GENDER MEDIA MASSA DAN ISLAM 1

GENDER, MEDIA MASSA DAN
ISLAM1
Oleh: Hasnun Jauhari Ritonga
* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sumatera Utara

ABSTRAK
Persoalan yang ingin dikembangkan dalam tulisan ini adalah tentang
pemahaman masyarakat terhadap isu gender, isu-isu gender yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat, agenda media massa tentang
isu gender, agenda setting media terkait isu gender, dan isu gender
dalam konteks ajaran Islam dan keterkaitannya dengan peran media
massa. Tulisan ini dianalisis berdasarkan referensi-referensi terkait yang
dilihat dengan pendekatan komunikasi massa. Berdasarkan analisis yang
dilakukan diperoleh hasil bahwa media massa memang masih memiliki
ketertarikan dengan isu gender. Isu gender dikemas sedemikian rupa
sehingga tetap menarik untuk diperbincangkan. Apalagi didukung pula
oleh legitimasi agama—yang dipahami secara keliru—dan suku-suku
tertentu, sehingga menguatkan media untuk mengagendakan isu-isu
tentang gender. Tentu saja, jika dilihat dari konsepsi ajaran Islam, isu
gender dengan diskriminatif terhadap kaum perempuan, adalah
kontraproduktif. Islam justru mengangkat harkat dan martabat kaum

perempuan. Jadi, tidak ada tempat dalam Islam untuk bersikap
diskriminatif terhadap perempuan. Sebab Islam adalah agama rahmat
bagi sekalian alam. Adapun yang berkembang hanyalah penafsiranpenafsiran yang belum tentu benar. Penafsiran berarti pemahaman
bukan konsep, yang berarti sebagaimana halnya ilmu pengetahuan
kebenarannya tidak absolut.
Kata Kunci: gender, media massa, komunikasi, dan Islam.

1

Tulisan ini telah dimuat pada Jurnal Warta Dharmawangsa, tahun 2012.

A. Pendahuluan
Berbicara mengenai gender, maka yang menjadi isu sentralnya adalah diskriminasi
laki-laki terhadap kaum perempuan yang diakibatkan perbedaan jenis kelamin. Gender
diyakini sebagai konstruksi sosial berdasarkan jenis kelamin. Akibat perbedaan jenis kelamin
tersebut, maka kaum perempuan mendapatkan perlakuan atau pemaknaan yang lebih
subordinatif dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kendati isu ini hanya merupakan rekayasa
sosial, tetapi tidak jarang justru di bawa ke isu suku, agama dan ras (SARA) tertentu.
Gender merupakan isu yang sudah lama dipublikasikan di media massa, baik surat
kabar, jurnal ilmiah, televisi, maupun media online. Agaknya memang isu ini sangat

diperhatikan dan diberikan ruang yang luas untuk memperbincangkannya. Mediapun begitu
antusias mempublikasikannya. Oleh karena itu kajian yang pada awalnya berkembang di
dunia akademis telah merambah ke ranah publik. Tentu saja peran media sangat menentukan
berkembangnya isu ini.
Harus diakui bahwa terkadang media yang meliputnya tidak semata-mata ingin
mendongkrak agar kasus-kasus yang terkait dengan isu gender semakin menyempit, akan
tetapi sengaja “diblow up” untuk mendiskreditkan kelompok tertentu, dan bahkan suku dan
agama tertentu. Tentu saja respon publik—terutama yang dijadikan sasaran—tidak begitu saja
menerimanya. Nada penolakanpun tidak terhindarkan. Berbagai ragam cara penolakan
dilaksanakan, seperti counter attack dengan tulisan, atau pemberitaan, musik, pidato, dan
bahkan demonstrasi.
Secara langsung atau tidak langsung, media memang memainkan peranan yang
signifikan dalam “menggembar-gemborkan” isu kesetaraan gender. Padahal, jika dikaji secara
cermat belum tentu ada legalitas dari suku atau agama tertentu yang secara konkret
mempunyai adat istiadat atau doktrin yang terkait dengan diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin. Agama Islam misalnya, bahkan sangat memuja ketinggian harkat dan martabat
kaum perempuan. Bahkan dalam satu hadis yang sangat populer dijelaskan bahwa: “Surga itu
berada di telapak kaki ibu”. Demikian juga ketika Nabi Saw. ditanya seseorang tentang siapa
yang semestinya lebih ia taati, Nabi menjawab: “Ibumu”, dan pertanyaan yang sama diulangi
hingga 4 (empat) kali, Nabi mengulanginya hingga 3 (tiga) kali untuk ibu, dan barulah yang

keempatnya untuk: “Ayahmu”. Bahkan ayat-ayat Alqur’an demikian banyaknya yang
mengungkapkan bahwa kedudukan kaum laki-laki dengan perempuan itu setara, tidak ada
perbedaan terutama jika dilihat konsep beribadah dalam Islam, hanya saja akibat adanya
perbedaan susunan jaringan tubuh, maka secara teknisnya ada perbedaan dan juga dalam
beberapa hal diberikan keringanan, misalnya ketika menstruasi kaum perempuan
diperbolehkan tidak shalat dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan (tetapi diganti pada hari
yang lain). Ini menandakan bahwa pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, kecuali hanya perbedaan fisiknya dan hak-hak yang melekat di dalamnya.
Pembahasan ini memang masih cukup menarik. Oleh karena itu mediapun masih
sangat antusias mempublikasikan kajian-kajian yang terkait dengan isu ini. Berangkat dari hal
tersebut, maka penulis akan ikut juga “nimbrung” memperbincangkannya. Akan tetapi
diskursus ini lebih diarahkan kepada kajian filsafat dan etika komunikasi. Untuk tujuan ini,
maka akan dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dicoba dijawab pada bagianbagian selanjutnya, yaitu:
1. Bagaimanakah sebenarnya masyarakat memahami gender bila dikaitkan dengan
komunikasi?
2. Apa saja isu gender yang berkembang di tengah-tengah masyarakat terutama jika
dikaitkan dengan komunikasi?
3. Apa saja agenda media massa jika dikaitkan dengan isu gender?

