Pengaruh Variasi Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

(1)

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG

BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK

DENGAN LANCING (Solanum mauritianum)

PADA PEMBUATAN NATA DE COCO

DENGAN MENGGUNAKAN

Acetobacter Xylinum

TESIS

Oleh

ADILAH WIRDHANI LUBIS 117006022/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG

BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK

DENGAN LANCING (Solanum mauritianum)

PADA PEMBUATAN NATA DE COCO

DENGAN MENGGUNAKAN

Acetobacter Xylinum

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADILAH WIRDHANI LUBIS

117006022/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Tesis : PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG BELANDA (Solanum betaceum)

HASIL SAMBUNG PUCUK DENGAN LANCING (Solanum mauritianum) PADA PEMBUATAN NATA DE COCO DENGAN MENGGUNAKAN Acetobacter Xylinum

Nama Mahasiswa : ADILAH WIRDHANI LUBIS Nomor Pokok : 117006022

Program Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Rumondang Bulan, MS Dr. Yuniarti Yusak, MS

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc Tanggal Lulus : 29 Juli 2013


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Rumondang Bulan, MS Anggota : 1. Dr. Yuniarti Yusak, MS

2. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D 3. Dr. Ribu Surbakti, MS


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG

BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK

DENGAN LANCING (Solanum mauritianum)

PADA PEMBUATAN NATA DE COCO

DENGAN MENGGUNAKAN

Acetobacter xylinum

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis di dalam naskah dan disebutkan sumbernya dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013 Penulis


(6)

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG

BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK

DENGAN LANCING (Solanum mauritianum)

PADA PEMBUATAN NATA DE COCO

DENGAN MENGGUNAKAN

Acetobacter Xylinum

ABSTRAK

Salah satu pemanfaatan air kelapa adalah untuk membuat nata de coco melalui jalur pentosa fosfat dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Pembuatan nata de coco dengan menvariasikan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) menghasilkan nata de coco yang berwarna merah yang difermentasi selama 14 hari dan memiliki nilai gizi yang lebih baik. Produk yang dihasilkan kemudian dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif. Sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) yang digunakan dengan variasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ml.Nata de coco yang diperoleh dilakukan pengujian berat dengan neraca analitik digital, kadar abu secara gravimetri suhu 600°C, kadar air secara gravimetri suhu 105ºC, kadar serat secara defating dan digestion, kadar vitamin C secara iodometri, kadar betakaroten dengan spektrofotometer dan untuk mengetahui karakteristik gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan FT-IR menghasilkan berat, kadar serat, kadar vitamin C, dan kadar beta karoten yang semakin besar pada penambahan 50 ml yaitu berat 483,65 g, kadar air 90,94%, kadar abu 0,884 %, kadar serat 4,247 %, kadar vitamin C 2,08%, dan kadar beta karoten 12,3745 mg/100 g bahan. Analisa dilanjutkan dengan spektroskopi FT-IR yang memperlihatkan bahwa gugus-gugus yang terlihat adalah gugus-gugus dari nata de coco yang mengalami pergeseran antara nata de coco tanpa penambahan dengan adanya penambahan sari buah.

Kata Kunci : Nata de coco, Terung Belanda (Solamun betaceum), Lancing (Solanum mauritianum), Acetobacter xylinum, fermentasi, beta karoten


(7)

EFFECT OF VARIATION IN ADDITION TAMARILLO

(Solanum betaceum) BUD GRAFTING YIELD WITH

LANCING (Solanum mauritianum) OF MAKING

NATA DE COCO BY USING

Acetobacter Xylinum

ABSTRACT

One of the benefit from coconut water is making nata de coco through phosphate pentose pathway by using Acetobacter xylinum bacteria. Making its became nata de coco by variation of Tamarillo (Solanum betaceum) bud grafting yield with Lancing (Solanum mauritianum) produced red colour of nata de coco that it fermented for 14 days and had good nutrient value. The yield of this product was analyzed with qualitative and quantitative analysis. The variation volume of it used 10, 20, 30, 40 and 50 mL. The yield of nata de coco tested for weight in grams by a digital analytical balance, ash content by gravimetric of temperature at 600C, water content by gravimetric of temperature at 105C, fiber content with defeating and digestion, vitamin C content with titration of iodometri, beta-carotene content with spectrophotometre and determining characteristics the function of cluster where it carried out by using FT-IR produced weight, water content, ash content, fiber content, vitamin C content, and beta-carotene content were higher than adding 50 mL of its were 483,65 g of weight, 90.94% water content, 0.88% ash content, 4.247% fiber content, 2.08% vitamin C content and 12.3745 mg/100 g material beta-carotene content. Analysis followed by FT-IR spectroscopy showed that the clusters are seen clusters of nata de coco-shifted between nata de coco without the addition with the addition of fruit juice.

Keywords: Nata De Coco, Tamarillo (Solamun betaceum), Lancing (Solanum mauritianum), Acetobacter xylinum, Fermentation, Beta Carotene


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji Syukur yang tak terhingga penulis ucapkan dengan segala kerendahan hati dan diri kepada Allah SWT, Sang Khaliq yang senantiasa mencurahkan segala nikmat Iman, Islam dan Ihsan, serta Shalawat dan salam kepada Nabi Allah sebagai teladan insan terbaik ; Rasulullah Muhammad SAW. sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini dengan sebaik mungkin.

Tesis ini berjudul “PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK DENGAN LANCING (Solanum mauritianum) PADA PEMBUATAN NATA DE COCO DENGAN MENGGUNAKAN Acetobacter xylinum”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universias Sumatera Utara Medan.

Keberhasilan dari penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dan telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

Orangtua penulis, buat Ayahanda Makmur Lubis, SE, Ak dan Ibunda Elizar Noviana, S.Pd, M.Si yang selalu sabar dan mendoakan, memberi perhatian, dan menjadikan inspirasi di setiap langkah hidup saya. Kepada Abang saya tersayang Mirza Novriansyah Lubis, A.Md dan adik saya tersayang Faris Setiawan Lubis A.Md yang selalu memotivasi dan menginspirasi disetiap langkah hidup saya.


(9)

Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) dan Dr. Sutarman, M.Sc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Yuniarti Yusak, M.S selaku dosen pembimbing II yang telah dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta memberikan masukan, saran, dan petunjuk kepada penulis dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku ketua program studi dan sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia.

Bapak dan Ibu dosen Pascasarjana Ilmu Kimia yang telah membimbing dan memotivasi serta memberi disiplin ilmu selama penulis menjalani studi. Seluruh staf laboratorium Mikrobiologi PTKI, laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan FP USU dan laboratorium Teknologi Pangan FP USU. Kak Lely selaku tata usaha Pascasarjana Ilmu Kimia.

Sahabat seperjuangan yang selalu mengerti, membantu, dan berbagi dalam suka dan duka, temon Dian Nirwana Harahap, S,Pd, M.Si. Kak Emma Suryani Siregar, S.Si dan Ibu Gimelliya Saragih, ST yang telah banyak membantu dari awal penelitian hingga selesai penelitian ini. Kak Dwi Yuliani, M.Si, Tisna Harmawan, M.Si, Ibu Tuty D.S Matondang, M.Si, Ibu Ratna Tarigan, M.Si, Bang Frans Simanjuntak, S.Si, Bang Nasirsah, S.Si yang telah banyak berbagi banyak ilmu yang bermanfaat, serta seluruh saudara dan teman-teman lainnya yang selalu mendoakan yang terbaik kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah dengan sabar mendengarkan segala keluh kesah dan memberikan masukannya kepada penulis.

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis berharap Allah SWT. memberikan Berkah-Nya berlipat


(10)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan ilmu pengetahuan untuk massa yang akan datang.

Medan, Juli 2013 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap berikut gelar : Adilah Wirdhani Lubis, S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Lambheu, Aceh Besar 31 Mei 1988

Alamat Rumah : Jl. Karya Wisata Komp. Johor Indah Permai 2 Blok F No. 13 Medan

Telepon/Hp : (061) 7870458 / +6281361102671

Email : dila_chemistry@yahoo.com

Nama Ayah : Makmur Lubis, SE, Ak

Nama Ibu : Elizar Noviana, S.Pd, M.Si

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 24 Banda Aceh Tamat : 2000

SMP : SMP Negeri 2 Medan Tamat : 2003

SMA : SMA Negeri 13 Medan Tamat : 2006

Strata-1 : Pendidikan Kimia FKIP UISU Tamat : 2010


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan masalah 5

1.3. Pembatasan Masalah 5

1.4. Tujuan Penelitian 6

1.5. Manfaat Penelitian 6

1.6. Metodologi Penelitian 6

1.7. Lokasi Penelitian 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Kelapa 8

2.2. Tanaman Terung Belanda 10

2.2.1. Daerah Tumbuh 10

2.2.2. Klasifikasi Terung Belanda 11


(13)

2.2.4. Kandungan Kimia 12

2.2.5. Kegunaan 14

2.3. Tanaman Lancing 14

2.3.1. Klasifikasi Tanaman Lancing 15

2.4. Selulosa 16

2.5. Nata De Coco 17

2.6. Acetobacter Xylinum 21

2.7. Vitamin C 24

2.8. Beta Karoten 27

2.9. Fermentasi Air Kelapa 28

2.10. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Insfrared

Spectroscopy (FTIR) 29

BAB 3. METODA PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat 31

3.1.1. Peralatan 31

3.1.2. Bahan-Bahan 31

3.1.3. Sterilisasi Alat 31

3.2. Prosedur Penelitian ... 31

3.2.1. Pembuatan Starter Air Kelapa 31

3.2.2. Pembuatan Nata De Coco 32

3.2.3. Pembuatan Nata De Coco – Buah Terung Belanda Hasil

Sambung Pucuk dengan Lancing 32

3.3. Parameter Yang Diamati 33

3.3.1. Penimbangan Berat Nata De Coco 33

3.3.2. Penentuan Kadar Air 33

3.3.3. Penentuan Kadar Abu 33

3.3.4. Penentuan Kadar Serat 33

3.3.5. Penentuan Kadar Asam Askorbat (Vitamin C) 34


(14)

