03. Filsafat Modern 3 .docx

10 Oktober 2012
Niccolò Machiavelli
Dia adalah filsuf politik, menulis Il Principe (The Prince = Para pemimpin) [Simbol] menjadi
salah satu emblem bahasa Italia. Bahasa yang dipakai pada saat itu ialah Latin. Buku ini
revolusioner & ditulis dengan bahasa yang belum dikenal. Seperti Thomas Hobbes menulis buku
filsafat sekaligus menciptakan bahasa. Machiavelli “menciptakan” bahasa Italia, sehing tulisan
aslinya agak sulit untuk dimengerti karena tercampur dengan bahasa Latin.
Setiap penyelidikan, pemahaman, tindakan, apa saja yang dikerjakan manusia selalu mengejar
kebaikan. Dkl, kodrat perbuatan manusia itu menuju kebaikan.
Dalam buku Politica Aristoteles, setiap komunitas manusia selalu mengejar kebaikan tertinggi.
Mengapa “tertinggi”?
1.

Etika bicara tentang manusia. Manusia itu bertindak, mis: belajar, meneliti, bekerja.
Artinya manusia mengejar kebaikan.
2.
Dalam politik bicara tentang tata hidup bersama. Setiap komunitas manusia mengejar
kebaikan tertinggi.
Disebut “tertinggi” karena jika manusia hny mengejar “kebaikan (saja)”, kebaikan direduksi
hanya pada satu orang saja. Karena ada banyak manusia, “kebaikan tertinggi” harus
mengakomodasi semua orang. Maka, politik mengandaikan etika. Politik adalah kelanjutan dari

Etika. Itulah mengapa “Etika” dan “Politik” sering disebut bersama, “Etika Politik”.
Bagaimana dengan Machiavelli? Machiavelli memahami etika sebagaimana sebagai disiplin
ilmu yang mengantar manusia mengejar keutamaan (virtus).
Mis: (1) Manusia mulai kecil dituntut untuk belajar supaya pandai. Kepandaian berarti
keutamaan. Manusia tidak bisa tiba-tiba pandai. “Pandai” membutuhkan latihan dan praktik. (2)
Manusia mulai kecil diajar untuk berlaku sopan. Meminjam buku, pulpen, dikembalikan.
Tujuannya, supaya kita tahu memberikan apa yang menjadi hak orang lain, dan tidak mengambil
apa yang bukan miliknya.
Machiavelli tidak keberatan memahami etika sebagai ajaran bagi manusia untuk mencapai
keutamaan. Keutamaan perlu latihan. Politik merupakan urusan lain.
Menurut Machiavelli, Aristoteles adalah seorang pemimpi, karena ketika Aristoteles menulis
Politica ia melihat bahwa politik mengejar kebaikan yang tertinggi. Kebaikan tertinggi tidak
jelas. Aristoteles juga seorang idealis & Politica Aristoteles adalah idealisme. Machiavelli
menulis yang berbeda dari Aristoteles, karena ia menulis politik yang didasarkan pada apa yang
merupakan pengalaman real, sebab apa yang ditulis Aristoteles tidak ada hubungannya dengan
realitas. Menurutnya, jika seorang pemimpin mengikuti Aristoteles, malah akan menuju pada
kehancuran. (IP XV). (“Should” would go to destruction).
IP XV: De his rebus quibus homines et praesertim principes laudantur aut vituperantur.
(Tentang Hal-hal yang membuat para pemimpin dipuji atau dicela.)
Dipuji atau dicela itu karena tindakan, bukan karena tampilan. Jadi bgn ini tentang tindakan.

Kapan pemimpin dipuji dan kapan pemimpin dicela. Inilah Politik. Pemimpin dicela ketika
pemimpin tidak dapat menjaga stabilitas tatanan wilayah. Dkl, seorang pemimpin dipuji bukan
karena dia suci, ugahari. “Aku tahu tiap orang setuju bahwa sungguh terpuji jika pemimpin

1

memiliki semua kualitas yang baik yaitu semua yang telah kusebuntukan (adil, jujur, sederhana,
arif, tegas, saleh, pemberani, rendah hati, dll.). Tetapi karena situasi dunia, para pemimpin tidak
memiliki kualitas ini seluruhnya dan menjalankan keutamaan-keutamaan itu semua. Jika
demikian, pemimpin harus bijaksana, dalam arti harus tahu bagaimana lari dari reputasi jahat
yang lekat pada bbrp keburukan, yang karenanya pemimpin bisa kehilangan kuasa. Sebisa
mungkin pemimpin harus menghindari bahaya yang memicu kehancuran negara. Jika pemimpin
tidak bisa, tak perlu terlalu merasa bersalah jika dia melakukan keburukan-keburukan yang kamu
lakukan untuk keselamatan negara. Ini karena jika dihitung semuanya, jika dia melakukan
keutamaan itu semua, justru menghancurkan dia dan membawanya pada kehancuran rakyatnya.
Hal ini mengubah tata filsafat politik karena:
Seorang raja tidak boleh merasa bersalah kalau melakukan keburukan yang perlu untuk
menyelamatkan negaranya. Justifikasi ini muncul pertama kali dalam tata politik. Aristoteles
mengatakan politik sebagai “mengejar kebaikan tertinggi”. Bagi Machiavelli, politik adalah
perkara kekuasaan. Perbuatan pemimpin dipuji atau dicela terutama langsung berhubungan

dengan seorang pemimpin mampu merengkuh dan membela kekuasaan. Skema Machiavellian
ini berlanjut pada logika: jika raja melakukan kebijakan yang jahat, tetapi diperlukan untuk
membela kekuasaannya, maka baiknya raja itu tidak perlu merasa bersalah. Hitler adalah
pemimpin yang melihat orang Yahudi sebagai penyebab keruntuhan Jerman. Maka ia
mengeksterminasi semua orang Yahudi. Orang Yahudi adalah penyebab kehancuran Jerman.
Indonesia pernah membasmi semua anggota PKI karena mengancam Pancasila. Dua contoh ini
merupakan implikasi Machiavellian.
5 November 2012
Kesimpulan
Machiavelli adalah pelopor politik modern, filosof revolusioner yang mengubah metodologi
filsafat politik.
Fondasi filsafat politik biasanya difondasikan pada Socrates, karena dialah filosof yang pertamatama mengurai natura manusia. Natura adalah pencarian kodrat manusia, dan hal ini dijumpai
dalam Socrates. Socrates sering disebut pendiri filsafat politik, bukan karena dia seorang
politikus, tetapi karena dia seorang pencari kodrat manusia. Mengapa pencari kodrat manusia
disebut pendiri filsafat politik, sebab filsafat politik bukan filsafat yang lain kecuali tata hidup
manusia.
1.

Machiavelli adalah seorang filosof yang melanjuntukan secara baru filsafat politik dalam
tata politik manusia. Di mana tata baru filsafat politik Machiavellian? Yaitu pada skema

bahwa politik itu pertama-tama berbicara tentang kekuasaan. Dia disebut revolusioner karena
dia berangkat bukan dari apa yang ideal tentang kodrat manusia, tetapi berangkat dari apa
yang menjadi interes politik itu, yaitu perebutan kekuasaan. Karena itu, logika Machiavellian
adalah logika realisme. Realisme berarti filsafat politik difondasikan pada konsep tentang
realitas, bhw realitas politik tdk berhubungan pertama-tama dengan virtus (keutamaan) tetapi
pd kekuasaan.
2.
Machiavelli disebut revolusioner dalam filsafat politik karena dia memisahkan tata politik
dan tata etika. Tata politik terpisah dari tata etika. Mengapa? Karena menjadi politikus yang
baik sekaligus menjadi orang yang jujur, murah hati, berkeutamaan, menurut Machiavelli
sulitnya bukan main.

