BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Variasi Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Kelapa

  Kelapa (cocos nucifera L.) termasuk termasuk ke dalam famili Palmae (palem), yang merupakan salah satu famili utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon. Famili palmae mencakup beberapa jenis tumbuhan yang bermamfaat bagi manusia, seperti kurma, kelapa, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu, pohon ara, dan lainnya. Semuanya dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang dimahkotai oleh daun menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.

  Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia yaitu mencapai lebih dari 1 sampai 900 juta liter per tahun. Namun pemanfaatannya dalam industri pangan belum menonjol, sehingga masih banyak air kelapa terbuang percuma, selain mubazir, buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat, akibat proses fermentasi dari limbah air kelapa tersebut (Onifade,2003 ; Warisno,2004).

  Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat menjadi minuman fermentasi, karena kandungan zat gizinya, kaya akan nutrisi yaitu gula, protein, lemak dan relatif lengkap sehingga sangat baik untuk pertumbuhan bakteri penghasil produk pangan. Kandungan gula maksimun 3 gram per 100 ml air kelapa. Jenis gula yang terkandung adalah sukrosa, glukosa, fruktosa dan sorbitol. Gula-gula inilah yang menyebabkan air kelapa muda lebih manis dari air kelapa yang lebih tua. (Warisno, 2004).

  Disamping itu air kelapa juga mengandung mineral seperti kalium dan natrium. Mineral-mineral itu diperlukan dalam poses metabolisme, juga dibutuhkan dan pembentukan kofaktor enzim-enzim ekstraseluler oleh bakteri pembentuk selulosa. Selain mengandung mineral, air kelapa juga mengandung vitamin-vitamin seperti riboflavin, tiamin, biotin. Vitamin-vitamin tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitas Acetobacter xylinum pada saat fermentasi berlangsung sehingga menghasilkan nata de coco. Oleh karena itu air kelapa dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan nata de coco, disamping untuk memanfaatkan limbah air kelapa sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang di akibatkan limbah air kelapa tersebut (Pambayun R., 2002).

  Air kelapa yang baik adalah yang diperoleh dari kelapa tua optimal, tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu tua, terkandung minyak dari kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata Acetobacter

  

xylinum. Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang

  cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun R., 2002).

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua

  Sumber air kelapa Air kelapa muda Air kelapa tua (dalam 100 g) (%) (%)

  17,0 kal - Kalori Protein 0,2 g 0,14 g Lemak 1,0 g 1,50 g Karbohidrat 3,8 g 4,60 g

  • Kalisum 15,0 mg Fosfor 8,0 mg 0,50 g Besi 0,2 mg - Asam askorbat
  • 1,0 mg Air 95,5 g 91,50 g
  • Bagian yang dapat dimakan 100 g (Sumber : Palungkun, 1992) Air kelapa banyak terbuang sebagai limbah yang belum dimanfaatkan, menurut Atih ( 1979 ) menyatakan bahwa air kelapa yang dihasilkan di Indonesia mencapai 900 juta liter / tahun. Air kelapa tersebut dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi bahan makanan tambahan yang disebut dengan nata de coco. Kandungan
nutrisi yang terdapat didalam air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa dan vitamin B kompleks (Onifade, 2003) mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter

  xylinum pada saat berlangsungnya fermentasi untuk menghasilkan nata.

2.2 Tanaman Terung Belanda

  Terung belanda adalah jenis tanaman anggota keluarga terung-terungan sejak tahun 1941. Di Indonesia terung ini mungkin pertama kali dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh orang pada waktu itu sehingga dikenal dengan nama terung belanda, padahal buah

  a

  tersebut berasal dari daeranim , 2012)

2.2.1 Daerah Tumbuh

  Di daerah tropik terung belanda dapat hidup di atas ketinggian 2000 m dpl. Di dataran rendah, pohon terung belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk (barangkali khususnya malam yang sejuk) dapat mendorong pembungaan. Oleh karena itu, tanaman ini berbuah matang pada musim dingin di daerah subtropik. Rasa buah akan menjadi lebih baik pada hari-hari cerah yang panas dan malam-malam yang dingin pada musim kemarau di daerah tropik daripada selama musim dingin di dataran tinggi. Tanaman ini tidak tahan terhadap genangan, walaupun hanya 1-2 hari.

  b (Anonim , 2009).