3.3.7. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Insfrared

Spectroscopy (FTIR) 35

3.4. Bagan Penelitian 36

3.4.1. Pembuatan Starter Air Kelapa 36

3.4.2. Pembuatan Nata De Coco 37

3.4.3. Pembuatan Nata De Coco – Buah Terung Belanda Hasil

Sambung Pucuk dengan Lancing 38

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembentukan Nata De Coco dengan Penambahan Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing 39 4.2. Karakteristik Nata De Coco dengan Penamabahn Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing 41

4.2.1. Uji Berat Nata De Coco 42

4.2.2. Uji Kadar Air Nata De Coco 43

4.2.3. Uji Kadar Abu Nata De Coco 44

4.2.4. Uji Kadar Serat Nata De Coco 45

4.2.5. Uji Kadar Vitamin C Nata De Coco 46

4.2.6. Uji Beta Karoten Nata De Coco 47

4.3. Analisa Spektroskopi FT-IR 48

4.3.1. Spektrum FT-IR Nata De Coco 48

4.3.2. Spektrum FT-IR Nata De Coco dengan Penambahan 10 ml Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan

Lancing 49

4.3.3. Spektrum FT-IR Nata De Coco dengan Penambahan 20 ml Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan

Lancing 50

4.3.4. Spektrum FT-IR Nata De Coco dengan Penambahan 30 ml Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan


(15)

4.3.5. Spektrum FT-IR Nata De Coco dengan Penambahan 40 ml Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan

Lancing 52

4.3.6. Spektrum FT-IR Nata De Coco dengan Penambahan 50 ml Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan

Lancing 53

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 56

5.2. Saran 56

Daftar pustaka 57


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua 9

2.2. Kandungan Gizi dalam 100 g Terong Belanda 13

4.1. Parameter yang dianalisa dari variasi penambahan sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing terhadap pembuatan


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Tanaman Terung Belanda 11

2.2. Tanaman Lancing 14

2.3. Struktur Molekul Selulosa 17

2.4. Nata De Coco 18

2.5. Jalur Pentosa Fosfat 20

2.6. Struktur Vitamin C 24

2.7. Struktur Beta karoten 27

4.1. Nata De Coco – Terung Belanda Lancing 39

4.2. Grafik Berat Nata De Coco 42

4.3. Grafik Kadar Air Nata De Coco 43

4.4. Grafik Kadar Abu Nata De Coco 44

4.5. Grafik Kadar Serat Nata De Coco 45

4.6. Grafik Kadar Vitamin C Nata De Coco 46

4.7. Grafik Kadar Beta Karoten Nata De Coco 47

4.8. Spektrum FT-IR Nata De Coco 48

4.9. Spektrum FT-IR Nata De Coco 10 ml Terung Belanda Lancing 49 4.10. Spektrum FT-IR Nata De Coco 20 ml Terung Belanda Lancing 50 4.11. Spektrum FT-IR Nata De Coco 30 ml Terung Belanda Lancing 51 4.12. Spektrum FT-IR Nata De Coco 40 ml Terung Belanda Lancing 52 4.13. Spektrum FT-IR Nata De Coco 50 ml Terung Belanda Lancing 53


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

A.1. Gambar Bahan Penelitian 62

A.2. Gambar Hasil Penelitian 63

B.1. Data Hasil Analisa Berat dari Nata De Coco 64 B.2. Data Hasil Analisa Kadar Air dari Nata De Coco 64 B.3. Data Hasil Analisa Kadar Abu dari Nata De Coco 65 B.4. Data Hasil Analisa Kadar Serat dari Nata De Coco 66 B.5. Data Hasil Analisa Kadar Vitamin C dari Nata De Coco 67 B.6. Data Hasil Analisa Kadar Beta Karoten dari Nata De Coco 68


(19)

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG

BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK

DENGAN LANCING (Solanum mauritianum)

PADA PEMBUATAN NATA DE COCO

DENGAN MENGGUNAKAN

Acetobacter Xylinum

ABSTRAK

Salah satu pemanfaatan air kelapa adalah untuk membuat nata de coco melalui jalur pentosa fosfat dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Pembuatan nata de coco dengan menvariasikan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) menghasilkan nata de coco yang berwarna merah yang difermentasi selama 14 hari dan memiliki nilai gizi yang lebih baik. Produk yang dihasilkan kemudian dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif. Sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) yang digunakan dengan variasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ml.Nata de coco yang diperoleh dilakukan pengujian berat dengan neraca analitik digital, kadar abu secara gravimetri suhu 600°C, kadar air secara gravimetri suhu 105ºC, kadar serat secara defating dan digestion, kadar vitamin C secara iodometri, kadar betakaroten dengan spektrofotometer dan untuk mengetahui karakteristik gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan FT-IR menghasilkan berat, kadar serat, kadar vitamin C, dan kadar beta karoten yang semakin besar pada penambahan 50 ml yaitu berat 483,65 g, kadar air 90,94%, kadar abu 0,884 %, kadar serat 4,247 %, kadar vitamin C 2,08%, dan kadar beta karoten 12,3745 mg/100 g bahan. Analisa dilanjutkan dengan spektroskopi FT-IR yang memperlihatkan bahwa gugus-gugus yang terlihat adalah gugus-gugus dari nata de coco yang mengalami pergeseran antara nata de coco tanpa penambahan dengan adanya penambahan sari buah.

Kata Kunci : Nata de coco, Terung Belanda (Solamun betaceum), Lancing (Solanum mauritianum), Acetobacter xylinum, fermentasi, beta karoten


(20)

EFFECT OF VARIATION IN ADDITION TAMARILLO

(Solanum betaceum) BUD GRAFTING YIELD WITH

LANCING (Solanum mauritianum) OF MAKING

NATA DE COCO BY USING

Acetobacter Xylinum

ABSTRACT

One of the benefit from coconut water is making nata de coco through phosphate pentose pathway by using Acetobacter xylinum bacteria. Making its became nata de coco by variation of Tamarillo (Solanum betaceum) bud grafting yield with Lancing (Solanum mauritianum) produced red colour of nata de coco that it fermented for 14 days and had good nutrient value. The yield of this product was analyzed with qualitative and quantitative analysis. The variation volume of it used 10, 20, 30, 40 and 50 mL. The yield of nata de coco tested for weight in grams by a digital analytical balance, ash content by gravimetric of temperature at 600C, water content by gravimetric of temperature at 105C, fiber content with defeating and digestion, vitamin C content with titration of iodometri, beta-carotene content with spectrophotometre and determining characteristics the function of cluster where it carried out by using FT-IR produced weight, water content, ash content, fiber content, vitamin C content, and beta-carotene content were higher than adding 50 mL of its were 483,65 g of weight, 90.94% water content, 0.88% ash content, 4.247% fiber content, 2.08% vitamin C content and 12.3745 mg/100 g material beta-carotene content. Analysis followed by FT-IR spectroscopy showed that the clusters are seen clusters of nata de coco-shifted between nata de coco without the addition with the addition of fruit juice.

Keywords: Nata De Coco, Tamarillo (Solamun betaceum), Lancing (Solanum mauritianum), Acetobacter xylinum, Fermentation, Beta Carotene


(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Di Indonesia pemanfaatan air kelapa masih jarang digunakan, banyak yang terbuang percuma. Namun akhir-akhir ini sudah ada upaya untuk mengolah air kelapa menjadi suatu makanan / minuman ringan. Lain halnya dengan Filipina yang sudah memanfaatkan air kelapanya untuk berbagai produk, seperti minuman ringan, jelly, alkohol, anggur, cuka, dan lain-lain (Palungkun, R., 1999).

Air kelapa mengandung air 91,27%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, serta abu 1,06%. Selain itu, air kelapa mengandung nutrisi seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa serta vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat, asam pantotenat, biotin, riboflavin, dan asam folat. Nutrisi ini sangat berguna untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum (Warisno, 2004). Menurut Woodroof, 1972, Pracaya 1982 pemanfaatan limbah pengolahan kelapa berupa air kelapa merupakan cara mengoptimalkan pemanfaatan buah kelapa. Limbah air kelapa cukup baik digunakan untuk substrat pembuatan nata de coco. Dalam air kelapa terdapat berbagai nutrisi yang bisa dimanfaatkan bakteri penghasil nata de coco. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa antara lain : sukrosa 1,28%, sumber mineral yang beragam antara lain Mg2+ 3,54 gr/l serta menurut Lapus et al., 1967 adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Misgiyarta, 2007).

Nata de coco adalah campuran minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter xylinum. Definisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan


(22)

terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba. (Palungkun, 1992) mengungkapkan sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih dari 95% kandungan air. Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan sisanya air.

Nata de coco dihasilkan oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang paling banyak digunakan adalah Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum termasuk genus Acetobacter (Ley & Frateur, 1974). Bakteri Acetobacter xylinum bersifat gram negatif, aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Moat, 1986; Forng et al., 1989). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk menghasilkan senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang menghasilkan nata de coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa (Misgiyarta, 2007).