2

3.

Meskipun Machiavelli tidak bicara tata etika bersama dengan etika politik, frase
terkenalnya tentang pembelaan kekuasaan yaitu, apabila melakukan keburukan-keburukan
yang perlu maka seorang politikus tidak perlu merasa bersalah. Frase ini mengusung politik
baru yaitu utilitarianisme. Dalam Machiavelli artinya berguna, ia memaku kepentingan

kegunaan pada kekuasaan. Apa itu baik dan apa itu buruk, kriterianya adalah kekuasaan.
Politikus yang baik disebut baik jika ia merengkuh kekuasaannya dengan sungguh-sungguh.
Begitu pula jika disebut buruk yaitu jika politikus mengabaikan apa yang perlu untuk
menjaga kekuasaannya.

Inilah titik tolak filsafat politik modern. Hobbes (Locke, Rousseau) akan melanjuntukannya
dengan cara yang mengesankan karena realisme Machiavellian masih memiliki aroma yang
sangat kentara dalam filsafat politik.
Johann Goetllib Fichte
Kelompok idealis pasca Kantian. Fichte mencari fondasi-fondasi bagi ilmu pengetahuan.
Maka skema filsafat Fichte banyak dirujukkan pada teori-teori ilmu pengetahuan, termasuk
metafisika. Salah satu fondasi ilmu pengetahuan yang akan disumbang oleh Fichte ialah apa
yang disebut dengan deduksi teorEtis mengenai kesadaran. Jadi Fichte mencari fondasi
ilmiah sains pada kesadaran. Karyanya banyak berbicara tentang “Aku”. Bagi Fichte, “Aku”
pertama-tama mengatakan keseluruhan pengetahuan. Apa itu indah, baik, benar, adalah
pertanyaan-pertanyaan yang memiliki dasar pada kesadaran akan “Aku”. Ketika orang menyoal
keindahan, seluruh pengertian kita mengenai keindahan itu tak mungkin menjadi sebuah
keindahan apabila tidak dimiliki oleh “Aku”.
Idealisme tidak hanya mengatakan bahwa filsafat menguraikan hal-hal yang ideal. Idealisme
adalah filsafat yang mengajukan prinsip-prinsip yang tidak diletakkan pada pemahamanpemahaman konkret materialistik melainkan pada logika keseluruhan, universal. Apa yang

universal adalah apa yang ideal. Contoh filsafat ini adalah Plato. Bagi Plato, keindahan tidak
terletak pada apa yang tampak. Keindahan terletak di “sana”, alam idea.
Idealisme Fichte bukan Platonian, bukan filsafat yang meletakkan fondasi pada alam idea, tetapi
pada prinsip-prinsip universal. Maka Fichte menjelaskan “Aku”, bukanlah “Aku” yang sekarang.
“Aku” adalah kriteria kepenuhan keindahan, kebaikan.
6 November 2012
Kesadaran Fichte “Aku Kesadaran”. Aku adalah Kesadaran itu sendiri. Inilah bedanya dengan
Descartes. Bagi Descartes, kesadaran berarti “Aku berpikir.” Bagi Fichte tidak ada distingsi real
antara aku dengan aku berpikir. Aku bukan fisik, melainkan roh. Kita tahu dengan baik bhw
dalam filsafat idealisme, orang juga bicara soal Aku Estetis, Aku Etis, Aku Metafisis, Aku
Ontologis, Aku Epistemologis. Distingsi ini menunjukkan keabsolutan aku. Keabsolutan aku
terletak pada logika bhw seolah-olah aku adalah fondasi dari segalanya metafisik, ontologis, etis,
politis, dll. Aku adalah fondasi tatanan hidup bersama. Fichte masuk dalam aliran idealisme.
Idealisme bukan dalam arti soal-soal yang ideal, namun skema berpikir dalam filsafat yang ingin
mengurai seluruh sistem tanpa pengecualian. Idealisme berada pada koridor pencarian kebenaran
dalam ilmu pengetahuan secara menyeluruh.

3

Georang Wilhelm Friedrich Hegel

Hegel menulis buku “Phenomenology of The Spirit”, dalam karikatur filosofis Hegel
digambarkan sebagai filsuf yang membangun istana yang sangat besar dan indah, tetapi dia
sendiri tinggal di luar istana itu dan tinggal dalam gubuk. Artinya, dia melahirkan sistem filsafat
yang bagus dan mampu merangkum segala sesuatu, tetapi dia sendiri tidak bisa menghidupi
pemikiran yang dia miliki.
Bagaimana cara mengerti semuanya? Apa yang dimaksud ‘semuanya’ oleh Hegel? Memang
ambisi dari para filosof idealisme adalah mengerti segala sesuatu. Hal ini memang sulit untuk
dimengerti.
Hegel menyebut tesis, antitesis, dan sintesis (TAS). Realitas adalah tesis dan pada saat yang
sama muncul antitesis. Pertemuan antara tesis dan antitesis ini melahirkan sintesis, yaitu realitas
baru. Pada saat tertentu sintesis ini menjadi tesis, bertemu dengan antitesis dan melahirkan
sintesis lagi. Hegel mencoba memahami sejarah peradaban manusia.
Hegel menggulirkan TAS bukan soal yang menyentuh hal yang parsial, tetapi dalam keseluruhan
sejarah, peradaban yang merupakan sebuah dialektika antar-peradaban. Persoalan yang muncul
dalam filsafatnya ini adalah “Kalau sejarah peradaban seperti TAS, pertanyaannya adalah siapa
tokoh sejarah?” Pertanyaan ini menjadi soal besar dalam filsafat Hegel, kendati Hegel tidak
pernah menjawabnya. Pertanyaan ini muncul dari muridnya, yaitu Soren Abbey Kierkegaard.
Pertanyaan ini mengarahkan filsafat pada ranah eksistensi. Eksistensi adalah tokoh sejarah, kata
Kierkegaard. Aku Hegelian adalah aku Roh.
9 November 2012

Dinamika Hegelian adalah dinamika sejarah. Sejarah adalah perjalanan peradaban manusia. Jadi,
perubahan bukan hanya sekadar seiring waktu, melainkan juga perubahan yang menunjukkan
peradaban baru dari periode satu ke periode yang lain. Dalam Hegel, sejarah dilihat seperti apa?
Hegel adalah filsuf yang mengurus perjalanan peradaban manusia yang disebut histori pada apa
yang disebut gerak dari roh absolut.
Jadi siapa yang membayangkan Konsili Vatikan II akan mengubah tata kekatolikan di seluruh
dunia? Tidak bisa kita sebut hanya karena sembulan para pemikir seperti Paus Yohanes XXIII.
Tidak bisa juga dikatakan itu tjd karena adanya teologi Yves Congar, atau produk dari revolusi
teologi patristik dari Edward Schillebeck, atau tidak bisa juga kita sempitkan pada teologi
tritunggal ala Hans Urs von Balthasar atau tipe pemikiran Karl Rahner yang fenomenologis.
Tidak bisa kita berkata demikian. Tidak cukup. Dalam filsafat Hegel, sejarah itu muncul sebagai
keutuhan dan ini bukan produk satu dua orang, tetapi ini adalah produk dari keseluruhan.
Sebagai contoh, Yesuit mencapai puncak tertinggi pada tahun 1966, + 36.000 Yesuit. Sekarang
hanya tinggal setengah dari itu. Hal ini terjadi karena wabah sekularisme yang melanda dunia.
Pola pemikiran Hegel berguna untuk memahami sekularisme yang melanda dunia, khususnya di
Eropa. Sekularisme bukan soal parsialitas, namun keseluruhan yang menyentuh segala aspek dan
makna hidup manusia, kenikmatan, kebudayaan, gaya hidup, pola pikir, dll. Sejarah adalah
peradaban yang bergulir karena roh absolut. Sejarah terjadi seolah-olah dengan cara yang tak
terduga. Hegel tidak meletakkan sejarah dalam parsialitas, namun pada keseluruhan. Pelakunya
adalah roh absolut, bukan orang per orang. Sejarah bukan ciptaan satu orang.

