Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Pres (1)

Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensial di Indonesia:
Kajian Politik Perseteruan*
M. Rolip Saptamaji
Pascasarjana Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
[email protected]

Pengantar

Menjelang pemilu 2014 yang hanya sepelemparan batu pada bulan april
mendatang, semua konstruksi politik yang pernah dijadikan sebagai konsensus
sebelumnya mulai dipertanyakan kembali. Kondisi ini adalah kondisi yang lazim
dalam alam demokrasi menjelang sirkulasi kekuasaan. Ketika partai politik dan
organisasi masyarakat mulai terpolarisasi dalam ruang-ruang kepentingannya
masing-masing, posisi politik perlu ditegaskan terutama dalam hal dukungan atau
oposisi terhadap pemerintahan sebelumnya. Ketika polarisasi terjadi konstruksi
dukungan partai politik mulai berayun kesana kemari mengikuti opini massa.
Kepentingannya sederhana, kemenangan dengan perolehan suara terbanyak pada
pemilu nanti.
Fenomena ini dapat terlihat secara langsung dari kekeacauan koalisi partai

pendukung pemerintah yang berkuasa saat ini. menjelang akhir pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa partai yang sebelumnya termasuk sebagai
partai pendukung mulai menunjukkan sikap oposisi. Fenomena PKS yang berayun
kesana-kemari menghadapi kebijakan kontrversial pemerintah adalah salah satu
fenomena yang sulit dilupakan oleh publik. Keadaan ini menghasilkan berbagai
respon

berdasarkan

sikap politik

subjek

yang

meresponnya.

Sebagian

memahaminya sebagai proses demokratisasi, sementara sebagaian lainnya

memahaminya sebagai ancaman.
Sekretariat gabungan partai koalisi yang dibentuk pada bulan Mei 2010 adalah
salah

satu

otorita

non-institusional

yang

paling

mudah

dipertanyakan

keberadaannya. Beberpa pengamat menganggap setgab sebgai lembaga yang
mencurigakan karena prosesnya yang politis dan menjadikan hubungan eksekutif

dan legislatif bersifat transaksional. Sebagian lagi berpendapat bahwa Presiden
terjebak dalam oligarki partai politk yang memperkecil ruang gerak eksekutif

dalam proses kebijakan. Sebagian lain memiliki opini yang terbelah, antara lain
menganggap bahwa setgab merupakan lembaga ekstra parlemen yang mereduksi
fungsi DPR dan refleksi dari peningkatan pragmatisme politik yang menggerus
sendi-sendi praktik bernegara. Kecurigaan-kecurigaan inilah yang melatari
pertanyaan mengenai eksitensi setgab yang dicoba untuk dijelaskan melalui FGD
ini.
Pada FGD kali ini muncul enam pertanyaan mengenai setgab dimulai dari asal
muasal hingga penerapan kerja praktis setgab dan relasinya dengan sistem
presidensial di negara kesatuan. Konteks umum dari FGD ini adalah eksistensi
koalisi partai politik yang direpresentasikan oleh setgab dalam praktik
pemerintahan. Pada konteksi ini saya akan membatasi diri pada pembahasan
dalam sudut pandang politik perseteruan yang berarti secara teoritis berada diluar
paradigma institusionalis dari praktik pemerintahan untuk menjelaskan bagaimana
konfigurasi politik yang menghasilkan koalisi partai politik sebelum masuk
kedalam konteks pemerintahan yang lebih aplikatif.
Politik perseteruan dalam proses demokratisasi
Berbeda dengan sudut pandang institusionalis yang mengarah pada harmoni

politik, persepsi politik perseteruan tidak memandang harmonisasi lembaga
sebagai tujuan dari politik melainkan bagian dari keajegan sementara dari suatu
konsensus yang dihasilkan oleh konteks peluang politik tertentu. Lebih jauh lagi,
kajian politik perseteruan (Contentious Politics) yang dipelopori oleh Charles
Tilly dalam “Dynamics of Contention” meleburkan batas pemisah antara dinamika
sosial dengan dinamika politik sehingga politik dapat dilihat sebagai sebuah
ketidakpastian, ketidak-utuhan, lengkap dengan berbagai anomalinya (Tilly,
2008). Pandangan ini memang tidak dapat menjawab tujuan dari FGD ini yang
mengarahkan pada pembentukan solusi paraktis terhadap keberadaan setgab.
Namun, saya beranggapan bahwa pandangan ini penting untuk mengeksplorasi
persoalan koalisi partai politik dalam sistem presidensial yang sedang mengalami
proses demokratisasi.
Koalisi Partai Politik dalam sistem Presidensial : Sebuah Anomali atau
kelaziman

Koalisi partai politik dalam sistem presidensial seringkali dianggap sebagai
anomali dalam sistem presidensial. Asumsinya adalah koalisi partai politik
seringkali diterapkan pada sistem parlementer

ketimbang


pada

sistem

presidensial. Pada sistem parlementer, hubungan antara eksekutif dan legislatif
adalah ketergentungan mutual (mutual dependence), sedangkan dalam sistem
presidensial

hubungannya

menjadi

ketidaktergantungan

mutual

(mutual

independence).

Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensial sangat
membutuhkan koalisi partai politik karena jabatannya sewaktu-waktu dapat
dicopot oleh parlemen. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, presiden tidak
dapat digantikan tanpa proses panjang impeachment atau pemasygulan secara
hukum. Bahkan, seorang presidan dapat tetap memegang jabatannya meskipun
mayoritas anggota parlemen merupakan oposisi terhadapnya.
Supremasi presiden dalam penentuan kabinet dalam sistem presidensial juga
sangat tinggi melalui hak preogratifnya sehingga partai politik atau parlemen tidak
dapat ikut campur dalam pemilihan menteri dalam kabinet. Sedangkan, dalam
sistem parlementer, parlemen sangat menentukan formasi kabinet. Kekeuasaan ini
bersal dari pemilihan langusng presiden yang menjadi legitimasi terhadap
kekuasaan presiden yang melampaui kekuasaan partai politik yang membentuk
parlemen. Melalui logika diferensial ini, koalisi partai politik menjadi anomali
dalam sistem presidensial dimana kekuasaan berpusat pada presiden bukan
tersebar pada partai politik yang membentuk parlemen.
Persoalannya linearitas logika politik ini tidak selalu terjadi dalam kenyataan.
Negara dunia ketiga seperti di Asia dan Amerika Latin yang mengadopsi
demokrasi pada umumnya mengalami persoalan yang serupa dalam sistem
pemerintahannya. Negara-negara yang mengahadapi model kedikatatoran dengan
dominasi militer sejak berakhirnya perang dunia kedua ini baru memulai

pengalaman demokrasinya sejak akhir perang dingin dua dekade belakangan ini.
Pada kedua regional ini, proses demokratisasi menjadi lebih rumit karena
peninggalan rezim kediktatoran atau rezim “demokrasi terbatas” yang berkuasa
dalam waktu yang panjang. Ketika kekuasaan sentralis rezim diktator runtuh pada

dua regional ini, sistem presidensial masih dipertahankan sebagai warisan
peronalitas otoritarian. Namun sistem ini mengidap gejala penyakit yang sama
sebagai hasil dari terpecahnya sentral kekuasaan yaitu kemunculan partai politik
dalam jumlah yang masif. Kondisi inilah yang membentuk ambiguitas sistem
pemerintahan presidensial yang juga mengadopsi sistem multi-partai.
Dalam konteks multi partai, sebuah partai mayoritas hampir tidak mungkin
mengajukan kandidatnya tanpa koalisi untuk memenuhi kuota representasi. Maka
koalisi dalam sistem ini merupakan konsekuensi dari adopsi mltipartai dalam
sistem presidensial. Berbeda dengan sistem presidensial yang terjadi dalam sistem
bipartai atau unipartai, presiden dalam sistem presidensial multi partai tidak dapat
menikmati kekuasaan penuh karena secara langsung maupun tidak, Ia terikat
dengan partai dan koalisinya.
Keterikatan ini tidak dapat dilepas begitu saja atas nama kepentingan negara yang
berasumsi bahwa presiden terpilih dan anggota dewan terpilih akan meleburkan
kepentingannya pada kepentingan negara secara kolektif. Meskipun konsep ini

menjadi konsep romantis yang diidamkan dalam retorika “negarawan”, peleburan
kepentingan politik partai kedalam kepentingan negara tidak pernah terjadi.
Koalisi partai politik di Indonesia
Di Indonesia, koalisi partai politik terbentuk dari terpecahnya sentral kekuasaan
pada kejatuhan rezim Orde Baru. Kejatuhan rezim sentralistik ini dengan cepat
memecah konsentrasi kekuasaan pada kelompok-kelompok lama maupun baru
termasuk pada individu-individunya. Dampak yang paling mudah diamati adalah
menjamurnya jumlah partai politik pada pemilu 1999 yang mencapai 200 partai
politik baru, 148 diantaranya mengikuti verifikasi pemilu dan hanya 48 yang
berhasil menjadi peserta pemilu.
Setelah kejatuhan Orde Baru, momentum besar yang memecah konsentrasi
kekuasaan juga terjadi pada tahun 2005 ketika pemerintah daerah diberikan
wewenang untuk menyelenggarakan pemilu lokal untuk memilih kepala daerah.
Formasi kekuasaan semakin tersebar dalam partikel-partikel kekuasaan lokal yang
biasanya diperoleh melalui identitas primordial. Perpecahan konsolidasi
kekuasaan ini merubah konfigurasi koalisi partai politik.