Pada proses fermentasi bakteri Acetobacter xylinum mengubah glukosa membentuk selulosa melalui jalur pentosa fosfat secara enzimatis. Sebelum masuk ke jalur pentosa, sukrosa sebagai substrat, di hidrolisis oleh enzim heksosinase membentuk glukosa, kemudian glukosa masuk jalur dengan tahap sebagai berikut.

GHK glukokinase UGP Glukosa Glukosa 6 fosfat Glukosa 1 fosfat

UDP


(23)

Dari jalur diagram di atas, dapat dilihat bahwa glukosa dimetabolisme oleh enzim-enzim yang ada dalam starter air kelapa, menjadi polimer selulosa, melalui jalur pentosa fosfat, UDP glukosa pirofosfatase merupakan prekusor sintesis selulosa. Dan polimerisasi glukosa dilaporkan terjadi dalam media ekstraseluler oleh sintesis selulosa (Yusak, 2010).

Uning (1974) mengungkapkan bahwa pembuatan nata de coco yang diperkaya dengan penambahan vitamin dan mineral akan mempertinggi nilai gizi dari nata de coco.

Terung belanda (Solanum betaceum) adalah buah yang mempunyai kandungan nutrisi yang sangat baik, berisi beberapa kandungan vitamin yang sangat penting serta kaya akan besi dan potasium, kandungan sodium yang rendah dan berisi kurang dari 40 kalori (kurang lebih 160 kJ). Oleh karena kelengkapan kandungan gizi pada terung belanda, maka di Amerika Serikat buah terung belanda terkenal sebagai buah yang mengandung rendah kalori, sumber serat, bebas lemak (jenis reds) atau rendah lemak (jenis golden), bebas kolesterol dan sodium dan sumber vitamin C dan E yang sempurna serta mengadung senyawa-senyawa seperti beta karoten, antosianin dan serat. Di antara senyawa antioksidan yang terdapat di dalam buah terung belanda, vitamin C dan beta karoten mempunyai peranan yang sangat penting karena paling tahan terhadap serangan radikal bebas. Radikal bebas adalah awal dari penyakit, termasuk penyakit jantung (Kumalaningsih, 2006). Menurut hasil penelitian, beta karoten bermanfaat menghambat kanker. Terutama kanker pada saluran pernafasan dan sebagian jenis kanker serviks. Beta karoten memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA yang merupakan suatu inti genetik pembawa sifat keturunan diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga terlindung dari senyawa lain yang mengacaukan kode genetiknya (Winarsih, 2007). Vitamin C dan beta karoten mempunyai peranan yang sangat penting dalam metabolisme dan saya tahan tubuh. Adanya polimer-polimer selulosa bakteri, vitamin C dan beta karoten akan


(24)

lebih stabil, karena terikat di dalam benang-benang sel nata de coco, sehingga vitamin C dan beta karoten dapat bertahan lebih lama (Counsell, 1981). Karena peranannya sebagai antioksidan, yang dapat menghambat akibat- akibat buruk dari pengaruh senyawa oksigen dan nitrogen yang reaktif dalam fungsi fisiologis normal pada manusia, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol yang dapat berpengaruh terhadap LDL dan HDL, berarti hal ini dapat mencegah penyakit jantung koroner (Silalalahi, 2006). Disamping itu dapat menambah gizi dari makanan yang mengandung serat tinggi sangat baik untuk pencernaan.

Solanum mauritianum adalah pohon kecil atau semak dari Amerika Selatan, Memiliki daun besar berbentuk oval dan berwarna abu-abu kehijauan dan ditutupi dengan bulu. Bunga berwarna ungu dengan pusat kuning. Tanaman ini mengandung senyawa glykoalkaloid, solasodin, dengan kandungan tertinggi pada buah mentah hijau (2% - 3,5% berat kering). Solaurisin, Solaurisidin, dan Solasodamin juga telah ditemukan di Solanum mauritianum (Harahap, 2011).

Dari penelitian sebelumnya telah dilakukan modifikasi selulosa bakteri dari limbah air kelapa dengan penambahan variasi jumlah asam askorbat atau vitamin C dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum dapat menghasilkan nata de coco yang lebih baik nilai gizinya dan diketahui adanya interaksi secara fisik antara asam askorbat atau vitamin C dengan selulosa bakteri (Yusak, 2010). Penelitian mengenai pembuatan nata de coco dengan penambahan sari buah telah dilakukan Suwijah (2011) yaitu membandingkan pembuatan nata de coco tanpa penambahan sari buah markisa ungu (Passiflora Edulis Var Edulis) dengan penambahan sari buah markisa (Passiflora Edulis Var Edulis) yang menghasilkan nata de coco lebih baik nilai gizinya dari segi kadar gula, vitamin C dan kadar serat. Sejalan dengan yang dilakukan Suwijah, Wahyuni (2011) juga menambahkan sari buah alpukat (Persea Americana Milli) untuk menjadikan nata de coco yang bernilai gizi tinggi dan lebih baik dari segi protein, serat dan lemak.


(25)

Safitri (2013) telah menganalisa kadar vitamin C dan kadar beta karoten dari sampel buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) yang merupakan buah dari tanaman hasil penyambungan. Hasil penelitian membuktikan bahwa kadar vitamin C dari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing mengalami sedikit penurunan, sedangkan kadar beta karoten mengalami peningkatan yang baik, karena kadar beta karoten lebih baik pada buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) dibandingkan dengan tanaman asalnya, peneliti berpandangan untuk memodifikasi nata de coco dari limbah air kelapa dalam penambahan variasi jumlah buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum untuk menghasilkan nata de coco yang nantinya dapat digunakan sebagai makanan tambahan yang aman dikonsumsi, berserat tinggi, rendah kalori, mengandung beta karoten dan vitamin C yang berperan sebagai antioksidan sehingga nata de coco yang dihasilkan mempunyai gizi yang tinggi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan.

1.2Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pengaruh penambahan variasi jumlah sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) dalam pembuatan nata de coco yang mempunyai nilai gizi yang tinggi dan dapat digunakan sebagai makanan tambahan.

1.3Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada pembuatan nata de coco yang berbahan dasar air kelapa dengan penambahan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum). Parameter yang diamati adalah berat nata, kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar vitamin C, uji kadar beta karoten dan analisis spektroskopi FT-IR


(26)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan variasi jumlah sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) pada pembuatan nata de coco sebagai makanan ringan yang mengandung antioksidan dan mempunyai nilai gizi yang tinggi.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah pada bidang biokimia bahwa limbah air kelapa merupakan produk pangan yang potensial, dengan harga relatif murah bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan makanan tambahan yang berserat tinggi, rendah kalori, mengandung vitamin C dan beta karoten yang berperan sebagai antioksidan dengan penambahan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum) yang mampu meningkatkan kandungan gizi nata de coco yang dihasilkan sebagai makanan ringan.

1.6Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah eksperimental laboratorium tahap pertama adalah pembuatan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum). Tahap kedua pembuatan starter air kelapa. Tahap selanjutnya pembuatan nata de coco dengan variasi penambahan sari buah terung belanda (Solanum betaceum) hasil sambung pucuk dengan lancing (Solanum mauritianum), kemudian di uji berat nata dengan menggunakan neraca analitik digital, kadar air dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu pengeringan didalam oven pada suhu 105°C, kadar abu dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu pengeringan dalam oven pada suhu 600°C, kadar serat dengan menggunakan metode Defating dan Digestion, kadar vitamin C dengan menggunakan metode Iodometri,


(27)

kadar beta karoten dengan menggunakan metode Spektrofotometer dan analisa spektroskopi FT-IR.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biokimia / Kimia Bahan Makanan FMIPA USU, laboratorium Mikrobiologi PTKI, Teknologi Pangan FP USU, dan FT-IR di laboratorium Bea Cukai Belawan Medan.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Kelapa

Kelapa (cocos nucifera L.) termasuk termasuk ke dalam famili Palmae (palem), yang merupakan salah satu famili utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon. Famili palmae mencakup beberapa jenis tumbuhan yang bermamfaat bagi manusia, seperti kurma, kelapa, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu, pohon ara, dan lainnya. Semuanya dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang dimahkotai oleh daun menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.

Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia yaitu mencapai lebih dari 1 sampai 900 juta liter per tahun. Namun pemanfaatannya dalam industri pangan belum menonjol, sehingga masih banyak air kelapa terbuang percuma, selain mubazir, buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat, akibat proses fermentasi dari limbah air kelapa tersebut (Onifade,2003 ; Warisno,2004).

Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat menjadi minuman fermentasi, karena kandungan zat gizinya, kaya akan nutrisi yaitu gula, protein, lemak dan relatif lengkap sehingga sangat baik untuk pertumbuhan bakteri penghasil produk pangan. Kandungan gula maksimun 3 gram per 100 ml air kelapa. Jenis gula yang terkandung adalah sukrosa, glukosa, fruktosa dan sorbitol. Gula-gula inilah yang menyebabkan air kelapa muda lebih manis dari air kelapa yang lebih tua. (Warisno, 2004).

Disamping itu air kelapa juga mengandung mineral seperti kalium dan natrium. Mineral-mineral itu diperlukan dalam poses metabolisme, juga dibutuhkan dan pembentukan kofaktor enzim-enzim ekstraseluler oleh bakteri pembentuk selulosa. Selain mengandung mineral, air kelapa juga mengandung vitamin-vitamin


(29)

seperti riboflavin, tiamin, biotin. Vitamin-vitamin tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitas Acetobacter xylinum pada saat fermentasi berlangsung sehingga menghasilkan nata de coco. Oleh karena itu air kelapa dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan nata de coco, disamping untuk memanfaatkan limbah air kelapa sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang di akibatkan limbah air kelapa tersebut (Pambayun R., 2002).