Maka sejarah dalam Hegel berarti bergulirnya roh absolut dari periode satu ke periode yang lain.
Cara Hegel menjelaskan “Aku” tidak dimaknai ego personal dalam arti “Aku” adalah pribadi
4

yang beda dengan yang lain, melainkan “Aku” absolut, “Aku” yang menyatu dengan roh absolut.
Kritik atas filsafat Hegel
Bagaimana menjelaskan peperangan dan perdamaian? Dalam filsafat Hegel, perang dan damai
adalah sebuah keniscayaan, artinya itu yang harus ada. Perang itu seolah-olah sebagai roh yang
menceburkan diri dalam periode gelap. Jadi dalam perang siapa yang benar dan siapa yang salah
tidaklah penting. Dalam perang seseorang atau pihak tertentu tidak bisa dikatakan bersalah.
Damai juga tidak ada maknanya. Damai adalah periode tenang. Damai dan perang hanya sebagai
“penyelenggaraan ilahi”. Kesulitan lainnya terutama ketika berhadapan dengan filsafat Thomas
yang menyebut “Perang adil”. Bagaimana menjelaskan perang adil dalam Hegel? Dalam filsafat
skolastik ada perang adil, yaitu perang melawan ketidakadilan, situasi yang menindas. Dalam
Hegel tidak ada perang melawan ketidakadilan, tidak ada jihad. Dialektika tesis, antitesis, dan
sintesis diletakkan dalam roh absolut begitu saja. Hal ini berguna bagi Karl Marx karena dia
memiliki dasar ontologis, bukan dasar fungsional. Ontologisnya terletak dalam penemuan
fondasi pada Hegel.
12 November 2012
Fenomenologi Hegelian

Kata “fenomenon” pertama kali digulirkan oleh Imanuel Kant, ketika dia mengatakan bahwa kita
yang sebagai subjek yang mengetahui, yang memiliki pengetahuan, pengetahuan kita selalu
merupakan pengetahuan akan fenomenon, bukan pengetahuan akan noumenon. Fenomenon
adalah itu yang ada dalam penampakannya, penampakan dari itu yang kita ketahui. Pengetahuan
itu tak pernah menerobos kepada apa yang disebut noumenon. Noumenon berarti itu yang
menjadi esensi dari dalam dirinya sendiri. Menurut Kant, noumenon tidak dapat diketahui.
Hegel (filosof Post-Kantian) tentu tidak secara telak mengambil terminologi Kant, tetapi
memaknainya dengan cara yang baru yaitu yang disebut fenomenologi bukan sekadar
penampakan, bukan sekadar itu yang tampak di hadapan kita. Fenomenologi mengatakan
keseluruhan mengenai realitas, mengenai peristiwa. Ketika Hegel menulis Phenomenology of the
Spirit, maka fenomenologi di sini berarti bukan seperti ketika kita melihatnya, bukan sejauh
penglihatan aku, tetapi peristiwa dalam keseluruhannya. DKL, buku PS melukiskan sistem
keseluruhan ada.
Dalam Hegel, sejarah merupakan sebuah fenomenologi, keseluruhan dari peristiwa yang
mencetuskan keutuhan perjalanan hidup manusia, bahkan ia menyebutnya roh di mana di
dalamnya ada manusia, kebudayaan, dst. Fenomenologi Hegel ini akan sangat berbeda juga
dengan Edmund Husserl. Husserl adalah filosof yang mengusung fenomenologi bukan sebagai
sistem filsafat keseluruhan, tetapi justru kebalikannya, yaitu sangat berguna untuk mengerti
ranah perjalanan manusia. PS seolah berhenti pada Hegel, sementara Husserl masih berkembang
sampai sekarang.

Hegel berada pada ranah di mana akal budi manusia cukup dalam strukturnya. Hegel tidak
menyambung pemikiran Imanuel Kant. Imanuel Kant hanya mendistingsi apa yang kita ketahui
dengan menyebutnya Noumenon dan Fenomenon.
Supomo pernah menyebut Hegel dalam penataan negara Integralistik di Indonesia. Apa
korelasinya? Filsafat Hegel merupakan filsafat yang mengusung suatu pengetahuan, pengenalan
realitas yang menyeluruh dalam keutuhannya, dalam kesatuannya. Keutuhan dari realitas dan
5

dinamikanya itu diterminologi dengan spirit/roh. Supomo menderivasikan filsafat Hegelian, bhw
Indonesia yang t.a. Jawa, Batak, Madura, Dayak, dll. Itu seperti realitas yang menyejarah dalam
kesatuannya sebagai bangsa Indonesia. Maka Indonesia disebut negara integral, negara yang
terdiri atas banyak komponen namun bersatu. Kesatuannya bukan pada rasa mengalahkan atau
menguasai, misalnya melalui perang. Kesatuan ini juga berlaku dalam relasi pemimpin dan
rakyat.
Hegel mengajar orang untuk memiliki cara berpikir secara keseluruhan. Kierkegaard pernah
bersaksi bhw ketika ikut pelajaran Hegel, kita seperti diajak terbang ke angkasa raya. Untuk
menunjukkan bagaimana rasionalitas Hegel ikut mengubah peradaban manusia. Namun sebagai
murid dia mengalami kegelisahan. Pertanyaannya adalah siapa yang menjadi tokoh sejarah?
Kalau disebut Roh, siapa itu roh? Hegel menyebutnya kesadaran, namun tetap tidak jelas, siapa
itu kesadaran.
Kierkegaard, tokoh sejarah adalah singel, atau manusia dalam keunikannya, manusia dalam
singularitasnya. Menurut Kierkegaard, manusia itu unik, unus, satu, tunggal. Di mana
ketunggalannya, keunikannya? Menurut Kierkegaard, kesadaran.
Kesadaran Kant berarti apa yang ada dalam struktur akal budi manusia, shg menyusun apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan & pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan akal budi
murni. Fichte menyebut kesadaran adalah aku absolut. Hegel mengacu pada spirit, yang
menggiring tokoh sejarah.
Søren Aabye Kierkegaard
Dalam Kierkegaard, yang dimaksud kesadaran adalah eksistensi, yang mau mengatakan manusia
dalam keutuhan pengalaman hidupnya. Pengalaman yang dimaksud bukan dalam arti inderawi,
tpi pengalaman tentang otentisitas dirinya, ketunggalan dirinya, menyentuh pada apa yang
disebut kesadaran, keotentikan dirinya. Jadi kesadaran dalam Kierkegaard itu individual,
singular. Ketika orang bicara tentang “Siapa Aku?” Aku Kierkegaard adalah aku yang
mengalami yang menghidupi pengalamanku. Kierkegaard adalah penyusun sejarah. Aku dalam
Kierkegaard adalah juga pada saat yang sama pelaku sejarah. Jadi filsafat Kierkegaard
mengusung singularitas, individualitas, eksistensialitas, dan pd saat yang sama juga pada
gemuruh kehidupannya. Belum pernah ada sebelum Kierkegaard, filsafat benar2 menyentuh
seluruh dari hidupnya. Sebelumnya, filsafat selalu lepas dari pengalaman konkret manusia,
ketakutan, penderitaan, kegalauan, cinta, benci. Filsafat biasa melihat “mata ke atas”. Dalam
Kierkegaard, filsafat masuk dalam keseluruhan manusia. Filosof bukan (hanya) berpikir, tetapi
bergulat dengan hidup.
13 November 2012
Kierkegaard berada pada koridor yang beda dengan Hegel. Ia melanjuntukan pertanyaan yang
tak bisa dijawab oleh Hegel, yaitu “Siapa tokoh sejarah?” Dalam “Roh/Spirit” Hegel. Dalam
Kierkegaard, tokoh sejarah adalah Singulum. Keunikan manusia itulah penyusun sejarah.
Bagi SK, pembicaraan filsafat sebagai sebuah sistem rasional sudah berakhir. Rasionalitas
sebagai sebuah sistem yang melingkupi segala apa yang ada dalam pembicaraan filsafat
eksistensialisme SK itu sudah tuntas. Bagi SK, filsafat itu bukan sistem rasional. Filsafat adalah
keterlibatan pengalaman hidup itu sendiri. Jadi filsafat adalah hidup itu sendiri, “hidupku”, tak
peduli apakah hidup itu kacau, menjemukan. Justru dalam filsafat SK, hidup adalah apa adanya
6

