Kajian 2015 kebijakan pemanfaatan pinjam

KATA PENGANTAR

Dalam rangka mencapai target pembangunan nasional sesuai dengan RPJMN 2015-2019, diperlukan pendanaan baik dari sisi Pemerintah, Badan Usaha (Swasta), maupun Masyarakat. Salah satu sumber pembiayaan pemerintah berasal dari pinjaman luar negeri. Selain sebagai sumber pembiayaan, pinjaman luar negeri juga berperan dalam rangka kerjasama pembangunan (development cooperation). Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri yang tepat, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pinjaman luar negeri dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional.

Kajian ini ditujukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pemanfaatan pinjaman luar negeri yang ditinjau dari aspek makro dan aspek mikro. Analisis makro dilakukan selaras dengan arah kebijakan makro dalam RPJMN 2015-2019. Analisis mikro dilakukan dengan melihat manfaat proyek pinjaman luar negeri bagi pihak- pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek maupun penerima manfaat (beneficiaries). Kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi peningkatan efektivitas dan optimalisasi pinjaman luar negeri dalam rangka mendukung prioritas pembangunan RPJMN 2015-2019.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan dan kerjasamanya kepada para narasumber dari pihak pemerintah, akademisi, dan pengelola proyek pinjaman luar negeri, yang telah terlibat dalam forum diskusi maupun kunjungan proyek yang telah kami selenggarakan dalam rangka penyusunan kajian. Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan kajian yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan pinjaman luar negeri.

Jakarta, Desember 2015

Direktorat Perencanaan dan Pengembangan Pendanaan Pembangunan

DAFTAR SINGKATAN

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BMP

: Batas Maksimal Pinjaman BPPSDMP

: Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian

BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN

: Badan Usaha Milik Negara CCDP

: Coastal Community Development Project DAC-OECD

: Development

Organisation for Economic Co-operation and Development's

Assistance Committee-The

DIPK : Daftar Isian Pengusulan Kegiatan DPRD

: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DRPLN-JM

: Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri-Jangka Menengah / Blue Book

DRPPLN : Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri/Green Book DSR

: Debt Service Ratio DTO

: Debt to Output Ratio (Debt to GDP Ratio) DTX

: Debt to Export Ratio DUK

: Dokumen Usulan Kegiatan FDI

: Foreign Direct Investment FGD

: Focus Group Discussion ICOR

: Incremental Capital Output Ratio IFAD

: The International Fund of Agricultural Development

K/L : Kementerian/Lembaga KPS

: Kerjasama Pemerintah Swasta LKP PHLN

: Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri LMIC

: Lower Middle Income Countries LSM

: Lembaga Swadaya Masyarakat MTR

: Mid Term Review PDB

: Produk Domestik Bruto Pemda

: Pemerintah Daerah PPN

: Perencanaan Pembangunan Nasional READ

: Rural Empowerment and Agricultural Development

iv

RPJMN

: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPPLN : Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri SBN

: Surat Berharga Negara SBSN

: Surat Berharga Syariah Negara

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan upaya sistematis dan terencana oleh masing- masing maupun seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lebih baik dengan cara memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal, efektif, efisien, dan akuntabel, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih sejahtera. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, diperlukan pendanaan yang memadai yang dapat dipenuhi dari berbagai sumber antara lain dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Terkait dengan sumber pendanaan pemerintah, penerimaan negara saat ini belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan pendanaan pembangunan sebagaimana ditargetkan dalam rencana pembangunan nasional, oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan pembiayaan defisit anggaran.

Sejak tahun 2000, sumber pembiayaan defisit sebagian besar berasal dari utang yang diperoleh dari penerbitan obligasi pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam negeri. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir (2000-2015), rasio utang pemerintah terhadap PDB (Debt to GDP Ratio) turun dari 95 persen pada tahun 2000 menjadi 24,7 persen tahun 2015 (World Bank, 2005). Apabila dibandingkan dengan negara lain, Debt to GDP Ratio Indonesia saat ini relatif rendah. Debt to GDP ratio di beberapa negara berkembang seperti Brazil, India, dan Thailand mencapai sekitar 50 persen, sedangkan di beberapa negara maju seperti Jepang, Italia, dan Amerika Serikat nilainya mencapai lebih dari 100 persen yang didominasi oleh pinjaman domestik dalam bentuk obligasi (Kementerian Keuangan, 2015c).

Dilihat dari komposisi utang Indonesia (Grafik 1.1), selama periode 2010 sampai dengan periode 2015, proporsi obligasi pemerintah (SBN) terhadap PDB naik dari 15,5 persen menjadi 19,0 persen, sedangkan proporsi Pinjaman 1 terhadap PDB turun dari 9,0 persen menjadi 5,7 persen. Dengan semakin menurunnya porsi pinjaman luar negeri, maka pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman luar negeri perlu dioptimalkan dengan meningkatkan efektivitas pinjaman luar negeri.

1 Sebagian besar pinjaman (per tanggal 31 Oktober 2015) berasal dari pinjaman luar negeri (99.5%), pinjaman dalam negeri hanya sekitar 0.5% (Profil Utang Pemerintah edisi November

2015, Kementerian Keuangan).

Grafik 1.1 Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB

Sumber: Profil Utang Pemerintah edisi November 2015, Kementerian Keuangan.

Kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri menjadi hal yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi efektivitas pinjaman luar negeri. Burnside & Dollar (2000) menyatakan bahwa efektivitas pinjaman luar negeri dalam mendukung pembangunan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah termasuk bagaimana pinjaman tersebut dialokasikan. Dilihat dari alokasi sektoral, pinjaman luar negeri di Indonesia mayoritas digunakan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur publik, infrastruktur pertahanan dan keamanan, dan energi (Grafik 1.2). Dengan komposisi alokasi tersebut, pemanfaatan pinjaman luar negeri diharapkan dapat berperan dalam memacu tumbuhnya investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Grafik 1.2 Nilai Proyek Aktif Pinjaman Luar Negeri (Persentase Share (%))

Infastruktur 35,4%

Pertahanan dan Keamanan 27,3%

Sumber: Laporan Kinerja Pelaksanaan PHLN Triwulan II Tahun 2015, Bappenas (diolah).

Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, pinjaman luar negeri memberikan dampak yang beragam bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Kim (2011) di Korea Selatan menemukan bahwa pinjaman luar negeri berhasil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Kunci sukses dari keberhasilnya adalah kepemilikan pemerintah (ownership) yang kuat, manajemen bantuan dan tata kelola pemerintah yang baik (good governance), dan adanya komitmen untuk mengalokasikan pinjaman selaras dengan rencana pembangunan nasional. Di Kamboja, pinjaman luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena diarahkan untuk mempromosikan sektor industri (Mitra, 2013). Di sisi lain, apabila pemanfaatan pinjaman luar negeri tidak dilakukan dengan baik, maka akan memberikan dampak yang kurang efektif bagi pembangunan. Boone (1996) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri kurang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi apabila pinjaman tersebut banyak dialokasikan untuk konsumsi daripada investasi.

Berdasarkan beberapa pembelajaran tersebut, peranan pinjaman luar negeri dalam mendukung pembangunan nasional dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan pinjaman luar negeri. Selain itu, pinjaman luar negeri tidak semata-mata ditujukan untuk menutup defisit (financing gap) saja, namun juga dilaksanakan dalam kerangka kerjasama pembangunan. Oleh karena itu, studi secara mendalam perlu dilakukan untuk menganalisis kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri di Indonesia dalam rangka meningkatkan efektivitas dan mengoptimalkan pinjaman luar negeri dalam mendukung pencapaian sasaran

pembangunan nasional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah bagaimana kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dapat berperan secara efektif dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan kajian ini adalah melakukan telaah kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam aspek makro maupun mikro. Hasil kajian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan rekomendasi bagi upaya peningkatan efektivitas dan optimalisasi pinjaman luar negeri dalam rangka mendukung pencapaian sasaran pembangunan RPJMN 2015-2019.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian ini mencakup analisis mengenai kebijakan pendanaan luar negeri yang diterapkan, identifikasi indikasi kebutuhan pendanaan luar negeri dalam mendukung pembangunan nasional 2015-2019, dan identifikasi kebijakan pemanfaatan pendanaan luar negeri bagi pembangunan nasional 2015-2019.

1.5 Kerangka Pemikiran

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Kebutuhan Pembiayaan

- Kebijakan Pembiayaan Defisit - Pengelolaan Biaya dan

Defisit Anggaran

Risiko Utang (portofolio)

- Kerjasama Pembangunan Surat Berharga Negara (SBN), Internasional

Pinjaman Dalam Negeri, - Transfer of Knowledge

Pinjaman Luar Negeri

dan lain-lain - Investment Leverage

Kebijakan Pemanfaatan

- Peraturan Pemerintah No. 10/2011

Pinjaman Luar Negeri

- Peraturan Menteri PPN No. 04/2011

(RPPLN)

- RPJMN 2015-2019

Kebijakan Pemanfaatan

Kebijakan Pemanfaatan

Pinjaman Luar Negeri

Pinjaman Luar Negeri

(Aspek Makro)

(Aspek Mikro)

PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN OPTIMALISASI PINJAMAN LUAR NEGERI

Untuk membiayai kebutuhan prioritas pembangunan nasional, pemerintah melakukan kebijakan pembiayaan defisit anggaran. Pembiayaan defisit tersebut dapat diperoleh melalui penerbitan SBN, pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam negeri. Kajian ini khusus membahas pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri selain digunakan untuk pembiayaan defisit, juga dimanfaatkan dalam rangka kerjasama pembangunan internasional, transfer of knowledge, dan investment leverage.

Selanjutnya, untuk menerjemahkan kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri, analisis kebijakan pinjaman luar negeri secara lebih detail ditinjau dari dua aspek yaitu, kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam aspek makro dan kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam aspek mikro. Pembahasan dalam aspek makro meliputi bagaimana kebijakan pinjaman luar negeri diarahkan dalam mendukung kinerja neraca pembayaran, mendukung kesinambungan fiskal, sebagai bagian dari pengelolaan biaya dan risiko pinjaman pemerintah, serta mengurangi crowding out effect.

Aspek mikro membahas tentang bagaimana kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri berperan dalam meningkatkan kapasitas implementasi, mengembangkan model proyek/kegiatan (replikasi/scaling up), sebagai instrumen kerjasama pembangunan, dan mendorong peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. Selain itu, kegiatan pinjaman luar negeri diharapkan mampu berkontribusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan akses pelayanan, atau pemerataan pembangunan. Dengan implementasi kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri yang tepat secara makro maupun mikro, peran pinjaman luar negeri diharapkan dapat lebih efektif dan optimal dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional.

1.6 Metode Penelitian dan Pengumpulan Informasi

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi kualitatif dengan melakukan analisis terhadap data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur sumber-sumber tertulis seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Peraturan Menteri PPN Nomor 4 Tahun 2011, RPJMN 2015-2019, DRPLN JM/Blue Book, LKP PHLN, dan lain-lain. Sedangkan data primer dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD), survey lapangan, dan wawancara pihak-pihak terkait untuk mendapatkan masukan.

1.7 Sistematika Penulisan

Kajian ini disusun dengan kerangka penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Bab ini memaparkan latar belakang, tujuan, ruang lingkup, kerangka pemikiran, metodologi, dan sistematika penulisan kajian.