2.2.2 Klasifikasi Terung Belanda

Gambar 2.1 Tanaman Terung Belanda

  Kingdom : Plantae Divisi : Spermathopyta Sub Divis : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum Spesies : Solanum betaceum Cav.

  (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001).

  2.2.3 Morfologi Tumbuhan

  Tanaman ini memiliki daun yang berbulu bentuk hati besar dan berwarna hijau. Daun yang hijau ini akan mudah sekali dirusak oleh terpaan angin yang kencang. Bunga tamarillo akan muncul pada akhir musim gugur sampai pada awal musim semi. Warnanya pink dan terletak pada ujung cabang batang serta biasanya berkelompok. Tanaman ini memiliki benang sari dan putik serta kelopak bunga yang berwarna ungu hijau. Tanaman ini melakukan penyerbukan sendiri tetapi terkadang juga dibantu lebah dan angin meskipun sangat kecil kemungkinannya (Kumalaningsih, 2006).

  Tanaman ini memiliki tangkai panjang, satu dengan yang lainnya tumbuh sendirian atau ada yang berkelompok sebanyak 3-12. Buahnya berbentuk seperti telur dengan ukuran panjang antara 5-6 cm dan lebarnya diatas 5 cm. Warna kulitnya ada yang warna ungu gelap, merah darah, oranye, atau kuning dan ada yang masih memiliki garis memanjang yang tidak jelas. Terung belanda yang masih mentah berwarna hijau agak abu-abu. Warna ini akan berubah menjadi merah kecoklatan apabila buah sudah matang. Di dalam buah ini terdapat daging buah yang tebal berwarna kuning dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Rasa buah ini seperti tomat dan teksturnya seperti buah pulm dengan kandungan gizi yang relatif tinggi karena banyak mengandung vitamin A, C dan serat. Lapisan daging buah banyak mengandung air, sedikit kasar dan sedikit mengandung rasa manis. Biji Buah ini keras, berwarna coklat muda sampai hitam. Bentuk biji agak tumpul, bulat dan kecil, tetapi lebih besar daripada biji tomat yang sebenarnya (Kumalaningsih, 2006).

  2.2.4 Kandungan Kimia

  Terung belanda adalah buah yang mempunyai kandungan nutrisi yang sangat baik, berisi beberapa kandungan vitamin yang sangat penting serta kaya akan besi dan potasium, kandungan sodium yang rendah dan berisi kurang dari 40 kalori (kurang lebih 160 kJ). Oleh karena kelengkapan kandungan gizi pada tamarillo, maka di Amerika Serikat buah terung belanda terkenal sebagai buah yang mengandung rendah kalori, sumber serat, bebas lemak (jenis reds) atau rendah lemak (jenis golden), bebas kolesterol dan sodium dan sumber vitamin C dan E yang sempurna (Kumalaningsih, 2006).

  Buah terung belanda juga mengadung senyawa-senyawa seperti beta karoten, antosianin dan serat. Di antara senyawa antioksidan yang dikandungnya, beta karoten mempunyai peranan yang sangat penting karena paling tahan terhadap serangan radikal bebas. Beta karoten merupakan salah satu jenis karotenoid yang banyak terdapat pada buah-buahan. (Kumalaningsih, 2006).

  Menurut Kumalaningsih (2006), hasil analisis lengkap kandungan gizi buah terung belanda dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini :

Tabel 2.2 Kandungan Gizi dalam 100 g Terong Belanda

  Kandungan Nutirisi Terong Belanda (tiap 100 g) Vitamin A 540-5600 µg Vitamin B1 0.03-0.14 mg Vitamin B2

  0.01-0.05 mg Vitamin B6

  0.01-0.05 mg Vitamin C

  15-42 mg Vitamin E 2 mg Niasin 0.3-1.4 mg Potasium (Kalium)

  0.28-0.38 mg Kalsium

  6-18 mg Fosfor

  22-65 mg Magnesium

  16-25 mg Besi 0.3-0.9 mg Seng

  0.1-0.2 mg Protein

  1.4-2 g Lemak

  0.1-0.6 g Serat

  1.4-4.7 g Kadar Air 80-90 g

  (Sumber : Kumalaningsih , 2006)

2.2.5 Kegunaan

  Buah terung belanda berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi dan penyegar badan. Untuk obat tekanan darah tinggi dipakai ± 3 buah terong belanda yang sudah masak, di kupas untuk sekali makan (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001).

