Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Likuiditas Saham, Dan Diversifikasi Usaha Terhadap Pertumbuhan Dan Nilai Perusahaan

Terhadap Pertumbuhan Dan Nilai Perusahaan

(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

Oleh :

Muspa

Dosen STIM Nitro Makassar

ABSTRACT

This research is intended to examine the significancy influence of ownership concentration, Liquidity of Security, and Diversification to the Growth, and Value of the Firm’s in Manufturing industries at Indonesian Stock Exchange.

This research uses explanatory design with secondary data in manufacturing companies at Indonesian Stock Exchange. Sample is totaled at 20 companies by using purposive method sampling for 6-years observations; therefore, total number of observation is 120.

Model used in this research is path analyisis. This basic model intended to analyze the path in estimating strengths of causal relationship both directly and indirectly between exogen and endogen variables.

The result of this research has shown that; (1) ownership concentration influences directly and significan to value of company, but does not influence significantly to growth. (2) Liquidity of security influence directly and significan to growth, but does not influence significantly to value of the firm. (3) Diversification influences directly and significan to growth, but does not influence significantly to value of the firm. (4) Growth influences directly and significant to value of company.

Key words : Ownership Concentration, Liquidity, Diversification, Growth, and Value of the Firm’s

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pasar saham memiliki peran yang penting bagi perusahaan. Sebagai suatu pasar, pasar saham tentunya terdiri atas dua pemain utama yaitu pembeli dan penjual. Pihak pembeli adalah pihak yang ingin menginvestasikan modalnya ke suatu perusahaan yang dianggap menguntungkan atau mendatangkan manfaat di masa depan. Manfaat ini dapat berupa keuangan (Capital Gain dan dividend) maupun non keuangan (hak suara atau kepemilikan di suatu perusahaan). Pihak perusahaan akan menjual sahamnya dengan motivasi untuk memperoleh dana segar guna membiayai investasi atau operasi perusahaan.

Pasar saham di Indonesia (Bursa Efek Indonesia) mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Secara historis perkembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 1. Beberapa Indikator Bursa Efek IndonesiaTahun 2004 – 2009

Tahun

Indikator

2009 Jumlah emiten

2,534,356 Jumlah saham yang

1,467,659 diperdagangkan (Jutaan saham) Nilai transaksi

975,135 (Triliun rupiah)

Sumber : BAPEPAM dan Bursa Efek Indonesia

Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk sejumlah emiten mengalami perubahan yang kecil,yang berarti bahwa masih sedikit perusahaan melakukan initial public offering (IPO) atau pencatatan baru di pasar modal. Namun, jika dilihat dari indeks harga saham gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007. Namun tahun 2007 sampai tahun 2009 cenderung mengalami penurunan. Demikian juga pada jumlah saham yang diperdagangkan cenderung mengalami kenaikan, hanya tahun 2008 mengalami penurunan. Sedangkan nilai transaksinya juga mengalami kenaikan kecuali tahun 2009 mengalami penurunan.

Selain indikator pada Tabel 1, banyak elemen atau hal yang berkaitan dengan kondisi pasar modal Indonesia. Antara lain; Pertama, banyak saham tidur (Sliping Stock). Artinya, banyak saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak aktif diperdagangkan. Banyaknya saham tidur memberikan dampak pada pola transaksi dan ramainya transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti.. Kedua, ada perusahaan yang memiliki banyak segmen bisnis sedangkan ada juga yang hanya memiliki satu segmen bisnis saja. Ketiga, adanya variasi yang cukup tajam atas karakteristik besaran perusahaan. Ada perusahaan yang memiliki asset Selain indikator pada Tabel 1, banyak elemen atau hal yang berkaitan dengan kondisi pasar modal Indonesia. Antara lain; Pertama, banyak saham tidur (Sliping Stock). Artinya, banyak saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak aktif diperdagangkan. Banyaknya saham tidur memberikan dampak pada pola transaksi dan ramainya transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti.. Kedua, ada perusahaan yang memiliki banyak segmen bisnis sedangkan ada juga yang hanya memiliki satu segmen bisnis saja. Ketiga, adanya variasi yang cukup tajam atas karakteristik besaran perusahaan. Ada perusahaan yang memiliki asset

Salah satu penyebab rendahnya kinerja keuangan adalah tingginya hutang. Tingginya hutang akan menambah beban perusahaan dan itu berarti leverage semakin tinggi. Semakin tinggi leverage maka pertumbuhan di masa depan akan menurun (Lang, et, al., 1999). Tingginya leverage akan menurunkan kinerja perusahaan (Krishnan dan Moyer, 2000). Hal ini menjadi penting karena karena hutang memiliki hubungan negative dengan shareholder value (Lie, Lie and McConnel, 2001). Hutang juga akan mempengaruhi likuiditas perusahaan karena merupakan beban yang harus ditanggung. Semakin tinggi hutang, semakin rendah likuiditas dan semakin rendah market value perusahaan (Cornell and Liu, 2001).