BAB II. Tinjauan Pustaka

Bab ini memaparkan studi literatur terkait dengan pemanfaatan pinjaman luar negeri baik secara teoritis maupun empiris. Selain itu, Bab ini juga menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam beberapa peraturan dan kebijakan yang mendasari pemanfaatan pinjaman luar negeri di Indonesia.

BAB III. Analisis dan Hasil Kajian

Bab ini memaparkan mengenai analisis pemanfaatan pinjaman luar negeri 2015-2019 baik dari sisi kebutuhan maupun kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri selama periode 2015-2019. Selanjutnya, bab ini menjabarkan analisis secara lebih mendalam mengenai pemanfaatan pinjaman luar negeri dilihat dari aspek makro maupun mikro.

BAB IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab ini memberikan kesimpulan dari kajian yang dilakukan dan rekomendasi berdasarkan studi literatur dan analisis yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Studi Literatur yang Mendasari Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri

Modal dan tabungan mempunyai peranan penting dalam mendorong perekonomian suatu negara. Hubungan antara modal dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dalam Harrod-Domar model (1940an) sebagai berikut:

g= � � –�

Persamaan diatas menjelaskan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi (g) sejalan dengan peningkatan modal/tabungan (s), karena modal merupakan unsur utama dalam investasi yang diharapkan akan menggerakkan perekonomian suatu negara. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif dengan incremental capital output ratio (ICOR)/( �). Dalam hal ini, ICOR menunjukkan berapa tambahan modal (investasi) yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Peningkatan ICOR mengindikasikan perekonomian semakin tidak efisien, karena kebutuhan modal (investasi) yang dibutuhkan semakin besar untuk menghasilkan satu unit tambahan output. Depresiasi (d) sebagai indikator penurunan nilai suatu barang/aset akan berdampak pada pengurangan laju perekonomian suatu negara.

Di beberapa negara berkembang, jumlah modal domestik sering kali tidak cukup untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi kesenjangan modal untuk investasi (investment gap) (Perskin et al. 2013). Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dapat berperan sebagai sumber pembiayaan eksternal untuk menutupi investment gap tersebut. Selain berperan sebagai pengisi modal untuk investasi, pinjaman luar negeri juga dapat berperan dalam mengisi kesenjangan antara ekspor dan impor. Hal ini dijelaskan oleh Strout and Chenery (1966) dalam model kesenjangan ganda (the dual gap model). Model ini menjelaskan peran pinjaman luar negeri selain untuk mengisi kesenjangan antara investasi dan tabungan nasional, juga digunakan untuk mengisi kesenjangan antara ekspor dan impor. Dalam konteks perdagangan internasional, teori ini mengindikasikan mengenai peran pinjaman luar negeri yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan impor barang yang dibutuhkan untuk keperluan investasi domestik.

Dari aspek pemanfaatannya, Easterly (2001, p.38) mengemukakan bahwa penggunaan pinjaman luar negeri dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh hubungan (link) antara pinjaman luar negeri dengan investasi. Pinjaman luar negeri berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila dialokasikan untuk investasi. Sebaliknya, pinjaman luar negeri mungkin kurang efektif apabila cenderung digunakan untuk konsumsi (Thirlwall dan Hussein 1982).

Selain itu, pinjaman luar negeri juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila dialokasikan untuk meningkatkan teknologi yang memberikan dampak bagi peningkatan produktivitas suatu negara (Dalgaard et al.2004). Upaya peningkatan teknologi tersebut juga harus diiringi dengan adanya program pelatihan bagi pekerja untuk meningkatkan kapasitas penyerapan dan alih teknologi (transfer of knowledge) (Easterly, 2001 p.57). Hal inilah yang mendasari beberapa negara mengedepankan upaya alih teknologi dalam melakukan pinjaman luar negeri.

Efektivitas Pinjaman Luar Negeri di Korea Selatan

Korea Selatan menjadi negara pertama yang melakukan transformasi dari negara penerima bantuan/pinjaman luar negeri (recipient) selama lebih dari 50 tahun, menjadi pemberi pinjaman luar negeri (donor) sejak tahun 2009 dan bergabung dalam DAC-OECD. Pinjaman dan hibah luar negeri memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan. Kesuksesan pemanfaatan pinjaman luar negeri di Korea Selatan dalam mendukung pembangunan ekonomi didukung dengan kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan berdasarkan kepemilikan yang kuat dan komitmen politik dalam mengelola pinjaman luar negeri di Korea Selatan.

Beberapa pelajaran (lesson learn) yang dapat diambil dari kesuksesan pengalaman Korea Selatan dalam pengelolaan pinjaman luar negeri, diantaranya:

 Korea selatan menyadari pentingnya kerjasama yang erat antara donor recipient dalam pengelolaan pinjaman luar negeri, terutama dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah penerima (recipient) yang cukup kuat dan komitmen politik dalam mengelola dan memanfaatkan pinjaman luar negeri.

 Korea Selatan mendorong donor untuk aktif dalam mendukung terwujudnya good governance di pemerintahan Korea Selatan melalui program-program capacity building

atau skema kerjasama lain. Sumber: (Kim, 2011).

Disisi lain, Burnside dan Dollar (2000) menyimpulkan bahwa pinjaman luar negeri memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang memiliki good policies. Dalam hal ini good policies diindikasikan dengan adanya stabilitas makroekonomi, fiscal sustainability, dan keterbukaan kebijakan perdagangan. Sementara itu, dari sisi pemerataan, pemanfaatan Disisi lain, Burnside dan Dollar (2000) menyimpulkan bahwa pinjaman luar negeri memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang memiliki good policies. Dalam hal ini good policies diindikasikan dengan adanya stabilitas makroekonomi, fiscal sustainability, dan keterbukaan kebijakan perdagangan. Sementara itu, dari sisi pemerataan, pemanfaatan

2.2 Regulasi Pinjaman Luar Negeri

Peraturan mengenai pinjaman luar negeri pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Selain itu, aturan mengenai perencanaan pinjaman luar negeri secara lebih detail diatur Peraturan Menteri PPN No.5 Tahun 2011 tentang Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah. Sesuai dengan ketentuan tersebut, pinjaman luar negeri didefinisikan sebagai setiap penerimaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, dan harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Pinjaman luar negeri yang dilakukan harus memiliki prinsip yang transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.

Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan

mendanai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga, mengelola portofolio utang, diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah, diteruspinjamkan kepada BUMN, dan/atau dihibahkan kepada Pemerintah Daerah. Menurut jenisnya, pinjaman luar negeri dibagi menjadi dua, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. Pinjaman tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portolio utang. Pinjaman kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu.

dan Belanja

Negara (APBN),

Sumber pinjaman luar negeri diperoleh melalui (i) Kreditor Multilateral, (ii) Kreditor Bilateral, (iii) Kreditor Swasta dan Asing, dan (iv) Lembaga Penjamin Kredit Ekspor. Kreditor Multilateral adalah lembaga keuangan internasional yang beranggotakan beberapa negara. Kreditor Bilateral adalah pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara asing. Kreditor Swasta dan Asing adalah lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional, dan lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah

Pemberian pinjaman bukan hanya sebagai suatu bentuk bantuan kemanusiaan, namun juga sebagai penegas preferensi pemberi pinjaman terhadap kondisi geografis (geo-strategis) suatu negara.

Negara Republik Indonesia yang memberikan pinjaman tanpa jaminan dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor. Lembaga Penjamin Kredit Ekspor adalah lembaga yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi, bunga, dan bantuan keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan atau untuk membeli barang/jasa dari negara yang bersangkutan yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

Sesuai dengan alur perencanaan pinjaman kegiatan luar negeri berdasarkan PP No.10 Tahun 2011 dan PerMen PPN No.4 Tahun 2011 (Gambar 2.1), pengusulan kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman luar negeri disampaikan oleh Menteri/Kepala

BUMN kepada Menteri Perencanaan. Usulan kegiatan disusun dengan berpedoman pada RPJMN dan memperhatikan Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri (RPPLN). RPPLN merupakan dokumen kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri yang memuat indikasi kebutuhan dan rencana penggunaan pinjaman luar negeri dalam jangka menengah, dan disusun dengan berpedoman pada RPJMN serta memperhatikan batas maksimal pinjaman (BMP).

Lembaga/Kepala

Daerah/Dirut

Dalam pengusulan tersebut, terdapat persyaratan umum dan khusus yang harus dipenuhi oleh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN (K/L/Pemda/BUMN) sebagai instansi pengusul. Persyaratan umum merupakan persyaratan yang wajid dipenuhi oleh semua instansi pengusul, meliputi: (i) Daftar Isian Pengusulan Kegiatan (DIPK), dan (ii) Dokumen Usulan Kegiatan (DUK). DIPK adalah dokumen yang berisi ringkasan informasi untuk pengusulan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. Sedangkan DUK adalah dokumen yang memuat latar belakang, tujuan, ruang lingkup, sumber daya yang dibutuhkan, hasil yang diharapkan, termasuk rencana pelaksanaan untuk mendapatkan gambaran kelayakan atas usulan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Persyaratan khusus yang dipersyaratkan berbeda-beda sesuai dengan instansi pengusul (K/L/Pemda/BUMN) dan jenis kegiatan yang diusulkan. Persyaratan khusus untuk K/L diperlukan apabila (i) K/L mengusulkan kegiatan untuk penyertaan modal negara kepada BUMN, maka persyaratan khususnya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, dan (ii) apabila usulan kegiatan akan dilaksanakan oleh beberapa Instansi Pelaksana, maka harus melampirkan Surat Persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan penugasan. Untuk Pemda, persyaratan khusus diperlukan apabila (i) Pemda mengusulkan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri sebagai penerusan pinjaman, maka harus melampirkan Surat Persetujuan Pimpinan DPRD, dan (ii) Pemda mengusulkan kegiatan untuk diteruspinjamkan dan/atau diterushibahkan kepada BUMD, maka perlu melampirkan Surat Persetujuan Pimpinan DPRD dan Surat Persetujuan Dirut BUMD. Untuk BUMN, apabila mengusulkan kegiatan pinjaman luar negeri sebagai penerusan pinjaman, maka harus melampirkan Surat Persetujuan Menteri BUMN, dan Surat Persetujuan Dewan Komisaris.

Gambar 2.1 Alur Perencanaan Pinjaman Kegiatan (Proyek) Luar Negeri

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 & PerMen PPN No.4 Tahun 2011 Setelah menerima usulan dari K/L/Pemda/BUMN, Menteri Perencanaan

melakukan penilaian kegiatan yang diajukan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis dan keselarasan perencanaan kegiatan. Penilaian kelayakan usulan secara teknis meliputi aspek-aspek sebagai berikut; (i) kesesuaian dengan RPJMN, (ii) usulan merupakan tusi dan kewenangan instansi pengusul, (iii) kelayakan nilai kegiatan, (iv) kemampuan pengelolaan kegiatan, (v) keterkaitan dengan kegiatan lain dari Instansi Pengusul, (vi) kesesuaian lokasi kegiatan, dan (vii) kemampuan penyediaan dana pendamping. Di sisi lain, keselarasan perencanaan kegiatan meliputi keselarasan dengan RPPLN, ketersebaran kegiatan antar wilayah yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri, kegiatan yang terkait secara langsung dengan instansi lain, dan kinerja pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri sedang berjalan pada instansi pengusul dan instansi pelaksana.