4.


Kenapa media massa masih demikian tertariknya mempublikasikan berita atau tulisan
yang terkait dengan gender?
5. Bagaimana pula isu gender dalam konteks ajaran Islam terutama bila dikaitkan
dengan komunikasi dan peran media massa?
Berdasarkan kelima pertanyaan tersebut, maka pembahasannya akan lebih terarah dan
fokus. Namun agar lebih simpel, maka yang akan dibahas nanti juga diupayakan dengan
mengetengahkan sub-sub yang simpel saja, yaitu pengertian gender, isu-isu gender, gender
sebagai agenda media massa, dan peran media massa dalam kaitannya dengan isu gender
(yang akan dilihat dari sisi posiitif dan negatifnya) serta akan digali secara selintas menurut
perspektif Islam. Kemudian untuk melengkapi tulisan ini pada bagian akhir akan
dikemukakan kesimpulan dan sumber-sumber yang dijadikan sebagai rujukan.

B. Pengertian Gender
Secara singkat sebenarnya pengertian gender telah dikemukakan pada bagian
pendahuluan di atas, namun tentu akan lebih ilmiah kalau pengertiannya dikutip dari
pendapat-pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kata gender (jender-Indonesia) berarti jenis kelamin. Di dalam
Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah

laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam
hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2
Menurut H.T. Wilson dalam Sex and Gender dipaparkan bahwa yang
dikatakan dengan gender adalah suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan
perempuan. Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan gender
lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
kontruksi sosial-budaya.3
Selanjutnya, istilah gender dibedakan dari sex untuk menunjukkan perbedaan jenis
kelamin adalah perkara yang diadakan budaya di dalam masyarakat. Orang yang menjadi
lelaki atau perempuan itu telah dinyatakan secara sadar dan tidak sadar menurut garis
panduan tentang tingkah laku mereka supaya identitas seksual mereka mantap dan mengikut
norma budaya masyarakatnya. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Sherry Ortner dan
Harriet Whitehead (1981) yang menjelaskan bahwa gender dalam pengertian jenis kelamin
dan seks dapat dipahami sebagai simbol atau sistem simbol yang mempunyai nilai budaya
yang berbeda-beda.4
Gender penting untuk dipahami dan dianalisis untuk melihat apakah perbedaan yang

bukan alami ini telah menimbulkan diskriminasi dalam arti perbedaan yang membawa
kerugian dan penderitaan terhadap perempuan. Apakah gender telah memposisikan
perempuan secara nyata menjadi tidak setara dan menjadi subordinat oleh pihak laki-laki.
Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki
digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara
perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut.
2

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`an (Jakarta: Paramadina,
2001), h. 33.
3
Ibid, h. 34.
4
Ruzy Suliza Hashim, “Meniti Duri dan Ranjau: Pembikinan Gender dan Seksualiti dalam
Konteks Dunia Melayu” dalam Majalah Sari No. 24 tahun 2006, h. 17.

Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan
dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja, periklanan dan media. Gender berbeda dengan seks.
Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial, masalah atau isu yang berkaitan

dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan lakilaki. Suharti (1995) menyebutkan bahwa biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu
kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender. Istilah “gender” diperkenalkan untuk
mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki tanpa konotasikonotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi rumusan ‘gender’ sebagaimana yang
disinyalir McDonald dkk. (1999) dalam hal ini merujuk pada perbedaan-perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki yang merupakan bentukan sosial, perbedaan-perbedaan yang
tetap muncul meskipun tidak disebabkan oleh perbedaan-perbedaan biologis yang
menyangkut jenis kelamin.5
Sementara itu, Haris Luthfi dalam tulisannya Upaya Kesetaraan
Gender Dalam Rumusan Kodifikasi Hukum Keluaga di Dunia Islam
menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosialbudaya. Dengan demikian dapat dibedakan apa yang dimaksud dengan
gender dengan apa yang dimaksud dengan sex. Gender secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi sosial-budaya. Sedangkan sex, secara umum dipergunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
anatomi biologi.6
Belajar tentang gender dan komunikasi mempertinggi kesadaran kita bahwa
pengertian tentang seks dan gender yang sangat boleh jadi tumbuh akibat konstruksi sosial
yang dengannya pula masyarakat merasa telah didorong atau dikondisikan untuk
menerimanya. Setelah kita menjadi sadar akan gagasan dan berpikir kritis tentang mereka,