Likuiditas saham menjadi hal penting bagi nilai perusahaan karena ketersediaan saham di pasar dan banyaknya saham yang diperdagangkan secara aktif akan memudahkan transaksi di pasar. Kemudahan ini akan mengundang investor baik dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya di perusahaan. Tentunya investor atau pemodal yang menginginkan return dari penjualan saham akan memilih saham yang likuid karena mudah dijual atau dibeli. Dari sisi perusahaan, saham yang likuid akan menampakkan nilai perusahaan yang sebenarnya karena terus dievaluasi oleh pasar. Jadi nilai perusahaan akan mencerminkan harga yang wajar. Di samping itu ada juga aturan dari pasar modal yang akan memberikan peringatan kepada perusahaan bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada aktivitas perdagangan saham.

Dampak diversifikasi usaha terhadap nilai perusahaan juga memiliki dua sudut pandang yang berbeda. Villalonga (2004), berpendapat terdapat debat atas hubungan diversifikasi usaha dengan nilai perusahaan. Ia mengklasifikasikan dalam dua bentuk hubungan yaitu positif dan negatif. Pendapat ini juga sesuai dengan Martin dan Sayrak (2003). Diversifikasi akan meningkatkan nilai perusahaan jika manajemen mampu mendatangkan keuntungan bagi perusahaan dimasa depan. Artinya manajemen dapat memilih atau mengembangkan segmen bisnis yang tepat. Dampak akan negatif jika terjadi sebaliknya.

Dampak leverage terhadap nilai perusahaan dapat diterangkan oleh teori keagenan. Garvey and Hanka (1999), model struktur modal mengasumsikan bahwa manajer memilih struktur modal untuk kepentingan pemegang saham. Pada situasi ini maka struktur modl akan meningkatkan nilai perusahaan (positif). Namun kenyataan manajer sering bertindak atas dasar kepentingan diri sendiri dan tidak memaksimalkan kekayaan pemegang saham.

Manajemen seringkali bertindak bukan memaksimalkan kekayaan pemegang saham yang konsekuensinya akan menurunkan nilai perusahaan. Berge et. al., (1997), menyatakan eksekutif perusahaan cenderung menggunakan lebih banyak hutang ketika diperhadapkan pada ancaman kontrol. Jadi dualitas dalam penggunaan hutang yaitu untuk menghindari penerbitan saham baru yang dapat mengurangi porsi kepemilikan saham manajemen, namun dipihak lain akan mempertinggi risiko kebangkrutan. Kedua Manajemen seringkali bertindak bukan memaksimalkan kekayaan pemegang saham yang konsekuensinya akan menurunkan nilai perusahaan. Berge et. al., (1997), menyatakan eksekutif perusahaan cenderung menggunakan lebih banyak hutang ketika diperhadapkan pada ancaman kontrol. Jadi dualitas dalam penggunaan hutang yaitu untuk menghindari penerbitan saham baru yang dapat mengurangi porsi kepemilikan saham manajemen, namun dipihak lain akan mempertinggi risiko kebangkrutan. Kedua

Di samping kesenjangan empiris dan logika atau argument dasar, terdapat juga kesenjangan teoritis yang lain yaitu perbedaan teori struktur modal dari Modigliani and Miller (1958) dengan Teori Keagenan dari Jensen and Meckling (1976). Menurut teori MM, struktur modal atau leverage tidak akan mempengaruhi nilai perusahaan. Sedangkan teori keagenan dalam konsep agency cost of debt, struktur modal atau leverage signifikan mempengaruhi nilai perusahaan.

Berdasarkan kesenjangan empiris dan teoritis maka penelitian ini mengangkat masalah sebagai berikut :

• Apakah likuiditas saham berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan manufaktur yang go public di Indonesia ?

• Apakah diversifikasi usaha berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan manufaktur yang go public di Indonesia ?

• Apakah pertumbuhan perusahaan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur yang go public di Indonesia ?

• Apakah likuiditas saham, diversifikasi usaha, dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia ?

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Diversifikasi Portofolio (Kane and Buser, 1979)

Teori ini pada awalnya dikembangkan oleh Harry M. Markowitz, yang memiliki prinsip dasar bahwa semakin banyak saham yang masuk dalam suatu portofolio (keranjang) maka semakin rendah risiko tidak sistematis portofolio tersebut. Hal ini disebabkan adanya efek saling eliminasi atas risiko tidak sistimatis antar saham. Jika portofolio yang dibentuk optimal maka return akan maksimal.