Berdasarkan hasil penilaian kelayakan usulan kegiatan, Menteri Perencanaan menetapkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM). DRPLN-JM/Blue Book merupakan daftar rencana kegiatan yang layak dibiayai dari pinjaman luar negeri untuk periode jangka menengah. Instansi pengusul (K/L/Pemda/BUMN) melakukan peningkatan kesiapan kegiatan yang tercantum dalam DRPLN-JM. Peningkatan kesiapan kegiatan tersebut dituangkan dalam dokumen kriteria kesiapan kegiatan (readiness criteria) (Tabel 2.1) untuk disampaikan kepada Kementerian PPN/Bappenas.

Selanjutnya, Menteri Perencanaan menyusun Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) untuk kegiatan tercantum dalam DRPLN-JM dan telah memenuhi sebagian kriteria kesiapan. DRPPLN merupakan daftar rencana kegiatan yang telah memiliki indikasi pendanaan dan siap dibiayai dari pinjaman luar negeri. Dalam melakukan penyusunan DRPPLN, Menteri Perencanaan dapat melakukan koordinasi, komunikasi, dan konsultasi dengan calon pemberi pinjaman luar negeri serta instansi terkait lainnya.

tercantum dalam DRPPLN, K/L/Pemda/BUMN melakukan pemenuhan kriteria kesiapan kegiatan. Apabila kegiatan yang tercantum dalam DRPPLN sudah memenuhi seluruh kriteria kesiapan kegiatan, Menteri Perencanaan menyiapkan Daftar Kegiatan untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan. Daftar Kegiatan merupakan daftar rencana kegiatan yang telah tercantum dalam DRPPLN dan siap untuk diusulkan kepada dan/atau dirundingkan dengan calon pemberi pinjaman luar negeri. Selanjutnya, Menteri Keuangan melakukan perundingan perjanjian pinjaman luar negeri dengan calon pemberi pinjaman luar negeri melibatkan unsur Kementerian Keuangan, Kementerian perencanaan dan Instansi Pengusul.

Tabel 2.1 Kriteria Kesiapan Kegiatan (Readiness Criteria)

Penjelasan Peraturan Menteri PPN

o Readiness Criteria Nomor 4 Tahun 2011

1 Rencana Rencana kegiatan rinci, rencana pendanaan rinci, dan pelaksanaan

rencana umum pengadaan barang/jasa. kegiatan

2 Indikator kinerja Indikator masukan dan indikator keluaran untuk tiap- pemantauan

tiap lingkup pekerjaan dan/atau komponen kegiatan. dan evaluasi

3 Organisasi dan Rancangan struktur organisasi, pembagian kerja dan manajemen

tanggung jawab pelaksana kegiatan, dan mekanisme pelaksanaan

kerjanya.

kegiatan

4 Rencana Lokasi dan luas tanah; perkiraan jumlah penduduk pengadaan

yang dimukimkan kembali; tata cara pengadaan tanah dan/atau

tanah dan/atau pemukiman kembali; jangka waktu pemukiman

dan jadwal pelaksanaan pengadaan tanah dan/atau kembali (dalam

pemukiman kembali; pihak yang bertanggung jawab hal kegiatan

dan terlibat dalam proses pengadaan tanah dan/atau memerlukan

pemukiman kembali serta pembagian kewenangan lahan)

antar pihak; dan alokasi pembiayaan pengadaan tanah dan/atau pemukiman kembali.

Sumber: Peraturan Menteri PPN Nomor 4/2011, (diolah).

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri, dilakukan pemantauan dan evaluasi baik dari sisi pencairan dana maupun pencapaian kinerja. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan bertanggung jawab pada pemantauan dan evaluasi terkait realisasi penyerapan pinjaman luar negeri. Di sisi lain, Bappenas bertanggung jawab dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terkait kinerja pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri.

2.3 Kebijakan Pinjaman Luar Negeri dalam RPJMN 2015-2019

Gambar 2.2 Strategi Pembangunan Nasional NORMA PEMBANGUNAN KABINET KERJA

 Membangun untuk manusia dan masyarakat; 

Upaya peningkatan

produktivitas tidak boleh menciptakan ketimpangan yang makin melebar. Perhatian khusus diberikan kepada peningkatan produktivitas rakyat lapisan menengah bawah, tanpa menghalangi, menghambat, mengecilkan dan mengurangi keleluasaan pelaku-pelaku besar untuk terus menjadi agen pertumbuhan;

kesejahteraan,

kemakmuran,

 Aktivitas pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan, dan keseimbangan ekosistem.

3 DIMENSI PEMBANGUNAN

DIMENSI PEMBANGUNAN

DIMENSI PEMERATAAN & MANUSIA

DIMENSI PEMBANGUNAN

SEKTOR UNGGULAN

DIMENSI KEWILAYAHAN

- antar kelompok - kesehatan

- pendidikan

- kedaulatan pangan

pendapatan - perumahan

- kedaulatan energi &

ketenagalistrikan

- antar wilayah: (1) desa,

- mental/karakter - kemaritiman dan

(2) pinggiran, (3) luar

kelautan

Jawa, (4) kawasan

- pariwisata dan industri

Timur

KONDISI PERLU

- Kepastian dan penegakan hukum - Politik dan demokrasi - Keamanan dan ketertiban

- Tata kelola dan reformasi birokrasi

QUICK WINS DAN PROGRAM LANJUTAN LAINNYA

Sumber: RPJMN 2015-2019, BUKU I

Pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019, secara umum, dapat dicapai melalui strategi pembangunan nasional yang memuat norma, dimensi, dan kondisi perlu (lihat Gambar 2.2). Dalam RPJMN 2015-2019, norma pembangunan mencakup peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat, peningkatan produktivitas rakyat lapisan menengah-bawah tanpa menciptakan ketimpangan yang melebar, dan pembangunan yang selaras dengan lingkungan dan memperhatikan keseimbangan ekosistem.