kita diberi wewenang untuk menerima yang kita temukan baik atau berguna dengan cara yang
lebih tepat dari yang kita miliki. Sama pentingnya, menjadi informasi tentang gender
memberdayakan kita untuk membantah pandangan konvensional dari jenis kelamin yang
tidak kita temukan diinginkan atau mengagumkan. Kadang-kadang, kami menantang dan
menolak definisi sosial gender pada tingkat individu-misalnya, seorang pria yang memilih
untuk menjadi ayah yang tinggal di rumah bukan pencari nafkah utama atau seorang wanita
yang agresif dan dominan. Kami juga dapat menantang dan mencoba untuk mengubah
pandangan sosial tentang gender pada tingkat yang lebih luas misalnya, dengan alasan karena
di tahun 1800 beberapa perempuan cukup rasional untuk memilih menjadi anggota angkatan
bersenjata AS untuk ikut serta bertempur, akan tetapi tidak diizinkan.7
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas
dapat dipahami bahwa gender hanyalah suatu isu yang dikonstruksi oleh
masyarakat yang mungkin memang telah lama dipraktekkan dan
mendapat legitimasi dari adat/masyarakat tertentu, lalu kemudian
5

Tanti Hermawati, “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender” dalam Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 1, No. 1, Juli 2007, h. 22.
6
Haris Luthfi, “Upaya Kesetaraan Gender Dalam Rumusan Kodifikasi Hukum Keluarga di

Dunia Islam” dalam http://sumberpencarianartikel.info/ebook-upaya-kesetaraan-gender-dalamrumusan-kodifikasi-hukum-keluarga-di-dunia-islam.pdf, diakses pada tanggal 13 Juli 2012 pukul
15.08 WIB.
7
William F. Eadie (ed.), A Reference Handbook Communication 21 st Century, Volume 1 (New
York: San Diego State University, 2009), h. 371.

seringkali dicari pula pembenarannya di dalam ranah politik/negara dan
ajaran agama tertentu, untuk selanjutnya diblow up oleh media massa,
baik cetak maupun elektronik, dan bahkan menjadi bahan diskursus
secara luas di dunia akademis, yang tujuannya—mungkin saja baik, tetapi
secara sadar atau tidak sadar justru—menjadikan isu tersebut menjadi
lebih intens dibicarakan di ranah publik. Bahkan, lebih dahsyatnya lagi isu
ini
justru
oleh
pihak-pihak
tertentu
yang
memang
merasa

“nyaman/diuntungkan” menjadi sangat menarik untuk “dipertandingkan”
(dicarikan alasan-alasan pembenarannya yang pasti berbanding terbalik
dengan tujuan awalnya menghilangkan adanya diskriminasi akibat
perbedaan gender tersebut). Agaknya ini akan terus menjadi isu yang
sangat menarik, seiring dengan adanya pro dan kontra dalam diskursusdiskursus yang dibangun.
C. Isu-Isu Gender
Berbicara mengenai gender berarti berbicara mengenai isu-isu yang berkembang pada
konstruksi gender itu sendiri. Artinya, mau tidak mau akan lebih banyak berbicara tentang
perempuan, sebab pada kenyatannya yang dibicarakan adalah dominasi laki-laki terhadap
perempuan akibat konstruksi sosial dan budaya tersebut. Oleh karena itulah, maka
tuntutannya adalah kesetaraan gender (gender equality) atau keadilan gender (gender equity).
Kesetaraan gender (gender equality) dalam terminologi UNESCO didefinisikan
dengan:
Equality between men and women entails the concept that all human beings, both
men and women, are free to develop their personal skills and make choices without
limitations set by stereotypes, rigid gender roles and prejudices. Gender equality means
that the different behaviors, aspirations and needs of women and men are considered,
valued and favoured equally. It does not mean that that women and men have to become
the same, but their rights, responsibilities and opportunities will not depend on whether
they are born male or female. (Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan

konsep yang menyatakan bahwa semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan)
bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa
dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku dan prasangka-prasangka. Hal ini bukan
berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan
kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau
perempuan).8
Sedangkan keadilan gender (gender equity) diartikan dengan:
Fairness in the treatment of women and men, according to their respective needs.
This may include equal treatment or treatment that is different but which is considered
equivalent in terms of rights, benefits, obligations and opportunities. (Keadilan gender adalah
keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini
mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan
ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan dan kesempatannya).9
Berangkat dari kedua pengertian yang disebutkan di atas, dipahami bahwa isu sentral
atau isu utama yang terkait dengan gender adalah tuntutan diberlakukannya kesetaraan dan
keadilan gender. Ada apa dengan gender? Kenapa ada tuntutan kesetaraan dan keadilan?