hidup, apa yang dihidupi, apa yang menjadi peristiwa hidup, apa yang menjadi keseharian hidup.
Jadi ketika SK mengibarkan bendera filsafat eksistensialisme, filsafat itu menjadi sebuah cetusan
pergulatan sehari-hari. Apa isi filsafat ini? Isinya adalah keseharian hidup manusia, di mana di
dalamnya termasuk juga ketakutan, kecemasan, kegalauan, krisis, harapan, kegembiraan, dsb.
Filsafat ini belum pernah ada sebelum SK. SK menggumuli tema-tema “keseharian”. Tema-tema
filsafat SK adalah tema-tema yang menjadi pengalaman manusia. Hal ini perlu dilakukan untuk
melihat bagaimana SK berfilsafat.
SK mengajukan dirinya sendiri sebagai titik berangkat pemikiran filsafatnya. SK bukan
mengajukan dirinya sebagai pengajar, namun SK mengajukan dirinya sebagai filsafat itu sendiri.
Pergulatannya dan pertanyaannya diajukan pada dirinya sendiri. Filsafat SK berangkat dari
dirinya sendiri. Ketika dia ragu-ragu saat akan menikah, keragu-raguan itulah yang menjadi
filsafatnya.
Judul buku yang ditulisnya (aslinya dalam bahasa Denmark: Enten‒Eller; Latin: Aut-Aut;
Inggris: Either-Or) sangat emblematis, karena hidup adalah segala posibilitas. Hidup manusia
adalah pergulatan, apa yang dihadapinya bukan kepastian, namun banyak kemungkinan. “Fear
& Trembling” (Ketakutan dan Kegentaran) adalah lukisan SK terhadap apa yang terjadi pada
Abraham dan Ishak (Kej 22:1-19). SK menguraikan bagaimana ketakutan dan kegentaran
menyatu dalam peristiwa ini. Segala pergumulan ini melebur menjadi satu, menjadi iman
Abraham. Konteksnya adalah manusia eksistensi. Itulah fondasi dari esensi manusia. Apa
artinya eksistensi mendahului esensi. Iman Abraham datang sesudah pengalaman kecemasan,
ketakutan, dll. Iman bukan sebuah definisi, yang datang begitu saja. Iman menjadi nyata dalam
pengalaman hidup konkret. Iman tidak muncul tanpa pergulatan.
16 November 2012
SK menggulirkan eksistensialisme yang memiliki keyakinan mendasar bahwa eksistensi
mendahului esensi. Kodrat manusia tidak berasal dari konsep-konsep natural atau abstrak,
melainkan berasal dari pengalaman manusia dengan segala suka dukanya, kecemasan,
kegembiraan, dsb. Manusia tidak disimak dari subjektivitas Descartes, melainkan subjektivitas
manusia secara utuh sepenuhnya dengan segala posibilitasnya. Karena manusia itu subjektif,
manusia menjadi tokoh sejarah. Manusia menjadi manusia yang bermartabat yang mengatasi
batas-batas artifisial (jabatan, gelar, kepandaian, status sosial, dll.). Menjadi tokoh sejarah
berarti “menjadi kemungkinan”. Maksudnya, suatu cara pikir eksistensialis di mana ketika
manusia menjadi tokoh sejarah, manusia siap menghadapi segala kemungkinan dalam hidupnya.
Sistem filsafat tidak lagi seperti Descartes dengan Cogito atau Hegel yang dialektis, melainkan
ada dalam hidup manusia sendiri. Filsafat tidak lagi direduksi pada kebenaran-kebenaran parsial
dari eksistensi manusia, tetapi dalam keseluruhan hidup manusia sendiri. Kebenaran bukan
perkara Cogito, dialektik, atau ideologis. Kebenaran tidak lagi objektif atau mengacu pada objek.
Bagi SK kebenaran adalah hidup manusia sendiri, manusia dengan segala pengalaman hidupnya.
Maka dalam hidup manusia, tidak ada satu hal pun yang tidak bermakna. Tidak ada periode
setitik pun dalam hidup manusia yang tanpa makna. Makna tidak berada hanya pada kesenangan,
keberhasilan, kejayaan, atau kemenangan, tetapi juga dalam kekalahan, kepahitan hidup,
kesesakan, atau bahkan dalam saat-saat krisis di mana orang hampir mati.

7

Eksistensialisme filosofis punya dua musuh besar yaitu:
1.

