Politik Kartel dalam Kehidupan Bernegara

1 | Politik Kartel

BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of
Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan
negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk
melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Berikut adalah pendapat
beberapa para ahli tentang pemilihan umum: Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim
- Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat.
oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap dirinya sebagai negara
demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu. Bagir
Manan - Pemilhan umum yang diselenggarakan dalam periode lima 5 tahun sekali
adalah saat ataupun momentum memperlihatkan secara langsung dan nyata
pemerintahan oleh rakyat.
Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang bermimpi duduk sebagai
penyelenggara negara dan juga pemerintahan bergantung sepenuhnya pada
kehendak atau keinginan rakyatnya. Sistem Pemilihan Umum merupakan metode
yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil
rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan
prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka

sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga
merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama. Terdapat bagian-bagian atau
komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri dalam melaksanakan
pemilihan umum diantaranya:


Sistem hak pilih.



Sistem pembagian daerah pemilihan.



Sistem pemilihan



Sistem pencalonan.


2 | Politik Kartel

Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang
berbeda-beda dan memiliki cirikhas masing-masing akan tetapi, pada umumnya
berpegang pada dua prinsip pokok, yaitu: Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang
sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam
mengeluarkan satu suara di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
Kedua Sistem pemilihan Organis Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai
sekelompok individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka ragam
persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan inilah yang diutamakan menjadi
pengendali hak pilih.
Sementara itu ada semacam kartelisasi dalam sistem pemilu Indonesia saat
iini sehingga memungkinkan setiap partai politik mengeruk keuntungan dalam
negara. Artinya dalam paham kartel ini, negara dianggap sebagai satu komoditas
yang dikeruk keuntungannya untuk kepentingan partai politik maupun individu.
Daniel Dhakidae memiliki penekanan yang berbeda dalam membahas
kartel politik ini. Menurutnya "kartel" adalah istilah yang sangat formal dan
dikenal dalam konsep ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu misalnya
tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam masyarakat kapitalis. Telah

terjadi transmutasi istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik.
Sebenarnya oligarkhi merupakan tempat asal muasal kartel dalam konsep politik.
Konsep mengenai oligarkhi ini telah berumur seratus tahun lebih dan memiliki
ruang yang lebih besar dan luas dari pada kartel. Sistem politik di Indonesia
memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktekpraktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan
kecenderungan hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan
suara.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan anatara sistem pemilu terhadap menguatnya politik
kartel?

3 | Politik Kartel

2. Bagaimana dampak dari politik kartel terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara?
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman
kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi

yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan
hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga
dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang
sesuai untuk diterapkan di Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959) Pada masa ini pemilu
diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1955). Pada
pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan
yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember.
Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalahsistem pemilu proporsional.
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan
khidmat, Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari
pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai
politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan
satu perorangan. Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari
pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga
besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi
beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden
Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Setelah pencabutan Maklumat

Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk mendirikan
partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi

4 | Politik Kartel

10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan
pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998) Setelah turunnya era Demokrasi
Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah
sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk
mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum
diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di
telinga bangsa Indonesia. Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini
menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik
secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan
merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi
dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan
menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam
melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi. Karena
gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan

umum, Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai
kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah
mengadakan

fusi

atau

penggabungan

diantara

partai

politik,

mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan
Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP).
Pemilu tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya
perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.

4. Zaman Reformasi (1998- Sekarang) Pada masa Reformasi 1998, terjadilah
liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik
Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi
masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak
mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal
reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak
mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda
dengan era orba. Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48
menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang
batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang

5 | Politik Kartel

mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya
adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi
DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti
pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan
mendirikan parpol baru. Parlementary threshold dapat dinaikkan jika
dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3%
setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya

pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud
paling konkret keiktsertaan(partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara.
Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat
perhatian utama karena melalui penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan
pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan demokratis.
Pemilu sangatlah penting bagi sebuah negara, dikarenakan:


Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.



Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh
legitimasi.



Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses
politik.




Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin
secara konstitusional.

Kartelisasi Partai Politik
Era reformasi tidak serta-merta membuat sistem kepartaian di Indonesia
makin kompetitif. Sebaliknya, yang muncul adalah sistem kepartaian yang
terkartelisasi. Itulah sistem di mana partai-partai cenderung bertindak sebagai satu
kelompok, permisif dalam membentuk koalisi, ideologi partai memudar, dan
oposisi absen. Buku ini merupakan studi yang mengkaji fenomena persaingan
antar partai di Indonesia dalam 10 tahun terakhir-satu rentang waktu yang
mencakup dua periode pemilu. Argumen utama yang dikembangkan dalam studi

6 | Politik Kartel

ini adalah partai-partai politik telah mengembangkan satu pola kerja sama yang
serupa dengan sistem kepartaian yang terkartelisasi. Kebutuhan partai-partai
politik di era reformasi atas perburuan rente (rent-seeking) di sumber-sumber dana

non-bujeter mengakibatkan terbentuknya dan langgengnya sistem partai yang
terkartelisasi (cartelized party system).
Seiring berjalannya waktu, pola koalisi yang muncul di Indonesia pasca
runtuhnya Orde Baru cenderung mengarah pada kartelisasi sistem kepartaian.
Perlu digarisbawahi bahwa fenomena kartelisasi tidak selesai hanya pada
beberapa partai politik tertentu, namun juga menjangkau hampir semua (jikalau
tidak semua) partai politik di tanah air. Akibat kartelisasi, partai politik menjadi
kehilangan ideologi dan program, mudah bergonta-ganti arah kebijakan, dan pola
koalisi yang dibangun pun cenderung bersifat serbaboleh (promiscuous) dan turah
(oversized). Sebenarnya dalam konteks theory building atau kontribusi teoretik
dalam studi-studi tentang kartelisasi dan sistem kepartaian kontribusi buku ini
cenderung minim; buku ini sekedar memberi tambahan dukungan empirik
terhadap thesis-nya Katz dan Mair tentang kartelisasi partai.
Pertama, kartelisasi tidak hanya terjadi pada satu atau dua partai namun
juga terjadi pada sistem kepartaian secara kesuluruhan. Kedua, dalam konteks
Indonesia, penyebab utama kartelisasi bukanlah perburuan rente atas dana ‘legal’
atau bujeter melainkan atas dana ‘bawah tangan’, ‘bawah meja’ atau non-bujeter.
Saat ini, semakin terlihat dilema-dilema yang akan dihadapi partai, politisi dan
publik di dalam sistem demokrasi dan logika politik elektoral. Pertama, karya
klasik Przeworski dan Sprague (1986), Paper Stones, adalah sebuah contoh baik

tentang bagaimana partai dengan militansi yang tangguh, yaitu partai-partai Kiri,
Buruh, Sosialis dan Sosial-Demokrat di Eropa Barat, terpaksa harus
“memoderasi” agenda-agenda politiknya setelah memasuki laga politik elektoral.
Begitupun juga partai-partai Kanan seperti partai Kristen Demokrat, sebagaimana
digambarkan oleh Stathis Kalyvas (1996).
Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era Reformasi paling
mutakhir dilakukan oleh Kuskridho Ambardi, dalam disertasinya The Making of

