BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Peremajaan Kelapa Sawit - Pengurutan Prioritas Peremajaan Tanaman Dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarkhi Process

BAB 2 LANDASAN TEORI

  2.1. Peremajaan Kelapa Sawit Terdapat beberapa pertimbangan dalam menentukan saat petani pekebun harus

melakukan peremajaan. Pertimbangan dalam melakukan peremajaan antara lain

adalah umur tanaman sudah tua (umumnya 19 - 25 tahun) . Secara fisiologis tanaman

tua seperti ini memiliki produktivitas yang semakin menurun, sehingga dipandang

tidak lagi memberikan keuntungan secara ekonomis malah bisa merugi. Umumnya

batas umur ekonomis yang digunakan sebagai patokan teknis untuk tanaman kelapa

sawit rata-rata 25 tahun, namun tidak jarang umur ekonomis hanya mencapai 19

tahun.

  Pada umur tanaman tua ini produktivitas tanaman rendah (umumnya < 12

ton/ha/th tidak ekonomis atau rata-rata 1 ton/ha/bl) . Tanaman yang berproduksi

rendah sebagai akibat dari umur tanaman sudah tua atau tumbuhnya kurang besar dan

dianggap kurang menguntungkan. Kesulitan pelaksanaan panen juga dijadikan sebagai

pertimbangan dalam menentukan saat petani pekebun harus melakukan peremajaan

kebunnya. Tanaman yang sudah tua umumnya memiliki pohon tinggi yang dapat

menyulitkan saat pemanenan, sehingga efektivitas dan efisiensi panen menjadi rendah

karena ongkos produksi menjadi mahal. Kebun yang sudah tua kerapatan

tanamanumumnya rendah, sehingga tanaman dengan kerapatan yang rendah tidak

ekonomis untuk dikelola sehingga perlu diremajakan.

  2.2. PT Perkebunan Nusantara III

  PT Perkebunan Nusantara III (Persero) adalah

  Perusahaan ini berkantor pusat diirektur Utama perusahaan adalah Bagas Angkasa sedangkan Komisaris Utama adalah PTPN III dibentuk berdasarkan PP No.8 Tahun 1996, Tanggal 14 Pebruari 1996 dalam rangka restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibidang perkebunan. PTPN III merupakan penggabungan kebun-kebun diwilayah Sumetera Utara dari eks PTP III, PTP IV dan PTP V.

  2.3. Sistem Pendukung Keputusan (SPK)

  SPK merupakan sistem informasi berbasis komputer yang intraktif, fleksibel, dan dapat beradaptasi, yang secara khusus dikembangkan untuk mendukung penyelesaian permasalahan yang tidak terstruktur untuk meningkatkan pembuatan keputusan (Turban 1995).

  2.4. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

  Metode AHP merupakan salah satu model untuk pengambilan keputusan yang dapat membantu kerangka berfikir manusia. Pada dasarnya AHP adalah metode yang memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok- kelompok, mengatur kelompok-kelompok tersebut ke dalam suatu susunan hirarki, memasukkan nilai numeris sebagai pengganti persepsi manusia dalam melakukan perbandingan relatif, dan akhirnya dengan suatu sintesis ditentukan elemen mana yang mempunyai prioritas tertinggi (Permadi, 1992). Metode AHP memakai persepsi manusia yang dianggap expert sebagai input utama, yaitu orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat suatu masalah, atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Saaty (1991) menyatakan bahwa pada dasarnya metode Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah memfokuskan suatu situasi yang kompleks tak terstruktur, ke dalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel itu ke dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang relatif pentingnya setiap variabel, dan mensintesis berbagai pertimbangan itu untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Sejalan dengan itu, dalam memecahkan persoalan dengan AHP (decomposition)¸ prinsip penilaian komparatif (comparative judgment), prinsip sintesa prioritas (synthesis of priority) dan prinsip konsistensi logis (logical consistency).