Teori diversifikasi portofolio yang dikembangkan Kane dan Buser (1979) merupakan pengembangan teori seleksi portofolio dari Markowitz. Teori ini lebih menekankan pada kajian biaya dan manfaat dari diversifikasi serta menggunakan diversifikasi asset (yang lebih luas dibandingkan diversifikasi saham). Teori ini menyatakan keputusan untuk membentuk diversifikasi atas portofolio bertujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Jika diversifikasi memaksimalkan nilai perusahaan maka diversifikasi itu disebut diversifikasi yang memiliki manfaat (benefit). Jika diversifikasi itu tidak memaksimalkan nilai perusahaan maka diversifikasi itu disebut diversifikasi yang memiliki biaya (cost).

Perusahaan atau manajer yang rasional akan membentuk diversifikasi atas portofolio yang memaksimalkan nilai perusahaan. Dan oleh karenanya, alokasi Perusahaan atau manajer yang rasional akan membentuk diversifikasi atas portofolio yang memaksimalkan nilai perusahaan. Dan oleh karenanya, alokasi

Teori ini dapat diaplikasikan untuk menjelaskan diversifikasi usaha atau bisnis. Penciptaan atau masuknya perusahaan ke suatu lini bisnis baru yang berhubungan atau tidak dengan bisnis intinya, tetap akan menggunakan prinsip-prinsip diversifikasi portofolio. Artinya setiap lini bisnis baru yang dimasuki harus memiliki marginal return lebih besar dari marginal cost. Atau jika perusahaan go public maka setiap keputusan menambah atau mengurangi lini bisnis haruslah meningkatkan nilai perusahaan. Pada kondisi ini maka diversifikasi bersifat benefit.

Teori ini dapat memberikan landasan logika atau penjelasan atas ; pertama, hubungan diversifikasi usaha dengan nilai perusahaan (jika diversifikasi dikelola secara efisien maka nilai perusahaan akan meningkat). Kedua, besaran perusahaan dengan diversifikasi usaha (semakin besar sumberdaya perusahaan maka semakin mampu perusahaan menambah unit diversifikasinya dalam portofolio lini usahanya).

Teori Penilaian Perusahaan

Longbrake (1972), mendefinisikan nilai perusahaan (value of a firm) sebagai investor expectation about the effect of the firm’s investment and financial policy. (nilai perusahaan adalah harapan investor atas dampak kebijakan investasi dan keuangan perusahaan).

Teori ini menjelaskan bahwa nilai perusahaan adalah fungsi dari dividend dan tingkat return dari suatu ekuitas. Pada dasarnya, teori ini menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan hasil penilaian dan harapan investor atas saham perusahaan di pasar modal. Seorang investor akan menentukan nilai sekarang (present value) dari suatu ekuitas (sekuritas) dengan menspesifikasikan harapannya atas perubahan asset dan kewajiban suatu perusahaan. Untuk kebijakan keuangan, dikaji pada dua dampak pentingnya, yaitu laba dan risiko.

Teori ini dapat memberikan landasan logika atau penjelasan atas: pertama, besaran perusahaan (yang mencerminkan total asset) akan mempengaruhi kebijakan keuangan perusahaan dan mempengaruhi nilai perusahaan. Kedua, struktur modal (komposisi total asset terhadap total liabilities) akan mempengaruhi nilai perusahaan dan juga akan dipengaruhi oleh besaran perusahaan. Ketiga, laba dan dividen (komponen inti dari free cash flow) akan mempengaruhi nilai perusahaan dan juga dipengaruhi oleh besaran perusahaan. Perbedaan karakteristik atau pola kebijakan atau pola keputusan keuangan dan dividen.

Likuiditas Saham

Downes dan Goodman (1994), dalam kamus istilah keuangan dan investasi mengartikan liquidity (likuiditas) sebagai ciri suatu sekuritas atau komoditas dengan cukup banyak unit yang beredar sehingga memungkinkan adanya transaksi dalam jumlah besar tanpa mengakibatkan penurunan harga yang berarti. Sebab itu saham, obligasi, atau komoditas yang memiliki peredaran saham besar, cukup mempunyai Downes dan Goodman (1994), dalam kamus istilah keuangan dan investasi mengartikan liquidity (likuiditas) sebagai ciri suatu sekuritas atau komoditas dengan cukup banyak unit yang beredar sehingga memungkinkan adanya transaksi dalam jumlah besar tanpa mengakibatkan penurunan harga yang berarti. Sebab itu saham, obligasi, atau komoditas yang memiliki peredaran saham besar, cukup mempunyai

Defenisi likuiditas dari Downers dan Goodman (1994) menunjukkan bahwa konsep dasar dari likuiditas saham adalah perdagangan saham. Saham dikatakan likuid jika dapat diperdagangkan secara cepat, berbiaya kecil dan jumlah yang besar serta pada harga yang adil atau wajar. Ogden et. al, (2003), Liquidity of a security is defined in terms of an investors ability to buy or sell the security quickly, at a low transaction cost and at a price that reflect its fair market value. (Likuiditas suatu sekuritas didefenisikan sebagai suatu kemampuan investor untuk membeli atau menjual sekuritas secara cepat pada biaya transaksi yang rendah dan pada suatu harga yang mencerminkan nilai pasar yang wajar atau adil).