Air kelapa yang baik adalah yang diperoleh dari kelapa tua optimal, tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu tua, terkandung minyak dari kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata Acetobacter xylinum. Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun R., 2002).

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua Sumber air kelapa

(dalam 100 g)

Air kelapa muda (%)

Air kelapa tua (%) Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalisum Fosfor Besi Asam askorbat Air

Bagian yang dapat dimakan

17,0 kal 0,2 g 1,0 g 3,8 g 15,0 mg 8,0 mg 0,2 mg 1,0 mg 95,5 g 100 g - 0,14 g 1,50 g 4,60 g - 0,50 g - - 91,50 g - (Sumber : Palungkun, 1992)

Air kelapa banyak terbuang sebagai limbah yang belum dimanfaatkan, menurut Atih ( 1979 ) menyatakan bahwa air kelapa yang dihasilkan di Indonesia mencapai 900 juta liter / tahun. Air kelapa tersebut dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi bahan makanan tambahan yang disebut dengan nata de coco. Kandungan


(30)

nutrisi yang terdapat didalam air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa dan vitamin B kompleks (Onifade, 2003) mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada saat berlangsungnya fermentasi untuk menghasilkan nata.

2.2 Tanaman Terung Belanda

Terung belanda adalah jenis tanaman anggota keluarga terung-terungan (Solanaceae) yang mulai di kembangkan di Bogor Jawa Barat sejak tahun 1941. Di Indonesia terung ini mungkin pertama kali dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh orang Belanda pada waktu itu sehingga dikenal dengan nama terung belanda, padahal buah tersebut berasal dari daerah Amazon di Amerika Latin. (Anonima, 2012)

2.2.1 Daerah Tumbuh

Di daerah tropik terung belanda dapat hidup di atas ketinggian 2000 m dpl. Di dataran rendah, pohon terung belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk (barangkali khususnya malam yang sejuk) dapat mendorong pembungaan. Oleh karena itu, tanaman ini berbuah matang pada musim dingin di daerah subtropik. Rasa buah akan menjadi lebih baik pada hari-hari cerah yang panas dan malam-malam yang dingin pada musim kemarau di daerah tropik daripada selama musim dingin di dataran tinggi. Tanaman ini tidak tahan terhadap genangan, walaupun hanya 1-2 hari. (Anonimb, 2009).


(31)

2.2.2 Klasifikasi Terung Belanda

Gambar 2.1 Tanaman Terung Belanda Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathopyta Sub Divis : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceum Cav.


(32)

2.2.3 Morfologi Tumbuhan

Tanaman ini memiliki daun yang berbulu bentuk hati besar dan berwarna hijau. Daun yang hijau ini akan mudah sekali dirusak oleh terpaan angin yang kencang. Bunga tamarillo akan muncul pada akhir musim gugur sampai pada awal musim semi. Warnanya pink dan terletak pada ujung cabang batang serta biasanya berkelompok. Tanaman ini memiliki benang sari dan putik serta kelopak bunga yang berwarna ungu hijau. Tanaman ini melakukan penyerbukan sendiri tetapi terkadang juga dibantu lebah dan angin meskipun sangat kecil kemungkinannya (Kumalaningsih, 2006).

Tanaman ini memiliki tangkai panjang, satu dengan yang lainnya tumbuh sendirian atau ada yang berkelompok sebanyak 3-12. Buahnya berbentuk seperti telur dengan ukuran panjang antara 5-6 cm dan lebarnya diatas 5 cm. Warna kulitnya ada yang warna ungu gelap, merah darah, oranye, atau kuning dan ada yang masih memiliki garis memanjang yang tidak jelas. Terung belanda yang masih mentah berwarna hijau agak abu-abu. Warna ini akan berubah menjadi merah kecoklatan apabila buah sudah matang. Di dalam buah ini terdapat daging buah yang tebal berwarna kuning dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Rasa buah ini seperti tomat dan teksturnya seperti buah pulm dengan kandungan gizi yang relatif tinggi karena banyak mengandung vitamin A, C dan serat. Lapisan daging buah banyak mengandung air, sedikit kasar dan sedikit mengandung rasa manis. Biji Buah ini keras, berwarna coklat muda sampai hitam. Bentuk biji agak tumpul, bulat dan kecil, tetapi lebih besar daripada biji tomat yang sebenarnya (Kumalaningsih, 2006). 2.2.4 Kandungan Kimia

Terung belanda adalah buah yang mempunyai kandungan nutrisi yang sangat baik, berisi beberapa kandungan vitamin yang sangat penting serta kaya akan besi dan potasium, kandungan sodium yang rendah dan berisi kurang dari 40 kalori (kurang lebih 160 kJ). Oleh karena kelengkapan kandungan gizi pada tamarillo, maka di Amerika Serikat buah terung belanda terkenal sebagai buah yang mengandung rendah


(33)

kalori, sumber serat, bebas lemak (jenis reds) atau rendah lemak (jenis golden), bebas kolesterol dan sodium dan sumber vitamin C dan E yang sempurna (Kumalaningsih, 2006).

Buah terung belanda juga mengadung senyawa-senyawa seperti beta karoten, antosianin dan serat. Di antara senyawa antioksidan yang dikandungnya, beta karoten mempunyai peranan yang sangat penting karena paling tahan terhadap serangan radikal bebas. Beta karoten merupakan salah satu jenis karotenoid yang banyak terdapat pada buah-buahan. (Kumalaningsih, 2006).

Menurut Kumalaningsih (2006), hasil analisis lengkap kandungan gizi buah terung belanda dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini :

Tabel 2.2 Kandungan Gizi dalam 100 g Terong Belanda Kandungan Nutirisi Terong Belanda (tiap 100 g) Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin C Vitamin E Niasin Potasium (Kalium) Kalsium Fosfor Magnesium Besi Seng Protein Lemak Serat Kadar Air

540-5600 µg 0.03-0.14 mg 0.01-0.05 mg 0.01-0.05 mg 15-42 mg 2 mg 0.3-1.4 mg 0.28-0.38 mg 6-18 mg 22-65 mg 16-25 mg 0.3-0.9 mg 0.1-0.2 mg 1.4-2 g 0.1-0.6 g 1.4-4.7 g 80-90 g (Sumber : Kumalaningsih , 2006)


(34)

2.2.5 Kegunaan

Buah terung belanda berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi dan penyegar badan. Untuk obat tekanan darah tinggi dipakai ± 3 buah terong belanda yang sudah masak, di kupas untuk sekali makan (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial, 2001).

Kegunaan buah terung belnada antara lain untuk mencegah kerusakan sel-sel jaringan tubuh penyebab berbagai penyakit (kanker, tumor dan lain-lain), melancarkan penyumbatan pembuluh darah (arteriklorosis) sehinga mencegah penyakit jantung dan stroke serta menormalkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol dan mengikat zat-zat racun dalam tubuh, meningkatkan stamina, daya tahan tubuh dan vitalitas dan membantu mempercepat proses penyembuhan (Sinaga, 2009)

2.3 Tanaman Lancing


(35)

Solanum mauritianum adalah pohon kecil atau semak dari Amerika Selatan, termasuk Argentina Utara, Brasil Selatan, Paraguay dan Uruguay . Tanaman ini dapat tumbuh hingga tiga puluh tahun. Memiliki daun besar berbentuk oval dan berwarna abu-abu kehijauan dan ditutupi dengan bulu. Bunga berwarna ungu dengan pusat kuning. Tanaman dapat berbunga sepanjang tahun tetapi berbuah pada akhir musim semi ke awal musim panas. Tanaman ini toleran terhadap banyak jenis tanah dan dengan cepat berkembang jika ditanam di sekitar perkebunan , hutan, semak dan lahan terbuka. Tanaman ini mengandung senyawa glykoalkaloid, solasodin, dengan kandungan tertinggi pada buah mentah hijau (2% - 3,5% berat kering). Solaurisin, Solaurisidin, dan Solasodamin juga telah ditemukan di Solanum mauritianum. (Harahap, 2011).

2.3.1 Klasifikasi Tanaman Lancing Kingdom : Plantae

Divisi : Angiosperms Magnoliophyta Kelas : Eudicots

Sub klas : Asterids Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum

Species : Solanum mauritianum

Selain itu tanaman ini juga memiliki sejumlah sinonim :

Solanum auriculatum Solanum carterianum Solanum pulverulentum Solanum tabaccifolium


(36)

2.4 Selulosa

Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan bahan alam yang paling penting yang dibuat oleh organisme hidup. Pernyataan yang sama ini berlaku pada terdapatnya selulosa secara kuantitatif. Wardrop, 1970 mengungkapkan selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput-laut, flagelata dan bakteria. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut biji (kapas, kapok) dan serabut kulit (rami, flax, henep), lumut, ekor kuda, dan bakteria mengandung sedikit selulosa. Selulosa merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi (kertas, film, serat, aditif, dan sebagainya) dan karena diisolasi terutama dari kayu dengan proses pembuatan pulp dalam skala besar. (Fengel, 1995).

Selulosa merupakan material yang secara alamiah terdapat pada kayu, kapas, rami serta tumbuhan lainnya. Selulosa pertama kali diisolasi dari kayu pada tahun 1885 oleh Charles F. Cross dan Edward Bevan di Jodrell Laboratory of Royal Botanic Gardens, Kew, London. Tetapi pada tahun 1913, Dr Jacques Branenberger yang mengembangkan film tipis selulosa transparan sebagai produk komersial di pabrik La Cellophane SA, Bezons, Prancis (Hoenich,2006).

Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β – 1,4- glikosida antara unit-unit glukosa. Selulosa merupakan material penyusun jaringan tumbuhan dalam bentuk campuran polimer homolog dan biasanya terdapat bersama-sama dengan polisakarida lainnya serta lignin dalam jumlah bervariasi. Pemeriksaan selulosa dengan sinar X menunjukkan bahwa selulosa terdiri dari rantai linear unit selobiosa yang oksigen cincinnya berselang-seling dengan posisi “ kedepan” dan “

kebelakang”. Molekul linear ini mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hidrogen diantara hidroksil-hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Walaupun manusia dan hewan lain dapat mencerna pati dan glikogen, mereka tidak dapat mencerna selulosa. Sistem


(37)

pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α

– glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolsis ikatan β – glikosidik. Namun banyak bakteri yang mengandung β – glikokinase yang dapat menghidrolisis selulosa (Hart,dkk.2003).

Gambar 2.3 Struktur Molekul Selulosa 2.5 Nata de Coco

Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter xylinum (Hidayat, 2006).

Nata de coco pertama kali berasal dari Filipina. Nata diambil dari nama tuan Nata yang berhasil menemukan nata de coco dan mulai diperkenalkan secara luas ke masyarakat. Di Indonesia nata de coco mulai dikenal tahun 1973 dan dikembangkan tahun 1975. Namun demikian nata de coco mulai kenal oleh masyarakat secara luas dipasaran pada tahun 1981 (Sutarminingsih, 2004).

Definisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Nata de coco adalah jenis nata dengan medium fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba. Di bawah mikroskop, nata tampak sebagai massa benang yang melilit yang sangat banyak seperti benang-benang kapas. Nata bukan


(38)

merupakan mikroorganisme itu sendiri seperti granula yeast yang tersusun atas sel yeast sehingga ada yang menyangkal bahwa mengonsumsi nata sama dengan mengonsumsi Acetobacter. Kekenyalan nata tergantung dari kondisi yang ada selama nata itu dibuat. Palungkun (1992) mengungkapkan sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih dari 95% kandungan air. Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan sisanya air. Nata dapat digambarkan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat di butuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan. (Hidayat, 2006).

Gambar 2.4 Nata de Coco

Makanan ringan ini sangat terkenal di Jepang sebagai makanan diet untuk anak-anak dan remaja. Orang Jepang percaya bahwa nata dapat menjaga tubuh dari serangan kanker kolon dan menguntungkan karena dapat membuat lebih langsing. Nata de coco memiliki serat yang tinggi, baik untuk sistem pencernaan, rendah kalori dan tidak mengandung kolesterol. Nata de coco sangat digemari di Jepang tahun 1993 sehingga menjalin hubungan kerjasama dengan Philipina dalam mengeksploitasi nata


(39)

de coco karena Philipina merupakan negara penghasil kelapa yang sangat besar dan sebagian besar tanah perkebunannya ditanami kelapa. Tentu saja hal ini menguntungkan petani kecil di Philipina (Hidayat, 2006).

Nata de coco dihasilkan oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang paling banyak digunakan adalah Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum termasuk genus Acetobacter (Ley & Frateur, 1974). Bakteri Acetobacter xylinum bersifat gram negatif aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Moat, 1986; Forng et al., 1989). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk menghasilkan senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang menghasilkan Nata de coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. (Misgiyarta, 2007). Nata de coco mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa yang berasal dari tumbuhan dan merupakan polisakarida berantai lurus yang tersusun oleh molekul-molekul β D– glukosa melalui ikatan β 1-4 glikosida, (Philip, 2000). Pada proses fermentasi bakteri Acetobacter xylinum mengubah glukosa membentuk selulosa melalui jalur pentosa fosfat.


(40)

Glukosa heksosinase

Glukokinase

UDP-Glukosa pirofosfatase

UDP (Uridin Di Fosfatase)

Gambar 2.5 Jalur pentosa fosfat (Lehninger, 1975)

Dari jalur diagram di atas, dapat dilihat bahwa glukosa dimetabolisme oleh enzim – enzim yang ada dalam starter air kelapa tersebut, menjadi polimer selulosa, melalui jalur pentosa fosfat, UDP glukosa pirofosfatase merupakan prekusor sintesis selulosa. Dan polimerisasi glukosa dilaporkan terjadi dalam media ekstraseluler oleh sintesis selulosa (Yusak, 2010).

Uning (1974) mengungkapkan bahwa pembuatan nata de coco yang diperkaya dengan penambahan vitamin dan mineral akan mempertimggi nilai gizi pada nata de coco.

Glukos

Glukosa 6

Glukosa 1


(41)

2.6 Acetobacter Xylinum

Acetobacter xylinum atau Gluconacetobacter xylinus merupakan bakteri berbentuk batang pendek dan tergolong ke dalam jenis bakteri Gram negatif, memiliki lebar

0-5-1 μm dan panjang 2-10 μm. Bakteri Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama. Sifat yang paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata (Tomita dan Kondo, 2009).

Kedudukan Acetobacter xylinum berdasarkan taksonomi adalah :

Kingdom : Bacteria

Pylum : Proteobacteria

Class : Alpha Proteobacteria

Ordo : Rhodospirillales

Family : Psedomonadaceae

Genus : Acetobacter

Subspecies : Xylinum

Scientific name : Acetobacter xylinum (Tomoyuki, 1996)

Budiyanto (2002) menyatakan bahwa bakteri pembentuk nata termasuk golongan Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif untuk kultur yang masih muda, Gram positif untuk kultur yang sudah tua, obligat aerobik, berbentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak mereduksi nitrat dan memiliki termal death point pada suhu 65-70°C.

Acetobacter xylinum menghasilkan selulosa sebagai produk metabolit sekunder, sedangkan produk metabolit primernya adalah asam asetat. Semakin


(42)

banyak kadar nutrisi, semakin besar kemampuan menumbuhkan bakteri tersebut maka semakin banyak Acetobacter xylinum dan semakin banyak selulosa yang terbentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yaitu metode kultivasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur (Coban dan Biyik, 2011). Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, sehingga seperti yang dikatakan Kouda et al (1997), ketersediaan oksigen dan agitasi akan berpengaruh terhadap produksi selulosa mikrobial.

Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat makanan atau nutrisi yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul-molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Melalui media pertumbuhan dapat dilakukan isolasi mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga memanipulasi komposisi media pertumbuhannya.

1. Sumber Karbon (C)

Perbedaan sumber karbon dan konsentrasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap produksi selulosa. Ramana et al (2000) menggunakan sorbitol, glukosa, laktosa, mannitol, dan maltosa sebagai sumber karbon. Melliawati (2008) menggunakan air kelapa dan sukrosa, sedangkan sumber karbon yang digunakan oleh Kurosumi et al (2009) dalam penelitiannya yaitu sari buah-buahan seperti sari buah jeruk, sari buah apel, sari buah nanas, sari buah pear, dan sari buah anggur.

2. Sumber Nitrogen (N)

Sebagian mikroorganisme dapat memanfaatkan sumber nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen anorganik yang sering digunakan berupa ammoonium sulfat dan diammonium hidrogen fospat (Budhiono et al, 1999). Sedangkan nitrogen organik yang banyak digunakan adalah asam amino, monosodium


(43)

glutamat, seperti yang digunakan oleh Son et al (2003). Pada penelitian Melliawatti (2006) menggunakan pupuk ZA sebagai sumber nitrogen. Ramana et al (2000) menggunakan hidrolisat protein, ammonium sulfat, glisin, sari kacang kedelai, pepton, dan sodium glutamat. Sedangkan Saibuatong (2010) menggunakan ammonium sulfat. Pada penelitian ini diasumsikan kebutuhan sumber N sudah dipenuhi dari substrat air kelapa dan media Hassid Barker yang digunakan . Sumber N ini berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan sel.

Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam, sehingga keasaman media sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Selain itu juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu suhu dan agitasi. Sifat lain dari Acetobacter xylinum yaitu merupakan bakteri aerobik, yang memerlukan oksigen untuk menunjang pertumbuhannya. Agitasi akan berpengaruh pada distribusi nutrisi dan oksigen.

1. Keasaman (pH)

Laju pertumbuhan bergantung pada nilai pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim, dan komponen sel lainnya. Keasamaan (pH) menunjukkan aktivitas ion H+ dalam suatu larutan dan pada proses fermentasi. pH media sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikrobial (Suryani et al, 2000). Menurut Coban dan Biyik, (2011), bakteri Acetobacter xylinum pada umumnya tumbuh pada pH 3.5-8.5, dan akan tumbuh optimal pada pH 6.5. Masaoka et al (1993) mengatakan bahwa pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4-6.

2. Suhu

Suhu kultivasi berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan terhadap efisiensi konversi substrat menjadi massa sel. Suhu yang melebihi suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme dapat mengakibatkan kerusakan struktur


(44)

protein dan DNA yang memegang peranan kunci dalam metabolisme pertumbuhan sel. Suhu untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum berkisar antara 28-31oC. Sakairi et al (1998) dalam penelitiannya menggunakan suhu 28oC untuk kultivasi Acetobacter xylinum. Sedangkan Coban dan Biyik (2011) menggunakan suhu 22-37oC dalam penelitiannya, dan suhu optimal untuk menghasilkan selulosa mikrobial yaitu 30oC.