  Kegunaan buah terung belnada antara lain untuk mencegah kerusakan sel-sel jaringan tubuh penyebab berbagai penyakit (kanker, tumor dan lain-lain), melancarkan penyumbatan pembuluh darah (arteriklorosis) sehinga mencegah penyakit jantung dan stroke serta menormalkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol dan mengikat zat-zat racun dalam tubuh, meningkatkan stamina, daya tahan tubuh dan vitalitas dan membantu mempercepat proses penyembuhan (Sinaga, 2009)

2.3 Tanaman Lancing

Gambar 2.2 Tanaman Lancing

  Solanum mauritianum adalah pohon kecil atau semak dari Amerika Selatan,

  termasuk Argentina Utara, Brasil Selatan, Paraguay dan Uruguay . Tanaman ini dapat tumbuh hingga tiga puluh tahun. Memiliki daun besar berbentuk oval dan berwarna abu-abu kehijauan dan ditutupi dengan bulu. Bunga berwarna ungu dengan pusat kuning. Tanaman dapat berbunga sepanjang tahun tetapi berbuah pada akhir musim semi ke awal musim panas. Tanaman ini toleran terhadap banyak jenis tanah dan dengan cepat berkembang jika ditanam di sekitar perkebunan , hutan, semak dan lahan terbuka. Tanaman ini mengandung senyawa glykoalkaloid, solasodin, dengan kandungan tertinggi pada buah mentah hijau (2% - 3,5% berat kering). Solaurisin, Solaurisidin, dan Solasodamin juga telah ditemukan di Solanum mauritianum. (Harahap, 2011).

2.3.1 Klasifikasi Tanaman Lancing

  Kingdom : Plantae Divisi : Angiosperms Magnoliophyta Kelas : Eudicots Sub klas : Asterids Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum Species : Solanum mauritianum Selain itu tanaman ini juga memiliki sejumlah sinonim :

   Solanum auriculatum Solanum carterianum Solanum pulverulentum Solanum tabaccifolium Solanum verbascifolium (Harahap, 2011)

2.4 Selulosa

  Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan bahan alam yang paling penting yang dibuat oleh organisme hidup. Pernyataan yang sama ini berlaku pada terdapatnya selulosa secara kuantitatif. Wardrop, 1970 mengungkapkan selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput-laut, flagelata dan bakteria. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut biji (kapas, kapok) dan serabut kulit (rami, flax, henep), lumut, ekor kuda, dan bakteria mengandung sedikit selulosa. Selulosa merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi (kertas, film, serat, aditif, dan sebagainya) dan karena diisolasi terutama dari kayu dengan proses pembuatan pulp dalam skala besar. (Fengel, 1995).

  Selulosa merupakan material yang secara alamiah terdapat pada kayu, kapas, rami serta tumbuhan lainnya. Selulosa pertama kali diisolasi dari kayu pada tahun 1885 oleh Charles F. Cross dan Edward Bevan di Jodrell Laboratory of Royal Botanic Gardens, Kew, London. Tetapi pada tahun 1913, Dr Jacques Branenberger yang mengembangkan film tipis selulosa transparan sebagai produk komersial di pabrik La Cellophane SA, Bezons, Prancis (Hoenich,2006).

  Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β – 1,4- glikosida antara unit-unit glukosa. Selulosa merupakan material penyusun jaringan tumbuhan dalam bentuk campuran polimer homolog dan biasanya terdapat bersama-sama dengan polisakarida lainnya serta lignin dalam jumlah bervariasi. Pemeriksaan selulosa dengan sinar X menunjukkan bahwa selulosa terdiri dari rantai linear unit selobiosa yang oksigen cincinnya berselang- seling dengan posisi “ kedepan” dan “ kebelakang”. Molekul linear ini mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hidrogen diantara hidroksil- hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Walaupun manusia dan hewan lain dapat mencerna pati dan glikogen, mereka tidak dapat mencerna selulosa. Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α

  • – glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolsis ikatan

  β – glikosidik. Namun banyak bakteri yang mengandung β – glikokinase yang dapat menghidrolisis selulosa (Hart,dkk.2003).

Gambar 2.3 Struktur Molekul Selulosa

2.5 Nata de Coco

  Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter xylinum (Hidayat, 2006).

  Nata de coco pertama kali berasal dari Filipina. Nata diambil dari nama tuan Nata yang berhasil menemukan nata de coco dan mulai diperkenalkan secara luas ke masyarakat. Di Indonesia nata de coco mulai dikenal tahun 1973 dan dikembangkan tahun 1975. Namun demikian nata de coco mulai kenal oleh masyarakat secara luas dipasaran pada tahun 1981 (Sutarminingsih, 2004).

  Definisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Nata de coco adalah jenis nata dengan medium fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba. Di bawah mikroskop, nata tampak sebagai massa benang yang melilit yang sangat banyak seperti benang-benang kapas. Nata bukan merupakan mikroorganisme itu sendiri seperti granula yeast yang tersusun atas sel yeast sehingga ada yang menyangkal bahwa mengonsumsi nata sama dengan mengonsumsi Acetobacter. Kekenyalan nata tergantung dari kondisi yang ada selama nata itu dibuat. Palungkun (1992) mengungkapkan sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih dari 95% kandungan air. Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan sisanya air. Nata dapat digambarkan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat di butuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan. (Hidayat, 2006).

Gambar 2.4 Nata de Coco

  Makanan ringan ini sangat terkenal di Jepang sebagai makanan diet untuk anak-anak dan remaja. Orang Jepang percaya bahwa nata dapat menjaga tubuh dari serangan kanker kolon dan menguntungkan karena dapat membuat lebih langsing. Nata de coco memiliki serat yang tinggi, baik untuk sistem pencernaan, rendah kalori dan tidak mengandung kolesterol. Nata de coco sangat digemari di Jepang tahun 1993 sehingga menjalin hubungan kerjasama dengan Philipina dalam mengeksploitasi nata de coco karena Philipina merupakan negara penghasil kelapa yang sangat besar dan sebagian besar tanah perkebunannya ditanami kelapa. Tentu saja hal ini menguntungkan petani kecil di Philipina (Hidayat, 2006).

  Nata de coco dihasilkan oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang paling banyak digunakan adalah Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum termasuk genus Acetobacter (Ley & Frateur, 1974). Bakteri Acetobacter xylinum bersifat gram negatif aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Moat, 1986; Forng et al., 1989). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh

  

Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk

  menghasilkan senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang menghasilkan Nata de coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel

  

Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. (Misgiyarta, 2007). Nata de coco

  mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa yang berasal dari tumbuhan dan merupakan polisakarida berantai lurus yang tersusun oleh molekul-molekul β D– glukosa melalui ikatan

  β 1-4 glikosida, (Philip, 2000). Pada proses fermentasi bakteri

  Acetobacter xylinum mengubah glukosa membentuk selulosa melalui jalur pentosa fosfat.

  Glukos Glukosa heksosinase

  Glukosa 6 Glukokinase

  Glukosa 1 UDP-Glukosa pirofosfatase

  UDP- UDP (Uridin Di Fosfatase)

  Selulos

Gambar 2.5 Jalur pentosa fosfat (Lehninger, 1975)

  Dari jalur diagram di atas, dapat dilihat bahwa glukosa dimetabolisme oleh enzim

  • – enzim yang ada dalam starter air kelapa tersebut, menjadi polimer selulosa, melalui jalur pentosa fosfat, UDP glukosa pirofosfatase merupakan prekusor sintesis selulosa. Dan polimerisasi glukosa dilaporkan terjadi dalam media ekstraseluler oleh sintesis selulosa (Yusak, 2010).