8
9

UNESCO, Guidelines for Preparing Gender Responsive EFA Plans (2002), h. 20.
Ibid, h. 21.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa akibat adanya perbedaan
jenis kelamin, maka muncul diskriminasi. Diskriminasi itu dialamatkan kepada kaum
perempuan yang dilakukan oleh sebagian kaum laki-laki yang disebabkan karena
bangunan/konstruksi adat, sosial kemasyarakatan, budaya, bahkan ditarik ke arah politik dan
agama, yang sudah sedemikian kentara dan berlarut-larut. Akibatnya kaum feminis merasa
bahwa keadaan itu perlu diluruskan dan bahkan dihapuskan.
Tuntutan kesetaraan dan keadilan gender tersebut merupakan puncak kegundahan atau
pemberontakan kaum feminis dalam beberapa isu, yaitu:
1. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi;
2. Subordinasi atau second class atau only complement akibatnya perempuan dianggap
lebih baik bekerja secara domestik (indoor) sementara laki-laki bekerja mencari
nafkah di luar rumah (outdoor);
3. Stereotype atau pelabelan (labeling/naming) yang negatif;
4. Kekerasan (violence);
5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (peran ganda), yang disebut burden; dan
6. Sosialisasi ideologi peran gender.10
Keenam isu di atas digagas oleh kaum feminis agar segera dihapuskan. Bahwa lakilaki dan perempuan adalah sama ketika berada di ranah publik, kendati secara fisik memang
sudah secara kodrati satu sama lain berbeda. Perbedaan fisiologis bukan berarti menjadikan
kaum perempuan lebih subordinatif dibandingkan dengan kaum laki-laki. Toh dalam
perjalanan sejarah banyak di antara kaum perempuan bisa berhasil dan bahkan tidak kalah
dengan lelaki ketika berkiprah di tengah-tengah publik. Kaum perempuan juga tidak harus
berperan ganda, hanya berkutat di ruang domestik (rumah tangga), dan seterusnya, tetapi
kaum laki-laki juga bisa mengerjakannya. Itulah beberapa hal yang menjadi tuntutan para
kaum feminis.
Tentu saja sejauh itu dapat dipastikan bahwa sebagian besar kaum laki-laki juga tidak
akan merasa keberatan, sebab sangat realistis dan bisa diterima oleh kalangan awam
sekalipun. Bahkan dalam sejarah Nabi Muhammad Saw. hal-hal seperti itu tidak ada yang
asing atau “istimewa”. Nabi Saw. menambal atau menjahit sendiri kain atau pakaiannya yang
koyak, membawa atau mengambil makanan bila tidak dihidangkan, dan sebagainya yang
kesemuanya memang dapat dikerjakan oleh kaum laki-laki.
Akan lain halnya bila kaum perempuan menuntut kaum laki-laki untuk tidak hamil,
melahirkan, atau menyusukan anak. Tentu saja tuntutan itu tidak realistis dan pastilah tidak
dapat diterima kaum laki-laki. Bukankah hormon yang dimiliki laki-laki dan perempuan
memang sangat berbeda? Maka kaum perempuan secara struktur fisik memang bisa hamil,
melahirkan, atau menyusui, tidak demikian bagi kaum laki-laki. Artinya, ada hal-hal yang
memang secara kodrati sudah diciptakan Tuhan sedemikian rupa, dan hal itu tidak harus
digugat. Tentu saja hal tersebut bukan muncul akibat konstruksi sosial, adat, atau politik, akan
tetapi lebih kepada konstruksi fisik yang sudah kodratnya.
D. Gender Sebagai Agenda Media Massa
Media massa merupakan salah satu filar yang menyertai kehidupan umat manusia
sejak awal kemunculannya hingga era kontemporer ini. Media massa sudah menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari perjalanan siang dan malam waktu manusia. Bahkan era digital ini
semakin merambah ruang-ruang privat dalam kehidupan umat manusia. Harus diakui bahwa
media massa sangat dibutuhkan.
Terkait dengan isu yang dikembangkan oleh media massa, ada satu teori yang
langsung melihat keterkaitan dengannya, yaitu teori agenda setting media. Teori ini
Lebih jauh dapat dilihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
10

berangkat dari asumsi bahwa: (1) masyarakat pers dan media massa tidak mencerminkan
kenyataan; karena informasi yang disampaikan pun sudah mereka seleksi atau disaring
sehingga yang diharapkan akan membentuk suatu isu tertentu; dan (2) konsentrasi media
massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang
lebih penting daripada isu-isu lain.11 Adapun agenda yang dapat ditentukan oleh media massa
adalah: 1) apa yang harus dipikirkan oleh masyarakat; 2) menentukan fakta yang harus
dipercayai oleh masyarakat; 3) menentukan penyelesaian terhadap suatu masalah; 4)
menentukan tumpuan perhatian terhadap sesuatu masalah; dan 5) menentukan apa yang perlu
diketahui dan dilakukan masyarakat.12
Ketika suatu isu dianggap penting—dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah
penyiaran dan peraturan yang berlaku—orang-orang yang terlibat dalam mengelola media
massa akan melakukan peliputan dan mempublikasikan hasil liputan itu ke tengah-tengah
masyarakat. Gender misalnya, ketika berita atau opini yang terkait dengannya, dianggap
dapat mejadi isu yang menarik untuk dibaca, atau dilihat, dan atau didengar, serta
diperbincangkan sehingga menjadi opini publik, maka berita atau opini yang terkait
dengannya akan “diblow up” dan dirancang sedemikian rupa untuk kemudian
dipublikasikan.
Teori agenda setting itu sendiri disebutkan oleh Stephen W. Littlejohn dan Karen A.
Foss sebagai teori yang menyatakan bahwa media membentuk gambaran atau isu yang
penting dalam pikiran. Hal ini terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita.
Saluran berita sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus
dilaporkan dan bagimana melaporkannya. Apa yang masyarakat ketahui pada waktu tertentu
merupakan hasil dari penjagaan gerbang (gateskeeping) oleh media.13
Kukuh Herdianto dalam tulisannya yang berjudul “Media sebagai alat propaganda
politik” menyebutkan bahwa sekalipun media massa memang tidak dapat mempengaruhi
orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang
dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang
dianggap penting. Bisa jadi bila suatu isu terus menerus diberitakan, maka masyarakat
akhirnya mempersepsikan bahwa hal tersebut memang nyata dan penting. Kemungkinan
besar hal ini berpengaruh pada cara berpikir masyarakat. Saat media selalu menampilkan isu
atau tokoh tertentu, maka isu atau orang tersebut cenderung dianggap sebagai isu atau tokoh
penting.14 Singkatnya, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula
oleh masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh masyarakat. Hal
tersebut berarti propaganda melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas
pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran
dalam mempengaruhi cara berpikir khalayak. Tentu saja isu tentang gender dalam beberapa
dekade terakhir tetap dikemas sedemikian rupa sehingga tetap menjadi sangat menarik untuk
dibicarakan.
Beberapa hal yang terkait dengan gender yang sangat diminati oleh media massa tentu
saja sangat terkait dengan ruang dan waktu. Di satu wilayah dalam momentum tertentu
kemungkinan menyoroti kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan
terhadap perempuan sangat menarik. Sangat boleh jadi pada suatu daerah dan dalam masa
W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Theories of Human Communication, 9th ed (Teori
Komunikasi) (terj.) Mohammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 416.
12
Syukur Kholil, Komunikasi Islami (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 36.
13
Littlejohn & Foss, Teori, h. 416.
14
Kukuh Herdianto, “Media Sebagai Alat Propaganda Politik” dalam http://belajarkomunikasi.blogspot.com/2011/02/media-sebagai-alat-propaganda-politik.html, diakses tanggal 13
Juli 2012 pukul 14.58 WIB.
11