7 | Politik Kartel

Indonesian Multy Party System; A Cartelized Party System and Its Origin, dari
The Ohio State University tahun 2008. Disertasi tersebut dipublikasikan dalam
buku berjudul Mengungkap Politik Kartel. Pemotretan terhadap dinamika politik
kepartaian itu tidak hanya berhenti dalam kontestasi politik pemilu legislatif dan
pemilu presiden saja, tetapi jauh memasuki bagian terdalam dari ranah kekuasaan,
dimana disetiap sudut kekuasaan (DPR juga Pemerintah) partai politik
memainkan peran penting dalam rangka memperebutkan sumberdaya politik dan
ekonomi.
Keterlibatan partai politik dalam setiap sudut ruang kekuasaan tersebut
sebagai bagian yang sangat penting bagi mereka untuk menjaga kelangsungan
hidup partai, sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan. Era reformasi terjadi
perubahan perilaku partai politik yang secara signifikan pada akhirnya merubah
sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai politik tersebut
berkaitan dengan faktor-faktor kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber
daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk
terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi
kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik pemerintah
maupun lembaga legislatif.
Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu
sudah tidak lagi memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian.
Isu-isu ideologis hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh
perbincangan politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan pembagian
kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi kepartaian hanya menjadi isu
menonjol dalam arena pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada saat
pemilu saja. Setelah pesta pemilu, partai politik segera melakukan penyesuaian
diri di dalam lingkungan struktur politik yang mengakomodasi berbagai
kepentingan partai untuk masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.
Analisis terhadap sistem kepartaian (system party) adalah bagaimana
menjelaskan perilaku partai politik yang menjadi bagian dari suatu sistem dan
berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain yang ada di

8 | Politik Kartel

dalam sistem itu (Budiardjo, 2008: 415). Kiranya perlu dilakukan kajian kritis
(review) terhadap hasil dari temuan studi sistem kepartaian ini, oleh karena ada
beberapa hal yang masih perlu dilakukan klarifikasi dan pengujian ulang terhadap
temuan-temuan tersebut. Utamanya berkaitan dengan apa yang disebut dengan
analisa sistem kepartaian tersebut. Pertama, pada level interaksi antar partai,
mengandaikan adanya aktor atau agen-agen partai politik yang berperan menjadi
wakil partai, mewakili sebuah struktur partai. Artinya perlu dibicarakan
bagaimana dengan peran agen dalam kontek sistem itu.
Kedua, pada level partai politik, adanya agen politik dan struktur politik
dalam partai politik, memiliki dinamikanya sendiri interaksi antar agen dan agen
dengan struktur partai. Diskusi di dalam partai mencakup nilai-nilai yang
disepakati bersama sebagai ideologi menjadi landasan terbentuknya partai dan
berfungsi sebagai “jantung” hidup-matinya partai itu. Sebagaimana para sarjana
ilmu politik mendefiniskan tentang partai politik bahwa pentingnya nilai-nilai
(ideologi) itu sebagai daya gerak partai. Ideologi juga menjadi kajian tersendiri
dalam ilmu politik. Tumbuhnya politik kartel menandai berakhirnya ideologi
partai. Sebagimana Daniel Bell mempunyai kesimpulan bahwa kemenangan
kapitalisme menandai berakhirnya ideologi (the end of ideology) dan Fukuyama
menambahkan bahwa pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi
liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of history).
Perubahan perilaku partai politik pada akhirnya akan bersentuhan dengan
ideologi yang dapat menimbulkan konflik dan kontradiksi. Konflik dan
kontradiksi dalam pengertian Marxian atau pun neo-Marxian menjadi bagian
pentinguntuk dikaji lebih lanjut. Temuan adanya perubahan sistem kepartaian itu
mengesampingkan kemungkinan adanya konflik dan kontradiksi dalam partai.
Kajian terhadap Konflik dan kontradiksi (Gidden, 2009) mestinya mendapt
perhatian dari kajian tentang sistem kepartaian ini. Sehingga secara keseluruhan
ini berkait dengan fokus kajian Anthony Gidden berkaitan dengan teori
strukturasi. Ketiga, perbincangan sistem, sebagaimana dipahami dalam teori-terori
sosial, dalam temuan sistem kepartaian ini kurang lebih mengesampingkan
kemungkinan terjadinya krisis legitimasi (Habermas, 2004) dalam kontek sistem

