Hubungan keluarga perdata id. docx
MAKALAH
HUKUM PERDATA 1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata 1
Dosen Pengampu:
M.Misbahul Mujib
Disusun oleh:
Zainal Arifin (13340034)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
2014 / 2015
Pengantar
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti
sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu,
tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu
keluarga. Dan juga telah di atur dalam KUHPerdata
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW terdiri atas 4 buku:
BUKU I
: Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU II
: Tentang benda (van zaken).
Yaitu memuat hukum kebendaan serta hukum waris.
BUKU III
: Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV
: Tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring)
Yaitu memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan
hukum
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang
bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena
pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini
sangat penting karena ada sangkut paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum
waris, perwalian dan pengampuan.
Pembahasan
Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga
diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan [perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir].
Pengertian perkawinan menurut UU no.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki” dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga/ rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Menurut Sholthen adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.
Menurut hukum islam DR.Anwat Harjono ,pernikahan adalah suatu perjanjian suci
seorang prian dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia
Ini juga mengatur tentang hukum Keluarga dalam KUHPerdata (BW). Adapun pendapatpendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
1. Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
2. C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup
kekeluargaan
3. R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan
4. Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai
hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan
5. Ali Affandi
Mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir)1
1 Abdoel Jamali. Pengantar hukum Indonesia. PT Grafindo Persada1984 :Jakarta.
Asas Hukum Keluarga menurut UU no.1 tahun 742
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta
benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
poligami, satu suami banyak istri
harus sudah matang jiwa dan raganya untuk bisa melakukan suatu perkawinan
Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil),
perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan
memperkuat /mempersulit terjadinya suatu perceraian
Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya sah
apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masingmasing.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)monogamy, satu istri satu
suami
antara suami dan istri seimbang hak dan kewajibannya
Sumber Hukum Keluarga
Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang
bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat.
(2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul,
tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Dalam hukum keluarga
tidak tertulis, hukum yang dianut adalah hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar
daerah tempat tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat
hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum
(das sein das sollen)
2 Pasal 27 BW dan pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kedudukan Anak “Sah” dalam Hukum Keluarga
KUHPerdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak luar kawin.
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya.
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut
lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya
sejak ia menikah resmi.
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43
dan 44. 3
Pasal 42 :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”.
Pasal 43 :
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah”.
Pasal 44 :
3 Pasal 42, 43, 44 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
“(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan”.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-undang Perkawinan di dalam pasal 55
menegaskan:
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah
yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
1. Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah
2. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasa1 99, Pasal 100,
Pasal 101 Pasal 102 dan Pasal 103. 4
Pasal 99 :
Anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasa1100 :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses
yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh
isterinya.
Pasal 101 :
4 Pasal 99, 100, 101, 103 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku Ke-1 Perorangan (PersonalRecht)
“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”
Pasal 102 :
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan
anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Pasal 103 :
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak
yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya, untuk
menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:5
a. Suami belum pernah menjima' istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima' istrinya, sedangkan bayinya lahir
seperti bayi yang cukup umur.
c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima' suaminya
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan bahwa
“Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya”.
Hilman Hadikusuma menegaskan dari ketentuan tersebut, bahwa wanita yang hamil
kemudian ia kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah
5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana 2004: Jakarta
dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia kehamilan.10
Muhammad Irfan Idris dalam tulisannya yang berjudul “Problematika Materi Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Analisa Perbandingan)”. Menyebutkan :
“Anak yang di dalam kandungan dianggap mempunyai hubungan darah dan hubungan
hukum dengan pria yang mengawini ibunya. Anggapan ini didasarkan nilai hukum adat yang
menetapkan asas “setiap tanaman yang tumbuh di ladang seorang dialah pemilik tanaman
meskipun bukan dia yang menanam”.
Dan kebolehan kawin hamil tersebut untuk memberikan perlindungan hukum bagi
anak yang ada dalam kandungan. Dari ketentuan dan berbagai pendapat tersebut di atas maka
penulis berpendapat bahwa anak hasil dari perkawinan wanita hamil menurut hukum positif di
Indonesia adalah anak yang sah, tanpa melihat batas waktu kehamilan dengan perkawinan
yang dilangsungkan dan secara hukum memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sehingga
semua akibat hukum antara anak dan orang tua berlaku baginya.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa Hukum Perkawinan & Hukum
keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan. Akan tetapi
anak yang sah dalam UU no.1 thun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu “adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”
Anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila
anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya
atau dimungkinkan adanya hubungan badan
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari
perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hakhak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak
nasab dan hak kewarisan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana:
2004 Jakarta
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku Ke-1 Perorangan (PersonalRecht)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Abdoel Jamali. Pengantar hukum Indonesia. PT Grafindo Persada: 1984 Jakarta.