tertentu pula sorotan terhadap trafficking dan prostitusi, atau pornografi menjadi isu yang
hangat. Atau bisa jadi, isu tentang keterlibatan kaum perempuan di ranah politik,
keterwakilannya di kancah parlemen, dan seterusnya menjadi isu yang menggemparkan.
Itulah beberapa hal yang menjadi agenda media massa yang terkait dengan isu gender. Tentu
saja masih banyak isu-isu yang bisa jadi sangat berbeda menurut suatu daaerah dan waktu
tertentu.
E. Peran Media Massa Tentang Isu Gender
Bila media massa telah menetapkan isu gender sebagai hal yang patut dipublikasikan
maka akan sangat mungkin isu itu menjadi isu yang diminati oleh masyarakat. Sebab tentu
saja selain sebagai mengedukasi masyarakat, isu ini juga menjadi isu internasional yang
memang memiliki keterkaitan global.
Beraneka ragam liputan atau pemberitaan tentang gender, sehingga kemungkinan
membuka mata para kaum pria dan penentu-penentu kebijakan publik, sangat menentukan
bahwa isu-isu yang ingin dikembangkan adalah untuk mengurangi akibat negatif yang
ditimbulkannya sehingga tercipta kesetaraan dan keadilan gender. Konstruksi sosial dan
budaya yang missed tentang gender tersebut lama kelamaan ditinggalkan oleh masyarakat
untuk kemudian tergantikan oleh hal-hal yang mengarah kepada kesetaraan dan keadilan
gender sebagaimana yang diinginkan oleh para pelopor feminisme.
Dalam satu penelitian oleh Paramita Dyah Kusumahapsari dengan judul Gender
Dalam Iklan Televisi disebutkan bahwa konstruksi sosial dalam iklan televisi selama ini lebih
banyak menguatkan posisi perempuan sebagai obyek di ruang publik dan subyek terbatas di
ruang domestik. Kelebihan iklan televisi berupa audiovisual dan diulang-ulang semakin
memperkuat stereotip perempuan adalah makhluk lemah. Penempatan perempuan seperti
demikian selalu menjadi strategi penguat iklan. Ini tidak lepas dari adanya faktor ideologi
patriarki yang masih kuat berlangsung pada hampir seluruh bidang kehidupan. Meski saat ini
tidak sedikit perempuan yang telah meraih banyak prestasi di dua ruang kehidupannya,
namun iklan televisi masih jarang yang mengangkat tema tersebut. Gudang Garam sebagai
rokok yang terkenal dengan slogan ‘Pria Punya Selera’ ini justru muncul dengan iklan-iklan
yang menyiratkan pesan kekuatan perempuan. Sangat berbeda dengan iklan-iklan rokok yang
sudah ada. Oleh karenanya, fokus penelitian ini menyangkut tanda-tanda yang digunakan
dalam iklan. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana makna pesan kekuatan perempuan
yang muncul melalui tanda-tanda visual pada ikan. Adapun obyek penelitian ini adalah 3
versi iklan Gudang Garam bertajuk ”Rumahku Indonesiaku” : Dirgahayu RI, Cahaya Asa,
dan Indonesia Adya. Untuk menurunkan makna digunakan analisis semiotika Roland Barthes,
yakni pemaknaan terhadap tanda (sign) yang terdapat pada iklan secara Signifikasi Dua tahap
(Two Order of Signification). Melalui proses pemaknaan tanda yang terdiri atas signifier
(penanda) dan signified (petanda) per-gambar yang menunjukkan representasi kekuatan
perempuan Indonesia berdasarkan kode sosial dan kode fotografi melalui tahap denotatif dan
konotatif. Mitos dalam penelitian ini sebagian besar menjadi kontramitos atas mitos-mitos
lama tentang femininitas diri perempuan yang lemah. Kontramitos dapat dikatakan sifat yang
biasanya terdapat pada sebuah masyarakat yang telah terbuka seperti di sebagian wilayah
Indonesia. Dari hasil analisis ditemukan kesimpulan pesan kekuatan perempuan: perempuan
mampu melakukan banyak hal bagi dirinya dan masyarakat. Dalam ruang domestik, peran
pentingnya sebagai manajer utama dalam tata laksana 8 fungsi keluarga. Dalam ruang publik
ia mampu menjadi subyek yang dapat bersaing sehat dengan laki-laki. Kekuatan ini diperoleh
berkat adanya kerja keras mereka sendiri dalam meningkatkan kualitas diri di ruang domestik
dan publik. Peran aktifnya di dua ruang tersebut telah menyumbangkan perubahan besar bagi
kondisi bangsa. Sehingga ketiga iklan ini menampilkan penghormatan tertinggi kepada