Strategi pembangunan nasional RPJMN 2015-2019 dilakukan melalui tiga dimensi pembangunan. Dimensi pertama yaitu dimensi pembangunan manusia dan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat sehingga menghasilkan manusia Indonesia unggul. Dimensi kedua yaitu dimensi pembangunan sektor unggulan dan prioritas yang diharapkan akan menghasilkan sektor-sektor Indonesia yang berdaya saing internasional. Dimensi ketiga yaitu dimensi

diharapkan dapat menghilangkan/memperkecil kesenjangan wilayah. Selain itu, terdapat beberapa kondisi perlu yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya yaitu kepastian dan penegakkan hukum, keamanan dan ketertiban, politik dan demokrasi, serta tatakelola dan reformasi birokrasi.

Untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan dalam tiga dimensi pembangunan nasional, peran pinjaman luar negeri dapat dilihat dari aspek makro maupun alokasi pemanfaatannya (mikro). Secara makro, pinjaman luar negeri harus dilakukan selaras dengan kebijakan RPJMN 2015-2019, yaitu dilakukan dengan tujuan: (i) menjaga target defisit anggaran satu persen pada tahun 2019, dan (ii) menjaga rasio utang pemerintah (debt to GDP ratio) untuk tetap berada di bawah

30 persen PDB. Hal ini diupayakan agar pemanfaatan pinjaman luar negeri dapat dilaksanakan dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Dari sisi pemilihan kegiatan pinjaman luar negeri, RPJMN 2015-2019 mensyaratkan penggunaan pinjaman luar negeri dilakukan secara selektif dan diutamakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif seperti di bidang infrastruktur, energi, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, keseimbangan antar wilayah dan keberlanjutan kehidupan kemasyarakatan menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri juga dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan prioritas di wilayah-wilayah dengan prioritas pembangunan wilayah desa, wilayah pinggiran, luar Jawa, dan kawasan timur agar dapat mendorong pertumbuhan pada wilayah tersebut dan mengurangi kesenjangan antar . wilayah.

BAB 3 ANALISIS DAN HASIL KAJIAN

3.1 Analisis Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mendapat amanat untuk menyusun RPPLN. RPPLN disusun dengan berpedoman pada RPJMN serta memperhatikan BMP luar negeri. Secara substansi, RPPLN memuat indikasi kebutuhan dan rencana penggunaan Pinjaman Luar Negeri dalam jangka menengah. Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019, maka RPPLN 2015-2019 perlu disusun sebagai panduan dalam kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri selama periode 2015- 2019.

3.1.1 Indikasi Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Penyusunan indikasi kebutuhan pinjaman luar negeri jangka menengah mengacu pada kebijakan dan kebutuhan pembiayaan dalam RPJMN 2015-2019 serta memperhatikan batas maksimal pinjaman selama periode tersebut. Proses tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur Perhitungan Rencana Komitmen Baru Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Kerangka Makro RPJMN 2015-2019

Perkiraan Postur Pembiayaan 2015-2019

Rencana Penarikan Pinjaman LN On Going

BMP LN

Pembiayaan melalui

2015-2019

Pinjaman LN

Rencana Penarikan Pinjaman LN Baru 2015-2019

Perhitungan Indikasi Komitmen Pinjaman LN Baru 2015-2019

Kebutuhan pinjaman luar negeri mengacu pada kebijakan makro RPJMN 2015-2019. Beberapa kebijakan makro dalam RPJMN yang menjadi dasar penentuan kebutuhan pinjaman luar negeri adalah: (i) menjaga dan mempertahankan kesinambungan fiskal, (ii) meningkatkan kinerja neraca pembayaran, (iii) diarahkan dengan mengurangi rasio defisit anggaran menjadi sekitar satu persen pada tahun 2019, dan (iv) menjaga rasio utang di bawah 30 persen terhadap PDB. Berbagai kebijakan tersebut mendasari nilai perkiraan pembiayaan defisit yang salah satunya akan dibiayai melalui pinjaman luar negeri selama 2015-2019 (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Postur Pembiayaan 2015-2019

Sumber: Kedeputian Bidang Ekonomi, Bappenas

Rencana pembiayaan pinjaman luar negeri tersebut juga memperhatikan nilai BMP luar negeri 2015-2019 yang ditentukan oleh Menteri Keuangan (Tabel 3.2). BMP luar negeri terdiri dari rencana pinjaman sedang berjalan (on going) dan rencana penarikan pinjaman baru untuk jenis pinjaman program dan pinjaman proyek termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan.

Tabel 3.2 Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

(Rp. Miliar)

2018 2019 Batas Maksimal Pinjaman LN

Sumber: Kementerian Keuangan

Dengan berpedoman pada postur pembiayaan 2015-2019 dan BMP luar negeri 2015-2019, maka dapat diperhitungkan rencana penarikan pinjaman luar negeri 2015-2019. Rencana penarikan pinjaman luar negeri tersebut terdiri dari rencana penarikan pinjaman sedang berjalan (on going) dan rencana penarikan pinjaman luar negeri baru (ruang gerak pinjaman baru).