9 | Politik Kartel

politik itu. Studi tentang perubahan sistem kepartaian ini menjadi kebutuhan bagi
upaya penyempurnaan teoritis dan upaya perbaikan kepartaian secara praktis.
Dengan demikian ketiga hal tersebut mempunyai signifikansi dalam upaya
review ini. Berakhirnya kekuasaan rezim orde baru (1998) menandai terbukanya
kebebasan politik dan saluran-saluran politik, serta partai politik untuk
memobilisasi semua cleavage tersebut. Era demokratisasi itu membawa dampak
bagi terbentuknya sistem kepartaian baru dengan dasar persaingan politik dengan
memobilisasi ketikg cleavage tersebut. (Ambardi, 2008: 91-92). Paska lengsernya
kekuasaan Soeharto (1998), maka kebutuhan berikutnya adalah menata aturan
main untuk membangun sistem politik baru melalui pemilu yang adil dan
demokratis. Akhirnya disusunlah beberapa kebutuhan-politik sebagai aturan main
dalam pemilu, meliputi penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan keterlibatan
warga dalam pemilu.
Netralitas militer dan korps pegawai negeri sipil menjadi bagian yang
dituntaskan. Demikian pula adanya jaminan kebebasan ideologi sebagai basis
kepentingan kolektif digunakan sebagai asas partai diakomodasi dengan baik. Hal
lain yang menempati porsi besar adalah diakomodasinya kepentingan daerah.
Dengan diakomodasinya kepentingan daerah, maka partai-partai politik ideologis
mengalami kesulitan untuk melakukan mobilisasi cleavage kedaerahan. (Ambardi,
2008: 123). Arena politik dalam pemilu 1999 diwarnai persaingan antara dua kubu
ideologis: Islam dan sekuler. Terjadi pertarungan yang sangat keras antara
golongan Islam dan sekuler tersebut. Menurut Ambardi sistem kepartaian di
Indonesia bergerak kearah system kepartaian yang terkartelisasi dengan beberapa
bukti.
Pertama, beberapa partai politik membentuk koalisi turah yang tidak lagi
dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya
berorientasi pada kepentingan kekuasaan yaitu dalam pembentukan kabinet
selama dua kali kabinet pemerintahan Gus Dur-Mega dan pemerintahan MegaHamzah sepanjang tahun 1999-2004. Dinamika politik paska pemilu diwarnai
adanya pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat

10 | P o l i t i k K a r t e l

ideologis pada saat pemilu bergerak kearah kerjasama antar partai dalam rangka
meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi
keuntungan pragmatis masing-masing partai politik.
Kedua, adanya migrasi ideologis yang dilakukan secara kolektif oleh
partai-partai politik, dimana mereka bertindak secara kolektif sebagai satu
kelompok dan secara kolektif meninggalkan program-program partai mereka,
terjadi perubahan komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen propasar. Sistem kepartaian yang terkartelisasi ini juga menemukan bentuknya
kembali dalam medan politik pemilu 2004. Meski masih tetap muncul adanya isu
ideologis dalam pemilu legislatif, hingga tahap pertama pilres 2004, namun ketika
masuk pilpres tahap kedua dan dalam arena politik penyusunan kabinet, semua
partai secara berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik, posisinya
masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam kabinet. Upaya kolektif partaipartai ini terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah system
politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai. (Ambardi,
2008: 235, 281).
Ketiga, partai-partai politik secara meyakinkan dalam beberapa hal
mengabaikan “ideologi kepartaian” yang telah digembor-gemborkan menjadi
lansdasan perjuangan, namun dalam tataran praktik politik partai-partai politik
“mengakhianati” ideologi partainya oleh karena kepentingan yang bersifat politik
dan ekonomi. Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai politik
berkepentingan terlibat dalam proses politik dalam DPR maupun pemerintahan
untuk memperoleh sumber daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi mesin partai
politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan menandai berakhirnya ideologi
kepartaian menuju kerjasama.
Selubung Kartel Partai Politik
Reformasi dibarengi pembukaan keran kebebasan sempat memberi
setumpuk harapan. Sekat selama 32 tahun dalam kekang Orde Baru ambrol.
Euforia kebebasan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Partai-partai politik
(parpol) bermunculan. Ini menjadi sebuah konstelasi yang mengingatkan kita pada