perempuan Indonesia atas inisiatif, kemajuan, dan posisinya dalam mayarakat. Sekaligus
membuktikan bahwa banyak hal yang dapat dilakukan perempuan.
Hasil penelitian tentang gender dan media juga ditulis oleh Ummy Hanifah dengan
judul Konstruksi Ideologi Gender Pada Majalah Wanita (Analisis Wacana
Kritis Majalah Ummi)15. Penelitian yang difokuskan pada penelaahan
terhadap artikel-artikel yang berupa feature yang menggambarkan peran
perempuan di sektor publik pada majalah UMMI selama tahun 1990
sampai dengan tahun 2004 ini dilakukan dengan pendekatan yang
digunakan dalam penelitian berasal dari teori isi media yang menyatakan
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terhadap isi media yaitu faktor
individual (wartawan), faktor rutinitas media, organisasi, extra media dan
faktor ideologi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis
wacana kritis dengan pendekatan kualitatif dan konstruktivisme. Teori
yang digunakan ialah teori isi media, konstruksi gender, praktek wacana
media yang meliputi analisis wacana dari Norman Fairclough, analisis
framing. Hasil penelitian menemukan bahwa UMMI mengkonstruksikan
peran ganda kepada pembacanya melalui analisis teks yang dilakukan
serta ideologi media tersebut.
Selain kedua tulisan di atas sebenarnya sudah cukup banyak tulisan
yang terkait dengan isu gender. Bahkan media, baik cetak maupun
elektronik memberikan liputan-liputan khusus atau spesial terhadapnya.
Misalnya acara Oprah secara talkshow di TV Amerika sering menampilkan para ahli yang
berbicara tentang komunikasi gender, majalah populer seperti Essence, Cosmo, dan Sports
Illustrated termasuk yang rutin menurunkan artikel tentang hal-hal yang terkait dengan
gender seperti cara menarik simpati, bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis.16 Ada lagi
jurnal-jurnal yang secara khusus mengatasnamakan gender dan sejenisnya seperti Jurnal
Perenpuan yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan Jakarta yang bekerjasama
dengan United Nations Depelovment Fund for Women (UNIFEM), Majalah Wanita Jakarta,
Majalah Lipstik Jakarta, Majalah Ummi Jakarta, dan sebagainya.
Berdasarkan kedua penelitian di atas dapat dipahami bahwa media
dalam mengkemas berita atau opini tentang gender dan berbagai hal
yang terkait dengannya ingin menunjukkan bahwa memang ia memiliki
suatu agenda tentang isu tersebut. Bahwa isu yang dikembangkan itu bisa
saja berdampak positif terhadap pembaca, dan dapat pula memberikan
dampak yang negatif. Akan tetapi bahwa isu yang dipublis tersebut
sebagai suatu agenda media dalam kaitan dengan fungsinya pemberi
informasi adalah sesuatu yang syarat dengan berbagai rekayasa sosial,
politik, budaya, dan kepentingan ekonomi terutama dari orang-orang yang
berpengaruh di dalam media tersebut.
F.

Kajian Islam
Ketika Islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. pada
hampir empat belas setengah abad yang lalu, membawa angin segar bagi
kaum perempuan. Dimana Islam mengangkat dan memuliakan derajat
dan martabat mereka. Hal ini terbukti, dalam sebuah hadis Nabi
dinyatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, sebagaimana
Jurnal KOMUNIKA Vol. 5 No. 2 Juli – Desember 2011, h. 199-220. Jurnal ini merupakan
Jurnal Dakwah dan Komunikasi Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto.
16
Eadie (ed.), A Reference, h. 371.
15