3. Agitasi

Agitasi bertujuan untuk mempertahankan homogenitas campuran media, oksigen, dan kultur mikroorganisme serta mempercepat proses pencampuran dan pelarutan bahan yang diinginkan. Pada sistem agitasi yang lebih tinggi, kebutuhan oksigen terpenuhi dengan cepat. Penyebaran zat-zat makanan dan kultur merata sehingga aktivitas mikroorganisme dan perkembangbiakan sel berlangsung cepat. Melliawati (2008) menggunakan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm dalam proses kultivasi bakteri.

2.7 Vitamin C

Gambar 2.6 Struktur Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176 dengan rumus molekul C6H8O6. Vitamin C berbentuk kristal putih, mudah larut dalam air. Dalam keadaan


(45)

kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larutan vitamin C mudah rusak, karena bersentuhan dengan udara (terokosidasi), terutama bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Asam askorbat tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu turunan heksosa dan diklasfikasikan sebagai karbohidrat, yang erat berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C (asam askorbat dapat disintesis dari D- glukosa dan D-galaktosa yang banyak terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan dan sebahagian dalam hewan. Asam askorbat terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi (Counsel 1981).

Asam askorbat mudah diabsorpsi dengan cepat dan mungkin secara difusi pada bagian atas usus halus, lalu masuk ke dalam peredaran darah melalui vena porta. Rata – rata absorpsi adalah 90% untuk dikonsumsi diantara 20 sampai 120 mg sehari. Konsumsi tinggi sampai 12 gram (sebagai pil), hanya di absorpsi sebanyak 16%. Asam askorbat (vitamin C), kemudian di bawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah dikelenjar, ginjal, pituitari dan retina. (Almatsier, 2001 ; Ceinhaska, 2001 ).

Peranan dari vitamin C ada 3 kelompok yaitu, dapat berperan untuk mensintesis kolagen, dimana kolagen merupakan protein yang berpengaruh terhadap integritas struktur sel. Seperti pada tulang rawan, kulit, sehingga dengan demikian vitamin C berperan pada penyembuhan luka. Disamping itu vitamin C dapat mengabsorbsi kalsium dimana kalsium sangat diperlukan tubuh sebagai kofaktor untuk aktivitas enzim dan pertumbuhan tulang. (Hickey et al, 2004). Disamping itu vitamin C juga berperan sebagai antioksidan dan dapat mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Sehingga vitamin C dapat mencegah senyawa – senyawa karsinogenik, dan dapat berperan untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan


(46)

juga dapat menurunkan kadar glukosa darah bagi penderita diabetes melitus (Almatsier, 2001 ; Ceinhaska, 2001 ).

Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul, akan berlangsung sepanjang hidup, dan inilah penyebab utama proses penuaan dan berbagai penyakit degeratif. Radikal bebas yang penting dalam makhluk hidup, dan sangat berbahaya adalah radikal bebas oksigen yaitu hidroksil, superoksida, nitrogen monoksida, dan peroksil. Banyak enzim-enzim penting yang sangat berperan, di dalam metabolisme tubuh di rusak oleh superoksida-superoksida diatas, sehingga enzim-enzim tersebut tidak dapat bekerja sesuai dengan aktifitasnya masing-masing. Akan tetapi kebanyakan kerusakan oksidatif ini di sebabkan oleh keterlibatan secara aktif besi yang bebas di dalam reaksi redoks. Proses oksidasi ini berperan dalam perkembangan penyakit jantung koroner (PJK), serta stroke. Hubungan antara oksidasi dan PJK adalah melalui oksidasi LDL. Lipoprotein ini merupakan alat pengangkut utama kolesterol, dari hati ke seluruh sel jaringan di dalam tubuh yang membutuhkannya. Bentuk utama LDL yang teroksidasi, tidak dapat di kenali oleh reseptornya, tetapi lebih mudah di ikat oleh makrofag, dan kemudian merangsang pembentukan penyakit jantung koroner (PJK). (Silalahi, 2006).

Antioksidan pangan adalah suatu zat dalam makanan, yang dapat menghambat akibat buruk dari efek senyawa oksigen yang reaktif (SOR), senyawa nitrogen yang reaktif (SNR), atau keduanya dalam fungsi fisiologis normal pada manusia. Antioksidan dalam makanan dapat berperan dalam pencegahan berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses penuaan dan sebagian kanker. Asam askorbat (vitamin C) secara efektif akan menangkap radikal-radikal oksigen singlet, OH, peroksil dan O

2, dan juga berperan dalam regenerasi vitamin E. Dengan mengikat radikal peroksil dalam fase berair, dari plasma atau sitosol, vitamin C dapat melindungi membran biologis dari kerusakan peroksidatif. Konsentrasi vitamin C yang tinggi dalam plasma akan menurunkan kadar LDL, menurunkan kadar


(47)

trigliserida, dan mengurangi agresi platelet, serta meningkatkan high density lipoprotein (HDL), yang dapat mencegah PJK. (Almatsier, 2001 ; Silalahi, 2006).

Vitamin C juga dapat mencegah kanker, dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus. Sebenarnya ada radikal bebas dan produk oksidatif yang di keluarkan oleh sistem kekebalan yang dapat menguraikan sel-sel tumor, tetapi fungsinya sering kali menyimpang. Maka aktivitas sistem kekebalan yang optimum memerlukan suatu keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dan proteksi antioksidan. (Counsel, 1981).

2.8 Beta Karoten

Gambar 2.7 Struktur Beta Karoten

Betakaroten adalah suatu zat antioksidan yang terdapat pada buah-buahan, antara lain terdapat pada wortel, kentang dan buah peach yang lezat. Zan antioksidan sangat berguba untuk melawan zat radikal bebas yang berasal dari zat-zat beracun. Radikal bebas adalah awal dari penyakit, termasuk disini adalah penyakit jantung yang sangat ditakuti. Dengan adanya zat anti oksidan yang antara lain adalah beta karoten, diketahui telah dapat mengurangi sebanyak kurang lebih 40% dengan hanya mengkonsulsi 50 mg beta karoten setiap hari dalam menu makanannya. Tentu saja dengan cara hidup yang sehat. (L. Lidya, 2010).

Istilah karotena digunakan untuk menunjuk ke beberapa senyawa yang berhubungan yang memiliki formula C40H56. Karotena adalah pigmen fotosintesis


(48)

berwana jingga yang penting dalam fotosintesis. Zat ini membentuk warna jingga dalam wortel dan banyak buah dan sayur lainnya. Beta kaoten berperan dalam dalam fotosintesis dengan menyalurkan energi cahaya yang diserap ke klorofil. (T.Salamah, 2005).

Beta karoten diperkirakan memiliki banyak fungsi yang tidak dimiliki senyawa lain. Jumlah yang diperlukan oleh tubuh memang hanya ukuran mg/hari. Tetapi jika tidak dipenuhi dapat menimbulkan gangguan fungsi. Beta karoten terdapat dalam sejumlah sayuran dan buah-buahan dan merupakan unsur yang sangat potensial dan persenyawaan kimia yang hampir terlibat dalam berbagai reaksi kimiawi-fisiologik dalam rangkaian metabolisme. Biasanya sayur-sayuran terang seperti wortel, terung belanda, banyak mengandung beta karoten. Akibat kekurangan betakaroten tidak segera dapat dirasakanm sehingga kebutuhan unsur ini jarang menjadi perhatian. Para peneliti dari institut kanker merekomendasikan, kebutuhan tubuh akan beta karoten setiap harinya 5-6 mg. Menurut hasil penelitian, beta karoten bermanfaat menghambat kanker. Terutama kanker pada saluran pernafasan dan sebagian jenis kanker serviks. Disamping itu beta karoten juga dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas karena peran antioksidannya. Beta karoten memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA yang merupakan suatu inti genetik pembawa sifat keturunan diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga terlindung dari senyawa lain yang mengacaukan kode genetiknya. (H.Winarsi, 2007). 2.9 Fermentasi Air Kelapa

Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung didalam substrat oleh mikroba (kultur) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan selulosa / nata de coco), baik merupakan proses pemecahan maupun proses pembentukan dalam situasi aerob maupun anaerob. Jadi proses fermentasi bisa terjadi proses katabolisme maupun proses anabolisme (Misgiyarta, 2007).


(49)

Fermentasi substrat air kelapa yang telah dipersiapkan sebelumnya prosesnya sebagai berikut; substrat air kelapa disterilkan dengan menggunakan autoklaf atau dengan cara didihkan selama 15 menit. Substrtat didinginkan hingga suhu 40oC. Substrat dimasukkan pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar, dengan kedalaman substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan starter atau bibit sebanyak 10 % (v/v). Kemudian diaduk rata, ditutup dengan menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakan pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10 – 15 hari, pada suhu kamar. Pada tahap fermentasi ini tidak boleh digojok. Pada umur 10-15 hari nata dapat dipanen (Misgiyarta, 2007).

2.10 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy

(FTIR)

Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur ssenyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spketrum 4000-400 cm-1.

Analisis inframerah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah


(50)

gugus karbonil dan gugus karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum inframerah adalah adanya ikatan C/H/rengangan pada daerah 2880 cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan renggangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral (Hummel, 1985).

Sistem analisa spektroskopi inframerah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa inframerah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan renggangan pada daerah serapan inframerah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakterisasi untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel, 1985).

Spektrofotometer inframerah terutama ditunjukkan untuk senyawa organik yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan-bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran (Sitorus, 2009).