11 | P o l i t i k K a r t e l

peta politik pemilu 1955. Euforia pendirian parpol tidak bisa dilepaskan dari
keterkekangan sejak tahun 1975, melalui UU No 3/1975, lalu diubah dengan UU
No 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Peserta pemilu hanya
parpol PPP dan PDI serta Golkar. Berdasarkan UU No 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, di Departemen Kehakiman tercatat 93 parpol, namun hanya 48
parpol yang bisa mengikuti pemilu 7 Juni 1999.
Jumlah parpol makin meningkat menjelang pemilu 2004, yakni mencapai
237. Kemudian, berkurang menjadi 50 dan hanya 24 yang ikut mengikuti pemilu
2004. Pada pemilu 2009, peserta pemilu menjadi 38 dan 4 partai lokal. Sedangkan
pada 2014 ini, terdapat 12 parpol dan 3 partai lokal. Reformasi juga memperbanyak ideologi partai, tak hanya Pancasila. Berdasar ideologi, parpol tak hanya
mencantumkan Pancasila sebagai tujuan dan cita-cita. Ditilik dari warnanya,
ideologi partai pada pemilu 2004 dapat dipilah menjadi enam bagian. Ideologi
disusun dengan maksud menarik konstituen. Tetapi dalam praktik, hanya cantolan
artifisial tanpa implementasi. Begitu pertarungan dan penggalangan suara usai,
kompetisi dengan sendirinya tutup buku.
Semua ingin terlibat dalam penyusunan dan pembentukan pemerintahan.
Koalisi dibangun. Ideologi tak jadi soal. Aroma kepentingan kekuasaan terasa
lebih kental daripada persaingan. Ideologi, program, dan platform tak lagi menjadi
penghalang dalam membangun pemerintahan kuat. Partai-partai yang kalah
berusaha merapat ke pemenang. Sebaliknya, para pemenang, demi stabilitas
pemerintahan, menggandeng seluruh stakeholder yang hendak bergabung.
Ideologi telah dikesampingkan, bahkan mati. Kepentingan, kekuasaan, dan
jabatan lebih nyaman dipilih. Bahkan, posisi oposisi tidak dipilih secara tegas oleh
parpol yang mengatasnamakan oposisi, nyaris tanpa oposisi berarti. Seluruh faktor
persaingan luruh.
Hilang tanpa bekas. Parpol bercengkerama dalam aturan koalisi, apalagi
yang terbangun bukan sebelum, tapi setelah pemilu. Mau tak mau, dasar koalisi
yang dirajut berlandaskan hasil elektoral dalam pemilu. Koalisi dibangun tidak
berdasarkan platform partai, visi misi, maupun ideologinya, tapi banyaknya hasil

12 | P o l i t i k K a r t e l

suara.

Pemilu

pertama

reformasi

tahun

1999

sebetulnya

juga

telah

mengindikasikan berakhirnya tipologi partai ideologis, elite, dan massa. Sebagai
gantinya, muncul partai lintas kelompok, catch-all party. Pemilihan langsung
membuat partai harus bisa meraup suara berbagai kelompok. Tak ada yang benarbenar berbasis ideologis. Dalam konteks Indonesia, basis-basis ideologis yang
sedang diusung parpol seperti digembar-gemborkan tidak lebih sekadar cara
menarik suara.
Ada yang menilai parpol sejak reformasi bergulir telah membangun sistem
mirip kartel, antara lain ditandai dengan hilangnya peran idelogi partai sebagai
penentu koalisi, sikap permisif pembentukan partai, ketiadaan oposisi, hasil-hasil
pemilu yang hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku
parpol, serta kecenderungan partai bertindak secara kolektif. Tak ada ruang pengaderan. Kepemimpinan partai hanya beredar pada elite-elite tertentu, pemilik
modal, atau anak biologis pendiri partai. Kartelisasi sangat erat kaitanya dengan
tumbuhnya oligarki dalam tubuh partai. Hal itu makin nyata ketika parpol
dipimpin segelintir elite dengan legitimasi kekuasaan sangat besar. Legitimasi lain
karena karisma, pendukung fanatik, kekuatan modal, manajemen yang baik.
Modal finansial juga telah menjadi panglima. Akibatnya, ketika oligarki
telah tumbuh subur, parpol hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih
kekuasaan. Kekuasaan selanjutnya bukan sebagai lahan pengabdian, melainkan
sarana mencari penghasilan, pengamanan bisnis, dan penguatan kelompok. Akhirnya elite partai yang memiliki kewenangan lebih menyelewengkan kekuasaan
untuk kepentingan sendiri. Watak kartel dalam tubuh partai-partai makin
mengemuka bila dianalisis dari penerapan sistem presidensial dengan multipartai.
Secara teoretis, multipartai sangat tidak memungkinkan. Kemungkinan kemacetan
antara legislatif dan eksekutif sangat besar. Deadlock akan sangat sering terjadi,
apalagi di tengah perbedaan ideologi partai-partai di parlemen.
Tetapi nyatanya, di Indonesia, sistem ini bisa diterapkan dengan model
koalisi lintas parpol dan ideologi. Meski terkadang terjadi friksi, koalisi pemerintahan di parlemen terbukti cukup manjur mendukung pemerintahan. Artinya,