yang telah dikemukakan pada bahagian pendahuluan di atas. Dalam hadis
lain juga dikatakan bahwa ketika Nabi ditanya siapakah orang yang
pertama-tama harus dihormati, beliau menjawab: ibumu, jawaban itu
terus diulang sampai pada pertanyaan yang ketiga dan terhadap jawaban
yang keempat baru beliau menjawab ayahmu. Demikian tingginya
kedudukan perempuan ditujukan oleh kedua hadis tersebut.
Apabila dicermati, diketahui bahwa Alquran mengungkapkan tiga
prinsip dasar yang terkait dengan relasi perempuan dan laki-laki. Pertama,
perempuan diciptakan dari entita (nafs) yang sama sehingga
kedudukannya sama dan sejajar dengan laki-laki. Sebab di mata Allah
perbedaan keduanya hanya dilihat dari sudut ketakwaannya. Kedua,
perempuan dan laki-laki sama dituntut untuk mewujudkan kehidupan
yang baik dengan melakuklan amal shaleh dan untuk merealisasikan hal
itu perempuan dan laki-laki harus saling membantu satu dengan lainnya.
Ketiga, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk
memperoleh balasan yang setimpal atas kebaikan dan keburukan yang
dilakukan.17
Menurut Haris Luthfi18 kendati ajaran Islam menjunjung tinggiharkat
dan martabat kaum perempuan, namun dalam penafsiran ulama-ulama
tafsir terdapat sejumlah ayat Alquran yang mengindikasikan bahwa Islam
memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki (Q.S.4:34). Para
mufassir menyatakan bahwa kata ‫ ﻗﻭﺍﻣﻮﻥ‬berarti pemimpin, penanggung
jawab, pengatur, pendidik, dan lain-lain. 19 Kategori ini pada dasarnya
tidaklah menjadi persoalan serius, sepanjang ditempatkan secara adil.
Dan tidak didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi, secara
umum para mufassir berpendapat bahwa superioritas laki-laki ini adalah
mutlak, diciptakan oleh Tuhan, sehingga tidak pernah berubah.
Dalam ayat tersebut menurut Atho’ Muzhar, kata ‫ ﻗﻭﺍﻣﻮﻥ‬inilah yang
menjadi tantangan bagi mufassir, apakah boleh diterjemahkan dengan
“mitra kerja” sehingga laki-laki adalah mitra sejajar bagi kaum
perempuan.20 Menurut M. Quraish Shihab, ayat tersebut berbicara
mengenai kepemimpinan dalam rumah tangga. Di mana hak
kepemimpinan menurut Alquran dalam hal ini dibebankan kepada suami.
Pembebanan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarga.21
Walaupun diakui, dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki
kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi
semua itu merupakan kasus yang tidak dapat dijadikan dasar untuk
17

J. Sayuthi Pulungan dan Saleh Pertaonan Daulay, “Posisi Perempuan di Tengah Otonomi
Daerah di Indonesia” dalam Mimbar Hukum, No. 61 Tahun XIV 2003, h. 67.
18
Luthfi, “Upaya...”, h. 5.
19
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKiS, t.th.), h. 21.
20
M. Atho’ Muzhar dan Khiruddin Nst (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), h.199.
21
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Jakarta: Mizan, 1996), h. 310.

menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum. Namun, yang perlu
digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masingmasing pasangan untuk membantu pasangannya.
Lebih lanjut menurut M.Quraish Shihab, dalam ayat lain dinyatakan
bahwa bagi suami itu diberikan derajat yang lebih dari istri. Sebagaimana
di dalam Alquran surat Al-Baqarah/2, ayat 228 Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
dengan cara yang ma’ruf, dan bagi suami terhadap mereka (istri) satu
derajat”.
Lebih lanjut Haris Luthfi menyebutkan bahwa derajat yang paling
tinggi yang dimaksud adalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Dalam
ayat lain juga mengindikasikan bahwa laki-laki superioritas dari pada
perempuan, yaitu ayat yang membicarakan kesaksian (Q.S.2:182). Di
mana nilai kesaksian seorang wanita separoh dari nilai kesaksian laki-laki.
Begitu juga dalam ayat yang berbicara masalah nusuz (Q.S.4:34) di mana
suami diberi hak untuk memukul istrinya apabila tidak taat dan patuh
pada suami. Ini jelas mengarah lebih jauh bahwa laki-laki memang
superior dari perempuan. Begitu juga dengan ayat yang berbicara
mengenai kewarisan (Q.S.4:11).22
Harus diakui bahwa memang di dalam kitab fikih zaman klasik dan
pertengahan kedudukan wanita pada umumnya diperlihatkan sebagai
inferior terhadap laki-laki. Hal ini terjadi sebagian karena pemahaman
penulisnya mengenai ayat Alquran tersebut tidak berani keluar dari
pernyataan sharih. Sebagian lain karena struktur masyarakat di mana
para penulis itu hidup yang sangat kental dengan patriarkhi sehingga
tidak terbayang adanya masyarakat berstruktur matriarkhi dan bilateral.23
Jika dilihat dari substansinya, dapat dikemukakan juga satu riset yang relevan yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Marzuki24 dengan judul Kekerasan Gender Dalam Wacana
Tafsir Keagamaan di Indonesia Dalam Perspektif Islam menunjukkan bahwa secara umum
gambaran kekerasan gender terjadi hampir di semua tempat dan negara di belahan bumi ini,
termasuk di Indonesia, dalam kurun waktu yang cukup lama. Kekerasan gender di kalangan
masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh beredarnya kitab-kitab
fikih yang menunjukkan bias gender (ketimpangan gender) yang berpengaruh pada pola pikir dan
perilaku keagamaan masyarakat Muslim. Di antara faktor penyebab terjadinya kekerasan gender
di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah adanya pengaruh yang begitu kuat dari
hasil penafsiran yang dilakukan oleh para ulama Islam yang bercirikan penafsiran yang parsial,
tidak komprehensif, literal (tekstual), tidak kontekstual, dan banyak dipengaruhi oleh budaya
lokal. Akibatnya, hasil pemahamannya kurang sejalan dengan prinsip-prinsip Alquran yang
sangat menekankan persamaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Adapun upaya yang harus
dilakukan untuk mengatasi kekerasan gender akibat beredarnya kitab-kitab fikih yang bias gender
itu adalah melakukan rekonstruksi dan reformulasi terhadap pemahaman yang dituangkan dalam
kitab-kitab fikih tersebut.
Luthfi, “Upaya...”, h. 6.
Ibid, h. 204. Lihat juga Muhammad, Fiqh, h. 22-23.
24
Dilahirkan di Banyuwangi tanggal 21 April 1966. Menyelesaikan studi S-1 dari Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1990 dan menyelesaikan studi S-2 dari Program
Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997. Mulai tahun
1997 mengambil studi S-3 di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan-tulisan
yang dibuatnya berkisar dalam bidang Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam serta permasalahan
gender dalam perspektif Islam.
22