Manusia Massa [Simbol] manusia larut dalam kerumunan yang terjadi secara dramatis
karena imbas dari revolusi industri dan periode ideologis. Manusia massa melihat manusia
sebagai bagian dari kerumunan massa. Di Indonesia, hal ini tampak pada saat PKI dihabisi.
Semua yang berlabel PKI dibakar, dihancurkan, dan dibunuh. Apa yang artifisial dianggap
eksistensial. Manusia disamakan dengan labelnya.
2.
Masyarakat Ideologis [Simbol] akal budi manusia direduksi sebagai alat, instrumen.
Akal budi manusia tidak dimaknai dalam hubungannya dengan pemanusiaan, tetapi hanya
digunakan untuk mengejar tujuan ideologi. Akal budi bukan milik pribadi manusia, tetapi
milik partai atau kelompok tertentu. Hal ini tampak di Indonesia pada zaman orde baru.
Rasio instrumentalis bersifat propagandis, seperti jalan pikiran ideologis. Propagandis berarti
ideologi itu menindas, memaksa, koersif (komunikasi dengan cara menimbulkan rasa ketakutan
bagi komunikan agar secara tidak sadar bertindak sesuai keinginan komunikator; sumber:
www.wikipedia.com). Jika seseorang tidak hidup sesuai ideologi tersebut, orang itu dilihat
sebagai pelanggar hukum, outsider, di luar lingkup masyarakat dengan ideologi tertentu. Rasio
menjadi milik ideologi dan harus mengejar tujuan ideologi tersebut.
Di antara rasio instrumentalis dan rasio eksistensialis terdapat pergeseran mendasar khususnya
dalam etika. Etika eksistensialis SK punya fondasi yang jelas yaitu pada pengalaman
subjektivitas manusia dalam hubungannya dengan orang lain yang hidup bersamanya. (SK juga
nantinya mengajak kita untuk melihat hubungan subjektivitas manusia ini dengan Tuhan.)
Kebaikan dan keburukan dilihat sejauh membelas eksistensi manusia.
Tujuan kebaikan dalam etika SK diletakkan pada nilai yang memuliakan eksistensi manusia.
Nilai yang memuliakan eksistensi manusia adalah kebebasan, kendati SK belum memaknai
kebebasan setajam Nietzsche atau Sartre. Otentisitas manusia terletak pada kebebasan. Tanpa
kebebasan, manusia belum sampai pada kemanusiaannya.
Dalam kaitannya dengan Tuhan, puncak iman kepada Tuhan adalah kebebasan. Manusialah yang
memilih untuk beriman sepenuhnya pada Tuhan. Mengikuti dan mengimani Tuhan tidak terjadi
dalam keterikatan atau keterpaksaan. Mengimani Tuhan harus dengan kebebasan, namun bukan
sekadar bebas dari rasa takut, penderitaan, kegalauan, atau kecemasan. Dalam SK, kebebasan
terjadi dalam penemuan kodrat relasi antara manusia dengan Tuhan. Filsafat yang religius ini
menarik untuk dilihat dalam masyarakat sekularis. Masyarakat sekularis tidak dapat menyangkal
kebenaran SK yaitu pengalaman kebebasan anak-anak Allah. Paus Benediktus XVI juga
mengatakan hal yang sama berkaitan dengan sekularisme yang melanda Eropa. Manusia
merindukan kebebasan anak-anak Allah. Filsafat SK ini disebut religius bukan dalam arti yang
dangkal, tidak berhenti pada iman kepada Allah begitu saja. Bagi SK, iman pertama-tama
berangkat dari pengalaman hidup. Iman adalah rahmat tetapi penghayatannya tidak serta-merta
intens/mendalam. Kedalaman iman terjadi melalui proses dalam pengalaman hidup manusia.
Iman Abraham adalah contohnya. Iman Abraham tidak berhenti pada Abraham tetapi pada sabda
Tuhan yang mengatakan, “Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah
Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk
menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Kej 22:12)
SK mengubah sistem filsafat menjadi sebuah narasi. Filsafat adalah kisah hidup manusia. Kisah
hidup manusia menjadi samudra filsafat.

8

19 November 2012
Filsafat Romantisme
Romantisme sebenarnya mendahului idealisme secara kronologis. Romantisme adalah apa yang
sering disebut sebagai tren filsafat atau suasana peradaban rasionalitas pada waktu itu, yang lebih
mengedepankan perasaan, nafsu, hasrat, kehendak, passion, yang berhubungan dengan
keindahan. Jadi romantisme di sini bukan soal seperti yang dipahami umum, yaitu yang
berkaitan dengan percintaan.
Romantisme dapat disebut sebagai periode filosofis yang menanggapi rasionalisme Kantian.
Kant bernuansa seolah-olah dunia itu selesai dalam akal budi, bahkan juga pengetahuan selesai
dalam struktur rasional akal budi manusia. Kant luar biasa dalam sistem filsafat, tetapi Kant tidak
cukup memberi semacam respons terhadap kedahagaan manusia. Jadi romantisme bisa disebut
sebagai kelanjutan atau reaksi atas filsafat Kantian. Romantisme pertama-tama menyeruak dalam
bentuk-bentuk keindahan.
Keindahan yang paling jelas, muncul pada misalnya musik, lukisan. Musik dan lukisan, kita
tidak hanya bicara soal nada yang indah atau gambar yang indah, tetapi kita juga bicara
mengenai kedalaman persepsi. Musik bukan nada yang digabung-gabung dan lantas menjadi
keindahan, namun sesungguhnya adalah cetusan keindahan yang terekam dalam kapasitas
manusia. Musik adalah hujan titik-titik embun hasrat manusia.
Mozart, misalnya, seolah-olah lahir sebagai musik itu sendiri. Dia bagaikan badai keindahan.
Salah satu contoh lain, Beethoven ketika menuliskan dirinya dalam simfoni no. 9, di mana
Beethoven tidak mendengarkan musik, melainkan melihat musik. Bach juga tidak menulis musik
tentang sengsara Yesus, tetapi ia sedang mengarahkan diri pada Passio Christi. Seolah-olah
musik romantisme membawa kita pada suasana musik itu sendiri. Mata dan hati tertuju pada satu
titik fokus di mana musik itu diarahkan. Lagu Ave Maria Schubert, seperti mengajak kita betulbetul berada dalam pelukan Bunda Maria, seperti dalam lindungan Bunda Maria. Musik
Halleluya Handell, seolah-olah menjadi teologi dalam musik.
Jadi musik, sebenarnya merupakan ekspresi batin, passion, kapasitas rasa jiwa manusia. Dalam
romantisme keindahan itu seolah melibatkan semuanya.
Dalam seni lukis, lukisan periode romantisme, romantisme mencetuskan rasa bahwa bukan rasa
puas yang masuk dalam diri kita, melainkan lukisan itu seperti memicu dalam diri kita yang
melihat lukisan itu, misalnya rasa kesepian, kesendirian, kesunyian, kenaifan, kegersangan.
Misalnya lukisan pohon-pohon gersang di musim dingin, membawa kita ada suasana kesunyian
musim dingin.
Romantisme juga masuk dalam sastra. Misalnya kisah Umberto Eco yang menulis Nel Nome
della Rosa. Ketika dia menggambarkan suasana musim gugur di lapangan biara, seolah-olah
aroma dedaunan musim gugur itu bisa terasa. Seolah-olah sastra mampu melibatkan seluruh
kerja indra, yang membuat hati manusia terangkat, dan matanya terbelalak. Inilah gaya filsafat
romantisme.
Berbeda dengan Kant di mana filsafatnya berhenti pada rasionalitas akal budi. Perasaan manusia,
cita-citanya, keinginannya seolah-olah bukan bagian dari kehidupan manusia. Padahal kita tahu
bahwa semuanya itu tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia.