13 | P o l i t i k K a r t e l

ada kekuatan tersembunyi yang mengatur gerak kebijakan parpol, yaitu
pemimpin-pemimpin partai yang bisa terhubung dalam satu kepentingan
kekuasaan ansich. Kartelisasi yang tumbuh bersama dengan oligarki dalam tubuh
partai-partai menyiratkan ada sesuatu di baliknya. Tak sekadar kepentingan
kekuasaan, perebutan konstituen, massa, dan kepemimpinan, tetapi merembet
pada aset-aset ekonomi, yang berkaitan erat dengan sumber-sumber pendapatan
dan bisnis.
Masalah mendasar perpecahan, kartelisasi, dan oligarki tidak lepas dari
hilangnya ideologi sebagai pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan
pedoman normatif kehidupan berbangsa dan bernegara. Meredupnya faktor
ideologi dalam tubuh parpol melahirkan pragmatisme politik. Politik bak transaksi
jual-beli, untung, dan rugi yang dihitung sebagai fondasi skema serta konsep, tak
berlaku lagi keinginan membangun bangsa dan negara. Parpol wajib berbenah
dengan mengader lewat merit system agar transparan dalam pengelolaan dana
politik.

14 | P o l i t i k K a r t e l

BAB III
KESIMPULAN
Partai politik seharusnya menjalankan fungsi-fungsinya, seperti menjadi
pusat pendidikan politik warga negara. Pendidikan politik seharusnya bertujuan
menciptakan pemahaman ide atau gagasan politik dalam konteks bernegara. Dari
pendidikan politik inilah seharusnya anggota partai politik diasah sense of
humanity dan rasa memiliki bangsanya. Agar tindakan ketika dipercaya
memegang jabatan-jabatan publik sesuai dengan aspirasi atau kehendak rakyat
yang diwakili. Selain itu pendidikan politik adalah strategi mempertajam ideologi
para anggotanya.
Fungsi partai politik lain yang tidak berjalan adalah Kaderisasi. Program
pelatihan dan kaderisasi partai sangat penting. Hal ini disebabkan tidak mungkin
partai politik modern hanya mengandalkan satu atau dua orang figur untuk
membesarkan partai politiknya. Selain itu kaderisasi juga disiapkan untuk
mendorong pemimpin besar lahir dari rahim partai. Kegagalan kaderisasi partai
politik di Indonesia hari ini terlihat dengan masih sedikitnya jumlah caleg atau
calon kepala daera berusia muda dan bergagasan baru. Kita masih menyaksikan
muka-muka lama bertarung merebut kekuasaan politik, walaupun dengan
gamblang periode kepemimpinan sebelumnya mereka tidak melakukan hal-hal
besar untuk kepentingan rakyat. Selain itu fungsi kaderisasi partai politik
bermanfaat mengisi kepemimpinan di internal partainya. Banyak partai politik
yang mekanisme organisasinya tidak berjalan karena gagalnya kaderisasi
Fungsi partai politik lainnya yang tidak berjalan sebagai alat perjuangan
aspirasi politk rakyat. Sebagian besar panggung-panggung kampanye dihadiri
massa karena ada proses transaksional menggunakan alat tukar benda atau uang.
Tidak sedikit juga hadir dikarenakan adanya artis nasional atau hiburan lainnya.
Elit-elit politik juga tidak ada upaya memperbaiki fungsi ini. Hanya sedikit elit
berpolitik menggunakan wadah partai politik sebagai alat perjuangan. Akumulasi