23

Lebih jauh dikemukakan, rekonstruksi dimulai dari pembongkaran terhadap akar
permasalahan yang muncul dalam penafsiran itu. Setelah itu dilakukan reformulasi dengan
melakukan pemahaman kembali terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi dengan
pendekatan-pendekatan kontekstual, interdisipliner, dan komprehensif, sehingga diperoleh fikih
baru yang benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip Alquran yang menunjukkan adanya
keadilan dan kesetaraan gender.
Dengan pemahaman seperti di atas berarti agama Islam sangat tidak menginginkan
adanya diskriminasi terhadap perempuan yang disebabkan gender. Justru kehadiran Islam ke
permukaan bumi ini adalah untuk mewujudkan terciptanya kasih sayang (rahmah) bagi sekalin
alam. Hal ini berarti juga jika persamaan (musawah) sebagai bagian dari kasih sayang, maka itu
harus diwujudkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Berbagai prinsip yang terkait dengan
upaya mewujudkan rahmah terutama jika dikaitkan dengan gender adalah konsep-konsep
al-‘adalah (keadilan), al-musawah (persamaan), ar-rahmah (kasih sayang), al-musyawakah
(berserikat), al-musyawarah (bermusyawarah), dan sebagainya.

G. Penutup
Sebagai penutup kajian ini, penulis ingin mengemukakan bahwa keseimbangan dalam
kehidupan ini adalah sesuatu yang alami dan indah bila dilihat sebagai sebuah keniscayaan.
Suatu keniscayaan tentu tidak bisa ditawar-tawar, sebab apabila hal itu diabaikan, maka yang
terjadi justru munculnya kerusakan (fasad). Demikianlah halnya dengan gender. Bila term ini
memang hanya sebagai rekonstruksi sosial, budaya, politik, dan kemasyarakatan untuk
kemudian ditarik-tarik ke ranah agama tertentu, maka tentu harus diupayakan untuk
dihilangkan, sekalipun untuk itu sangat sulit, di mana pro dan kontra sesuatu yang lazim akan
muncul.
Bagi agama Islam, kesetaraan dan keadilan gender—minus penghilangan identitas
kodrati—adalah sebagai misi kehadirannya (raison d’etre) dalam ruang global. Akan tetapi
memang dalam sejarah penafsiran terhadap teks-teks yang terkait dengan isu gender tidak
luput dari upaya menguntungkan pihak laki-laki, itu suatu fenomena. Namun demikian,
banyak kalangan justru sudah menggugat penafsiran yang bias gender dan terkesan misogini
tersebut untuk kemudian diarahkan kepada penafsiran kontemporer. Tentu saja untuk tujuan
ini dibutuhkan penafsiran interdisipliner. Mudah-mudahan tercapai, Amin !!!
H. Referensi
Eadie, William F. (ed.), A Reference Handbook Communication 21st Century, Volume 1. New
York: San Diego State University, 2009.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Hashim, Ruzy Suliza. “Meniti Duri dan Ranjau: Pembikinan Gender dan Seksualiti dalam
Konteks Dunia Melayu” dalam Majalah Sari No. 24 tahun 2006.
Herdianto, Kukuh. “Media Sebagai Alat Propaganda Politik” dalam http://belajarkomunikasi.blogspot.com/2011/02/media-sebagai-alat-propaganda-politik.html,
diakses tanggal 13 Juli 2012 pukul 14.58 WIB.
Hermawati, Tanti. “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender” dalam Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 1, No. 1, Juli 2007.
Jurnal KOMUNIKA Vol. 5 No. 2 Juli – Desember 2011.
Kholil, Syukur. Komunikasi Islami. Bandung: Citapustaka Media, 2007.
Littlejohn, W. dan Foss, Karen A. Theories of Human Communication, 9th ed (Teori
Komunikasi) (terj.) Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Luthfi, Haris. “Upaya Kesetaraan Gender Dalam Rumusan Kodifikasi Hukum Keluarga di
Dunia Islam” dalam http://sumberpencarianartikel.info/ ebook-upaya-kesetaraan-

gender-dalam-rumusan-kodifikasi-hukum-keluarga-di-dunia-islam.pdf, diakses pada
tanggal 13 Juli 2012 pukul 15.08 WIB.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender.
Yogyakarta: LKiS, t.th.
Muzharm M. Atho’. dan Khiruddin Nst (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Pulungan, J. Sayuthi. dan Daulay, Saleh Pertaonan. “Posisi Perempuan di Tengah Otonomi
Daerah di Indonesia” dalam Mimbar Hukum, No. 61 Tahun XIV 2003.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur`an. Jakarta: Mizan, 1996.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`an. Jakarta: Paramadina,
2001.
UNESCO, Guidelines for Preparing Gender responsive EFA Plans. 2002.