Dinamika lama yang dianggap masih berlaku seperti politik aliran yang terus
menerus didengungkan oleh kaum intelektual semakin tumpul membedah proses
politik yang terjadi dengan cepat. Pemilahan partai politik berdasarkan identitas

promordial dan kecenderungan koalisi berdasarkan afiliasi promordial, religius
dan sosial dalam asumsi politik aliran Geertz sudah kehilangan taringnya untuk
menjelaskan bagaimana partai islam dapat berkoalisi dengan partai kristen pada
pemilihan kepala daerah.
Koalisi yang dibentuk di pemerintahan pusat seringkali juga tidak mencerminkan
integrasi politik secara kewilayahan. Bukan hal yang aneh bagi dinamika politik
lokal ketika dua partai yang berseberangan di pemerintahan pusat seperti partai
Demokrat atau Golkar dengan PDIP dapat berkoalisi untuk pilkada. Kelompokkelompok promordial-tradisional juga muncul sebagai kekuatan politik penentu
dalam pemilihan kepala daerah. Konfigurasi politik yang terpecah ke berbagai
arah ini mempengaruhi konfigurasi koalisi partai politik secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pertanyaan mengenai konsistensi partai koalisi merupakan pertanyaan
yang absurd jika menimbang konfigurasi politik kekinian.
Selain itu, termin waktu dalam pemilihan umum di Indonesia juga sangat rumit
dan panjang, untuk pemilihan legislatif dari tahapan persiapan hingga pemilihan
bisa memakan waktu enam bulan. Setelah itu, pemilihan presiden secara langsung
yang

diselenggarakan

setelah


pengumuman

hasil

pemilihan

legislatif

menggunakan sistem dua putaran tentatif bergantung hasil suara. Rentang waktu
yang sangat panjang tersebut memaksa partai politik untuk berayun kesana kemari
untuk menentukan posisi politiknya.
Mekanisme pemilihan presiden yang tidak berkaitan dengan pemilihan legislatif
secara langsung menghasilkan presiden terpilih dengan dukungan minoritas.
Sebagai contoh adalah kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu
2009 hanya ditunjang oleh perolehan suara partai Demokrat yang hanya mencapai
20,85% sementara 79,15% suara tersebar pada delapan partai politik lainnya.
Dengan perolehan suara ini, Presiden memerlukan koalisi partai untuk
memperkuat posisinya dan menghindari bentrokan pada proses legislasi jika
79,15% suara beroposisi terhadapnya.Koalisi partai politik menjadi instrumen


penting dalam penguatan legitimasi pemerintahan presiden terpilih dalam sistem
presidensial multi partai. Paradoksnya terletak pada partai politik itu sendiri.
Peran Partai Politik
Partai politik yang menjadi tulang punggung proses demokratisasi di Indonesia
memiliki persoalannya sendiri. Berbeda dengan kemunculan multipartai di
Amerika latin, partai politik di Indonesia tidak memiliki perbedaan mencolok
secara ideologis, filosofi ataupun kebijakan yang diajukan (Ufen, 2006, hal. 16).
Partai politik di Indonesia terbentuk oleh peluang elektoral bukan perbedaan
ideologis dan programatiknya. Persoalan yang mencuat antara partai politik
hanyalah berpusar pada gaya kepemimpinan dan tokoh yang diusungnya.
Semua partai di Indoneisia memiliki retorika yang serupa berkisar pada isu
ekonomi atau kesejahteraan, perbaikan infrastruktur, lapangan kerja, dan
menurunkan harga. Jika ditelusuri bagaimana mereka melaksanakan programnya,
proses yang ditawarkan juga serupa dan mengandalkan negara sebagai instrumen
utama. Metode meraih simpati yang digunakan oleh partai politik juga cenderung
serupa yaitu hiburan dan hadiah bagi calon pemilih. Selama masa kampanye, para
kandidat

partai

politik

menghabiskan

semua

sumber

dayanya

untuk

menyelenggarakan berbagai acara keagamaan, olahraga, konser, kursus masak
hingga membagi-bagikan makanan, kaos oblong, topi dan berbagai atribut
kampanye lainnya secara Cuma-Cuma.
Secara ideologis, partai politik pada umumnya menggunakan “Pancasila” sebagai
ideologinya. Ideologi ini adalah ideologi negara yang seringkali diadopsi dan
ditempelkan pada atribut-atribut tertentu seperti agama. Pemilahan paling umum
adalah antara kelompok sekuler dan kelompok islam, itupun tidak begitu
berdampak ketika partai-partai islam mulai mengadopsi pancasila sebagai
asasnya. Sejak runtuhnya Orde Baru, saya hanya mendapatkan tiga varian baru
dari partai politik. pertama, PRD, partai radikal kiri yang menggunakan
pendekatan neo-marxist. Kedua, PKS, partai kader islam modern yang
beranggotakan kaum muda terpelajar yang mengkombinasikan tehnik manajerial
partai politik modern dengan pendekatan islam. Yang terakhir sebagai kontras
bagi kedua partai tersebut adalah partai Demokrat yang bergantung pada

ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang menggunakannya sebgai kendaraan
politik pada pemilu 2004 dan 2009.
Diantara ketiga model partai yang lahir setelah Orde Baru hanya partai radikal kiri
lah yang gugur memasuki kancah parlemen. Partai Demokrat sebagi pelopor
partai presidensial telah menginspirasi pembentukan partai-partai baru lainnya
yang juga bergantung pada ketokohan atao patronase politik seperti Partai
Gerindra dengan Prabowo dan Partai Hanura dengan Wiranto sebagai tokoh
sentral.
Partai politik di Indonesia saat ini memiliki ciri yang mirip dengan partai politik
di Filipina. Ciri tersebut antara lain: lemahnya orogram politik, tingginya tingkat
perpindahan kader dari satu partai ke partai lainnya (biasanya disebut sebagai kutu
loncat dalam bahasa media massa), koalisi singkat bergantung pada momentum
politik, partai hanya aktif pada masa pemilu, kepemimpinan politik berjarak
antara elit dan massa (Rocamora 2000; Arlegue Coronel 2003; Tee-hankee 2006).
Satu-satunya perbedaan dengan filipina adalah konfigurasi ideologi yang tidak
ditemukan di Indonesia. Kelemahan tambahan bagi partai politik di Indonesia
adalah lemah secara organisasional dan rentan secara ketokohan karena sangat
bergantung terhadap figur (Liddle, Mujani. 2006).
Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sistem presidensial multipartai
yang terjadi di Indonesia nerupakan bagian dari proses demokratisasi pasca Orde
baru. Keberadaan koalisi partai yang direpresentasikan oleh Setgab pada dasarnya
merupakan instrumen penguatan legitimasi politik pemerintah terpilih. Secara
esensial kemunculan koalisi dibentuk oleh dinamika perseteruan politik ketika
sentral kekuasaan terbelah pada masa kejatuhan Orde Baru sehingga koalisi
merupakan wadah sementera yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi ulang
kekuasaan yang tersebar.
Meskipun begitu romantisme “negarawan” yang mengasumsikan terjadinya
peleburan kepentingan politik masih menjadi jargon politik yang kosong. Koalisi
partai politik tidak dapat diharapkan sebagai instrumen stabilitas, melainkan
lokalisasi atau pewadahan bagi perseteruan politik dalam mekanisme multipartai.
Para pengamat politik di era reformasi atau era demokratisasi ini harus segera
meneanggalkan pandangan Statism (Negara Sentrist) untuk memahami proses

demokratisasi dan fenomena ketidakutuhan dari sistem demokrasi itu sendiri.
Pada akhirnya, bukan koalisi partai politik yang seharusnya dipersoalkan namun
lebih mendasar lagi fungsi partai politik yang harus kembali dipermasalhkan dan
direkonstruksi ulang melalui paradigma demokratis.
*)Tulisan ini ditujukan sebagai paper dalam Focus Group Discussion, Keberadaan
SETGAB (Sekretariat Gabungan) Koalisi Partai Politik Dalam Praktik
Pemerintahan Di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian kebijakan
Publik dan Kewilayahan Universitas Padjadjaran
Daftar Pustaka
Altman, D. (2000). The Politics of Coalition Formation and Survival in MultiParty Presidential Democracies : The Case of uruguay, 1989-1999. Party
politics vol.6 No.3, 259-283.
Jose A. Chebub, A. P. (2003, February). Government Coalitions and Legislative
Succes Under Presidentialism and Parliamentarism.
Opp, K. D. (2009). Theories of Political Protest and Social Movements. New
York: Routledge.
Sherlock, S. (2004). The 2004 Indonesian Elections: How the System Works and
What the Parties Stand For. Canberra: Centre for Democratic Institution.
Tan, P. J. (2006). Indonesia Seven Years after Soeharto. Contempoaru Southeast
Asia vol. 28, No.1, 88-114.
Tilly, C. (2005). Regimes and Repertoires. Cambridge: Cambridge University
Press.
Tilly,C. McAdam, D. Tarrow, S. 2008. Dynamics of Contention. Cambridge:
Cambridge University Press.
Ufen, A. (2006, december). Political Parties in Post Soeharto Indonesia: Between
Politik Aliran and 'Philipinisation'. Giga Working Papers. Hamburg,
Germany: German Institute of Global and Area Studies.