FILM DENGAN UNSUR SEKSUAL ATAU PORNOGRAF

Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

FILM DENGAN UNSUR SEKSUAL ATAU PORNOGRAFI DAN
DAMPAKNYA TERHADAP GENERASI MUDA DI INDONESIA
Ditinjau dari perspektif etika penyiaran, etika perfilman, dan teori media massa

Esai
Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Filsafat dan Etika Komunikasi
F-KOM-3

Dosen Pengampu
Dr. Antoni, S.Sos., M.Si
Oleh :
Farikha Rachmawati (135120200111068)

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2014

Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

Film dengan Unsur Seksual atau Pornograf dan
Dampaknya terhadap Generasi Muda
Oleh : Farikha Rachmawati
Pesatnya perkembangan teknologi memudahkan manusia mengakses apapun dari
belahan dunia manapun. Beredarnya film berunsur seksual hampir di setiap film televisi dan
film pornografi di dunia maya, memudahkan setiap orang untuk menontonnya. Seperti yang
tertuang dalam buku “Ethic in media communication” dijelaskan bahwa dilema etika ada
dimana-mana. Studi etika kemudian menjadi penting untuk memilih pilihan moral dalam
segala situasi.
Ketika dihadapkan kepada sebuah situasi dimana sahabat terdekat kita misalnya
mengatakan “yuk nonton film ini, bagus loh”, kita tau bahwa film itu bukanlah hal yang baik
bagi diri kita, namun ajakan sahabat yang begitu dekat untuk menonton film porno dan
diikuti dengan rasa keingin tahuan generasi muda menjadikannya dilema luar biasa. Saya
mungkin boleh berpendapat bahwa generasi seusia saya, sebelum saya dan sesudah saya
pernah mengalami hal ini.

Film dengan unsur seksual dan pornografi sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan
etika penyiaran, etika perfilman dan budaya Indonesia. Menjadi penting untuk kita
mengetahui, mengkaji, mengkritik, dan memperbaiki film-film yang mengandung unsur
seksualitas dan pornografi guna meminimalisir dampaknya bagi generasi muda khususnya di
Indonesia.
Dalam jurnal proquest yang telah ditulis oleh Fugh-Berman & Adrian dijelaskan
bahwa ” Sex films depict people who "know exactly what they want, ask for it, get it (with a
smile), never want more than their share, and never have sexual problems”. Terkadang kita
luput untuk menggolongkan film porno dengan film seks dengan segmentasinya. Beberapa
film memang sengaja dibuat porno untuk mengedukasi pasangan suami istri dalam bercinta,
beberapa untuk terapi seks, beberapa memang disebarluaskan tanpa segmentasi yang jelas.
Tidak adanya regulasi yang kuat di Indonesia untuk membentengi hadirnya media sosial dan
perdagangan bebas menjadikan hal ini mudah dikonsumsi generasi muda.

Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

Sebelum berbicara mengenai seks di Indonesia, ada baiknya kita melirik budaya seks
di negara barat. Seks di negara barat memang sudah menjadi hal biasa, tapi tidak di
Indonesia. Di negara barat, bukan lagi seks bahkan prostitusi dianggap bukan lagi hal

terendah. Seks sudah menjadi hal yang biasa, bahkan seseorang akan tampak aneh jika sudah
remaja namun tidak melakukan seks.
Bagi mereka, masih ada hal lain yang lebih rendah dibandingkan prostitusi. Hal ini
sesuai dengan penuturan Julie Salomon dalam karyanya “rent bodies sells ticket” yang
menyebutkan bahwa “This befits Ms. Borden's self-proclaimed role as a "cinematic
anthropologist"out to show the superiority of prostitution over other kinds of routine work for
women. In an interview, she repeated her view that "there are other employment situations
where women can feel much more demeaned than they do in prostitution."This may sound
like addled Marxism, but it actually has more to do with the New York real-estate market
than with dialectical materialism.”
Indonesia sebagai negara berkembang banyak berkiblat pada negara barat. Maraknya
bumbu seksualitas dan pornografi di Indonesia persis seperti apa yang dituangkan dalam teori
imperialisme budaya (Cultural Imperialism Theory). Budaya seks di Indonesia sebenarnya
adalah sesuatu yang sangat tabu. Namun karena berkiblat kepada barat, budaya seks
dilegalkan di barat, lalu seakan-akan dilegalkan pula di Indonesia. Masuknya budaya barat
yang di blow up di media massa akhirnya menjadi trend baru yang membahayakan budaya
Indonesia.
Trend ini kemudian dimanfaatkan oleh industri perfilman untuk menyetir perfilman
Indonesia sesuai dengan ideologi barat. Negara yang sudah lama terpengaruh dan lamakelamaan menjadi libertarian akan dipengaruhi oleh pasar sesuai dengan teori normatif media
massa. Tak bisa dielakkan lagi, kemuauan pasar akhirnya menyetir arah perfilman di

indonesia. Bukan lagi mementingkan etika, namun insan film harus tunduk pada kemauan
ideologi pasar jika tidak akan ditinggalkan oleh investor film.
Mengamati film-film yang kini beredar di Indonesia, banyak sekali film yang
mengundang hasrat seksual. Sebut saja penyajian adegan dalam konteks kasih sayang,
termasuk di dalamnya: mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, dan mencium
tangan yang melanggar pasal 9 UU penyiaran. Tak hanya itu, mulai bermunculan film semi
pornografi, yaitu film-film porno yang dikemas dalam bentuk cerita. Sebut saja film horror
Indonesia yang banyak menunjukkan seksualitas, dan film Jan Dara yang menunjukkan unsur
pornografi.

Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

Film horror Indonesia merupakan sebuah film yang tidak sesuai judulnya. Film horror
indonesia dikemas ‘manis’ hingga tak lagi terdeteksi aroma pornografinya. Film horor
Indonesia lebih banyak memasukkan unsur sensualitas sebagai penarik hati penonton,
kemudian dijadikan racikan utama. Kehebatan pengemasan film horor Indonesia dengan
ranah komedi menjadikannya seakan-akan aman masuk di perfilman Indonesia.
Kita hanya sedang dibius dalam kedamaian, dijajah industri komersialisasi perfilman.
Kita hanya tidak sadar bahwa film yang beredar bukan hanya di tonton oleh kalangan

usianya, namun juga oleh anak SD, SMP, SMA yang sedang labil dan trend budaya pacaran.
Memang, bioskop melarang anak dibawah umur untuk tidak menonton, tapi kini ada ganool,
ada situs download film yang mudah. Sesuai dengan proses belajar manusia, khususnya
remaja ialah mencoba dan melakukan apa yang dilihatnya. Miris membayangkan pemikiran
dan perlakuan mereka yang dewasa sebelum waktunya.
Kasus film Jan Dara bisa kita jadikan suatu contoh kasus film porno yang beredar
dalam media sosial youtube. Film Jan Dara merupakan sebuah film Thailand yang berangkat
dari sebuah novel sastra. Film ini meraih kesuksesannya sejak 2001 dan dimuat jilid
selanjutnya. Film yang mengisahkan seorang anak yang ditinggal mati ibu saat
melahirkannya, kemudian dibenci oleh ayahnya. Film ini dikemas begitu menyedihkan,
menampilkan Mario Maurer sebagai tokoh utamanya menjadikan film ini begitu terkenal dan
dimuat dalam banyak versi oleh negara-negara lain.
Film Jan Dara memiliki kemasan sebuah cerita dramatis, namun tetap saja
menonjolkan segi pornografi yang begitu vulgar. Industri film seakan benar-benar pintar
membidik aktor yang sedang diminati remaja, mario maurer misalnya. Mario maurer sudah
terkenal di beberapa film cinta seperti little thing called love, hal ini menarik remaja untuk
menonton film Jan Dara. Kesuksesan film ini akhirnya memacu pembuatan film Jan Dara
versi negara lain yang beredar jelas tanpa sensor di youtube.Film berunsur seksualitas dan
pornografi seperti film horor Indonesia dan film Jan Dara memang memiliki nilai
komersialitas yang tinggi, namun tidak sesuai dengan etika budaya Indonesia yang

berdampak besar khususnya bagi generasi muda.
Teori kultivasi telah menjelaskan dampak high viewer atau seseorang yang menonton
televisi lebih dari 4 jam, seseorang dengan karakteristik seperti ini bisa memiliki realitas
kedua sesuai apa yang dilihatnya di televisi. Hal ini akan berdampak sangat buruk jika film
berbau seksual dan pornografi dilihat dalam jangka waktu lama oleh penonton yang belum
cukup umur dan mencoba mempraktikannya.

Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

Seperti yang dituangkan dalam jurnal online science direct bahwa “the potential of
augmented media to reinforce negative and compulsive behaviors and to distribute such
socially destructive content as pornography”. Potensi media ini kemudian dapat
menimbulkan dampak, diantaranya : Hasil studi Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan RI
membuktikan, dari proses investigasi terhadap 201 kasus perkosaan tahun 2000-2004,
hasilnya menunjukkan 56,71% diakui pelaku akibat menonton film porno. Sementara itu,
berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, kebanyakan anak-anak
atau remaja yang melakukan kekerasan seksual, lantaran terangsang tayangan VCD porno
dan pengaruh minuman keras (berdasarkan 185 kasus kekerasan yang diterima LBH Apik
sepanjang 2005).

Tak hanya itu, di tahun 2014 masih saja marak tingkat kejahatan seperti pencabulan,
pemerkosaan (Tribunnews.com, 2014) dan banyak kasus seks bahkan di dunia pendidikan.
Hal ini menjadi suatu hal yang kruisial karena merusak moral generasi muda kelak.
Mengetahui, memahami dan menjalankan etika dewasa ini menjadi sesuatu yang penting
demi mempertahankan kualitas generasi muda. Etika penyiaran dan perfilman akan
membantu kita mengetahui proses produksi film yang tepat sasaran dan tidak merugikan
generasi muda.
Sebuah siaran yang baik (JRKI, 2014) seharusnya mengandung informasi
pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral,
kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai
agama dan budaya Indonesia. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan
kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada
waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan
klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya, tidak
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, tidak menonjolkan unsur
kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Isi siaran dilarang memperolokkan,
merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia
Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Begitu banyak regulasi yang ada namun pemerintah seakan membiarkan saja proses

difusi film sensual dan pornografi tanpa menghambatnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Amirul Muslim, Fatimah Sari Siregar, dan Dian Hariyanti menjelaskan bahwa faktor utama
yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengatasi beredarnya video porno adalah
tidak

adanya

koordinasi

baik

pemerintah

daerah,

masyarakat

dalam

melakukan


Film dengan unsur seksual atau pornograf dan dampaknya terhadap generasi
muda

pemberantasan pengedar video porno, tidak adanya suatu tim khusus untuk lebih pro aktif
dalam hal persoalan peredaran video porno.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan mengerikan sekali membayangkan akan ada
FTV Indonesia bertransformasi menjadi film hollywood & bollywood versi Indonesia yang
tayang secara bebas di televisi maupun bioskop. Budaya Indonesia benar-benar akan hilang
jikalau tidak sedari dini kita mengantisipasinya. Generasi muda akan kehilangan cita-citanya
ketika belum mencapai usianya, mereka sudah harus mengurus bayi.
Indonesia sebagai sebuah negara berkembang masih membutuhkan generasi-generasi
muda yang cerdas, aktif, ambisius, gila, kritis, dan berani memberikan arah bagi negeri ini ke
depannya. Sangat disayangkan jika generasi muda di Indonesia menyudahi pendidikan tanpa
memiliki pegangan moral dan etika yang kuat. Pengambangan pendidikan berbasis moral dan
etika kemudian menjadi sesuatu yang sangat penting.
Peran orang tua tak mungkin bisa dilepaskan dalam penyelamatan generasi muda.
Dibutuhkan bimbingan dalam menonton tayangan baik di televisi, bioskop maupun media
sosial untuk menjamin tidak terjamahnya film berbau sensual dan pornografi sebelum
waktunya.