9

Romantisme masuk dalam berbagai bidang seni, termasuk musik, lukisan, pahatan, dan sastra.
Romantisme mencetuskan sebuah filsafat yang menjadi tak lain keterlibatan pengalaman dan
kapasitas rasa manusia. Dalam romantisme, cita-cita menjadi begitu penting. Mimpi-mimpi
menjadi urutan pertama dalam filsafat. Kemarahan, kesedihan, pengalaman cemas, ketakutan itu
dihargai. Pendek kata, manusia adalah manusia dengan segala cetusan kapasitas keindahan.
Kecemasan dimaknai sedemikian rupa, tidak ditolak namun diterima sebagai bagian hidup dan
keindahan hidup itu sendiri. Keindahan bukan sebatas kenikmatan. Indah tidak disamakan
dengan nyaman. Kenyamanan bukan keindahan dalam romantisme.
Kita tahu bahwa Allah dimaknai sebagai tremendum et fascinosum. Tremendum artinya Tuhan
itu menakuntukan, menggentarkan, membuat manusia bergetar. Tetapi pada saat yang sama
Tuhan adalah Dia yang memikat, Dia yang begitu indah, Dia yang jika memelukmu tak akan
mau kamu lepaskan dan tak mau melepaskanmu. Dia adalah keindahan itu sendiri. Fascinosum
adalah segala yang dirindukan oleh manusia. Maka kita tahu dengan baik bahwa Teologi pada
masa romantisme itu mengurai relasi-relasi yang sangat kompleks dan mendalam antara manusia
dengan Tuhan.
20 November 2012
Romantisme dalam ensiklopedi filsafat, tidak langsung masuk dalam aliran filsafat. Romantisme
lebih merupakan suasana, epocha, zaman pada waktu itu yang lebih mengemukakah eksplorasi
keindahan. SK misalnya berkata bahwa tahapan estetika merupakan tahapan yang mendahului
tahapan religius, maka orang memiliki cita rasa religius karena dirinya melewati tahapan
estetika. Romantisme nyaris tidak memberi pemikiran filosofis baru, namun memberikan
suasana baru.
Salah satu filosof pada periode ini ialah Fredrick Schleirmacher. Schleirmacher adalah salah
satu contoh nyata seorang filosof yang memberikan posibilitas revolusi pada apa yang nanti akan
menjadi amat sangat penting dalam filsafat yaitu hermeneutika. Schleirmacher menggulirkan
poin tentang makna. Apa itu makna? Sebelumnya, filsafat yang mengeksplorasi hermeneutik
nyaris tidak ada. Makna itu ada dalam apa yang diekspresikan oleh kisah, kata, frase, atau
kalimat itu. Dan yang sangat dominan adalah alegori, yang mengatakan cara mengenal makna
dengan mencari padanan kata dan arti.
Misalnya kisah orang Samaria, korban perampokan adalah orang berdosa, orang yang menolong
itu Yesus dan dibawa ke penginapan yang melambangkan Gereja. Ini cara Agustinus yang
disebut alegorisme. Metode ini sering dipakai dalam zaman skolastik. Filsafat mediovale mulai
meninggalkan metode alegori pada zaman skolastik. Bagi Schleirmacher, yang namanya bahasa
itu memiliki konteks, kisah memiliki konteks historis. Jadi sejarah itu menjadi sangat penting
untuk mengerti teks, teks itu punya kisah, punya sejarah. Schleirmacher kemudian mengusung
ketika kamu melihat ada kata atau kalimat atau kisah, maka maknanya bukan ada pada kata atau
kisah itu tetapi makna di balik itu. Suatu syair lagu menyampaikan apa yang tidak ada dalam
syair itu sendiri, karena maknanya ada di balik kata-kata itu. (bdk. Lagu “Broken Vow” Lara
Fabian). Kata atau kalimat dalam FS mengatakan apa yang ada di balik itu, Hermeneutika
memiliki fondasi yang sangat kompleks dalam filsafat Schleirmacher. Makna itu bukan / tidak
merupakan fatwa, bukan doktrin. Makna adalah apa yang tidak dilihat dalam teks itu, karena
memang berada di baliknya. Maka untuk mengerti teks, orang harus belajar historis. Maka etika
Schleirmacher sering disebut Historis Kritis. Pemikiran Schleirmacher identik dengan Historis
Kritis.

10

Ketika terjadi revolusi Prancis, muncul tarekat Suster-Suster Cinta Kasih dari Yohana Antide
Touret. Tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang memberikan sup hangat kepada para
gelandangan yang kelaparan. Tarekat ini pernah disebut tarekat-tarekat pemberi sup hangat.
Pembaca sejarah saat ini, tentu berpikir “Koq memberi sup hangat saja pake tarekat religius?”
tetapi konsep ini jika dibaca dalam Schleirmacher, mengatakan sesuatu yang sangat mendalam,
karena ia menunjukkan realitas tidak dalam penampakannya, melainkan di balik itu. Sup hangat
yang ada di sini bukan sekadar sup hangat begitu saja. Sup hangat yang ada di sini adalah elemen
penting dari makanan. Orang makan roti keras tidak bisa langsung dimakan. Dengan sup hangat
itulah, orang baru bisa makan roti. Jadi sup hangat adalah komponen penting dalam makanan
sehingga seseorang bisa makan dengan terhormat. Hal ini bisa dimengerti melalui Historis Kritis.
Apa yang dilakukan para suster itu bukan sekadar merebus sup, tetapi pengakuan martabat
manusia agar mereka dapat makan secara layak dan pantas. Hal ini tidak sesimpel yang
dipikirkan. Pasionis adalah salah satu kongregasi yang unik karena devosinya pada Sengsara
Yesus. Mungkin Kongregasi inilah yang memiliki kedalaman untuk melihat paku salib. Karena
paku ini, manusia diselamatkan.
Schleirmacher mengatakan bahwa kata dan bahasa punya konteks. Schleirmacher menggugah
kita tentang makna teks secara historis. Cara mengerti hermeneutika tidak terlalu sulit. Apa yang
kita ketahui dari kisah penciptaan? Apa itu kisah penciptaan? Misalnya, matahari berputar
mengelilingi bumi. Bumi menjadi pusat segalanya. Lalu dengan adanya pengetahuan, Kitab Suci
terbukti salah. Namun logika untuk mengerti kisah penciptaan dalam konteks perkembangan
ilmu pengetahuan dan kesimpulan bahwa ini salah, cara berpikir ini salah. Cara berpikir ini
salah. Mengapa? Di mana salahnya? Salahnya ada pada kita memperlakukan Kitab Suci yang
tidak jauh berbeda dengan buku ilmu pengetahuan. Buku ilmu pengetahuan adalah buku yang
ditulis sepenuhnya dengan metodologi ilmu pengetahuan. Kitab Suci bukan buku ilmu
pengetahuan.
23 Oktober 2012
Salah satu hal yang harus dikatakan tentang Schleirmacher adalah sumbangannya dalam
hermeneutika. Sumbangannya dalam hermeneutika ialah tentang asal usul bahasa (Origin of
Language). Bahasa merupakan keajaiban dari peradaban manusia. Kita semua memiliki
kesepakatan “tak tertulis” mengenai bahasa, dan memungkinkan kita mengekspresikan tidak
hanya diri dalam arti psikologis tetapi juga kecerdasan dan memungkinkan hidup menjadi begitu
memesona. Itu karena bahasa. Manusia dapat mentransendensikan diri, mengatasi keterbatasan
diri. Tak terbayang jika kita tidak mengerti orang lain, dan orang lain tidak mengerti kita.
Momen ini adalah momen paling berat bagi manusia. Mengerti secara timbal balik ini
merupakan momen yang paling manusiawi dalam hidup. Dan tool pengertian yang timbal balik
ini dimudahkan oleh bahasa. Pertanyaan yang mau digali dan dieksplorasi Schleirmacher adalah
bagaimana asal-usul bahasa. Bagaimana bahasa dimulai? Salah satu yang bagi Armada ketahui
bahasa yang sulit entah itu bahasa Cina, atau Prancis memiliki keunikan dalam cara bicara yang
menurutnya partikular. Belakangan dia dengar bahwa ada orang yang spontan belajar bahasa
Prancis, bertanya mengapa apa yang tertulis beda jauh dengan yang diucapkan. On peut quand
on vent. Dibaca: Au pe ka au ve. Artinya “Orang bisa jika orang mau.” Jadi bagaimana mungkin
bahasa bisa seunik ini karena contoh yang paling jelas, yang saya dengar berbeda dengan
tulisannya. Karena salah satu poin yang paling jelas, bahasa itu sering kali mulainya konon dari
pengucapan. Bahasa tidak mulai dari tulisan, tetapi dari ucapan. Tulisan itu datang belakangan.
Mengapa? Mungkin, ini sebuah kebutuhan nyata bahwa ekspresi bahasa bukanlah sekadar