Indikasi kebutuhan pinjaman luar negeri baru yang dibutuhkan untuk memenuhi rencana pembiayaan pinjaman luar negeri tahun 2015-2019 diperhitungkan dari nilai komitmen pinjaman yang dibutuhkan untuk mengisi ruang gerak pinjaman luar negeri baru. Nilai komitmen yang dibutuhkan ini terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek yang ditentukan nilainya berdasarkan pola penyerapan kedua jenis pinjaman tersebut. Untuk pola penyerapan pinjaman proyek, berdasarkan pengalaman pelaksanaan proyek, rata-rata umur proyek diperkirakan berjalan selama enam tahun dengan pola penyerapan dari tahun pertama sampai ke-6 (5 persen, 10 persen, 15 persen, 40 persen, 25 persen, dan 5 persen). Untuk pinjaman program, memiliki pola penyerapan yang langsung habis dalam satu tahun karena bersifat pinjaman tunai. Berdasarkan pola penyerapan tersebut, maka untuk mengisi ruang gerak pinjaman luar negeri baru dibutuhkan komitmen pinjaman selama 2015-2019 yang diperhitungkan dalam persentase terhadap PDB dalam range ± 10 persen (Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Indikasi Komitmen Pinjaman Luar Negeri 2015-2019 (dalam % PDB)

Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 Rata-rata

Pinjaman Proyek

Pinjaman Program

3.1.2 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Pemanfaatan pinjaman luar negeri pemerintah diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Selain itu dalam jangka menengah, kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri mengacu pada RPJMN Tahun 2015-2019. Peraturan dan kebijakan tersebut mengatur prinsip dan memberi panduan mengenai arah kebijakan pemanfaatan dan kriteria penggunaan pinjaman luar negeri.

Prinsip Penggunaan Pinjaman Luar Negeri

Pinjaman luar negeri harus dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik (good governance) yaitu dilakukan secara transparan, akuntabel, efisien dan efektif, serta dengan kehati-hatian. Selain itu, untuk menjaga kedaulatan nasional, pelaksanaan pinjaman luar negeri harus tidak disertai ikatan politik dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.

kerjasama dengan mitra pembangunan juga perlu dilakukan dengan menempatkan mitra pembangunan sebagai partner (partnership) dan bukan sebagai pemberi bantuan (assistance). Sedangkan prinsip yang terakhir, pinjaman luar negeri dilaksanakan dengan selalu mengutamakan kepentingan nasional dalam semua aspek, termasuk aspek politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.

Prinsip kesetaraan

dalam

pelaksanaan

Kebijakan Penggunaan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019

Pinjaman luar negeri tidak semata-mata dimanfaatkan untuk menutup defisit (financing gap) saja, namun terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pemanfaatan pinjaman luar negeri, antara lain: (i) sebagai bagian dari pengelolaan biaya dan risiko pinjaman pemerintah, (ii) menambah kapasitas implementasi terutama untuk program-program di bidang infrastruktur termasuk dengan mendorong peran BUMN dan swasta, (iii) sebagai upaya pengembangan model proyek/kegiatan melalui replikasi dari proyek/kegiatan pinjaman luar negeri, dan (iv) sebagai instrumen kerjasama pembangunan (development cooperation) dengan para mitra.

Berdasarkan beberapa dasar pertimbangan tersebut dan merujuk pada arah kebijakan RPJMN 2015-2019, maka pinjaman luar negeri untuk periode 2015-2019 akan dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional melalui tiga dimensi pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019, yaitu; dimensi pembangunan sektor unggulan, pembangunan manusia, dan pemerataan dan kewilayahan. Prioritas tersebut mencakup bidang kedaulatan pangan, kedaulatan energi, ketenagalistrikan, kemaritiman, kelautan, pariwisata, industri, pendidikan, kesehatan, perumahan, ketahanan air, infrastruktur dasar dan konektivitas.

Merujuk pada arah pemanfaatan pinjaman luar negeri tersebut, kegiatan yang dapat dibiayai melalui pinjaman luar negeri harus memenuhi beberapa kriteria untuk mendukung pencapaian program prioritas RPJMN 2015-2019. Pertama, pinjaman luar negeri dapat memberikan dampak yang besar dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk kegiatan dalam rangka (i) pengembangan kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta, (ii) pelaksanaan penugasan Pemerintah kepada BUMN, atau (iii) mendorong pembangunan di daerah. Kedua, kegiatan pinjaman luar negeri juga dapat diarahkan dalam rangka meningkatkan jangkauan (akses) dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Ketiga, pemerataan pembangunan untuk mengurangi

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan pinjaman luar negeri diperlukan perbaikan secara terus-menerus dengan melakukan penguatan pengelolaan pinjaman luar negeri mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Beberapa strategi dan upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah: (i) melakukan pola pendekatan perencanaan berbasis program (program based approach), hal ini dilakukan dengan penekanan pada pencapaian hasil/sasaran program (outcome); (ii) peningkatan koordinasi dan kualitas kesiapan kegiatan, termasuk rencana pembebasan lahan dan rencana pelaksanaan kegiatan, (iii) penyusunan rencana penarikan pinjaman luar negeri dengan memperhatikan jenis kegiatan, masa laku, dan kapasitas penyerapan instansi pelaksana, (iv) penguatan kapasitas lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pinjaman luar negeri serta peningkatan koordinasi antar lembaga dalam pelaksanaan kegiatan, dan (v) peningkatan kualitas pemantauan dan evaluasi kegiatan pinjaman luar negeri untuk memastikan efektivitas pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri yang sedang berjalan maupun sebagai input bagi perencanaan pinjaman luar negeri ke depan.

3.2 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri Aspek Makro dan Mikro

Kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri dapat dilihat dari aspek makro dan mikro. Aspek makro melihat kebijakan penarikan pinjaman luar negeri secara menyeluruh yang dilihat dari dampak pinjaman luar negeri dalam neraca pembayaran, kesinambungan fiskal, portofolio utang, dan crowding out effect. Di sisi mikro, pinjaman luar negeri dilihat dari sisi manfaat kegiatan (proyek) dalam mendukung pembangunan nasional. Kebijakan makro dan mikro harus berjalan secara harmonis, sehingga kebijakan yang digariskan dalam aspek makro mampu diterjemahkan dalam kebijakan aspek mikro. Hal ini dapat dilakukan apabila kebijakan pemanfaatan proyek-proyek (pada level mikro) didesain untuk memberikan kontribusi dalam mencapai arah kebijakan makro.