(51)

BAB 3

METODA PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Peralatan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, Beaker glass, Erlenmeyer, Gelas ukur, Buret, Kertas saring Whatman no.41, Labu ukur, Labu pemisah, Cawan petri dari Pyrex, Cawan porselin, Pipet volume, Juicer, Neraca Analitis Ohaus, Oven Gallenkamp, Inkubator Fieser Scientific, Hot Plate, Termometer, Autoklaf Webecco, Indikator Universal Fisher, Bunsen, Statif dan Klem, Tanur Gallen Kamp.

3.1.2 Bahan-Bahan

Bahan – bahan yang digunakan terdiri dari Air kelapa sedang tua, buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing, NaOH 1,25 N, H2SO4 0,35 N, Bufer asetat 0,2 M, I2 0,167, KI, K2SO4, H2SO4 10%, Petroleum eter, Kloroform, Aseton, KOH 12%, Amilum, bibit Acetobacter xylinum, Glukosa, Urea, Akuades, larutan kanji 1%, Etanol 95%, Beta karoten murni.

3.1.3 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan digunakan dicuci sampai bersih, kemudian dikeringkan dan di tutup rapat dengan kapas, kemudian dengan kertas. Setelah itu masukkan ke dalam autoklaf, dan ditutup rapat,disterilisasi sampai suhu 121oC selama 15 menit.

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pembuatan Starter Air Kelapa

Sebanyak 500 ml air kelapa yang telah di saring dengan kain kasa,di tambahkan 20 % glukosa, 0,5 % urea dan bufer asetat pH 4 ke dalam air kelapa. Dipanaskan hingga suhu 70 - 80oC. Kemudian di masukkan kedalam botol kaca yang telah disterilkan,


(52)

dinginkan sampai suhu kamar,kemudian di inokulasi dengan bakteri Acetobacter xylinum, dan di fermentasikan selama 10 hari sampai terbentuk lapisan nata putih di atasnya (Warisno 2004, Pambayun 2002).

3.2.2 Pembuatan Nata De Coco

Sebanyak 50 ml air kelapa yang telah disaring, ,dituangkan ke dalam gelas beaker, ditambahkan 5 g glukosa, 0,25 g urea dan dipanaskan sampai mendidih sambil diaduk hingga larut. Kemudian diasamkan dengan asam asetat 25 % sampai pH 4 dan ditambahkan bufer asetat 0,2 M sebanyak 1 ml, untuk mempertahankan pH 4, dinginkan sampai suhu kamar, setelah dingin kemudian di tambahkan 10 ml starter air kelapa yang mengandung bakteri Acetobacter xylinum, fermentasikan selama 10 sampai 14 hari pada suhu kamar.(Pambayun,2002).

3.2.3 Pembuatan Nata De Coco – Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing

Sebanyak 500 ml air kelapa hasil penyaringan, dimasukkan ke dalam gelas beaker,di tambahkan 50 gram gula pasir, 2,5 g urea panaskan sampai mendidih sambil di aduk hingga larut. Kemudian diasamkan dengan asam asetat 25 % sampai pH 4 dan ditambahkan buffer asetat 0,2 M sebanyak 10 ml, untuk mempertahan pH 4, Kemudian diangkat dan dinginkan sampai pada suhu kamar, setelah dingin di tambahkan starter air kelapa yang mengandung bakteri Acetobacter xylinum 10 %, kemudian di tambahkan buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing dengan variasi 10 ml, 20 ml, 30 ml, 40 ml, 50 ml, pada suhu kamar. Kenudian di fermentasikan selama 10 sampai 14 hari. (Pambayun, 2002).


(53)

3.3 Parameter yang diamati

3.3.1 Penimbangan Berat Nata De Coco

Dilakukan penimbangan berat nata de coco dengan menggunakan neraca analitik digital sampai 3 kali penimbangan ,selanjutnya dihitung berat rata-rata yang diperoleh.

3.3.2 Penentuan Kadar Air

Selulosa bakteri basah ditimbang sebanyak 2 g,keringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. Di dinginkan dalam desikator selama 20 menit dan di timbang, dan pengeringan kembali, pendinginan dan penimbangan kembali hingga mencapai berat yang konstan (Sudarmadji, 1984).

3.3.3 Penentuan Kadar Abu

Selulosa bakteri basah ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan poreselin yang telah diketahui beratnya. Dipijar dalam tanur pengabuan pada suhu 600°C selama 5 jam sampai dipeoleh abu berwarna abu-abu. Dinginkan dalam desikator, pijar lagi, dinginkan, timbang hingga berat konstan. Dihitung kadar abu dengan rumus (Sudarmadji, 1984).

3.3.4 Penentuan Kadar Serat

Sampel sebanyak 2 g yang telah diekstrasi lemaknya dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian ditambhakan 100 ml H2SO4 0,325 N. Hidrolisis dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 105ºC. Setekah didinginkan sampel ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml, kemudian dihidrolisis kembali selama 15 menit.


(54)

Sanpel disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-tururt dengan air panas lalu 25 ml H2SO4 0,325 N, kemudian dengan air panas dan terakhir dengan 25 ml etanol 95%. Kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu 70ºC selama satu jam, pengeringan dilanjutkan sampai bobot tetap (AOAC, 1995).

3.3.5 Penentuan Kadar Asam Askorbat (Vitamin C)

Nata yang telah dipisahkan dari media fermentasi, ditimbang untuk masing – masing penambahan asam askorbat, masukkan ke dalam beaker glass 250 ml tambahkan akuades sebanyak 50 ml kemudian disonikasi selama 1 jam. Larutan nata siap untuk dianalisa, untuk ditentukan kadarnya. Sebanyak 1 ml larutan nata dipipet, masukkan ke dalam labu Erlenmeyer , tambahkan 25 ml akuades dan 10 ml asam sulfat 10 %, kemudian dititrasi dengan iodium 0,1 N, dengan indikator larutan kanji 1 %, hingga larutan menjadi biru. 1 ml iodium setara dengan 8,806 mg. Kadar vit C = mg vit C / mg sampel x 100 %. Untuk nata (selulosa) kadar vit C dihitung dengan 50 kali pengenceran (Sudarmadji, 1984).

3.3.6 Penentuan Kadar Beta Karoten

3.3.6.1 Pembuatan Kurva Standar Beta Karoten

Timbang dengan teliti 25 mg beta karoten murni. Larutkan dalam 2,5 ml kloroform dan buat menjadi 250 ml dengan petroleum eter (1 ml = 0,1 ml atau 100 µg). Encerkan 10 ml larutan ini menjadi 100 ml dengan petroleum eter 1 ml = 10 µg. Pipet 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ml larutan ini ke dalam labu ukur 100 ml yang terpisah. Masing-masing labu ukur diisi dengan 3 ml aseton. Encerkan sampai tanda tera dengan petroleum eter, konsentrasinya akan menjadi 0,5, 1,0, 2,0, 2,5, 3,0 µg/ml. Ukur optical density (OD) larutan ini pada 452 nm dengan menggunakan aseton 3%


(55)

dalam petroleum eter sebagai blanko. Buat grafik hubungan antara optical density, dengan konsentrasi beta karoten.

3.3.6.2 Penentuan Kadar Beta Karoten

Contoh ditimbang sebanyak 5-10 g, dicampurkan contoh yang sudah ditimbang dengan 150 ml KOH 12% dalam alkohol selama 5 menit pada suhu tuang dalam blender. Pindahkan isi dai blender kedalam labu pemisah dengan menggunakan KOH dalam alkohol untuk membilas. Tambahkan 10 – 15 ml petroleum eter. Kocok labu pemisah ini perlahan-lahan untuk paling sedikit 30 detik dan biarkan lapisan memisah. Bila masih ada warna kuning yang nyata pada lapisan air alkohol, tambahkan air atau air suling yang mengandung 5% Na2SO4 untuk membantu pemindahan pigmen ke lapisan petroleum eter. Ulangi ekstraksi dengan petroleum eter sampai lapisan alkohol-air tidak berwarna lagi. Di pipet 2,5 ml dan encerkan dengan petroleum eter hingga 25 ml. Dari larutan ini dipipet 3,75 ml dan tambahkan aseton 0,75 ml, serta encerkan lagi dengan petroleum eter hingga volume 25 ml. Larutan dianalisis dengan meggunakan spektronik 20 diperoleh hasil. (Apriyantono, et al., 1989).

3.3.7 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy

(FTIR)

Bahan : Sampel nata de coco

Alat : FT-IR, Laboratorium Bea Cukai Belawan Medan Cara Kerja :

1. Sampel di timbang ± 3 g

2. Pengujian dilakukan dengan meletakkan sampel pada kaca transparan, diusahakan menutupi seluruh permukaan kaca

3. Kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar inframerah. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.


(56)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Starter Air Kelapa

500 ml Air Kelapa

disaring

Filtrat Pengotor

ditambahkan 20% glukosa ditambahkan 0,5% urea

ditambahkan buffer asetat pH 4 dipanaskan suhu 70-80°C didinginkan pada suhu kamar Larutan Asam

Bergula

diinokulasi dengan bakteri Acetobacter Xylinum

difermentasi selama 10 hari

Starter Air Kelapa


(57)

(58)

3.4.3 Pembuatan Selulosa Bakteri – Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing

500 ml Air Kelapa

disaring

Nata De Coco – Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing

ditambahkan sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing dengan variasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ml ditambahkan 10% starter air kelapa

difermentasi selama 10-14 hari pada suhu kamar

Larutan Asam Bergula

dipanaskan sampai mendidih hingga larut

ditambahkan 2,5 g urea ditambahkan 50 g gula pasir Filtrat

Pengotor

diasamkan dengan asam asetat 25% pH 4 dan buffer asetat 0,2 M 10 ml

dianalis a


(59)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembentukan Nata De Coco dengan Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum betaceum) Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing (Solanum mauritianum)

Air kelapa yang ditambahkan starter air kelapa dan variasi sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing difermentasi selama 14 hari dan terbentuk nata de coco yang menghasilkan ketebalan yang baik dan meningkat serta warna merah muda.