11

ekspresi bunyi, melainkan ekspresi akal budi, ekspresi kecerdasan. Bahasa-bahasa seperti
Prancis, Inggris, dll., ketika diucapkan mungkin tidak terlalu sulit, bagi orang setempat. Tetapi
ketika yang ditulis sama dengan yang diucapkan, maka muncul benturan dari sisi gramatika
misalnya orang pertama, kedua dan ketiga (aku, kau, dia) kemudian jamak, nah dalam bahasabahasa Eropa (Latin, Italia, Prancis, Jerman) kata kerjanya berubah.
Teori bahasa menurut Schleirmacher, bahwa bahasa itu memiliki kodrat historis. Jadi bahasa itu
gandeng dengan konteks historis kultural setempat. Bahasa memiliki kodrat yang unik seiring
dengan rasionalitas manusia setempat. Bahasa itu bukan sekadar bunyi yang melambangkan
sesuatu. Bahasa Cina, Korea, Jepang itu sama halnya dengan bahasa lain (termasuk Mesir),
sifatnya simbolik. Bahasa dalam hal ini simbol atau representasi dari apa yang dimaksud.
Menurut Schleirmacher, bahasa itu tak hanya simbolik, tetapi bahasa menjadi suatu rincian
(reasoning), seolah-olah akal budi manusia menemukan sarananya untuk melakukan penalaran.
Menalar (do reason/reasoning). Ingat bahwa reasoning beda dengan understanding. Reasoning
artinya orang menalar, artinya orang mengungkapkan bukan hanya sekadar cetusan-cetusan
bunyi dengan simbol, tetapi itu menjadi satu kesatuan yang menunjukkan ide. Misalnya, CINTA.
Cinta ada itu, sulit didefinisikan karena sangat kaya maknanya. “Aku Cinta Padamu” adalah
sebuah ide yang melibatkan keseluruhan diri manusia. Jangan cinta dipermainkan karena jika
kita sudah melakukan reasoning ini sudah melibatkan seluruh hidup manusia. Cinta seorang ibu
pada anaknya, misalnya. Cinta ibu sudah bukan lagi bahasa dalam arti bahasa sebagai sebuah
simbolisme. Itu sebuah elaborasi yang melelahkan, menyenangkan, menyakitkan, dst.
Bahasa mencetuskan kompleksitas akal budi manusia. Bahasa memiliki sejarah. Dengan
Schleirmacher seolah kita dibangunkan dari tidur sehingga ketika kita mendengar bahasa itu
seperti sebagai sesuatu yang real. Khotbah sebenarnya sebuah permainan bahasa. Misalnya,
kalau seseorang mau ke Mesjid, sebenarnya Allah sudah menghitung pahala orang itu sejak
langkah pertama dari rumahnya. Dan langkah pertama ini pahalanya besar. Bayangkan jika
ketika ke Mesjid, 100 langkah, maka ada 100 pahala. Ini baru melangkah, masih ada melepas
sandal, lalu wudhu, dan sholat.
Schleirmacher mengingatkan kita bahwa bahasa tidak sesederhana itu. Dan karena itu, bahasa
disebut apa yang disebut sistem gramatika. Gramatika mengatakan bahwa bahasa itu suatu alat
reasoning, penalaran.
Sumbangan kedua adalah teori interpretasi / hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah perkara
penerjemahan. Bagaimana seseorang menerjemahkan kata atau kalimat. Penerjemahan itu bukan
memindahkan kata. Contoh, badan dalam bahasa Inggris body. Enak dalam bahasa Inggris
Delicious. Saya tidak enak badan lalu diterjemahkan my body is not delicious. Akan menjadi
sangat lucu, dan tentu saja tidak ada dalam bahasa Inggris. Penerjemahan ini bukan seperti ini.
Penerjemahan bukan memindahkan kata. Schleirmacher mengingatkan kepada kita bahwa studi
bahasa bukan menghafal kata, tetapi melakukan reasoning.
Bahasa itu cetusan reasoning, cetusan akal budi, oleh karena itu bahasa punya Gramatika,
partikularitas dalam gramar. Belajar bahasa bukan belajar kata, tetapi Schleirmacher juga
mengatakan lebih dalam bahwa belajar bahasa itu belajar budaya, belajar kompleksitas manusia.
Belajar realitas.
Kita lemah dalam bahasa Inggris bisa karena malas, tetapi yang paling dramatis adalah karena
kita memiliki kecenderungan tertutup dan kurang mau masuk dalam studi sejarah dan
kebudayaan bangsa manusia. Bahasa menjadi seperti yang lepas dari budaya dan sejarah. Dalam

12

konteks ini, bahasa Dayak ada sekian ratus dan hampir satu sama lain berbeda. Tidak setiap
orang Dayak memahami bahasa orang Dayak yang lain dari sub-suku yang lain. Maka
Schleirmacher menyadarkan kita bahwa bahasa tidak bisa lepas dari konteks kebudayaan.
Dalam bahasa Cina misalnya untuk menyapa menggunakan “Apakah kamu sudah makan?” Hal
ini punya sejarahnya yaitu karena orang Cina pernah sangat miskin. Maka untuk mengetahui
kabarnya adalah dengan bertanya apakah kamu sudah makan. Jelaslah bahwa bahasa tidak lepas
dari konteks.
Misalnya lagi pada masa Vincentius, ia berkata kepada para romonya, “Kita harus mencintai
orang miskin. Kita harus pergi kepada mereka, diinjili oleh mereka.” Kata miskin dulu jauh beda
dengan sekarang. “Miskin” pada saat itu adalah miskin yang sungguh-sungguh miskin. Sekarang
di Indonesia, “miskin” berarti orang yang tidak punya rumah. Kalau makanan masih punya
semiskin-miskinnya orang. Kalau zaman dulu, orang miskin tidak hanya tidak punya rumah atau
makanan, tetapi juga ditinggalkan dan diabaikan. Kata “miskin” berbeda dalam setiap periode.
Miskin pada waktu itu juga kena pada para imam, antara lain imam yang tidak punya keahlian,
kepintaran, atau bahkan tidak bisa memberi absolusi.
Kembali ke Schleirmacher. Baginya, ketika kita memahami makna bahasa, maka diperlukan
metodologi komparatif. Metodologi ini seperti apa? Metode komparatif ialah cara kita mengerti
bahwa jika kata dijejerkan, menjadi tidak dari sendirinya sepadan maknanya. Jangan sampai kita
mengucapkan dalam bahasa Italia, “Aku tahu ibumu.” Orang Italia akan marah. “Fancuno =
anak-anak. Fanculo = kata-kata kotor sekali. Dalam bahasa Filipina (Tagalog), setelah makan
jangan minta tusuk gigi. Jangan. Nggak tau...??? tanya Romo Yus. (Mungkin arti “May I have
toothpick?” akan diartikan “Semoga aku punya gigi.” dalam bahasa Tagalog.)
Hermeneutika menjadi cetusan kecerdasan yang luar biasa. Ketika Musa dan Yosua
menghentikan matahari sebab perang hampir selesai, itu bukan perkara Musa menghentikan
matahari. Itu bukan artinya matahari yang berjalan mengelilingi bumi lalu berhenti. Lalu apa
artinya? Karena SC kita mengerti bahwa mungkin doa Musa adalah doa yang memenangkan
ketidakmungkinan, memenangkan imposibilitas. Tidak ada yang tidak mungkin dalam doa.
Tetapi ini bukan satu-satunya interpretasi. Namun setidaknya karena Schleirmacher kita tahu
bahwa kata, frase atau kisah itu tidak seperti yang dimaksudkan, tidak seperti yang dipikirkan.
Ada makna lain. Inilah Hermeneutika. Hermeneutika berarti seperti Hermes, dewa yang
menerjemahkan kata-kata dari para dewa kepada manusia. Dewa ketika bicara itu tidak jelas.
Tetapi ada Hermes yang menerjemahkan. Jadi dalam teori ini, pengarang atau penulis atau
author itu memiliki pesan yang tersembunyi di balik kata atau frase. Tugas pembaca ialah
menemukan pesan yang tersembunyi itu.
30 November 2012
Pergumulan filsafat modern dapat diringkas dalam satu kata, yang sering kali disebut nada dasar
filsafat modern yaitu rasio, lalu menjadi rasionalisme. Filsafat modern itu punya kekhasan yang
sangat mudah dihafal yaitu apa yang disebut dengan rasionalisme. Tentu saja untuk memahami
rasionalisme, kita tidak boleh begitu naif, seolah-olah rasionalisme itu jenis komunisme atau
atheisme. Bukan. Rasionalisme adalah apa yang diturunkan dari Filsafat Cogito. Jadi modern itu
sendiri sebenarnya cara mengertinya dari kata Latin “modus”. Kita sudah memahaminya di awal
kuliah, filsafat modern berarti filsafat metodos, filsafat metode, filsafat model. Jadi kata modern
di sini bukan lawan dari kuno. Modus di sini mengatakan bahwa kalau filsafat diletakkan pada
kesadaran, kita tahu bahwa cogito pertama-tama mengatakan kesadaran, maka kelanjutan dari