  1. Decomposition, yaitu pemecahan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan (hirarki) dari persoalan tadi.

  2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relative dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian itu merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan maktriks pairwise comparison.

  3. Synthesis of Priority. Pada setiap matriks “pairwise comparison” terdapat local priority. Oleh karena “pairwise comparison” terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa di antara local priority tersebut. Pengurutan elemen-elemen tersebut menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting.

  4. Logical consistency. Konsistensi dalam hal ini mempunyai dua makna. Pertama bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dari relevansinya. Kedua bahwa tingkat hubungan antara objek- objek didasarkan pada kriteria tertentu misalnya sama penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, mutlak lebih penting.

2.4.1. Komparasi Berpasang

  Tahap terpenting dalam AHP adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan terhadap aktor-aktor pada suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numeric dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dari terendah. Skala komparasi yang digunakan adalah 1 sampai 9 adalah yang terbaik. Hal ini telah dibuktikan oleh Saaty dengan berdasarkan pertimbangan tingginya akurasi yang ditunjukkan dengan nilai Root Means Square (RMS) dan Median Absolute Deviation (MAD) pada berbagai problema. Nilai skala komparasi yang dimaksudkan disajikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Nilai Skala Komparasi Berpasangan, (Saaty, 1991)

  Tingkat Kepentingan Definisi

  1 Sama penting

  3 Sedikit lebih penting

  5 Jelas lebih penting

  7 Sangat jelas lebih penting

  9 Pasti/mutlak lebih penting 1/(1-9) Kebaikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9

2.4.2. Prosedur AHP

  Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah dalam metode AHP yaitu mendefenisikan masalah, sintesis, mengukur konsistensi, menghitung Consistency Index (CI), menghitung rasio, dan memeriksa konsistensi hierarki. Cara menghitung Indek Konsistensi (CI) dapat dilihat dengan persamaan (2.1):

  (2.1) CI = (λ maks-n)/n di mana n = banayak kriteria

  Cara menghitung Rasio Konsistensi (CR) dapat dilihat dengan persamaan (2.2) CR = CI/RC (2.2)

  Di mana CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index

  IR = Indeks Random Consistency Untuk memeriksa Konsistensi Hierarki dapat dilihat dengan table 2.2 . Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data judgment harus diperbaiki. Namun jika rasio konsistensi (CI/IR) kurang atau sama dengan 0.1, maka hasil perhitungan dinyatakan benar.

Tabel 2.2. Nilai RI

  n

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10 RI

  5.8 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49

2.4.3. Contoh Penerapan AHP

  Penerapan AHP pada contoh kasus sederhana. Suatu kasus yang harus diputuskan mempunyai 3 kriteria yaitu Kriteria A, B dan C. Langkah 1: Buat matrik berpasangan dan berikan tingkat kepentingannya. Tidak perlu seluruh angka diisi. Cukup diagonal ke atas saja. Lihat tabel 2.3:

Tabel 2.3. Skala Penilaian Berpasangan Kriteria A Kriteria B Kriteria C

  Kriteria A

  1

  3

  1 Kriteria B

  1

  5

  1 Kriteria C Angka 1 pada diagonal matrik di atas merupakan perbandingan kriteria yang sama.

  Angka 3 pada Kriteria B menyatakan bahwa Kriteria lebih penting sedikit daripada Kriteria A demikian seterusnya. Untuk mengisi angka pada kotak yang kosong dilakukan dengan cara dibagi yaitu mengisi elemen Kriteria A vs Kriteria B. Maka cukup mengambil nilai Kriteria A vs Kriteria A (yaitu 1), kemudian dibagi dengan nilai Kriteria B vs Kriteria A (yaitu 3) menghasilkan 0.333 lihat tabel 2.4. :

