarnya. Letaknya sangat
strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di Sumatra Selatan sampai ke Selat
Malaka (merupakan jalur perdagangan India – Cina pada saat itu), Selat Sunda, Selat Bangka,
Jambi, dan Semenanjung Malaka.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan
Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand
Selatan.

Catatan sejarah
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan tinggal
selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada
abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang.

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern
yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George
Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.

Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa
Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang,
kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat
jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang
terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat
dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri
dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga
sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar,
keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh
kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara
sebelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-foshih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan
Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer
menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat
sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di
provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini
dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun
1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu
jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini
adalah buatan manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi
sekarang), Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan
prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
1) Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari
Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra
atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab
Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah
negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha. Pelayarannya maju karena kapal-kapal
India singgah di sana dan ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di Sriwijaya
dipengaruhi Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana. I-Tsing juga
menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di pantai barat Melayu pada
tahun 682 – 685.

Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) adalah kerajaan
Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita sumber dari dinasti Sung menyebutkan
bahwa utusan Cina sering datang ke San-fo-tsi. Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu
adalah Sriwijaya.
2) Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan
bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat
206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan
Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas)
karena banyak menghasilkan emas.
3) Berita dari India
Prasasti Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola menyebutkan adanya
pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma. Biara tersebut dibuat oleh
Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan
Kataka.
Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah
membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib
membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan
Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu,
Balaputradewa, mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti Nalanda juga menyebutkan
bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa
meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui hak-haknya atas dinasti Syailendra.
4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti- prasasti berhuruf
Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno:
 Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka (683 M) ditemukan di tepi Sungai
Tatang, dekat Palembang.
 Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah barat
Pelembang.
 Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka. Prasasti
ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa
keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi Jawa yang tidak
tunduk kepada Sriwijaya."
 Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini memperjelas
bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah
yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi.
 Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun). Prasasti ini menyebutkan bahwa negara
Sriwijaya berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra-putra raja: Yuwaraja
(putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua), dan Rajakumara (tidak berhak
menjadi raja).
 Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting Kra.
Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra (Melayu)
oleh Sriwijaya
 Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun) ditemukan di Lampung berisi
penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.

Prasasti Telaga Batu
Dari sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendiri
Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang berkedudukan di
Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas wilayah kekuasaannya
dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga, Sriwijaya semula tidak berada di
sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan, yaitu daerah pertemuan antara Sungai
Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Setelah berhasil menaklukkan Palembang, barulah
pusat kerajaan dipindah dari Minangatwan ke Palembang.

Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai kerajaan Sriwijaya yang ditemukan. Kerajaan ini menjadi
pusat perdagangan serta merupakan negara bahari. Beberapa ahli memperdebatkan kawasan
yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, selain itu kemungkinan besar
Sriwijaya biasah memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi
ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti
Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis
prasasti ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu
Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota
Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah
menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti
ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk

menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan
dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi
Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi Sriwijaya ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan kerajaan ini
mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja serta Thailand. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja,
sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan
dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara
lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada
masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai pada tahun 825.

Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana
dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan
kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun
671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar
agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.

Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang,
Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan
Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana
yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang
ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India
untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di
Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa
sansekerta dengan tepat.
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal
Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet menyebutkan
ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijaya nagara di
Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India. Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Rajaraja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di
Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah,
sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh

menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh
Sriwijaya.
"... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan
mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota
Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan
mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk
belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami
ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.

Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan
yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota
Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo
menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian
taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu
menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota
Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.
Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan
berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa
ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi
lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang
banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro
Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa
Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak
dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini
menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh
langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya rajaraja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan
dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau
pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu
mengawasi dan sering kali memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan
untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi
militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap
mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka,
Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar
Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang
ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan
sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang
dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian
dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli
perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan

perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur bisa jadi merupakan jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam melakukan pelayaran antar pulaunya.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan kawasan Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo
(Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai
mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui
perdagangan mereka.

Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya
nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau
Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada
prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis
dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di
Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa
melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan
Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens
menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga
dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini

berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan
beserta upeti. Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M),
seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk
surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi
permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan
hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum AzZahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun
adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi,
pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab
yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu
bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus
seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan
dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk
mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan
perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur
Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota
kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan
Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota
mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa
sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat
pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai
Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.
Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini
diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860
Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu
Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa,
raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian
dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu
Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda
berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada
Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari
prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah
membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun
menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad
ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana
raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman
pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada
masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut
dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan
Miau Kwan

Masa kejayaan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan
dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi
atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap

kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,
Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada
tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan
dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan. Sriwijaya menguasai jalur perdagangan
maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan
Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi
Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra
dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia
Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang
berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya
diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan
di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi
perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim
oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa
Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu,
namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti
Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera.
Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil
membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada
hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar
pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa,
berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan
dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan
utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah
candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia.
Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien
wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu,
Terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa,
maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di
Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa Kemunduran
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, yang merupakan raja dari dinasti Chola di India
selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya
menjadi koloni Sriwijaya, dan berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh kekuasaan
Sriwijaya berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola tetap
memberikan peluang kepada raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa dengan syarat
tetap tunduk kepadanya.
Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya
melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan
Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan
Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta

besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota
maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan
dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, ChouJu-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat
kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha.
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi
tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.
Secara garis besar Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor
berikut:
 Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar
Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
 Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis
lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional.
Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep
dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis
daripada Palembang.
 Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya
terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian
timur dan Sriwijaya di bagian barat.
 Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh
Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan
yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh
Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat
Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan
dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha
penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya
dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah
pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).

Struktur pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu
negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa
prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala
dan bhūmi.

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat
disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini
dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua
ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda
merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja
terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan
rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu,
selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan
pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya. Adapun,
jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat),
bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian
terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi
nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka
(pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok
kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti
yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra
mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka dari
itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk
mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya
dibagi menjadi dua.

Raja yang memerintah
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di
bawah ini, yaitu: