Permasalahan Konservasi dalam Arsitektur. pdf
Telah dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Fakultas Teknik Universitas
Kristen Indonesia, Vol. 15, No. 1, Februari 2005. hlm. 64-78. ISSN: 0853-9723.
PERMASALAHAN KONSERVASI
DALAM ARSITEKTUR DAN PERKOTAAN1
Antariksa2
Abstrak
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan pemahaman mengenai konservasi baik dari
sisi arsitektur maupun perkotaan, dan beberapa masalah yang harus dihadapi dalam
pelaksanaannya dengan melihat beberapa kasus di negara lain. Hal ini diperlukan, karena
pemahaman pengertian konservasi baik dalam tataran konsep maupun pelaksanaan di
lapangan masih dihadapkan dengan kendala dan permasalahan yang begitu luas. Dengan
demikian, dalam menentukan masa depan sebuah kawasan bersejarah perlu pemahaman
historis dan arsitekturalnya, sehingga makna kultural yang berupa: nilai keindahan, sejarah,
keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa mendatang akan
dapat terpelihara. Agar kebijakan dan strategi konservasi dalam arsitektur dan perkotaan
dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka perlu adanya kerjasama dengan
pemerintah kota, pemerhati konservasi, lembaga swadaya masyarakat, akademisi,
pengusaha, pemilik bangunan kuno-bersejarah, dan pengelola benda cagar budaya.
Kata kunci: konservasi, arsitektur, perkotaan
Abstract
The purpose of this paper is to extend an understanding about the urban conservation
and architecture, and a number of problems, which must be facing in the realization by
referring to various cases in other countries. It is essential, cause of consideration of
conservation meaning which on the level of conception though field implementation still
facing with the constraint and extensive problems. Thus, in making a definite on the future of
historical area is require to recognize the history and architecture, and then the cultural
meaning which in the form of aesthetic value, history, science or social value for the past,
present, and future generation can be protecting. In order to the policy and strategy of
conservation in architecture and urban, it can be carry out through cooperation with the
local government, conservation observer, non government office, academic, entrepreneur,
owner of historical building, and manager of cultural properties.
Key words: conservation, architecture, urban
1
2
Ditulis untuk Jurnal Sains dan Teknologi EMAS
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur dan Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1. PENDAHULUAN
Konservasi dalam bangunan maupun
arsitektur perkotaan merupakan salah satu
daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan
terpeliharanya
satu
bangunan
kunobersejarah pada suatu kawasan akan
memberikan ikatan kesinambungan yang
erat, antara masa kini dan masa lalu. Seorang
ahli hukum dari Universitas Kopenhagen,
Denmark, JJA Worsaae pada abad ke-19
mengatakan, ”bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak hanya melihat masa kini
dan masa mendatang, tetapi mau berpaling
ke masa lampau untuk menyimak perjalanan
yang dilaluinya. Hal senada juga pernah
diungkapkan oleh seorang filosuf Aguste
Comte dengan ”Savoir Pour Prevoir”, yang
diartikan sebagai mempelajari masa lalu,
melihat masa kini, untuk menentukan masa
depan. Melihat hal tersebut, maka masa lalu
yang diungkapkan dengan keberadaan fisik
dari bangunan kuno-bersejarah akan ikut
menentukan dan memberikan identitas yang
khas bagi suatu kawasan perkotaan di masa
mendatang.
Di
dalam
menangani
masalah
konservasi bangunan maupun kawasan,
masih banyak yang belum memperhatikan
beberapa faktor yang saling terkait dengan
masalah konservasi. Di antaranya adalah,
teori konservasi, peraturan pemerintah
daerah, peraturan perundang-undangan
tentang cagar budaya, dan pembelajaran dari
beberapa kasus yang terdapat di negara lain.
Hal itu perlu dipahami oleh semua pihak
sebagai dasar dalam pelaksanaan konservasi.
Terutama digunakan untuk melihat kondisi
bangunan dan kawasan bersejarah pada saat
ini. Dengan demikian, tujuan konservasi
tidak semata untuk meningkatkan mutu
kawasan kota secara fisik saja, tetapi juga
untuk menjaga stabilitas perkembangan
kawasan atau bangunan itu sendiri.
Ada beberapa pertanyaan yang
seharusnya diajukan kalau kita ingin
bergerak ke arah penyelesaian masalah dan
harus harus diajukan (1) Apa yang ingin kita
konservasi? (Bangunan?, Karakter kota?,
Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin
mengkonservasi?
(Karena
aspek-aspek
tersebut merupakan bagian dari warisan
kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan
penduduk?, Untuk menarik uang dari
wisatawan?); dan (3) Untuk siapa kita
lakukan konservasi? (Pengguna saat ini?,
Keseluruhan negara?, Warisan umat
manusia?). (Raj Ishar, 1986)
2. PEMAHAMAN DAN PENGERTIAN
MENGENAI
KONSERVASI
DAN
PRESERVASI
Istilah “konservasi kota” sedikit telah
mengalami perubahan, kemudian muncul
dengan istilah baru, yaitu “bangunan kunobersejarah”. Istilah konservasi dan preservasi
itu sendiri, telah digunakan dengan berbagai
macam
pengertian.
Preservation
(preservasi): adalah sejenis campur tangan
(intervensi) yang mempunyai tujuan untuk
melindungi dan juga memperbaiki bangunan
bersejarah. Kata preservation umumnya
digunakan di Amerika (USA). Conservation
(konservasi),
adalah
tindakan
untuk
memelihara sebanyak mungkin secara utuh
dari bangunan bersejarah yang ada, salah
satunya dengan cara perbaikan tradisional,
atau dengan sambungan baja, dan atau
dengan
bahan-bahan
sintetis.
Kata
conservation digunakan di UK dan Australia.
(Larsen, 1994)
Pendapat lain mengenai preservasi,
adalah upaya preservasi sesuatu tempat
persis seperti keadaan aslinya tanpa adanya
perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran, sedangkan konservasi, adalah
upaya untuk mengkonservasi bangunan,
mengefisienkan penggunaan dan mengatur
arah perkembangan di masa mendatang.
Dalam Piagam Burra (Marquis-Kyle &
Walker, 1996), pengertian konservasi dapat
meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat
dan dapat pula mencakup: preservasi,
restorasi,
rekonstruksi,
adaptasi
dan
revitalisasi.
Sebenarnya, istilah “bangunan kuno”
telah digunakan dalam arti yang luas untuk
menunjukkan bangunan-bangunan, baik
objek tidak bergerak, permukiman, area
bersejarah, artistik, arsitektur, sosial, budaya
maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah
“perlindungan
bangunan
kuno”
menunjukkan adanya variasi dari aktivitas
yang terlibat di dalamnya, sebagai contoh,
restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi
dan
konservasi.
Dengan
demikian,
konservasi dalam lingkup bangunan dan
perkotaan, adalah semua proses untuk
memelihara bangunan atau kawasan
sedemikian rupa, sehingga makna kultural
yang berupa: nilai keindahan, sejarah,
keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi
lampau, masa kini dan masa mendatang akan
dapat terpelihara.
3.
SEJARAH
PERKEMBANGAN
BADAN INTERNASIONAL UNTUK
KONSERVASI
Ada beberapa aspek penting dalam
konservasi yang seharusnya perlu diketahui
dengan
adanya
beberapa
badan
internasional. Bahwa sebenarnya, peraturan
untuk perlindungan dari bangunan dan benda
kuno telah dimulai semenjak abad ke-15 di
Italy. Kemudian, pada abad ke-19 beberapa
negara
telah
membuat
peraturan
perundangan, dan melakukan langkahlangkah administrasi untuk melindungi
warisan budayanya (cultural heritage).
Seperti, Church State (1802), Yunani (1834),
Prancis (1869), Inggris 1882), dan Jepang
(1897).
Pada akhir perang dunia ke-2, tahun
1945, League of Nation (perhimpunan
bangsa-bangsa) telah dibentuk sebagai
United Nation. Kemudian, International
Institute of Co-operation sebagai UNESCO
(United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization), dan International
Museum Office sebagai ICOM (International
Council on Museum). Pada tahun 1956,
UNESCO
melahirkan
pusat
studi
internasional untuk konservasi dan restorasi
cagar budaya, dan sekarang bernama
ICCROM.
Pada
tahun
1965,
diselengggarakan
konperensi
untuk
berdirinya
International
Council
on
Monuments and Sites, sebagai ICOMOS.
Akhirnya, organisasi di atas berkembang
menjadi empat badan (lembaga) penting
tersebar diseluruh dunia, dan hanya
berhubungan
dengan
permasalahan
konservasi warisan budaya. UNESCO dan
ICCROM
menjadi
inter-governmental
(antar-pemerintah
dan
kebijakankebijakannya
diputuskan
oleh
para
anggotanya). ICOM dan ICOMOS menjadi
non-governmental (non-pemerintah yang
anggotanya adalah individu atau organisasi).
Terutama dalam konggres internasional ke-2
dari para arsitek dan teknisi bangunan kuno
bersejarah
di
Venice,
menghasilkan
dokumen yang diberi nama “Venice Charte”.
Semenjak itu, digunakan sebagai petunjuk
dasar untuk menangani masalah konservasi.
Di Eropa pada waktu itu, “Venice Charte”
menjadi bagian dari perdebatan lama yang
berkaitan dengan pendekatan konservasi
untuk warisan budaya. Perbedaan pendapat
yang terjadi, sebenarnya dapat terlihat
melalui dua tahapan wilayah, yang dicirikan
oleh
Jokilehto
(1995)
sebagai:
1)
“pergerakan konservasi”, ide-ide yang
berkembang pada akhir abad ke-19, hanya
menekankan keaslian bahan dan nilai
dokumentasi; dan 2) “teori konservasi
modern”, didasarkan pada penilaian kritis
pada bangunan kuno bersejarah yang
berhubungan dengan keaslian, keindahan,
sejarah, dan penggunaan nilai-nilai lainnya.
Kemudian pada tahun 1976, ICOMOS
Australia memulai meninjau kembali
kegunaan “Venice Charte”. Pertemuan
tersebut mengambil tempat di dekat kota
pertambangan Burra di Australia Selatan,
dan selanjutnya hasil dari pertemuan itu
diberi nama “Burra Charter” (Piagam Burra).
Secara umum mereka dapat menerima
konsep dari “Venice Charte”, hanya bentuk
penulisannya dibuat sedemikian rupa,
sehingga dapat digunakan dan dipraktekkan
di Australia. (Marquis-Kyle & Walker, 1996)
Di samping hal tersebut di atas,
Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Untuk pelaksanaannya telah ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1993, mengenai Benda Cagar
Budaya. Di dalamnya dijelaskan, bahwa
yang dimaksud dengan Cagar Budaya,
adalah benda buatan manusia, bergerak atau
tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisasisanya, yang berumur sekurang-kurangnya
50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa
gaya yang khas dan mewakili dan mewakili
masa gaya yang sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. (Tunggul,
1997)
4.
BEBERAPA
KASUS
DALAM
KONSERVASI
4.1 Penghancuran Simbol Kekuasaan di
Korea
Pada tahun 1995, pemerintah Korea
Selatan memperingati akhir dari perang
dunia
ke-2,
yang
dimulai
dengan
penghancuran simbol kekuasaan pemerintah
kolonial Jepang di semenanjung tersebut.
Sebelum presiden Kim Young Sam
berbicara, sebuah penderek raksasa menarik
ujung dome dari atas menara yang terbuat
dari batu granit pada sebuah bangunan yang
dibangun pada tahun 1926. Bangunan itu
terletak di bagian tengah dari istana dinasti
Yi, yang ditaklukkan oleh pemerintah Jepang
di tahun 1910. “Presiden Kim mengatakan,
hanya dengan membuka bagian atap dari
bangunan ini, kita dapat secara sungguhsungguh mengembalikan wujud dari istana
Kyongbokkung, hal ini merupakan simbol
kekuasaan yang sangat penting dalam sejarah
nasional kita.” (The Daily Yomiuri, 16
Augustus 1995) (Gambar 1)
(a)
(b)
Gambar 1. Gerbang dari istana kerajaan Kyongbokkung (a) (sumber:
peterchow.com/photos/Korea/Seoul/8-Kyongbokkung-Palace/). Penderek
raksasa yang menarik dome bangunan pusat pemerintahan militer Jepang
di depan istana Kyongbokkung di Korea (b) (sumber: The Daily Yomiuri,
16 Augustus 1995).
4.2 Penolakan Warisan Peninggalan
Perang Dunia di Jepang
Di kota Hiroshima, Jepang, sebuah
kelompok yang terdiri dari 15 organisasi
mengusulkan untuk merubah perundangan
agar mangijinkan Atomic Bomb Dome
untuk direkomendasikan kepada United
Nation (Perserikatan Bangsa Bangsa),
didaftarkan sebagai salah satu warisan
sejarah dunia (world heritage). Perlu
diketahui, bahwa daftar seperti kawasan
bersejarah adalah ditetapkan oleh UNESCO.
Hanya bangunan yang dinominasi akan
dipertimbangkan, dan secara resmi bangunan
itu dilindungi dan dipelihara oleh negara.
Menurut Japan Agency for Cultural Affairs,
kualitas pengakuan dari suatu kawasan
diputuskan di bawah Cultural Properties
(Cagar Budaya), dan hanya kawasan
bersejarah yang tercatat sebelum awal dari
periode Meiji (1868). Pada akhir tahun 50-an
beberapa penduduk Hiroshima mendukung
penghancuran bangunan tersebut untuk
memindahkan kenangan perang dunia. Akan
tetapi, pemerintah kota akhirnya justru
memberikan pendanaan untuk pemeliharaan
Atomic Bomb Dome. (The Daily Yomiuri,
29 Januari 1994) (Gambar 2)
(a)
(b)
Gambar 2. Bangunan Hiroshima Perfectural Industrial Promotion Hall yang dirancang
oleh arsitek Cekoslovakia Jan Letzel sebelum jatuhnya bom atom (a), dan kemudian
bangunan tersebut pada tanggal 6 Agustus 1945 di bom atom dan sekarang menjadi
Hiroshima
Atomic
Bomb
Dome
(b).
(sumber:
www.japanguide/a/html/hiroshima_e.html)
4.3 Penolakan Masyarakat dan Asosiasi
Keagamaan di Jepang
Ketika pemilik dari Kyoto Hotel
membuka
rencana
untuk
mengubah
ketinggian bangunan dari 31 meter (8 lantai)
menjadi 60 meter (16 lantai), masyarakat
dan warga kota Kyoto serta organisasi
keagamaan menolak rencana itu. Hal ini
sebabkan, karena akan merusak lansekap
dan peninggalan sejarah kota Kyoto.
Bahkan, dua kuil terkenal di kota Kyoto,
yaitu
kuil
Kinkaku-ji
dan
kuil
Kiyomizudera, telah memasang papan
pengumuman di depan pintu masuk ke kuil
tersebut. Isi dari pengumuman, adalah
menolak para wisatawan yang menginap di
Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang
mempunyai afiliasi untuk mengunjungi
kedua kuil tersebut. (Gambar 3) Pada kuilkuil
lainnya,
dipasang
papan-papan
pengumuman yang bertuliskan: “kita
menolak bangunan tinggi yang akan
menghancurkan sejarah dan lansekap kota
Kyoto”. Perlu diketahui, bahwa bangunanbangunan yang terdapat di pusat kota Kyoto
sudah sejak dulu dibatasi ketinggianya, yaitu
45 meter. (The Japan Times, 2 Desember
1992) (Gambar 4)
(a)
(b)
Gambar 3. Papan pengumuman di depan kuil Kiyomizudera (a) (sumber: The
Japan Times, 31 Januari 1991), dan kuil Kinkaku-ji (b) menolak para
wisatawan yang menginap di Kyoto Hotel untuk mengunjungi kuil tersebut
(sumber: The Japan Times, 2 Desember 1992).
(a)
(b)
Gambar 4. tahap renovasi bangunan Kyoto Hotel (a) (sumber: The Daily
Yomiuri, 2 Oktober, 1992), bangunan Kyoto Hotel setelah direnovasi
(b) (sumber: www.kyotohotel..co.jp/oike/indek_e.html).
Masih di Jepang, para preservator di
kota Kyoto tidak hanya takut oleh projek
Kyoto Hotel, mereka juga tertarik dengan
rencana pengembangan (redevelopment)
stasiun kota Kyoto. Beberapa responden
pada waktu itu, menolak rencana renovasi,
karena akan menaikkan ketinggian bangunan
menjadi 130 meter. Beberapa responden
lainnya mendukung rencana tersebut, karena
akan membantu menciptakan citra modern
kota Kyoto. Projek setasiun kota Kyoto
mendapat kritik dari asosiasi Buddhis Kyoto,
dan kelompok masyarakat setempat yang
mencari perlindungan terhadap citra dari
kota kuno itu. (The Japan Times, 3 Juli
1992) (Gambar 5)
(a)
(b)
Gambar 5. Maket rencana pembangunan stasiun Kyoto (a) (sumber: The Japan
Times, 3 Juli 1992), dan bangunan stasiun Kyoto setelah selesai, banguna tersebut
dirancang
oleh
arsitek
Hiroshi
Hara
(b)
(sumber:
www.kyotonp.co.jp/kp/english/guide/kyoto_station/kyoto_st1.html).
4.4 Permasalahan Konservasi dan
Wisatawan
Keselamatan bangunan kuno tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
saja, tetapi para wisatawan pun yang
mengunjungi tempat ataupun bangunan
bersejarah juga ikut bertanggung jawab.
Julius John Norwich mengatakan, bahwa
”polusi dari wisatawan tidak hanya akan
menghancurkan bangunan bersejarah saja,
tetapi menghancurkan seluruh atmosfir dari
bangunan itu” (Architecture Record, 3/1991)
Sebagai contoh, ”jika anda berkunjung ke
’Westminster Abbey’ tiga hari sebelum
perayaan Natal akan terlihat seperti
department store dan atmosfir kekhidmatan
dari bangunan itu menjadi hilang” (Gambar
6). Kota Venice di Italy, yang pada suatu
hari di tahun 1987 kedatangan wisatawan
meluap sebanyak 66.000 ribu orang,
sehingga merusak infra struktur kota
tersebut, dan akhirnya penguasa setempat
menutup jalan yang menghubungkan kota
Venice dengan tanah daratan. Di Vatican,
banyak wisatawan yang memadati Sistine
Chapel selama kegiatan sehari-hari dan
menyebabkan
suhu
temperatur
naik
mencapai 41 derajat. (Gambar 7) Naiknya
panas tersebut menyebabkan uap udara naik
sampai ke langit-langit bangunan dan
akbibatnya memproduksi fungus (jamur).
Demikian juga lukisan dalam gua di
Lascaux, Prancis juga ditutup untuk para
wisatawan dengan alasan yang sama
(Gambar 8). Atau ruangan besar sebelah
selatan dari Canterbury Cathedral, sekarang
lebih rendah 1.5 inchi dari dua puluh tahun
yang lalu, akibat dari pijakan kaki para
wisatawan setiap harinya. (Gambar 9)
Menurut World Tourism Organization
yang berada di Madrid menjelaskan, bahwa
industri wisata di dunia meluas sekitar empat
persen
pertahunnya.
Prancis,
adalah
merupakan tempat tujuan dari para
wisatawan yang setahunnya menarik sekitar
60 juta pengunjung. Menurut WTO jumlah
pelancong yang bepergian ke luar negeri
mencapai 528 juta orang, sedangkan prediksi
yang diulakukan oleh organisasi tersebut
untuk tahun 2004 yang lalu saja, jumlahnya
telah mencapai 937 juta orang. Beberapa
tempat wisata terkenal telah menjadi
melimpah jumlahnya, dan pada tahun 1995
WTO telah menyelenggarakan konferensi
internasional di San Marino membahas
masalah bagaimana caranya mengurangi
jumlah dari 3.4 trilyun dollar industri wisata
pertahunnya. Beberapa cara pun telah
dilakukan, seperti pada Montmartre’s SacréCoeur Basilica di Athena, yang akan
mengambil langkah untuk mengurangi
jumlah wisatawan. Contoh lain yang
menarik, adalah kota tua Salsburg yang
melarang bus-bus besar yang membawa
wisatawan untuk masuk ke pusat jantung
kota. Atau para kurator di Giverny di bagian
utara Prancis menolak kunjungan wisatawan
dalam
jumlah
besar
pada
saat
berkembangnya bunga-bunga di taman kota
tersebut.
Gambar 6. Bangunan Westminster Abbey.
Gambar 7. Bangunan Sistine Chapel.
(sumber: www.castlesabbeys.co.uk/
Westminster-Abbey.html)
(sumber:www.wga.hu/tour/sistina/index_a.ht
ml).
Gambar 8. Lukisan dalam gua di
(sumber:
Lascaux,
Prancis.
Gambar 9.
Cathedral.
Bangunan
Canterbury
www.showcaves.com/english/fr/showcaves/l
ascaux.html).
5. KEBIJAKAN DALAM KONSERVASI
PERKOTAAN
Pada tingkat kebijakan (politik), selalu
terdapat konflik terbuka yang objektif antara
kepentingan pusat dan daerah. Seorang
penentu kebijakan
mungkin melihat
bangunan kuno-bersejarah sebagai masalah
dalam mengembanghkan pusat kotanya. Di
samping itu, kepentingan pusat (nasional)
mengakui bahwa bangunan kuno-bersejarah
maupun kawasan bersejarah sebagai salah
satu contoh warisan budaya (cultural
heritage) yang perlu untuk dipertahankan.
Demikian juga bagi pemilik bangunan kuno
bersejarah, tidak pernah memahami bahwa
bangunannya itu dapat memberikan asset.
Perseteruan antara tujuan konservasi
perkotaan dan hasrat modernisasi telah
menjadi masalah serius, dan berakibat pada
sisa-sisa warisan budaya yang semakin
berkurang, terutama di kawasan kota. Dalam
tingkat pelaksanaan, sebaiknya penentu
kebijakan (pemerintah kota) dan perencana
kota dapat bekerjasama untuk menata
kawasan dengan menggunakan peraturan
tanpa menghadirkan permasalahan baru.
Isu kebijakan yang paling utama,
adalah apakah konservasi fisik itu selalu
mempunyai manfaat? Apakah konservasi
sosial itu mempunyai tujuan untuk
memelihara masyarakat yang ada?, dan
harus dijadikan prioritas. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam menangani
masalah konservasi di antaranya:
(1) Teori konservasi, banyak teori-teori
konservasi yang dihasilkan dari
berbagai bentuk pertemuan ilmiah di
berbagai negara, baik dalam konsep
maupun teknis pelaksanaannya belum
sepenuhnya
diadaptasi
dan
dikembangkan dengan baik.
(2) Peraturan
pemerintah
daerah
setempat, masih banyak peraturanperaturan
yang
belum
banyak
dipublikasikan,
terutama
yang
berkaitan dengan konservasi bangunan
kuno-bersejarah maupun kawasan,
sehingga banyak bangunan-bangunan
kuno dengan terpaksa dirobohkan atau
dihancurkan untuk kemudian diganti
dengan bangunan-bangunan baru.
(3) Peraturan
perundangan
Benda
Cagar Budaya, masih terlihat
tumpang-tindih dalam melindungi
masing-masing
bangunan
kuno
maupun kawasan untuk setiap daerah,
baik mengenai usia bangunan, style,
ornamen, bahan, dan sebagainya.
Pada
kenyataannya,
arsitektur
merupakan wakil dari citra kebudayaan
dalam suatu komunitas satu bangsa.
Merupakan bagian dari sejarah dan tradisi
yang telah berlangsung di tempat mereka
berada. Kurokawa (1988) mengatakan,
bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai
sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah
yang dapat kita lihat seperti, bentuk
arsitektur, elemen dekorasi, dan sombolsimbol yang telah ada pada kita. Kemudian
yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat
kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi,
kepercayaan,
keindahan,
dan
pola
kehidupan.
Dengan
demikian,
menghancurkan bangunan kuno-bersejarah
sama halnya dengan menghapuskan salah
satu cermin untuk mengenali sejarah dan
tradisi pada masa lalu. Sebagai sesuatu yang
berdiri di tengah perubahan yang terus
berlangsung, tentu saja bangunan kunobersejarah tak bisa terhindar dari tumbuhnya
banguan baru di kawasannya. Masalahnya
sekarang, adalah bagaimana sebaiknya
menempatkan bangunan baru di kawasan
bersejarah agar di antara bangunan lama dan
baru ada persesuaian?
6. KONSEP DAN PENDEKATAN
DALAM KONSERVASI
Sebagai
konsep
pengembangan,
bangunan kuno bersejarah tidak hanya
mempertimbangkan pada kawasan sekitarnya
saja, tetapi merupakan suatu bagian dari
seluruh
kompleks
bangunan
atau
permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya
penambahan konsep fisik untuk warisan
arsitektur.
Mengacu
dari
beberapa
hasil
pertemuan internasional dapat digunakan
sebagai bahan acuan untuk pelaksanaan
konservasi di Indonesia. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menangani konservasi
antara lain, adalah: Keinginan untuk
menyusun kembali bangunan dengan alasan
kesatuan arsitektural dan seni yang
berhubungan dengan kriteria-kriteria sejarah
dan dapat diputuskan apabila berdasarkan
data-data yang dapat diandalakan, dan bukan
suatu anggapan (Carta del Restauro Italiana
1931, 2). Semua elemen-elemen yang
mempunyai nilai sejarah dan artistik harus
dilestarikan. Mengembalikan ke bentuk
aslinya tanpa memasukkan elemen-elemen
baru (Carta del Restauro Italiana 1931, 5).
Merokomendasikan, bahwa pendidik
harus mendorong anak-anak dan kaum muda
untuk meninggalkan diri merusak bangunan
kuno, dan bahwa mereka harus dididik untuk
lebih tertarik dalam perlindungan bukti-bukti
nyata dari seluruh peradaban (The role of
education in the respect of monuments:
Conclusion of the Athens Conference, 21-30
October 1931, VII. b). Mempertimbangkan
agar institusi-institusi dan asosiasi-asosiasi
diberikan kesempatan untk meleburkan
keinginannya ke dalam pekerjaan konservasi
(The conservation of monuments and
international collaboration: Conclusion of
the Athens Conference, 21-30 October
1931).
Konservasi dan restorasi dari bangunan
kuno harus mempunyai pernaungan bagi
segala ilmu dan teknik yang dapat
disumbangkan untuk studi dan perlindungan
warisan arsitektur (Article 2. Definitions:
Venice Charter 1964, ICOMOS). Konservasi
dan pengungkapan nilai sejarah dan
keindahan dari bangunan kuno, adalah
berdasar atas bahan dan dokumen yang asli.
Pada beberapa kasus restorasi harus
didahului dan diikuti dengan studi arkeologi
dan sejarah (Article 9. Restoration: Venice
Charter 1964, ICOMOS).
Program preservasi yang dilakukan
oleh pemerintah Amerika yang dipelopori
oleh senator Wyche Fowler dengan
’National Historic Amandment Act’
mempunyai tujuan untuk memperkuat
program pendidikan preservasi dan apresiasi
serta teknik restorasi, dan membentuk badan
yang diberi nama ’National Center for
Preservation Technology’ sebagai bagian
dari Departemen Dalam Negeri. Program ini
digharapkan dapat mempertegas kembali
kewenangan pemerintah federal dalam
mempreservasi bangunan; mempertegas
pemerintah di dalam perlindungan hak milik
bersejarah; menambah program untuk
menyelamatkan arkeologi; dan membuat
peraturan preservasi secara nasional guna
penyelamatan
bangunan
bersejarah
(Architectural Record, 3/1991). Ternyata
program ini sangat penuh pengertian, dalam
arti terlihat adanya kerjasama dan konsultasi
secara langsung antara bagian preservasi
bangunan bersejarah dengan pemerintah
federal di dalam membantu projek-projek
rehabilitasi.
Kiranya perlu dipahami dan diikuti,
bahwa perkembangan peraturan konservasi
sudah beranjak dari sekitar konservasi
bangunan, benda-benda bersejarah atau
kawasan saja. Akan tetapi, mencakup suatu
kawasan kota yang ditetapkan sebagai
kawasan yang dikonservasi. Nampaknya,
perlu juga dikembangkan dengan lebih luas
lagi melalui “intangible cultural properties.”
Seperti, konservasi seni tradisional (tarian,
musik dan teater) serta kerajinan (tenun,
keramik, perak, dan sebagainya), yang
mempunyai nilai seni dan sejarah yang
tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan, adalah
dengan cara mengembangkan seluruh
wilayah sebagai museum hidup, atau dengan
istilah lain, adalah “ecological museum” atau
”ecomuseum”. Diwujudkan melalui tiga
elemen, yaitu warisan, partisipasi, dan
museum, ketiga hal itu harus seimbang.
Untuk warisan akan mewakili alam dan
budaya, serta industri tradisionil pada
wilayah yang telah diberikan. Kemudian,
demi masa depan mereka perlu adanya
partisipasi dari penduduk setempat dalam
operasional dan menejemennya. Terakhir,
adalah museum itu sendiri, dapat dipakai
sebagai fungsi dari konservasi alam dengan
tradisi-tradisinya yang dapat ditampilkan
sebagai sebuah wilayah yang dikonservasi.
(Ohara, 1998:26) Pada saat ini, projek-projek
ecomuseum dilakukan dengan berbagai
macam tema dan tidak terbatas pada
lingkungan
alam,
dan
telah
diimplementasikan pada beberapa wilayah di
Jepang. Di antara tema-tema tersebut adalah,
”agriculture” (di kota Tomiura, provinsi
Chiba), “health education based on medical
herbs” (di kota Shimabara, provinsi
Nagasaki), “villa resort culture” (di kota
Kairuizawa, provinsi Nagano) dan “Spiritual
Home: Ihatov” (di kota Towa, provinsi
Iwate). Agar masyarakat setempat tidak
menganggap ”ecomuseum” sebagai projek,
maka beberapa aktivitas komunitas lokal
yang menarik, dengan elemen-elemen yang
bermutu, banyak di temukan di beberapa
wilayah di Jepang. Penduduk lokal pun
berusaha untuk melindungi tanah dan
pegunungannya, dan mengkampanyekan
preservasi
untuk
rumah-rumah
tradisionalnya.
7.
KONSERVASI
TERINTEGRASI
YANG
Perencanaan konservasi perkotaan
yang terintegrasi harus diprogramkan
sebagai proses yang secara fundamental
berdasar pada pengertian dan kejelasan dari
nilai dan kehidupan dalam komunitas
perkotaan, dan hubungan mereka pada
sistem, kekuatan, dan aktor
yang
membangkitkan
perubahan.
Hal
ini
merupakan aktivitas langsung pada kegiatan
nyata, dan bagaimana saran dan perencanaan
solusi harus diformulasikan yang berdasar
pada kelangsungan hidup mereka, dan
kemungkinan implementasinya. Usulan
harus jelas dalam waktu, mengakar pada
budaya, ekonomi, dan struktur politik dari
masyarakat perkotaan. Proses perencanaan
konservasi terdiri dari beberapa fase,
termasuk (Zancheti & Jokilehto, 19??): a)
analisa dan penilaian; b) persiapan dari
alternatif solusinya; c) negosiasi dan
implementasi; serta d) monitoring dan
kontrol.
Kemudian ada tujuh prinsip dalam
konservasi perkotaan yang berkelanjutan di
antaranya:
1. merupakan sebuah proses bukan
sebuah projek;
2. konservasi
membutuhkan
keseimbangan dalam pengembangan
dan kebutuhan penghuni;
3. merupakan gabungan jangka-panjang
yang
berkelanjutan:
sosial
(=
penghuni); ekonomi (= skala-kecil
perusahaan setempat); budaya (=
konservasi); dan ekologi (= sumber
daya alam–kesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan
melalui pro-aktif dan program yang
mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni
merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari
stakeholders termasuk komunitas
setempat; dan
7. pengembangan projek skala besar
harus dihindari.
Pada kenyataannya, semua akan
tergantung pada keistimewaan dari masing-
masing kawasan perkotaan. Pemerintah
daerah, pedagang, pengembang, kalangan
atas, golongan menengah, pekerja dan kaum
miskin, berlomba untuk mencari tempat atau
lahan kosong, atau berpindah untuk mencarai
kawasan
yang
hijau.
Pedagang
menginginkan
modernisasi,
bangunan
mewah, efisiensi, dan adanya pencapaian
yang baik ke suatu kawasan; pamuda,
golongan atas dan menengah serta anakanak, ingin tinggal di tempat mereka dapat
melakukan aktifitasnya; pihak pemerintah
kota, menginginkan untuk menarik pajak
berdasarkan
tempat
mereka
berada;
wisatawan menginginkan kebersihan dari
kawasan bersejarah dan hotel-hotel yang
menyenangkan. Dalam kebijakan konservasi,
pertanyaannya adalah, tidak hanya pada
konservasi fisiknya saja, tetapi kepunyaan
siapa kawasan itu akan dikonservasi?
Siapakah penduduk sekitar kawasan itu?
Penduduk yang mana?
Penggabungan antara kelompok yang
berbeda sangat tergantung pada isu dan
keadaan di antaranya, adalah (Gambar 10):
(1) Dalam beberapa kasus dewan kota dan
badan pengembangan masyarakat,
mempunyai pekerjaan mempromosikan
dana untuk pengembangan kawasan
bersejarah di kota-kota, dan juga pada
kelompok masyarakat miskin;
(2) Kepentingan
dari
pedagang,
pengembang rumah mewah dan
pemilik
tanah
yang
saling
berkompetisi,
seharusnya
mereka
membentuk koalisi yang terbuka;
(3) Para pemerhati konservasi dan
kelompok
masyarakat,
sambil
mengikuti tujuan-tjuan yang berbeda,
sewaktu-waktu
dapat
saling
dikombinasikan untuk pengembangan
kawasan bersejarah; dan
(4) Para akademisi dan pengelola cagar
budaya harus dapat mengintegrasikan
antara perundangan cagar budaya dan
kajian ilmiah untuk konservasi
bangunan maupun kawasan. Dengan
demikian, kebijakan yang dihasilkan
merupakan pertimbangan dari tinjauan
sisi
sejarah
arsitektur
maupun
perkotaan. Konsep konservasi dapat
dipertanggung-jawabkan
secara
akademis, dan dapat memberikan
sumbangan pada pengelola cagar
budaya dalam memutuskan atau
menentukan
bangunan
maupun
kawasan bersejaarh sebagai tempat
yang dilindungi dan dikonservasi.
Pengelola Cagar
Budaya
Pemilik Bangunan
Kuno-Bersejarah
Akademisi/Institusi
Kesepakatan
Konservasi
LSM/Pemerhati
Konservasi
Pemerintah
Kota/Kabupaten
Pengusaha
Gambar 10. Keterkaitan di dalam konservasi bangunan dan kawasan bersejarah.
Memang perlu diambil sikap yang
bijaksana untuk dapat memilih mana warisan
budaya yang perlu dilindungi dan mana yang
tidak, sehingga tidak mempunyai kesan
bahwa langkah konservasi ini hanya
membabibuta dan tidak efisien. Hal di atas,
sudah sesuai dengan penjelasan dalam Bab
X Pasal 92 UU Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintah Daerah ayat (1),
pemerintah daerah perlu memfasilitasi
pembentukan forum perkotaan untuk
menciptakan sinergi pemerintah daerah,
masyarakat, dan pihak swasta. Kemudian
pada ayat (2) ditegaskan bahwa, yang
dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat
adalah pengikut sertaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemilikan.
8. KESIMPULAN
Bahwa pekerjaan merancang bangunan
atau merencanakan suatu kota harus
mempertimbangakan keharmonisan antar
bangunan dan kawasan barunya. Dengan
demikian,
diharapkan
adanya
kesinambungan antar bangunan baru dengan
kawasan lamanya. Konservasi perkotaan
atau bangunan, adalah penting karena dapat
memberikan identitas atau karakteristik dari
suatu kota terhadap sejarah masa lalunya.
Konservasi yang terintegrasi harus
dibuat
secara
penuh
dari
seluruh
perundangan dan peraturan yang ada, dan
tentunya dapat disumbangkan untuk
melindungi dan mengkonservasi warisan
arsitektur. Seperti peraturan perundangan
yang ada, adalah belum cukup untuk tujuan
tersebut. Oleh karena itu, dalam otonomi
daerah sekarang ini, perlu ditambahkan
dengan menyediakan instrumen yang sesuai
dengan perundangan, baik pada tingkat
nasional, regional maupun lokal (daerah).
Dimaksudkan, adalah melaksanakan suatu
kebijakan konservasi yang lebih terintegrasi
dengan
membentuk
staf
pelayanan
administrasinya.
Sudah
sepantasnya
masyarakat diberitahu, karena mereka berhak
atas partisipasinya di dalam memutuskan
kawasannya.
Para
akademisi
perlu
untuk
mempertebal kepeduliannya akan hal
konservasi
bangunan
dan
kawasan.
Hendaknya mulai menyusun inventarisasi
bangunan di kawasannya dan kemudian
meminta pemerintah darah setempat untuk
membuat surat keputusan atau kalu bisa
perda dengan otonomi yang kuat untuk
melindungi bangunan dan kawasannya,
lengkap dengan pendanaan konservasinya.
Dengan demikian, di satu sisi, kontrol
terhadap pemerintah daerah dan pengelola
cagar budaya sebagai penyelenggara dengan
segenap peraturannya akan berlangsung
lebih efektif. Pada sisi lain, mereka akan
dengan otomatis menjaga apa yang menjadi
kepentingan bersama itu dari kerusakan.
Prinsip kerjasma pemerintah setempat,
pengelola cagar budaya, akademisi, lembaga
swadaya masyarakat, pemerhati konservasi
serta pengusaha, dapat dijadikan sebagai
jaminan jalan ke luar bahwa arsitektur dan
perkotaan bersejarah merupakan ekspresi
jatidiri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
______, (1991). Mayority of Kyoto residents
oppose skyscraper proposals,
survey says, The Japan Times,
January 31. 1991
______, (1992). Kyoto temples ‘ban’ guests
of hotel planning high-rise, The
Japan Times, December 2. 1992
______, (1993). Plan for taller buildings
divides citizens of Kyoto, The
Daily Yomiuri, October 2, p. 2.
______, (1994). Group lobbies for Atomic
Bomb Dome world heritage site,
The Daily Yomiuri, January 29.
______, (1995). S. Korea starts razing
colonial symbol, The Daily
Yomiuri, August 16.
______, (1999). Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah, Surabaya: Karya Utama.
Antariksa, (1996). Conservation of Colonial
Architecture: How to Save Our
Architectural Heritage in Malang,
presented at Fifth International
Symposium and Workshop of
Asia and West Pacific Network
for
Urban
Conservation,
Yogyakarta,
September
28October 1., pp. IV/12 – IV/24.
Antariksa,
(1997). Urban Conservation
General Approaches to Save the
Architectural Heritage, presented
at the International Symposium
on Saving Our City Environment
Towards
Anticipating
Urbanisation Impacts in the 21st
Century, Malang, September 8-9.
Appleyard D. (1979). The Conservation of
Europe Cities, ed., London: The
MIT Press.
Eder C. (1986). Our Architectural Heritage:
From
Consciousness
to
Conservation,
translated
by
Professor Ayler Bakkalciouglu,
United Kingdom: Unesco.
Jokilehto, J. (1995). Cultural heritage:
Diversity
and
Authenticity,
Journal of the Society of
Architectural
Historians
of
Japan, No. 24, March, 1995, pp.
iv- xi.
Kurokawa, K. (1988). Rediscovering
Japanese
Space,
Tokyo:
Kodansha.
Larsen
K.E.
(1994).
Architectural
Preservation in Japan, ICOMOS
International Wood Committee,
Trondheim: Tapir Publishers.
Marquis-Kyle, P. and Walker, M. (1996).
The
Illustrated
BURRA
CHARTER, Mking good decisions
about the care of important
places, Australia: ICOMOS.
Ohara, K. (1998). The Image of
’Ecomuseum’ in Japan, Pacific
Friend, A Window on Japan,
April. Vol. 25 No. 12. pp. 26-27.
Raj Ishar, Y. (1986). The Challenge to Our
Cultural Heritage, Washington
DC: Unesco and Smithsonian
Institution Press.
Sidharta dan Budihardjo, E. (1989).
Konservasi Lingkungan dan
Bangunan Kuno Besejarah Di
Surakarta, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tunggul, Hadi S. 1997. Peraturan
Perundang-Undangan
tentang
Benda Cagar Budaya, Jakarta:
Harvarindo.
Zancheti, S.M., and Jokilehto, J. (19--).
Reflection
on
Integrated
Conservation Planning.
Kristen Indonesia, Vol. 15, No. 1, Februari 2005. hlm. 64-78. ISSN: 0853-9723.
PERMASALAHAN KONSERVASI
DALAM ARSITEKTUR DAN PERKOTAAN1
Antariksa2
Abstrak
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan pemahaman mengenai konservasi baik dari
sisi arsitektur maupun perkotaan, dan beberapa masalah yang harus dihadapi dalam
pelaksanaannya dengan melihat beberapa kasus di negara lain. Hal ini diperlukan, karena
pemahaman pengertian konservasi baik dalam tataran konsep maupun pelaksanaan di
lapangan masih dihadapkan dengan kendala dan permasalahan yang begitu luas. Dengan
demikian, dalam menentukan masa depan sebuah kawasan bersejarah perlu pemahaman
historis dan arsitekturalnya, sehingga makna kultural yang berupa: nilai keindahan, sejarah,
keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa mendatang akan
dapat terpelihara. Agar kebijakan dan strategi konservasi dalam arsitektur dan perkotaan
dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka perlu adanya kerjasama dengan
pemerintah kota, pemerhati konservasi, lembaga swadaya masyarakat, akademisi,
pengusaha, pemilik bangunan kuno-bersejarah, dan pengelola benda cagar budaya.
Kata kunci: konservasi, arsitektur, perkotaan
Abstract
The purpose of this paper is to extend an understanding about the urban conservation
and architecture, and a number of problems, which must be facing in the realization by
referring to various cases in other countries. It is essential, cause of consideration of
conservation meaning which on the level of conception though field implementation still
facing with the constraint and extensive problems. Thus, in making a definite on the future of
historical area is require to recognize the history and architecture, and then the cultural
meaning which in the form of aesthetic value, history, science or social value for the past,
present, and future generation can be protecting. In order to the policy and strategy of
conservation in architecture and urban, it can be carry out through cooperation with the
local government, conservation observer, non government office, academic, entrepreneur,
owner of historical building, and manager of cultural properties.
Key words: conservation, architecture, urban
1
2
Ditulis untuk Jurnal Sains dan Teknologi EMAS
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur dan Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1. PENDAHULUAN
Konservasi dalam bangunan maupun
arsitektur perkotaan merupakan salah satu
daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan
terpeliharanya
satu
bangunan
kunobersejarah pada suatu kawasan akan
memberikan ikatan kesinambungan yang
erat, antara masa kini dan masa lalu. Seorang
ahli hukum dari Universitas Kopenhagen,
Denmark, JJA Worsaae pada abad ke-19
mengatakan, ”bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak hanya melihat masa kini
dan masa mendatang, tetapi mau berpaling
ke masa lampau untuk menyimak perjalanan
yang dilaluinya. Hal senada juga pernah
diungkapkan oleh seorang filosuf Aguste
Comte dengan ”Savoir Pour Prevoir”, yang
diartikan sebagai mempelajari masa lalu,
melihat masa kini, untuk menentukan masa
depan. Melihat hal tersebut, maka masa lalu
yang diungkapkan dengan keberadaan fisik
dari bangunan kuno-bersejarah akan ikut
menentukan dan memberikan identitas yang
khas bagi suatu kawasan perkotaan di masa
mendatang.
Di
dalam
menangani
masalah
konservasi bangunan maupun kawasan,
masih banyak yang belum memperhatikan
beberapa faktor yang saling terkait dengan
masalah konservasi. Di antaranya adalah,
teori konservasi, peraturan pemerintah
daerah, peraturan perundang-undangan
tentang cagar budaya, dan pembelajaran dari
beberapa kasus yang terdapat di negara lain.
Hal itu perlu dipahami oleh semua pihak
sebagai dasar dalam pelaksanaan konservasi.
Terutama digunakan untuk melihat kondisi
bangunan dan kawasan bersejarah pada saat
ini. Dengan demikian, tujuan konservasi
tidak semata untuk meningkatkan mutu
kawasan kota secara fisik saja, tetapi juga
untuk menjaga stabilitas perkembangan
kawasan atau bangunan itu sendiri.
Ada beberapa pertanyaan yang
seharusnya diajukan kalau kita ingin
bergerak ke arah penyelesaian masalah dan
harus harus diajukan (1) Apa yang ingin kita
konservasi? (Bangunan?, Karakter kota?,
Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin
mengkonservasi?
(Karena
aspek-aspek
tersebut merupakan bagian dari warisan
kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan
penduduk?, Untuk menarik uang dari
wisatawan?); dan (3) Untuk siapa kita
lakukan konservasi? (Pengguna saat ini?,
Keseluruhan negara?, Warisan umat
manusia?). (Raj Ishar, 1986)
2. PEMAHAMAN DAN PENGERTIAN
MENGENAI
KONSERVASI
DAN
PRESERVASI
Istilah “konservasi kota” sedikit telah
mengalami perubahan, kemudian muncul
dengan istilah baru, yaitu “bangunan kunobersejarah”. Istilah konservasi dan preservasi
itu sendiri, telah digunakan dengan berbagai
macam
pengertian.
Preservation
(preservasi): adalah sejenis campur tangan
(intervensi) yang mempunyai tujuan untuk
melindungi dan juga memperbaiki bangunan
bersejarah. Kata preservation umumnya
digunakan di Amerika (USA). Conservation
(konservasi),
adalah
tindakan
untuk
memelihara sebanyak mungkin secara utuh
dari bangunan bersejarah yang ada, salah
satunya dengan cara perbaikan tradisional,
atau dengan sambungan baja, dan atau
dengan
bahan-bahan
sintetis.
Kata
conservation digunakan di UK dan Australia.
(Larsen, 1994)
Pendapat lain mengenai preservasi,
adalah upaya preservasi sesuatu tempat
persis seperti keadaan aslinya tanpa adanya
perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran, sedangkan konservasi, adalah
upaya untuk mengkonservasi bangunan,
mengefisienkan penggunaan dan mengatur
arah perkembangan di masa mendatang.
Dalam Piagam Burra (Marquis-Kyle &
Walker, 1996), pengertian konservasi dapat
meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat
dan dapat pula mencakup: preservasi,
restorasi,
rekonstruksi,
adaptasi
dan
revitalisasi.
Sebenarnya, istilah “bangunan kuno”
telah digunakan dalam arti yang luas untuk
menunjukkan bangunan-bangunan, baik
objek tidak bergerak, permukiman, area
bersejarah, artistik, arsitektur, sosial, budaya
maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah
“perlindungan
bangunan
kuno”
menunjukkan adanya variasi dari aktivitas
yang terlibat di dalamnya, sebagai contoh,
restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi
dan
konservasi.
Dengan
demikian,
konservasi dalam lingkup bangunan dan
perkotaan, adalah semua proses untuk
memelihara bangunan atau kawasan
sedemikian rupa, sehingga makna kultural
yang berupa: nilai keindahan, sejarah,
keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi
lampau, masa kini dan masa mendatang akan
dapat terpelihara.
3.
SEJARAH
PERKEMBANGAN
BADAN INTERNASIONAL UNTUK
KONSERVASI
Ada beberapa aspek penting dalam
konservasi yang seharusnya perlu diketahui
dengan
adanya
beberapa
badan
internasional. Bahwa sebenarnya, peraturan
untuk perlindungan dari bangunan dan benda
kuno telah dimulai semenjak abad ke-15 di
Italy. Kemudian, pada abad ke-19 beberapa
negara
telah
membuat
peraturan
perundangan, dan melakukan langkahlangkah administrasi untuk melindungi
warisan budayanya (cultural heritage).
Seperti, Church State (1802), Yunani (1834),
Prancis (1869), Inggris 1882), dan Jepang
(1897).
Pada akhir perang dunia ke-2, tahun
1945, League of Nation (perhimpunan
bangsa-bangsa) telah dibentuk sebagai
United Nation. Kemudian, International
Institute of Co-operation sebagai UNESCO
(United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization), dan International
Museum Office sebagai ICOM (International
Council on Museum). Pada tahun 1956,
UNESCO
melahirkan
pusat
studi
internasional untuk konservasi dan restorasi
cagar budaya, dan sekarang bernama
ICCROM.
Pada
tahun
1965,
diselengggarakan
konperensi
untuk
berdirinya
International
Council
on
Monuments and Sites, sebagai ICOMOS.
Akhirnya, organisasi di atas berkembang
menjadi empat badan (lembaga) penting
tersebar diseluruh dunia, dan hanya
berhubungan
dengan
permasalahan
konservasi warisan budaya. UNESCO dan
ICCROM
menjadi
inter-governmental
(antar-pemerintah
dan
kebijakankebijakannya
diputuskan
oleh
para
anggotanya). ICOM dan ICOMOS menjadi
non-governmental (non-pemerintah yang
anggotanya adalah individu atau organisasi).
Terutama dalam konggres internasional ke-2
dari para arsitek dan teknisi bangunan kuno
bersejarah
di
Venice,
menghasilkan
dokumen yang diberi nama “Venice Charte”.
Semenjak itu, digunakan sebagai petunjuk
dasar untuk menangani masalah konservasi.
Di Eropa pada waktu itu, “Venice Charte”
menjadi bagian dari perdebatan lama yang
berkaitan dengan pendekatan konservasi
untuk warisan budaya. Perbedaan pendapat
yang terjadi, sebenarnya dapat terlihat
melalui dua tahapan wilayah, yang dicirikan
oleh
Jokilehto
(1995)
sebagai:
1)
“pergerakan konservasi”, ide-ide yang
berkembang pada akhir abad ke-19, hanya
menekankan keaslian bahan dan nilai
dokumentasi; dan 2) “teori konservasi
modern”, didasarkan pada penilaian kritis
pada bangunan kuno bersejarah yang
berhubungan dengan keaslian, keindahan,
sejarah, dan penggunaan nilai-nilai lainnya.
Kemudian pada tahun 1976, ICOMOS
Australia memulai meninjau kembali
kegunaan “Venice Charte”. Pertemuan
tersebut mengambil tempat di dekat kota
pertambangan Burra di Australia Selatan,
dan selanjutnya hasil dari pertemuan itu
diberi nama “Burra Charter” (Piagam Burra).
Secara umum mereka dapat menerima
konsep dari “Venice Charte”, hanya bentuk
penulisannya dibuat sedemikian rupa,
sehingga dapat digunakan dan dipraktekkan
di Australia. (Marquis-Kyle & Walker, 1996)
Di samping hal tersebut di atas,
Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Untuk pelaksanaannya telah ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1993, mengenai Benda Cagar
Budaya. Di dalamnya dijelaskan, bahwa
yang dimaksud dengan Cagar Budaya,
adalah benda buatan manusia, bergerak atau
tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisasisanya, yang berumur sekurang-kurangnya
50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa
gaya yang khas dan mewakili dan mewakili
masa gaya yang sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. (Tunggul,
1997)
4.
BEBERAPA
KASUS
DALAM
KONSERVASI
4.1 Penghancuran Simbol Kekuasaan di
Korea
Pada tahun 1995, pemerintah Korea
Selatan memperingati akhir dari perang
dunia
ke-2,
yang
dimulai
dengan
penghancuran simbol kekuasaan pemerintah
kolonial Jepang di semenanjung tersebut.
Sebelum presiden Kim Young Sam
berbicara, sebuah penderek raksasa menarik
ujung dome dari atas menara yang terbuat
dari batu granit pada sebuah bangunan yang
dibangun pada tahun 1926. Bangunan itu
terletak di bagian tengah dari istana dinasti
Yi, yang ditaklukkan oleh pemerintah Jepang
di tahun 1910. “Presiden Kim mengatakan,
hanya dengan membuka bagian atap dari
bangunan ini, kita dapat secara sungguhsungguh mengembalikan wujud dari istana
Kyongbokkung, hal ini merupakan simbol
kekuasaan yang sangat penting dalam sejarah
nasional kita.” (The Daily Yomiuri, 16
Augustus 1995) (Gambar 1)
(a)
(b)
Gambar 1. Gerbang dari istana kerajaan Kyongbokkung (a) (sumber:
peterchow.com/photos/Korea/Seoul/8-Kyongbokkung-Palace/). Penderek
raksasa yang menarik dome bangunan pusat pemerintahan militer Jepang
di depan istana Kyongbokkung di Korea (b) (sumber: The Daily Yomiuri,
16 Augustus 1995).
4.2 Penolakan Warisan Peninggalan
Perang Dunia di Jepang
Di kota Hiroshima, Jepang, sebuah
kelompok yang terdiri dari 15 organisasi
mengusulkan untuk merubah perundangan
agar mangijinkan Atomic Bomb Dome
untuk direkomendasikan kepada United
Nation (Perserikatan Bangsa Bangsa),
didaftarkan sebagai salah satu warisan
sejarah dunia (world heritage). Perlu
diketahui, bahwa daftar seperti kawasan
bersejarah adalah ditetapkan oleh UNESCO.
Hanya bangunan yang dinominasi akan
dipertimbangkan, dan secara resmi bangunan
itu dilindungi dan dipelihara oleh negara.
Menurut Japan Agency for Cultural Affairs,
kualitas pengakuan dari suatu kawasan
diputuskan di bawah Cultural Properties
(Cagar Budaya), dan hanya kawasan
bersejarah yang tercatat sebelum awal dari
periode Meiji (1868). Pada akhir tahun 50-an
beberapa penduduk Hiroshima mendukung
penghancuran bangunan tersebut untuk
memindahkan kenangan perang dunia. Akan
tetapi, pemerintah kota akhirnya justru
memberikan pendanaan untuk pemeliharaan
Atomic Bomb Dome. (The Daily Yomiuri,
29 Januari 1994) (Gambar 2)
(a)
(b)
Gambar 2. Bangunan Hiroshima Perfectural Industrial Promotion Hall yang dirancang
oleh arsitek Cekoslovakia Jan Letzel sebelum jatuhnya bom atom (a), dan kemudian
bangunan tersebut pada tanggal 6 Agustus 1945 di bom atom dan sekarang menjadi
Hiroshima
Atomic
Bomb
Dome
(b).
(sumber:
www.japanguide/a/html/hiroshima_e.html)
4.3 Penolakan Masyarakat dan Asosiasi
Keagamaan di Jepang
Ketika pemilik dari Kyoto Hotel
membuka
rencana
untuk
mengubah
ketinggian bangunan dari 31 meter (8 lantai)
menjadi 60 meter (16 lantai), masyarakat
dan warga kota Kyoto serta organisasi
keagamaan menolak rencana itu. Hal ini
sebabkan, karena akan merusak lansekap
dan peninggalan sejarah kota Kyoto.
Bahkan, dua kuil terkenal di kota Kyoto,
yaitu
kuil
Kinkaku-ji
dan
kuil
Kiyomizudera, telah memasang papan
pengumuman di depan pintu masuk ke kuil
tersebut. Isi dari pengumuman, adalah
menolak para wisatawan yang menginap di
Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang
mempunyai afiliasi untuk mengunjungi
kedua kuil tersebut. (Gambar 3) Pada kuilkuil
lainnya,
dipasang
papan-papan
pengumuman yang bertuliskan: “kita
menolak bangunan tinggi yang akan
menghancurkan sejarah dan lansekap kota
Kyoto”. Perlu diketahui, bahwa bangunanbangunan yang terdapat di pusat kota Kyoto
sudah sejak dulu dibatasi ketinggianya, yaitu
45 meter. (The Japan Times, 2 Desember
1992) (Gambar 4)
(a)
(b)
Gambar 3. Papan pengumuman di depan kuil Kiyomizudera (a) (sumber: The
Japan Times, 31 Januari 1991), dan kuil Kinkaku-ji (b) menolak para
wisatawan yang menginap di Kyoto Hotel untuk mengunjungi kuil tersebut
(sumber: The Japan Times, 2 Desember 1992).
(a)
(b)
Gambar 4. tahap renovasi bangunan Kyoto Hotel (a) (sumber: The Daily
Yomiuri, 2 Oktober, 1992), bangunan Kyoto Hotel setelah direnovasi
(b) (sumber: www.kyotohotel..co.jp/oike/indek_e.html).
Masih di Jepang, para preservator di
kota Kyoto tidak hanya takut oleh projek
Kyoto Hotel, mereka juga tertarik dengan
rencana pengembangan (redevelopment)
stasiun kota Kyoto. Beberapa responden
pada waktu itu, menolak rencana renovasi,
karena akan menaikkan ketinggian bangunan
menjadi 130 meter. Beberapa responden
lainnya mendukung rencana tersebut, karena
akan membantu menciptakan citra modern
kota Kyoto. Projek setasiun kota Kyoto
mendapat kritik dari asosiasi Buddhis Kyoto,
dan kelompok masyarakat setempat yang
mencari perlindungan terhadap citra dari
kota kuno itu. (The Japan Times, 3 Juli
1992) (Gambar 5)
(a)
(b)
Gambar 5. Maket rencana pembangunan stasiun Kyoto (a) (sumber: The Japan
Times, 3 Juli 1992), dan bangunan stasiun Kyoto setelah selesai, banguna tersebut
dirancang
oleh
arsitek
Hiroshi
Hara
(b)
(sumber:
www.kyotonp.co.jp/kp/english/guide/kyoto_station/kyoto_st1.html).
4.4 Permasalahan Konservasi dan
Wisatawan
Keselamatan bangunan kuno tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
saja, tetapi para wisatawan pun yang
mengunjungi tempat ataupun bangunan
bersejarah juga ikut bertanggung jawab.
Julius John Norwich mengatakan, bahwa
”polusi dari wisatawan tidak hanya akan
menghancurkan bangunan bersejarah saja,
tetapi menghancurkan seluruh atmosfir dari
bangunan itu” (Architecture Record, 3/1991)
Sebagai contoh, ”jika anda berkunjung ke
’Westminster Abbey’ tiga hari sebelum
perayaan Natal akan terlihat seperti
department store dan atmosfir kekhidmatan
dari bangunan itu menjadi hilang” (Gambar
6). Kota Venice di Italy, yang pada suatu
hari di tahun 1987 kedatangan wisatawan
meluap sebanyak 66.000 ribu orang,
sehingga merusak infra struktur kota
tersebut, dan akhirnya penguasa setempat
menutup jalan yang menghubungkan kota
Venice dengan tanah daratan. Di Vatican,
banyak wisatawan yang memadati Sistine
Chapel selama kegiatan sehari-hari dan
menyebabkan
suhu
temperatur
naik
mencapai 41 derajat. (Gambar 7) Naiknya
panas tersebut menyebabkan uap udara naik
sampai ke langit-langit bangunan dan
akbibatnya memproduksi fungus (jamur).
Demikian juga lukisan dalam gua di
Lascaux, Prancis juga ditutup untuk para
wisatawan dengan alasan yang sama
(Gambar 8). Atau ruangan besar sebelah
selatan dari Canterbury Cathedral, sekarang
lebih rendah 1.5 inchi dari dua puluh tahun
yang lalu, akibat dari pijakan kaki para
wisatawan setiap harinya. (Gambar 9)
Menurut World Tourism Organization
yang berada di Madrid menjelaskan, bahwa
industri wisata di dunia meluas sekitar empat
persen
pertahunnya.
Prancis,
adalah
merupakan tempat tujuan dari para
wisatawan yang setahunnya menarik sekitar
60 juta pengunjung. Menurut WTO jumlah
pelancong yang bepergian ke luar negeri
mencapai 528 juta orang, sedangkan prediksi
yang diulakukan oleh organisasi tersebut
untuk tahun 2004 yang lalu saja, jumlahnya
telah mencapai 937 juta orang. Beberapa
tempat wisata terkenal telah menjadi
melimpah jumlahnya, dan pada tahun 1995
WTO telah menyelenggarakan konferensi
internasional di San Marino membahas
masalah bagaimana caranya mengurangi
jumlah dari 3.4 trilyun dollar industri wisata
pertahunnya. Beberapa cara pun telah
dilakukan, seperti pada Montmartre’s SacréCoeur Basilica di Athena, yang akan
mengambil langkah untuk mengurangi
jumlah wisatawan. Contoh lain yang
menarik, adalah kota tua Salsburg yang
melarang bus-bus besar yang membawa
wisatawan untuk masuk ke pusat jantung
kota. Atau para kurator di Giverny di bagian
utara Prancis menolak kunjungan wisatawan
dalam
jumlah
besar
pada
saat
berkembangnya bunga-bunga di taman kota
tersebut.
Gambar 6. Bangunan Westminster Abbey.
Gambar 7. Bangunan Sistine Chapel.
(sumber: www.castlesabbeys.co.uk/
Westminster-Abbey.html)
(sumber:www.wga.hu/tour/sistina/index_a.ht
ml).
Gambar 8. Lukisan dalam gua di
(sumber:
Lascaux,
Prancis.
Gambar 9.
Cathedral.
Bangunan
Canterbury
www.showcaves.com/english/fr/showcaves/l
ascaux.html).
5. KEBIJAKAN DALAM KONSERVASI
PERKOTAAN
Pada tingkat kebijakan (politik), selalu
terdapat konflik terbuka yang objektif antara
kepentingan pusat dan daerah. Seorang
penentu kebijakan
mungkin melihat
bangunan kuno-bersejarah sebagai masalah
dalam mengembanghkan pusat kotanya. Di
samping itu, kepentingan pusat (nasional)
mengakui bahwa bangunan kuno-bersejarah
maupun kawasan bersejarah sebagai salah
satu contoh warisan budaya (cultural
heritage) yang perlu untuk dipertahankan.
Demikian juga bagi pemilik bangunan kuno
bersejarah, tidak pernah memahami bahwa
bangunannya itu dapat memberikan asset.
Perseteruan antara tujuan konservasi
perkotaan dan hasrat modernisasi telah
menjadi masalah serius, dan berakibat pada
sisa-sisa warisan budaya yang semakin
berkurang, terutama di kawasan kota. Dalam
tingkat pelaksanaan, sebaiknya penentu
kebijakan (pemerintah kota) dan perencana
kota dapat bekerjasama untuk menata
kawasan dengan menggunakan peraturan
tanpa menghadirkan permasalahan baru.
Isu kebijakan yang paling utama,
adalah apakah konservasi fisik itu selalu
mempunyai manfaat? Apakah konservasi
sosial itu mempunyai tujuan untuk
memelihara masyarakat yang ada?, dan
harus dijadikan prioritas. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam menangani
masalah konservasi di antaranya:
(1) Teori konservasi, banyak teori-teori
konservasi yang dihasilkan dari
berbagai bentuk pertemuan ilmiah di
berbagai negara, baik dalam konsep
maupun teknis pelaksanaannya belum
sepenuhnya
diadaptasi
dan
dikembangkan dengan baik.
(2) Peraturan
pemerintah
daerah
setempat, masih banyak peraturanperaturan
yang
belum
banyak
dipublikasikan,
terutama
yang
berkaitan dengan konservasi bangunan
kuno-bersejarah maupun kawasan,
sehingga banyak bangunan-bangunan
kuno dengan terpaksa dirobohkan atau
dihancurkan untuk kemudian diganti
dengan bangunan-bangunan baru.
(3) Peraturan
perundangan
Benda
Cagar Budaya, masih terlihat
tumpang-tindih dalam melindungi
masing-masing
bangunan
kuno
maupun kawasan untuk setiap daerah,
baik mengenai usia bangunan, style,
ornamen, bahan, dan sebagainya.
Pada
kenyataannya,
arsitektur
merupakan wakil dari citra kebudayaan
dalam suatu komunitas satu bangsa.
Merupakan bagian dari sejarah dan tradisi
yang telah berlangsung di tempat mereka
berada. Kurokawa (1988) mengatakan,
bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai
sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah
yang dapat kita lihat seperti, bentuk
arsitektur, elemen dekorasi, dan sombolsimbol yang telah ada pada kita. Kemudian
yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat
kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi,
kepercayaan,
keindahan,
dan
pola
kehidupan.
Dengan
demikian,
menghancurkan bangunan kuno-bersejarah
sama halnya dengan menghapuskan salah
satu cermin untuk mengenali sejarah dan
tradisi pada masa lalu. Sebagai sesuatu yang
berdiri di tengah perubahan yang terus
berlangsung, tentu saja bangunan kunobersejarah tak bisa terhindar dari tumbuhnya
banguan baru di kawasannya. Masalahnya
sekarang, adalah bagaimana sebaiknya
menempatkan bangunan baru di kawasan
bersejarah agar di antara bangunan lama dan
baru ada persesuaian?
6. KONSEP DAN PENDEKATAN
DALAM KONSERVASI
Sebagai
konsep
pengembangan,
bangunan kuno bersejarah tidak hanya
mempertimbangkan pada kawasan sekitarnya
saja, tetapi merupakan suatu bagian dari
seluruh
kompleks
bangunan
atau
permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya
penambahan konsep fisik untuk warisan
arsitektur.
Mengacu
dari
beberapa
hasil
pertemuan internasional dapat digunakan
sebagai bahan acuan untuk pelaksanaan
konservasi di Indonesia. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menangani konservasi
antara lain, adalah: Keinginan untuk
menyusun kembali bangunan dengan alasan
kesatuan arsitektural dan seni yang
berhubungan dengan kriteria-kriteria sejarah
dan dapat diputuskan apabila berdasarkan
data-data yang dapat diandalakan, dan bukan
suatu anggapan (Carta del Restauro Italiana
1931, 2). Semua elemen-elemen yang
mempunyai nilai sejarah dan artistik harus
dilestarikan. Mengembalikan ke bentuk
aslinya tanpa memasukkan elemen-elemen
baru (Carta del Restauro Italiana 1931, 5).
Merokomendasikan, bahwa pendidik
harus mendorong anak-anak dan kaum muda
untuk meninggalkan diri merusak bangunan
kuno, dan bahwa mereka harus dididik untuk
lebih tertarik dalam perlindungan bukti-bukti
nyata dari seluruh peradaban (The role of
education in the respect of monuments:
Conclusion of the Athens Conference, 21-30
October 1931, VII. b). Mempertimbangkan
agar institusi-institusi dan asosiasi-asosiasi
diberikan kesempatan untk meleburkan
keinginannya ke dalam pekerjaan konservasi
(The conservation of monuments and
international collaboration: Conclusion of
the Athens Conference, 21-30 October
1931).
Konservasi dan restorasi dari bangunan
kuno harus mempunyai pernaungan bagi
segala ilmu dan teknik yang dapat
disumbangkan untuk studi dan perlindungan
warisan arsitektur (Article 2. Definitions:
Venice Charter 1964, ICOMOS). Konservasi
dan pengungkapan nilai sejarah dan
keindahan dari bangunan kuno, adalah
berdasar atas bahan dan dokumen yang asli.
Pada beberapa kasus restorasi harus
didahului dan diikuti dengan studi arkeologi
dan sejarah (Article 9. Restoration: Venice
Charter 1964, ICOMOS).
Program preservasi yang dilakukan
oleh pemerintah Amerika yang dipelopori
oleh senator Wyche Fowler dengan
’National Historic Amandment Act’
mempunyai tujuan untuk memperkuat
program pendidikan preservasi dan apresiasi
serta teknik restorasi, dan membentuk badan
yang diberi nama ’National Center for
Preservation Technology’ sebagai bagian
dari Departemen Dalam Negeri. Program ini
digharapkan dapat mempertegas kembali
kewenangan pemerintah federal dalam
mempreservasi bangunan; mempertegas
pemerintah di dalam perlindungan hak milik
bersejarah; menambah program untuk
menyelamatkan arkeologi; dan membuat
peraturan preservasi secara nasional guna
penyelamatan
bangunan
bersejarah
(Architectural Record, 3/1991). Ternyata
program ini sangat penuh pengertian, dalam
arti terlihat adanya kerjasama dan konsultasi
secara langsung antara bagian preservasi
bangunan bersejarah dengan pemerintah
federal di dalam membantu projek-projek
rehabilitasi.
Kiranya perlu dipahami dan diikuti,
bahwa perkembangan peraturan konservasi
sudah beranjak dari sekitar konservasi
bangunan, benda-benda bersejarah atau
kawasan saja. Akan tetapi, mencakup suatu
kawasan kota yang ditetapkan sebagai
kawasan yang dikonservasi. Nampaknya,
perlu juga dikembangkan dengan lebih luas
lagi melalui “intangible cultural properties.”
Seperti, konservasi seni tradisional (tarian,
musik dan teater) serta kerajinan (tenun,
keramik, perak, dan sebagainya), yang
mempunyai nilai seni dan sejarah yang
tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan, adalah
dengan cara mengembangkan seluruh
wilayah sebagai museum hidup, atau dengan
istilah lain, adalah “ecological museum” atau
”ecomuseum”. Diwujudkan melalui tiga
elemen, yaitu warisan, partisipasi, dan
museum, ketiga hal itu harus seimbang.
Untuk warisan akan mewakili alam dan
budaya, serta industri tradisionil pada
wilayah yang telah diberikan. Kemudian,
demi masa depan mereka perlu adanya
partisipasi dari penduduk setempat dalam
operasional dan menejemennya. Terakhir,
adalah museum itu sendiri, dapat dipakai
sebagai fungsi dari konservasi alam dengan
tradisi-tradisinya yang dapat ditampilkan
sebagai sebuah wilayah yang dikonservasi.
(Ohara, 1998:26) Pada saat ini, projek-projek
ecomuseum dilakukan dengan berbagai
macam tema dan tidak terbatas pada
lingkungan
alam,
dan
telah
diimplementasikan pada beberapa wilayah di
Jepang. Di antara tema-tema tersebut adalah,
”agriculture” (di kota Tomiura, provinsi
Chiba), “health education based on medical
herbs” (di kota Shimabara, provinsi
Nagasaki), “villa resort culture” (di kota
Kairuizawa, provinsi Nagano) dan “Spiritual
Home: Ihatov” (di kota Towa, provinsi
Iwate). Agar masyarakat setempat tidak
menganggap ”ecomuseum” sebagai projek,
maka beberapa aktivitas komunitas lokal
yang menarik, dengan elemen-elemen yang
bermutu, banyak di temukan di beberapa
wilayah di Jepang. Penduduk lokal pun
berusaha untuk melindungi tanah dan
pegunungannya, dan mengkampanyekan
preservasi
untuk
rumah-rumah
tradisionalnya.
7.
KONSERVASI
TERINTEGRASI
YANG
Perencanaan konservasi perkotaan
yang terintegrasi harus diprogramkan
sebagai proses yang secara fundamental
berdasar pada pengertian dan kejelasan dari
nilai dan kehidupan dalam komunitas
perkotaan, dan hubungan mereka pada
sistem, kekuatan, dan aktor
yang
membangkitkan
perubahan.
Hal
ini
merupakan aktivitas langsung pada kegiatan
nyata, dan bagaimana saran dan perencanaan
solusi harus diformulasikan yang berdasar
pada kelangsungan hidup mereka, dan
kemungkinan implementasinya. Usulan
harus jelas dalam waktu, mengakar pada
budaya, ekonomi, dan struktur politik dari
masyarakat perkotaan. Proses perencanaan
konservasi terdiri dari beberapa fase,
termasuk (Zancheti & Jokilehto, 19??): a)
analisa dan penilaian; b) persiapan dari
alternatif solusinya; c) negosiasi dan
implementasi; serta d) monitoring dan
kontrol.
Kemudian ada tujuh prinsip dalam
konservasi perkotaan yang berkelanjutan di
antaranya:
1. merupakan sebuah proses bukan
sebuah projek;
2. konservasi
membutuhkan
keseimbangan dalam pengembangan
dan kebutuhan penghuni;
3. merupakan gabungan jangka-panjang
yang
berkelanjutan:
sosial
(=
penghuni); ekonomi (= skala-kecil
perusahaan setempat); budaya (=
konservasi); dan ekologi (= sumber
daya alam–kesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan
melalui pro-aktif dan program yang
mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni
merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari
stakeholders termasuk komunitas
setempat; dan
7. pengembangan projek skala besar
harus dihindari.
Pada kenyataannya, semua akan
tergantung pada keistimewaan dari masing-
masing kawasan perkotaan. Pemerintah
daerah, pedagang, pengembang, kalangan
atas, golongan menengah, pekerja dan kaum
miskin, berlomba untuk mencari tempat atau
lahan kosong, atau berpindah untuk mencarai
kawasan
yang
hijau.
Pedagang
menginginkan
modernisasi,
bangunan
mewah, efisiensi, dan adanya pencapaian
yang baik ke suatu kawasan; pamuda,
golongan atas dan menengah serta anakanak, ingin tinggal di tempat mereka dapat
melakukan aktifitasnya; pihak pemerintah
kota, menginginkan untuk menarik pajak
berdasarkan
tempat
mereka
berada;
wisatawan menginginkan kebersihan dari
kawasan bersejarah dan hotel-hotel yang
menyenangkan. Dalam kebijakan konservasi,
pertanyaannya adalah, tidak hanya pada
konservasi fisiknya saja, tetapi kepunyaan
siapa kawasan itu akan dikonservasi?
Siapakah penduduk sekitar kawasan itu?
Penduduk yang mana?
Penggabungan antara kelompok yang
berbeda sangat tergantung pada isu dan
keadaan di antaranya, adalah (Gambar 10):
(1) Dalam beberapa kasus dewan kota dan
badan pengembangan masyarakat,
mempunyai pekerjaan mempromosikan
dana untuk pengembangan kawasan
bersejarah di kota-kota, dan juga pada
kelompok masyarakat miskin;
(2) Kepentingan
dari
pedagang,
pengembang rumah mewah dan
pemilik
tanah
yang
saling
berkompetisi,
seharusnya
mereka
membentuk koalisi yang terbuka;
(3) Para pemerhati konservasi dan
kelompok
masyarakat,
sambil
mengikuti tujuan-tjuan yang berbeda,
sewaktu-waktu
dapat
saling
dikombinasikan untuk pengembangan
kawasan bersejarah; dan
(4) Para akademisi dan pengelola cagar
budaya harus dapat mengintegrasikan
antara perundangan cagar budaya dan
kajian ilmiah untuk konservasi
bangunan maupun kawasan. Dengan
demikian, kebijakan yang dihasilkan
merupakan pertimbangan dari tinjauan
sisi
sejarah
arsitektur
maupun
perkotaan. Konsep konservasi dapat
dipertanggung-jawabkan
secara
akademis, dan dapat memberikan
sumbangan pada pengelola cagar
budaya dalam memutuskan atau
menentukan
bangunan
maupun
kawasan bersejaarh sebagai tempat
yang dilindungi dan dikonservasi.
Pengelola Cagar
Budaya
Pemilik Bangunan
Kuno-Bersejarah
Akademisi/Institusi
Kesepakatan
Konservasi
LSM/Pemerhati
Konservasi
Pemerintah
Kota/Kabupaten
Pengusaha
Gambar 10. Keterkaitan di dalam konservasi bangunan dan kawasan bersejarah.
Memang perlu diambil sikap yang
bijaksana untuk dapat memilih mana warisan
budaya yang perlu dilindungi dan mana yang
tidak, sehingga tidak mempunyai kesan
bahwa langkah konservasi ini hanya
membabibuta dan tidak efisien. Hal di atas,
sudah sesuai dengan penjelasan dalam Bab
X Pasal 92 UU Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintah Daerah ayat (1),
pemerintah daerah perlu memfasilitasi
pembentukan forum perkotaan untuk
menciptakan sinergi pemerintah daerah,
masyarakat, dan pihak swasta. Kemudian
pada ayat (2) ditegaskan bahwa, yang
dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat
adalah pengikut sertaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemilikan.
8. KESIMPULAN
Bahwa pekerjaan merancang bangunan
atau merencanakan suatu kota harus
mempertimbangakan keharmonisan antar
bangunan dan kawasan barunya. Dengan
demikian,
diharapkan
adanya
kesinambungan antar bangunan baru dengan
kawasan lamanya. Konservasi perkotaan
atau bangunan, adalah penting karena dapat
memberikan identitas atau karakteristik dari
suatu kota terhadap sejarah masa lalunya.
Konservasi yang terintegrasi harus
dibuat
secara
penuh
dari
seluruh
perundangan dan peraturan yang ada, dan
tentunya dapat disumbangkan untuk
melindungi dan mengkonservasi warisan
arsitektur. Seperti peraturan perundangan
yang ada, adalah belum cukup untuk tujuan
tersebut. Oleh karena itu, dalam otonomi
daerah sekarang ini, perlu ditambahkan
dengan menyediakan instrumen yang sesuai
dengan perundangan, baik pada tingkat
nasional, regional maupun lokal (daerah).
Dimaksudkan, adalah melaksanakan suatu
kebijakan konservasi yang lebih terintegrasi
dengan
membentuk
staf
pelayanan
administrasinya.
Sudah
sepantasnya
masyarakat diberitahu, karena mereka berhak
atas partisipasinya di dalam memutuskan
kawasannya.
Para
akademisi
perlu
untuk
mempertebal kepeduliannya akan hal
konservasi
bangunan
dan
kawasan.
Hendaknya mulai menyusun inventarisasi
bangunan di kawasannya dan kemudian
meminta pemerintah darah setempat untuk
membuat surat keputusan atau kalu bisa
perda dengan otonomi yang kuat untuk
melindungi bangunan dan kawasannya,
lengkap dengan pendanaan konservasinya.
Dengan demikian, di satu sisi, kontrol
terhadap pemerintah daerah dan pengelola
cagar budaya sebagai penyelenggara dengan
segenap peraturannya akan berlangsung
lebih efektif. Pada sisi lain, mereka akan
dengan otomatis menjaga apa yang menjadi
kepentingan bersama itu dari kerusakan.
Prinsip kerjasma pemerintah setempat,
pengelola cagar budaya, akademisi, lembaga
swadaya masyarakat, pemerhati konservasi
serta pengusaha, dapat dijadikan sebagai
jaminan jalan ke luar bahwa arsitektur dan
perkotaan bersejarah merupakan ekspresi
jatidiri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
______, (1991). Mayority of Kyoto residents
oppose skyscraper proposals,
survey says, The Japan Times,
January 31. 1991
______, (1992). Kyoto temples ‘ban’ guests
of hotel planning high-rise, The
Japan Times, December 2. 1992
______, (1993). Plan for taller buildings
divides citizens of Kyoto, The
Daily Yomiuri, October 2, p. 2.
______, (1994). Group lobbies for Atomic
Bomb Dome world heritage site,
The Daily Yomiuri, January 29.
______, (1995). S. Korea starts razing
colonial symbol, The Daily
Yomiuri, August 16.
______, (1999). Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah, Surabaya: Karya Utama.
Antariksa, (1996). Conservation of Colonial
Architecture: How to Save Our
Architectural Heritage in Malang,
presented at Fifth International
Symposium and Workshop of
Asia and West Pacific Network
for
Urban
Conservation,
Yogyakarta,
September
28October 1., pp. IV/12 – IV/24.
Antariksa,
(1997). Urban Conservation
General Approaches to Save the
Architectural Heritage, presented
at the International Symposium
on Saving Our City Environment
Towards
Anticipating
Urbanisation Impacts in the 21st
Century, Malang, September 8-9.
Appleyard D. (1979). The Conservation of
Europe Cities, ed., London: The
MIT Press.
Eder C. (1986). Our Architectural Heritage:
From
Consciousness
to
Conservation,
translated
by
Professor Ayler Bakkalciouglu,
United Kingdom: Unesco.
Jokilehto, J. (1995). Cultural heritage:
Diversity
and
Authenticity,
Journal of the Society of
Architectural
Historians
of
Japan, No. 24, March, 1995, pp.
iv- xi.
Kurokawa, K. (1988). Rediscovering
Japanese
Space,
Tokyo:
Kodansha.
Larsen
K.E.
(1994).
Architectural
Preservation in Japan, ICOMOS
International Wood Committee,
Trondheim: Tapir Publishers.
Marquis-Kyle, P. and Walker, M. (1996).
The
Illustrated
BURRA
CHARTER, Mking good decisions
about the care of important
places, Australia: ICOMOS.
Ohara, K. (1998). The Image of
’Ecomuseum’ in Japan, Pacific
Friend, A Window on Japan,
April. Vol. 25 No. 12. pp. 26-27.
Raj Ishar, Y. (1986). The Challenge to Our
Cultural Heritage, Washington
DC: Unesco and Smithsonian
Institution Press.
Sidharta dan Budihardjo, E. (1989).
Konservasi Lingkungan dan
Bangunan Kuno Besejarah Di
Surakarta, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tunggul, Hadi S. 1997. Peraturan
Perundang-Undangan
tentang
Benda Cagar Budaya, Jakarta:
Harvarindo.
Zancheti, S.M., and Jokilehto, J. (19--).
Reflection
on
Integrated
Conservation Planning.