Gambar 4.1. Nata De Coco – Terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing Dapat dilihat sebelum penambahan sari buah, nata de coco berwarna putih, tetapi setelah ditambahkan sari buah warna nata de coco menjadi warna merah muda. Hal ini disebabkan sari buah masuk dan berinteraksi secara baik di dalam pembuatan nata de coco. Nata de coco yang dihasilkan dengan penambahan sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing tidak mengalami pemisahan dengan media fermentasinya.

Kandungan-kandungan nutrisi yang tersedia di dalam sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing antara lain karbohidrat, protein, lemak, serat,


(60)

vitamin-vitamin serta senyawa-senyawa seperti beta karoten dan antosianin mempengaruhi pembentukan nata de coco oleh bakteri Acetobacter xylinum. Di dalam penelitian ini kandungan nutriri sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan sumber nitrogen tambahan setelah sumber karbon dan sumber nitrogen yang berasal dari air kelapa, gula pasir dan urea. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh oleh Wahyuni (2011), sumber karbon dan nitogen tambahan yang digunakan dalam memproduksi nata de coco menggunakan bakteri Acetobacter xylinum adalah sari buah alpukat, sedangkan sumber karbon yang digunakan oleh Kurosumi et al (2009), dalam penelitiannya yaitu sari buah-buahan seperti sari buah jeruk, sari buah apel, sari buah nenas, sari buah pear dan sari buah anggur.

Dengan demikian penambahan sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing mempengaruhi dan membantu kinerja bakteri Acetobacter xylinum dalam memproduksi nata de coco. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan-kandungan nutrisi yang tersedia dalam sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing yang digunakan sebagai zat makanan atau nutrisi tambahan setelah nutrisi yang berasal dari air kelapa, gula pasir dan urea yang diperlukan bakteri Acetobacter xylinum untuk pertumbuhannya dalam memproduksi nata de coco. Semakin tinggi kadar nutrisi semakin tinggi kesempatan bakteri Acetobacter xylinum untuk melakukan reproduksi sehingga populasi bakteri Acetobacter xylinum semakin banyak dan selulosa yang dihasilkan semakin banyak. Hal ini menyebabkan metabolit sekunder yang dikeluarkan oleh bakteri Acetobacter xylinum berupa benang-benang selulosa dan nutrisi-nutrisi seperti vitamin C dan senyawa beta karoten berinteraksi di didalam susunan benang-benang nata de coco.


(1)

Nata De Coco – Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing

A.2 Gambar Hasil Penelitian


(2)

LAMPIRAN B

HASIL PENGUKURAN DAN PERHITUNGAN

B.1. Data Hasil Analisa Berat dari Nata De Coco

Penambahan TBL (ml)

Berat Nata De Coco (g)

Rataan

I II III

0 360,81 361,78 362,87 361,82

10 363,43 364,24 365,42 364,36

20 434,49 434,78 435,86 435,04

30 459,10 460,78 461,25 460,37

40 467,48 466,32 467,52 467,20

50 482,72 483,63 484,61 483,65

B.2. Data Hasil Analisa Kadar Air dari Nata De Coco

Penambahan TBL (ml)

Kadar Air Nata De Coco (%)

Rataan

I II III

0 72,0400 79,4571 81,1644 77,5538

10 81,0251 76,6377 80,5492 79,4040

20 92,2688 73,8567 77,3398 81,1551

30 83,7976 80,5803 92,5329 85,6369

40 89,6519 90,3166 90,3308 90,0997

50 91,5125 90,5383 90,5383 90,9429

Penentuan kadar air pada nata de coco dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Berat cawan = 2,9728

Berat awal + cawan = 10,9308

Berat awal = 7,9580

Berat akhir + cawan = 3,7963


(3)

Kadar air = x100% Awal Berat Akhir Berat Awal Berat

= 100%

958 , 7 8235 , 0 958 , 7 x

= 89,6519 %

B.3. Data Hasil Analisa Kadar Abu dari Nata De Coco

Penambahan TBL (ml)

Kadar Abu Nata De Coco (%)

Rataan

I II III

0 0,407 0,460 0,461 0,422

10 0,548 0,416 0,415 0,459

20 0,475 0,541 0,549 0,521

30 0,628 0,583 0,588 0,599

40 0,600 0,600 0,610 0,603

50 0,922 0,921 0,811 0,884

Penentuan kadar abu pada nata de coco dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Berat cawan = 21,4601

Penimbangan = 21,5156

Bobot abu = 0,0555

Berat sampel = 8,841236556

Kadar abu = x100%

Sampel Berat

Abu Berat

= 100%

841236556 , 8 0555 , 0 x = 0,628 %


(4)

B.4. Data Hasil Analisa Kadar Serat dari Nata De Coco

Penambahan TBL (ml)

Kadar Serat Nata De Coco (%)

Rataan

I II III

0 3,213 2,503 3,364 3,026

10 3,593 3,252 3,253 3,366

20 3,548 3,592 3,622 3,587

30 3,875 3,940 3,942 3.919

40 4,147 4,204 4,045 4,132

50 4,175 4,265 4,302 4,247

Penentuan kadar serat pada nata de coco dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Berat Kertas saring = 1,0667

Berat sampel = 103113

Penimbangan = 1,3980

Berat serat = 0,3313

Kadar serat = x100%

Sampel Berat

Serat Berat

= 100% 3113

, 10

3313 , 0

x = 3,213 %


(5)

B.5. Data Hasil Analisa Vitamin C Terhadap Penambahan Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing pada Pembuatan Nata De Coco

Penambahan TBL (ml)

Kadar Vitamin C (mg) Rataan

I II III (mg) (%)

0 0,4927 0,2463 0,2463 0,3284 0,30

10 1,2317 0,9854 1,2317 1,1496 1,13

20 1,4781 0,9854 1,2317 1,2317 1,20

30 1,4781 1,7244 1,4781 1,5602 1,54

40 1,7244 1,9708 1,9708 1,8887 1,84

50 2,2176 1,9708 2,2176 2,1353 2,08

Penentuan kadar vitamin C pada nata de coco dengan penambahan sari buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan lancing dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

mg Vitamin C = ml I2 x N I2 x BE

Kadar Vitamin C (%) = min x100%

Sampel mg

C Vita mg

dengan : N I2 = 0,1673 BE = 14,7253

FP (Faktor Pengenceran) = 50 x pengenceran

mg Vitamin C = ml I2 x N I2 x BE = 0,5 x 0,1673 x 14,753 = 1,2317 mg


(6)

Kadar Vitamin C (%) = min x100%

Sampel mg

C Vita mg

Kadar Vitamin C (%) = 100% 7

, 5135

2317 , 1

x

= 0,0239 % x 50 (pengenceran) = 1,195 %

B.6. Data Hasil Analisa Betakaroten Terhadap Penambahan Sari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk dengan Lancing pada Pembuatan Nata De Coco

Penambahan TBL

(ml) Absorbansi Kurva

Kadar Betakaroten (mg/100 g bahan)

0 0,041 1,0735 3,7234

10 0,070 2,4951 8,6540

20 0,075 2,7402 9,5041

30 0,085 3,2304 11,2043

40 0,091 3,5245 12,2244


Dokumen yang terkait

Studi Analisa Kadar Vitamin C Dan Kadar Beta Karoten Dari Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk Antara Tanaman Terung Belanda (Solanum Betaceaum CAV.) Dengan Tanaman Lancing (Solanum Mauritianum)

20 127 62

Aktivitas Alkaloid Dari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Terhadap Tingkat Kehamilan Mencit (Mus Musculus)

7 76 68

Analisis Karbohidrat Produk Biosintesis pada Buah Terung Belanda Hasil Sambung Pucuk Antara Terung Belanda (Chiphomandra betaceae) dengan Rimbang (Solanum torvum swartz)

4 83 92

Pengaruh Penambahan Variasi Massa Pati (Soluble Starch) Pada Pembuatan Nata De Coco Dalam Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter xylinum

5 80 69

Pengaruh Variasi Volume Sari Buah Delima (Punica granacum) dengan Air Nira terhadap Kadar Gula, Vitamin C dan Kadar Serat pada Pembuatan Nata De Arenga dengan Menggunakan Acetobbacter xylinum

1 70 54

Ketahanan Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Setelah Diinduksi Dengan Sinar Uv Terhadap Colletotrichum sp.

2 47 65

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Variasi Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Variasi Penambahan Sari Buah Terung Belanda (Solanum Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancing (Solanum Mauritianum) Pada Pembuatan Nata De Coco Dengan Menggunakan Acetobacter Xylinum

0 0 7

PENGARUH VARIASI PENAMBAHAN SARI BUAH TERUNG BELANDA (Solanum betaceum) HASIL SAMBUNG PUCUK DENGAN LANCING (Solanum mauritianum) PADA PEMBUATAN NATA DE COCO DENGAN MENGGUNAKAN

0 1 18

STUDI ANALISA KADAR VITAMIN C DAN KADAR BETA KAROTEN DARI BUAH TERUNG BELANDA HASIL SAMBUNG PUCUK ANTARA TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanum betaceaum Cav.) DENGAN TANAMAN LANCING (Solanum mauritianum) SKRIPSI IRMA SAFITRI

0 0 13