  Uning (1974) mengungkapkan bahwa pembuatan nata de coco yang diperkaya dengan penambahan vitamin dan mineral akan mempertimggi nilai gizi pada nata de coco.

2.6 Acetobacter Xylinum

  

Acetobacter xylinum atau Gluconacetobacter xylinus merupakan bakteri berbentuk

  batang pendek dan tergolong ke dalam jenis bakteri Gram negatif, memiliki lebar 0-5- 1 μm dan panjang 2-10 μm. Bakteri Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama. Sifat yang paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata (Tomita dan Kondo, 2009).

  Kedudukan Acetobacter xylinum berdasarkan taksonomi adalah : Kingdom : Bacteria Pylum : Proteobacteria Class : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirillales Family : Psedomonadaceae Genus : Acetobacter Subspecies : Xylinum Scientific name : Acetobacter xylinum (Tomoyuki, 1996) Budiyanto (2002) menyatakan bahwa bakteri pembentuk nata termasuk golongan Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif untuk kultur yang masih muda, Gram positif untuk kultur yang sudah tua, obligat aerobik, berbentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H

2 S, tidak mereduksi nitrat dan memiliki termal death point pada suhu 65-70°C.

  Acetobacter xylinum menghasilkan selulosa sebagai produk metabolit

  sekunder, sedangkan produk metabolit primernya adalah asam asetat. Semakin banyak kadar nutrisi, semakin besar kemampuan menumbuhkan bakteri tersebut maka semakin banyak Acetobacter xylinum dan semakin banyak selulosa yang terbentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yaitu metode kultivasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur (Coban dan Biyik, 2011). Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, sehingga seperti yang dikatakan Kouda et al (1997), ketersediaan oksigen dan agitasi akan berpengaruh terhadap produksi selulosa mikrobial.

  Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat makanan atau nutrisi yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul- molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Melalui media pertumbuhan dapat dilakukan isolasi mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga memanipulasi komposisi media pertumbuhannya.

  1. Sumber Karbon (C)

  Perbedaan sumber karbon dan konsentrasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap produksi selulosa. Ramana et al (2000) menggunakan sorbitol, glukosa, laktosa, mannitol, dan maltosa sebagai sumber karbon. Melliawati (2008) menggunakan air kelapa dan sukrosa, sedangkan sumber karbon yang digunakan oleh Kurosumi et al (2009) dalam penelitiannya yaitu sari buah- buahan seperti sari buah jeruk, sari buah apel, sari buah nanas, sari buah pear, dan sari buah anggur.

  2. Sumber Nitrogen (N)

  Sebagian mikroorganisme dapat memanfaatkan sumber nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen anorganik yang sering digunakan berupa ammoonium sulfat dan diammonium hidrogen fospat (Budhiono et al, 1999). Sedangkan nitrogen organik yang banyak digunakan adalah asam amino, monosodium glutamat, seperti yang digunakan oleh Son et al (2003). Pada penelitian Melliawatti (2006) menggunakan pupuk ZA sebagai sumber nitrogen. Ramana et al (2000) menggunakan hidrolisat protein, ammonium sulfat, glisin, sari kacang kedelai, pepton, dan sodium glutamat. Sedangkan Saibuatong (2010) menggunakan ammonium sulfat. Pada penelitian ini diasumsikan kebutuhan sumber N sudah dipenuhi dari substrat air kelapa dan media Hassid Barker yang digunakan . Sumber N ini berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan sel.

  Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam,

  sehingga keasaman media sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Selain itu juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu suhu dan agitasi. Sifat lain dari Acetobacter xylinum yaitu merupakan bakteri aerobik, yang memerlukan oksigen untuk menunjang pertumbuhannya. Agitasi akan berpengaruh pada distribusi nutrisi dan oksigen.

  1. Keasaman (pH)

  Laju pertumbuhan bergantung pada nilai pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim, dan komponen sel lainnya. Keasamaan (pH) menunjukkan

  • aktivitas ion H dalam suatu larutan dan pada proses fermentasi. pH media sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikrobial (Suryani et al, 2000). Menurut Coban dan Biyik, (2011), bakteri Acetobacter xylinum pada umumnya tumbuh pada pH 3.5-8.5, dan akan tumbuh optimal pada pH 6.5. Masaoka et al (1993) mengatakan bahwa pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4-6.