3.2.1 Kebijakan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Aspek Makro

A. Mendukung Kinerja Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran dapat diartikan sebagai suatu neraca yang merangkum transaksi finansial suatu negara dengan negara lain (Todaro, 2000). Neraca pembayaran memiliki dua jenis transaksi yaitu transaksi berjalan, dan transaksi modal dan finansial (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Neraca Pembayaran

TRANSAKSI BERJALAN

Barang

Jasa

NERACA PEMBAYARAN

Pendapatan Primer

Pendapatan Sekunder

TRANSAKSI MODAL DAN

FINANSIAL

Investasi Langsung

Investasi Portofolio

Catatan: Pinjaman luar negeri berpengaruh terhadap neraca pembayaran melalui Investasi Lainnya “pendapatan primer” dan “investasi lainnya”

Dalam neraca pembayaran, aktivitas pinjaman luar negeri seperti penarikan pinjaman, pembayaran cicilan pokok, dan pembayaran bunga berada dalam transaksi investasi lainnya dan pendapatan primer. Penarikan pinjaman luar negeri akan berpengaruh positif dalam neraca investasi lainnya, sebaliknya pembayaran pokok pinjaman luar negeri akan berpengaruh negatif. Di sisi lain, pembayaran bunga pinjaman luar negeri akan berpengaruh dalam transaksi pendapatan primer.

Sesuai dengan data Bank Indonesia, pada triwulan III-2015, transaksi investasi lainnya di sisi kewajiban untuk sektor publik mengalami surplus sebesar USD 1,6 miliar, hal ini disebabkan karena adanya penarikan pinjaman luar negeri pemerintah yang mencapai USD 2,1 miliar, sedangkan pembayaran pokok selama triwulan ini hanya sekitar USD 0,5 miliar. Dalam periode yang sama, meskipun terjadi penurunan pembayaran bunga pinjaman luar negeri, namun neraca pendapatan primer masih mengalami defisit USD 7,1 miliar. Defisit tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah pembayaran pendapatan investasi langsung dan pendapatan investasi portofolio sesuai pola musimannya (Bank Indonesia, 2015b).

Beberapa data tersebut di atas menunjukkan bahwa aktivitas penarikan dan pembayaran pinjaman luar negeri turut mempengaruhi neraca pembayaran, meskipun tidak sebesar pengaruh ekspor, impor, dan foreign direct investment (FDI). Saat melakukan penarikan pinjaman luar negeri, terdapat aliran modal yang masuk (capital inflow) sehingga dapat meningkatkan cadangan devisa (Gambar 3.3). Pada saat melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga, terdapat aliran modal yang keluar (capital outflow) yang mengakibatkan keluarnya sejumlah valuta asing sehingga cadangan devisa berkurang.

Di sisi lain, pinjaman luar negeri juga dapat dimanfaatkan untuk mengimpor barang/jasa yang belum mampu diproduksi oleh industri atau supplier dalam negeri. Impor tersebut utamanya terkait dengan proyek pemerintah seperti di bidang infrastruktur yang belum mampu diproduksi di dalam negeri, seperti pengadaan track materials, bridge materials, dan alutsista. Dengan melakukan pinjaman luar negeri untuk keperluan impor, maka pemerintah tidak perlu menukarkan rupiah ke dalam mata uang lain (valuta asing) sehingga cadangan devisa dapat dihemat.

Gambar 3.3 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Mendukung Kinerja Neraca Pembayaran

Penarikan

Dimanfaatkan

sebagai sumber

Cadangan ri e pembiayaan

Pinjaman

Capital

Luar Negeri

Barang/jasa

Pemerintah

membayar dengan Cadangan n untuk impor

Dimanfaatka

yang belum

dapat

Pinjaman LN, tidak Devisa tidak

diproduksi perlu menukar Rupiah

didalam negeri

berkurang ke mata uang lain

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kinerja neraca pembayaran sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor. Oleh karena itu, peran pinjaman luar negeri dalam mendukung neraca pembayaran dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan ekspor. Dalam hal ini, pinjaman luar negeri dapat dimanfaatkan untuk mendorong investasi pada sektor-sektor industri yang memiliki pasar ekspor yang tinggi (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri terkait Investasi untuk Mendorong Ekspor

Kinerja Neraca Pinjaman LN

Penarikan

Investasi yang dapat

Ekspor ↑

mendukung ekspor

Pembayaran ↑

B. Dilaksanakan dalam Rangka Mendukung Kesinambungan Fiskal

Kesinambungan fiskal adalah kondisi APBN yang sehat dalam jangka panjang dan mampu meminimalisir adanya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu bagaimana pengelolaan APBN dapat dilakukan secara prudent dan bagaimana APBN digunakan secara optimal dengan meningkatkan kualitas belanja (quality of spending). Oleh karena itu, kondisi fiskal yang berkesinambungan, adalah terciptanya struktur APBN yang dapat berfungsi sebagai stabilisator perekonomian untuk menjaga kestabilan makro (inflasi, jumlah pengangguran, pertumbuhan ekonomi) melalui pengeluaran pemerintah yang berkualitas, serta mampu mengelola APBN untuk menjamin terpenuhinya pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang dan portofolio pembiayaan yang terkendali (Gambar 3.5). Indikator yang lazim digunakan adalah defisit APBN yang berada pada tingkat yang relatif rendah dan debt to GDP ratio yang dapat dikelola secara baik (manageable) (Waluyanto, 2012).

Gambar 3.5 Kesinambungan Fiskal

Stabilisasi Makroekonomi

Quality of spending

(Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tk. Pengangguran rendah)