15 | P o l i t i k K a r t e l

persoalan disfungsinya partai politik secara ideal. Melahirkan proses dan hasil
pemilu yang tidak berkualitas. Ketika kampanye jualannya bukan gagasan yang
diberikan kepada rakyat dan negara, melainkan hanya ajakan-ajakan kosong diisi
hiburan tidak mendidik. Kondisi ini semakin diperparah dengan pragmatisnya
sikap warga terhadap politik, orang baik dalam partai politik disamakan banditbandit politik. Mereka mau tergerak jika dibayar untuk menghadiri kampanye atau
memilih.
Masalah lainnya pemilu di Indonesia saat ini mempunyai cost politik
tinggi. Bahkan tingginya ongkos politik diperparah dengan diamininya sistem
pemilihan umum terbuka menggunakan nomor urut. Para calon legislatif yang
bertarung saling jegal bukan hanya dengan pesaingnya di partai lain, bahkan
rekannya satu partai harus disikatnya untuk merebutkan kursi anggota dewan.
Sistem terbuka dengan no urut digunakan karena kegagalan partai politik untuk
menjalankan fungsinya, secara khusus Kaderisasi.
Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma mengatakan bahwa
sumber praktek politik kartel yang pada dasarnya merupakan praktek politik
oligarki adalah partai politik. Bagaimana mengatasinya? Pertama, reformasi
partai adalah pekerjaan yang besar karena ketertutupan di partai sungguh luar
biasa. Contohnya adanya inner dan outer circle dalam partai yang merupakan
penyakit sesungguhnya dari sistem kepartaian yang akan masuk dalam sistem
parlemen melalui kontrol yg dilakuan dewan pengurus pusat (DPP) sebuah partai
politik terhadap fraksi dan anggota. Jika ada politisi di parlemen yang tidak
berkenan di hati DPP maka akan dilakukan penggantian antar waktu (PAW).
Kedua, sebagaimana sedang diupayakan oleh kemitraan (Partnership-red) yaitu
membagi pemilu dalam dua kali pelaksanaan yaitu pelaksanaan pemilu nasional di
dua tahun pertama dan pelaksanaan pemilu lokal di dua tahun berikutnya. Sistem
demikian sebetulnya bisa mencegah kongkalikong antar orang pusat dan daerah.
Tapi konsep ini tidak akan lolos begitu saja karena partai politik dan parlemen
tidak ingin dikontrol. Ide ini akan makin sulit dilakuan dan hanya bisa dilakukan
jika partai dibubarkan. Tidak ada cara apaun untuk pecahkan oligarkhi. Ketiga,

16 | P o l i t i k K a r t e l

oligarkhi terlibat dalam kapital, oleh karena itu kasus-kasus besar tidak akan
selesai karena saling menutupi.
DAFTAR PUSTAKA

Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian
di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Penerbit KPG
Duverger, Maurice. (1981). Partai Politik dan Kelompok-kelompok penekan.
Yogyakarta : BINA AKSARA.
Dahl, Robert. (1994). Analisis Politik Modern. Jakarta : BUMI AKSARA.
Kurnia, Ferry. (2007). Mengawal Pemilu, Menatap Demokrasi. Bandung : Idea
Publishing.
http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/29275-selubung-kartel-parpol
http://politik.kompasiana.com/2014/04/10/analisa-kegagalan-fungsi-partai-politikhubungannya-dengan-pemilu-2014-646343.html
http://kartel-indonesia.blogspot.com/2013/02/memahami-makna-politikkartel.html