  2. Suhu

  Suhu kultivasi berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan terhadap efisiensi konversi substrat menjadi massa sel. Suhu yang melebihi suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme dapat mengakibatkan kerusakan struktur protein dan DNA yang memegang peranan kunci dalam metabolisme pertumbuhan sel. Suhu untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum berkisar

  o

  antara 28-31

  C. Sakairi et al (1998) dalam penelitiannya menggunakan suhu

  o

  28 C untuk kultivasi Acetobacter xylinum. Sedangkan Coban dan Biyik

  o

  (2011) menggunakan suhu 22-37 C dalam penelitiannya, dan suhu optimal

  o

  untuk menghasilkan selulosa mikrobial yaitu 30 C.

3. Agitasi

  Agitasi bertujuan untuk mempertahankan homogenitas campuran media, oksigen, dan kultur mikroorganisme serta mempercepat proses pencampuran dan pelarutan bahan yang diinginkan. Pada sistem agitasi yang lebih tinggi, kebutuhan oksigen terpenuhi dengan cepat. Penyebaran zat-zat makanan dan kultur merata sehingga aktivitas mikroorganisme dan perkembangbiakan sel berlangsung cepat. Melliawati (2008) menggunakan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm dalam proses kultivasi bakteri.

2.7 Vitamin C

Gambar 2.6 Struktur Vitamin C

  Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176 dengan rumus molekul C

6 H

  8 O 6 . Vitamin C berbentuk kristal putih, mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larutan vitamin C mudah rusak, karena bersentuhan dengan udara (terokosidasi), terutama bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Asam askorbat tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu turunan heksosa dan diklasfikasikan sebagai karbohidrat, yang erat berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C (asam askorbat dapat disintesis dari D- glukosa dan D-galaktosa yang banyak terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan dan sebahagian dalam hewan. Asam askorbat terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L- asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi (Counsel 1981).

  Asam askorbat mudah diabsorpsi dengan cepat dan mungkin secara difusi pada bagian atas usus halus, lalu masuk ke dalam peredaran darah melalui vena porta. Rata – rata absorpsi adalah 90% untuk dikonsumsi diantara 20 sampai 120 mg sehari. Konsumsi tinggi sampai 12 gram (sebagai pil), hanya di absorpsi sebanyak 16%. Asam askorbat (vitamin C), kemudian di bawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah dikelenjar, ginjal, pituitari dan retina. (Almatsier, 2001 ; Ceinhaska, 2001 ).

  Peranan dari vitamin C ada 3 kelompok yaitu, dapat berperan untuk mensintesis kolagen, dimana kolagen merupakan protein yang berpengaruh terhadap integritas struktur sel. Seperti pada tulang rawan, kulit, sehingga dengan demikian vitamin C berperan pada penyembuhan luka. Disamping itu vitamin C dapat mengabsorbsi kalsium dimana kalsium sangat diperlukan tubuh sebagai kofaktor untuk aktivitas enzim dan pertumbuhan tulang. (Hickey et al, 2004). Disamping itu vitamin C juga berperan sebagai antioksidan dan dapat mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Sehingga vitamin C dapat mencegah senyawa

  • – senyawa karsinogenik, dan dapat berperan untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan
juga dapat menurunkan kadar glukosa darah bagi penderita diabetes melitus (Almatsier, 2001 ; Ceinhaska, 2001 ).

  Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul, akan berlangsung sepanjang hidup, dan inilah penyebab utama proses penuaan dan berbagai penyakit degeratif. Radikal bebas yang penting dalam makhluk hidup, dan sangat berbahaya adalah radikal bebas oksigen yaitu hidroksil, superoksida, nitrogen monoksida, dan peroksil. Banyak enzim-enzim penting yang sangat berperan, di dalam metabolisme tubuh di rusak oleh superoksida-superoksida diatas, sehingga enzim-enzim tersebut tidak dapat bekerja sesuai dengan aktifitasnya masing-masing. Akan tetapi kebanyakan kerusakan oksidatif ini di sebabkan oleh keterlibatan secara aktif besi yang bebas di dalam reaksi redoks. Proses oksidasi ini berperan dalam perkembangan penyakit jantung koroner (PJK), serta stroke. Hubungan antara oksidasi dan PJK adalah melalui oksidasi LDL. Lipoprotein ini merupakan alat pengangkut utama kolesterol, dari hati ke seluruh sel jaringan di dalam tubuh yang membutuhkannya. Bentuk utama LDL yang teroksidasi, tidak dapat di kenali oleh reseptornya, tetapi lebih mudah di ikat oleh makrofag, dan kemudian merangsang pembentukan penyakit jantung koroner (PJK). (Silalahi, 2006).

  Antioksidan pangan adalah suatu zat dalam makanan, yang dapat menghambat akibat buruk dari efek senyawa oksigen yang reaktif (SOR), senyawa nitrogen yang reaktif (SNR), atau keduanya dalam fungsi fisiologis normal pada manusia. Antioksidan dalam makanan dapat berperan dalam pencegahan berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses penuaan dan sebagian kanker. Asam askorbat (vitamin C) secara efektif akan menangkap radikal-radikal oksigen singlet, OH, peroksil dan O , dan juga berperan dalam regenerasi vitamin E. Dengan mengikat

  2

  radikal peroksil dalam fase berair, dari plasma atau sitosol, vitamin C dapat melindungi membran biologis dari kerusakan peroksidatif. Konsentrasi vitamin C yang tinggi dalam plasma akan menurunkan kadar LDL, menurunkan kadar trigliserida, dan mengurangi agresi platelet, serta meningkatkan high density lipoprotein (HDL), yang dapat mencegah PJK. (Almatsier, 2001 ; Silalahi, 2006).

  Vitamin C juga dapat mencegah kanker, dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus. Sebenarnya ada radikal bebas dan produk oksidatif yang di keluarkan oleh sistem kekebalan yang dapat menguraikan sel-sel tumor, tetapi fungsinya sering kali menyimpang. Maka aktivitas sistem kekebalan yang optimum memerlukan suatu keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dan proteksi antioksidan. (Counsel, 1981).

2.8 Beta Karoten

Gambar 2.7 Struktur Beta Karoten

  Betakaroten adalah suatu zat antioksidan yang terdapat pada buah-buahan, antara lain terdapat pada wortel, kentang dan buah peach yang lezat. Zan antioksidan sangat berguba untuk melawan zat radikal bebas yang berasal dari zat-zat beracun. Radikal bebas adalah awal dari penyakit, termasuk disini adalah penyakit jantung yang sangat ditakuti. Dengan adanya zat anti oksidan yang antara lain adalah beta karoten, diketahui telah dapat mengurangi sebanyak kurang lebih 40% dengan hanya mengkonsulsi 50 mg beta karoten setiap hari dalam menu makanannya. Tentu saja dengan cara hidup yang sehat. (L. Lidya, 2010).

  Istilah karotena digunakan untuk menunjuk ke beberapa senyawa yang berhubungan yang memiliki formula C H Karotena adalah pigmen fotosintesis

  40 56. berwana jingga yang penting dalam fotosintesis. Zat ini membentuk warna jingga dalam wortel dan banyak buah dan sayur lainnya. Beta kaoten berperan dalam dalam fotosintesis dengan menyalurkan energi cahaya yang diserap ke klorofil. (T.Salamah, 2005).