Tabel 2.4. Penilaian Berpasangan Lengkap Kriteria A Kriteria B Kriteria C

  1

  3

  1 Kriteria A

  Kriteria B 0.3333333

  1

  5 Kriteria C

  1

  0.2

  1 Langkah 2 : Lakukan normalisasi. Caranya dengan membagi setiap elemen dengan jumlah masing- masing kolom.

Tabel 2.5. Jumlah Kolom Kriteria A Kriteria B Kriteria C

  Kriteria A

  1

  3

  1 Kriteria B 0.3333333

  1

  5 Kriteria C

  1

  0.2

  1 Jumlah 2.3333333

  4.2

  7 Tabel 2.6. Normalisasi

  

Kriteria A Kriteria B Kriteria C

Kriteria A 0.4285714 0.7142857 0.1428571 Kriteria B 0.1428571 0.2380952 0.7142857

  0.4285714 0.047619 0.1428571

  Kriteria C

  angka normal seperti di tabel 2.5. didapat dari kriteria dibagi jumlah. Contohnya 1 dibagi 2.3333 .. hasilnya 0.42857 (Lihat tabel 2.6.). Langkah 3: Cari rata-rata setiap kriteria. Caranya, jumlahkan tiap baris kemudian dibagi dengan jumlah kriteria yang ada. Untuk kasus ini jumlah kriterianya 3 (A, B, C).

Tabel 2.7. Rata- rata Kriteria A Kriteria B Kriteria C Rata - rata

  Kriteria A 0.4285714 0.7142857 0.1428571 0.428571429 Kriteria B 0.1428571 0.2380952 0.7142857 0.365079365 Kriteria C 0.4285714 0.047619 0.1428571 0.206349206

  Maka Vektor Bobot yaitu :

  W1= 0.428571429 W2= 0.365079365 W3= 0.206349206 Langkah 4: Kalikan bobot dengan matrik berpasangan tadi. Mana yang paling besar, itulah yang paling penting

  1

  3 1 0.42857143 1.730159 0.3333333

  1 5 0.36507937 = 1.539683

  1

  0.2 1 0.20634921 0.707937 Kalau di atas, maka tentunya urutannya adalah Kriteria A, Kriteria B dan Kriteria C Setelah ini masuk ke langkah pengujian Langkah 1: Kalikan bobot tadi dengan matrik berpasangan yang pertama. Langkah 2: cari nilai t dengan cara bagilah hasil pada langkah 1 tadi dengan masing-masing bobotnya, kemudian jumlahkan semuanya. Setelah itu bagilah dengan jumlah kriteria yaitu 3. Lihat rumus dan angka di bawah ini : t = x + +

  ( )

  Sehingga t = 3.895 Langkah 3: Hitung Consistency Index (CI) dengan cara mengurangkan t di atas dengan jumlah kriteria. Hasilnya dibagi lagi dengan jumlah kriteria.

  CI = (t-n)/n —> (3.985-4)/4 = -0.0375 Langkah 4: Hitung Consistency Ratio (CR) dengan cara CI/RI. RI didapatkan dari tabel. Lihat tabel 2.2.

  Karena contoh kasus ini menggunakan hanya 3 kriteria artinya RI yang dipakai 3 yaitu 5.8. Sehingga CR= -0.0375/5.8 = -0.000647 5:

  Langkah 5 Cek hasilnya, jika CR kurang dari 0.1 maka hasilnya bisa disebut konsisten. Jika tidak konsisten, matrik berpasangannya harus diulang untuk dibuat .

2.5. Penelitian Terdahulu

  Bagian ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan prioritas peremajaan tanaman. Tabel penelitian terdahulu ditunjukkan pada tabel 2.3

Tabel 2.8. Penelitian Terdahulu Penulis Judul Penelitian Metode Kekurangan

  Sutrisno Badri (2012)

  Aplikasi model untuk mengembangkan Klaster agroindustri kelapa sawit

  AHP Kriteria yang menjadi faktor pendukung lebih subjektif

  Anton Setiawan Honggowibowo

  (2010) Implementasi metode analytical hierarchy process untuk pengambilan keputusan pemilihan foto berdasarkan tujuan perolehan foto

  AHP Menggunakan grafik untuk menunjukkan output. Tidak dijabarkan urutannya satu persatu