HUKUM PERDATA 1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata 1
Dosen Pengampu:
M.Misbahul Mujib
Disusun oleh:
Zainal Arifin (13340034)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
2014 / 2015
Pengantar
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti
sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu,
tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu
keluarga. Dan juga telah di atur dalam KUHPerdata
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW terdiri atas 4 buku:
BUKU I
: Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU II
: Tentang benda (van zaken).
Yaitu memuat hukum kebendaan serta hukum waris.
BUKU III
: Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV
: Tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring)
Yaitu memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan
hukum
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang
bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena
pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini
sangat penting karena ada sangkut paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum
waris, perwalian dan pengampuan.
Pembahasan
Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga
diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan [perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir].
Pengertian perkawinan menurut UU no.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki” dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga/ rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Menurut Sholthen adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.
Menurut hukum islam DR.Anwat Harjono ,pernikahan adalah suatu perjanjian suci
seorang prian dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia
Ini juga mengatur tentang hukum Keluarga dalam KUHPerdata (BW). Adapun pendapatpendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
1. Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
2. C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup
kekeluargaan
3. R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan
4. Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai
hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan
5. Ali Affandi
Mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir)1
1 Abdoel Jamali. Pengantar hukum Indonesia. PT Grafindo Persada1984 :Jakarta.
Asas Hukum Keluarga menurut UU no.1 tahun 742
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta
benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
poligami, satu suami banyak istri
harus sudah matang jiwa dan raganya untuk bisa melakukan suatu perkawinan
Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil),
perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan
memperkuat /mempersulit terjadinya suatu perceraian
Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya sah
apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masingmasing.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)monogamy, satu istri satu
suami
antara suami dan istri seimbang hak dan kewajibannya
Sumber Hukum Keluarga
Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang
bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat.
(2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul,
tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Dalam hukum keluarga
tidak tertulis, hukum yang dianut adalah hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar
daerah tempat tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat
hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum
(das sein das sollen)
2 Pasal 27 BW dan pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kedudukan Anak “Sah” dalam Hukum Keluarga
KUHPerdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak luar kawin.
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya.
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut
lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya
sejak ia menikah resmi.
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43
dan 44. 3
Pasal 42 :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”.
Pasal 43 :
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah”.
Pasal 44 :
3 Pasal 42, 43, 44 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
“(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan”.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-undang Perkawinan di dalam pasal 55
menegaskan:
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah
yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
1. Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah
2. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasa1 99, Pasal 100,
Pasal 101 Pasal 102 dan Pasal 103. 4
Pasal 99 :
Anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasa1100 :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses
yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh
isterinya.
Pasal 101 :
4 Pasal 99, 100, 101, 103 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku Ke-1 Perorangan (PersonalRecht)
“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”
Pasal 102 :
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan
anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Pasal 103 :
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak
yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya, untuk
menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:5
a. Suami belum pernah menjima' istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima' istrinya, sedangkan bayinya lahir
seperti bayi yang cukup umur.
c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima' suaminya
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan bahwa
“Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya”.
Hilman Hadikusuma menegaskan dari ketentuan tersebut, bahwa wanita yang hamil
kemudian ia kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah
5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana 2004: Jakarta
dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia kehamilan.10
Muhammad Irfan Idris dalam tulisannya yang berjudul “Problematika Materi Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Analisa Perbandingan)”. Menyebutkan :
“Anak yang di dalam kandungan dianggap mempunyai hubungan darah dan hubungan
hukum dengan pria yang mengawini ibunya. Anggapan ini didasarkan nilai hukum adat yang
menetapkan asas “setiap tanaman yang tumbuh di ladang seorang dialah pemilik tanaman
meskipun bukan dia yang menanam”.
Dan kebolehan kawin hamil tersebut untuk memberikan perlindungan hukum bagi
anak yang ada dalam kandungan. Dari ketentuan dan berbagai pendapat tersebut di atas maka
penulis berpendapat bahwa anak hasil dari perkawinan wanita hamil menurut hukum positif di
Indonesia adalah anak yang sah, tanpa melihat batas waktu kehamilan dengan perkawinan
yang dilangsungkan dan secara hukum memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sehingga
semua akibat hukum antara anak dan orang tua berlaku baginya.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa Hukum Perkawinan & Hukum
keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan. Akan tetapi
anak yang sah dalam UU no.1 thun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu “adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”
Anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila
anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya
atau dimungkinkan adanya hubungan badan
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari
perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hakhak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak
nasab dan hak kewarisan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana:
2004 Jakarta
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku Ke-1 Perorangan (PersonalRecht)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Abdoel Jamali. Pengantar hukum Indonesia. PT Grafindo Persada: 1984 Jakarta.