  Beta karoten diperkirakan memiliki banyak fungsi yang tidak dimiliki senyawa lain. Jumlah yang diperlukan oleh tubuh memang hanya ukuran mg/hari. Tetapi jika tidak dipenuhi dapat menimbulkan gangguan fungsi. Beta karoten terdapat dalam sejumlah sayuran dan buah-buahan dan merupakan unsur yang sangat potensial dan persenyawaan kimia yang hampir terlibat dalam berbagai reaksi kimiawi-fisiologik dalam rangkaian metabolisme. Biasanya sayur-sayuran terang seperti wortel, terung belanda, banyak mengandung beta karoten. Akibat kekurangan betakaroten tidak segera dapat dirasakanm sehingga kebutuhan unsur ini jarang menjadi perhatian. Para peneliti dari institut kanker merekomendasikan, kebutuhan tubuh akan beta karoten setiap harinya 5-6 mg. Menurut hasil penelitian, beta karoten bermanfaat menghambat kanker. Terutama kanker pada saluran pernafasan dan sebagian jenis kanker serviks. Disamping itu beta karoten juga dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas karena peran antioksidannya. Beta karoten memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA yang merupakan suatu inti genetik pembawa sifat keturunan diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga terlindung dari senyawa lain yang mengacaukan kode genetiknya. (H.Winarsi, 2007).

2.9 Fermentasi Air Kelapa

  Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung didalam substrat oleh mikroba (kultur) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan selulosa / nata de coco), baik merupakan proses pemecahan maupun proses pembentukan dalam situasi aerob maupun anaerob. Jadi proses fermentasi bisa terjadi proses katabolisme maupun proses anabolisme (Misgiyarta, 2007).

  Fermentasi substrat air kelapa yang telah dipersiapkan sebelumnya prosesnya sebagai berikut; substrat air kelapa disterilkan dengan menggunakan autoklaf atau

  o

  dengan cara didihkan selama 15 menit. Substrtat didinginkan hingga suhu 40 C. Substrat dimasukkan pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar, dengan kedalaman substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan starter atau bibit sebanyak 10 % (v/v). Kemudian diaduk rata, ditutup dengan menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakan pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10

  • – 15 hari, pada suhu kamar. Pada tahap fermentasi ini tidak boleh digojok. Pada umur 10-15 hari nata dapat dipanen (Misgiyarta, 2007).

  

2.10 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy

(FTIR)

  Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur ssenyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).

  Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spketrum

  • 1 4000-400 cm .

  Analisis inframerah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus karbonil dan gugus karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum

  • 1

  inframerah adalah adanya ikatan C/H/rengangan pada daerah 2880 cm sampai

  • 1

  dengan 2900 cm dan renggangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral (Hummel, 1985).

  Sistem analisa spektroskopi inframerah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa inframerah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan renggangan pada daerah serapan inframerah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakterisasi untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel, 1985).

  Spektrofotometer inframerah terutama ditunjukkan untuk senyawa organik yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan- bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran (Sitorus, 2009).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Variasi Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

4 98 89

Studi Analisa Kadar Vitamin C Dan Kadar Beta Karoten Dari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk Antara Tanaman Terung Belanda (Solanum Betaceaum CAV.) Dengan Tanaman Lancing (Solanum Mauritianum)

20 127 62

Pemanfaatan Limbah Air Kelapa Sebagai Bahan Baku Pembuatan Tablet Nata De Coco Dengan Variasi Penambahan Amilum Manihot Dan Vitamin C

1 58 76

Aktivitas Alkaloid Dari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Terhadap Tingkat Kehamilan Mencit (Mus Musculus)

7 76 68

Pengaruh Kadar Protein, Lemak Dan Serat Dari Sari Buah Alpukat (Persea Americana Mill) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

13 108 67

Pengaruh Kadar Gula, Vitamin C Dan Kadar Serat Dari Sari Buah Markisa Ungu (Passiflora Edulis Var Edulis) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

7 102 63

Analisis Karbohidrat Produk Biosintesis pada Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk Antara Terung Belanda (Chiphomandra betaceae) dengan Rimbang (Solanum torvum swartz)

4 83 92

Pemanfaatan Limbah Pulp Buah Semangka (Citrullus vulgaris, Schard) Untuk Pembuatan Nata De Watermelon Pulp Dengan Menggunakan Bakteri Acetobacter xylinum

38 165 83

Peningkatan Cita Rasa Dan Tekstur Yoghurt Dari Susu Kambing Dengan Penambahan Sari Buah Markisa Dan Terung Belanda

4 87 66

Pengaruh Penambahan Variasi Massa Pati (Soluble Starch) Pada Pembuatan Nata De Coco Dalam Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter xylinum

5 80 69