13

kesadaran itu ialah filsafat itu mencari metodologi, mencari modus, mencari metodos.
Metodologi apa, atau untuk apa? Untuk mengejar kebenaran baru. Bagaimana caranya? Cara
yang paling primitif, primordial untuk mencari kebenaran baru ialah dengan meragukan
kebenaran lama. Dari sendirinya, proses ini memicu munculnya ilmu pengetahuan. Filsafat
modern mendistingsi subjek objek. Hal ini belum muncul dalam Skolastik. Filsafat Cartesian
memicu tumbuhnya ilmu pengetahuan secara amat sangat dramatis. Apa bedanya filsafat dan
biologi? Bedanya ada pada metodenya dan sudut pandangnya.
Friedrich Nietzsche
Nietzsche memiliki gebrakan yang belum pernah terjadi sejak Descartes. Yang sering kali luput
dari perhatian adalah bahwa dia adalah filsuf yang menutup atau mengakhiri filsafat modern.
Apa maksudnya menutup modernisme? Nietzsche disebut penutup modernitas karena rasio tidak
lagi dipakai sebagai fondasi, titik tolak. Kita tahu dengan baik bahwa apakah filsafat modern
punyai titik tolak dalam rasio, ya. Dalam hubungan dengan apa rasio dipakai sebagai titik tolak?
Dalam hubungannya dengan hampir semuanya, yaitu misalnya ranah epistemologis, etis, moral,
filosofis, saintis, historis, hermeneutis, ideologis, teologis.
Postmodern sering kali mengatakan bahwa cara berpikir filsafat modern ialah cara berpikir yang
disebut dengan fundasionalisme. Hal ini juga menjadi alat verifikasi, membuktikan kebenaran.
Dalam empirisme Hume, nyata bahwa mereka memiliki logika yang disebut logika kebenaran,
yaitu kebenaran merujuk pada pengalaman. Bagaimana jika seorang manusia berkata, “Tidak”
pada akal budi? Akan terjadi kehancuran sistem filsafat. Fundasionalisme tidak terpakai lagi.
3 Desember 2012
Maka FN disebut pencetus postmodernisme dengan menghantam fondasi ini. Kita, bersama
dengan Nietzsche menutup modernisme. Kita telah melihat ambisi filsafat modern. Ambisi pada
prinsipnya dapat diringkas pada apa yang sering kali dalam filsafat saat ini disebut dengan
“mencari fondasi” atau yang kita sebut fundasionalisme. Fondasi mengatakan suatu bangunan,
istana, sistem filsafat. Sistem ini begitu cemerlang dalam modernisme. Sistem itu menyentuh
lapangan apa saja yang berhubungan dengan filsafat, yaitu epistemologi. Sistem epistemologi
Kantian tampak seperti sesuatu yang memiliki rangka yang kuat. Historisisme Hegel, sejarah
manusia seolah-olah tak ada yang tertinggal. Sistem ideologis seolah-olah rasionalitas manusia
selesai dalam ideologi. Seseorang yang mengikuti suatu ideologi, seolah-olah telah menjadikan
orang itu sebagai ideologi itu sendiri. Perihal ideologis ini tampak dalam komunisme. Juga pada
zaman Soeharto. Media tulisan-tulisan menjadi sasaran banal pada zaman Soeharto. Buku-buku
komunisme dicari dan dihancurkan. Dalam Psikologi, juga menunjukkan peran empirisme yang
diacu dari modernisme. Teknologi jelas merupakan produk dari ilmu pengetahuan. Produk dari
akal budi manusia mencari cara untuk menemukan kebenaran-kebenaran ilmiah yang baru.
Nietzsche membongkar modernisme dengan menyangkal dan menolak rasio. Akibatnya, dari
sendirinya runtuhlah bangunan, sistem itu. Runtuh artinya periode ini sudah masuk dalam
periode tidak. Artinya, sejarah sudah tidak seperti yang dekonstruksi oleh Hegel. Epistemologi
tidak lagi seperti yang diajukan oleh Kant, termasuk penilaian moral. Kant mengajar moral
dengan prinsip ontologisasi dan deontologisasi yang melakukan pendekatan pada moral.
Misalnya, “Mengapa saya belajar giat? Mengapa saya berdoa? Karena itu baik. Karena baik,
maka harus dikerjakan. Hidup itu seperti itu, melaksanakan apa yang baik.” Kant menentukan

14

dan melakukannya berdasarkan akal budi. Kant meletakkan manusia pada realitas ketinggian
dalam hidup yang tidak memiliki preseden terutama dalam kaitannya dengan moral. Bagi
Nietzsche, moral tidak seperti itu. Begitu pula kaitannya dengan seni. Romantisme memiliki
fondasi, di mana keindahan itu tunduk pada prinsip-prinsip harmoni dalam nada. Keindahan
musik klasik, romantisme, praktis tidak dari sendirinya, melainkan produk dari akal budi. Bagi
Nietzsche tidak seperti itu. Keindahan juga bisa ada dalam sesuatu yang ritmis, misalnya drum.
Yang disebut harmoni bukan yang masuk dalam akal budi, melainkan alami, seperti kicauan
burung, desiran angin, bunyi dedaunan yang berjatuhan. Termasuk juga musik Jazz, di mana
semuanya bisa dibilang unpredictable.
Nietzsche menjadi inisiator filsafat postmodern, karena filsafat postmodern adalah filsafat yang
nyaris tanpa forma, tanpa bentuk, tanpa titik kulminasi. Tidak ada lagi fondasi yang menggiring
kita pada titik kulminasi, puncak. Pada periode modern, filsafat tampak seperti tangga menanjak.
Seperti Darwin, ada titik kulminasinya, yaitu ketika temuannya mengobrak-abrik Kitab Suci.
Kitab Suci berkata manusia diciptakan Tuhan. Darwin mengatakan manusia berasal dari evolusi
makhluk primata p