Goldreich et. al, (2004), liquidity is the ability to quickly and cheaply trade an asset at a fair price, is thought to be an important element that effects the value of securities. (likuiditas saham adalah kemampuan untuk secara cepat dan murah memperdagangkan suatu asset pada suatu harga wajar atau adil. Likuiditas saham adalah elemen penting yang berpengaruh pada nilai perusahaan).

Defenisi dari Goldreich et. al, (2004), mirip dengan defenisi likuiditas oleh Hotchkiss et. al, (2002), liquidity is defined as the ability to trade quickly at a low cost. (likuiditas saham didefenisikan sebagai kemampuan untuk memperdagangkan secara cepat dan rendah biaya). Dan defenisi dari Downing et. al, (2005), liquidity as the term is used in finance, generally refers to the ability to trade large volumes of asset quickly, at low cost, with little price impact. This much seem relatively non-controversial. (Likuiditas saham yang digunakan dalam keuangan, umumnya menyangkut kemampuan untuk memperdagangkan sejumlah besar volume asset secara cepat, dengan biaya rendah, dengan sedikit pengaruhnya pada harga. Defenisi ini lebih kelihatan relative tidak kontroversial).

Defenisi-defenisi yang telah dikemukakan, juga merujuk pada pentingnya volume perdagangan saham dalam defenisi likuiditas saham. Sehingga banyak peneliti yang mengukur likuiditas berdasarkan analisis volume perdagangan saham. Namun dalam penelitian, ukuran dari likuiditas bermacam-macam. Chollete dan Naes (2006), We use the four dimensions of liquidity suggested by Harris (1990), width, immediacy and resiliency. Width measures the cost per share of liquidity and is often proxied by the spread. Depth is the number of shares that can be traded at a certain price. Immediacy captures how quickly a given number of shares can be traded at a given cost and resiliency is a measure of the ability to trade at minimal price impact. (Kami menggunakan empat dimensi likuiditas saham yang disarankan oleh Harris (1990) yaitu width, depth, immediacy, and resisliency. Width, mengukur biaya per saham dari likuiditas. Depth, adalah jumlah saham yang dapat diperdagangkan pada tingkat harga tertentu. Immediacy, menangkap seberapa cepat suatu jumlah saham dapat diperdagangkan pada tingkat biaya tertentu. Dan Resiliency, adalah suatu ukuran dari kemampuan untuk memperdagangkan saham yang hanya berdampak kecil pada harganya.

Ma (2003), berpendapat stock trading volume, or equivalent stock turnover has been studied intensively in the finance literature. Turnover has been used as a proxy for heterogeneous belief among investors. (volume perdagangan saham, atau identik dengan perputaran saham telah diteliti secara luas dalam literature keuangan. Perputaran saham telah digunakan sebagai taksiran untuk perbedaan kepercayaan antar investor).

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Chordia et. al, (2001), we proxy for liquidity by two measures of trading activity : dollar trading volume and share turnover. Trading volume is an important determinant of the measure of liquidity. (kami menaksir likuiditas dengan dua ukuran aktivitas perdaangan yaitu nilai dollar dari volume perdagangan dan perputaran saham).

Sedangkan alasan penggunaan perputaran saham dinyatakan oleh Levine dan Schmukler (2006), Turnover and similar trade-based indicators, are frequently used to proxy for liquidity since past research identifies a strong link between turnover and firm performance. (perputaran saham, sama dengan indicator berbasis perdagangan, seringkali digunakan untuk memproxy likuiditas saham sejak adanya penelitian masa lalu yang mengidentifikasi suatu hubungan kuat antara perputaran saham dengan kinerja perusahaan).

Likuiditas saham menyangkut aspek pasar, yaitu mengenai ketersediaan saham suatu perusahaan di pasar. Indikator penting dari suatu saham yang liukid adalah besarnya prosentase saham yang diperjualbelikan di pasar dibandingkan dengan saham beredar suatu perusahaan. Lipson dan Mortal (2003) mengatakan more importantly, liquidity improvement are associated with increase analyst coverage, market making, trading activity, breadth ownership, and operation focus. (hal yang sangat penting bahwa perbaikan likuiditas (saham) dihubungkan dengan peningkatan dari cakupan para analis, penciptaan pasar, aktivitas perdagangan saham, tersebarnya kepemilikan saham dan fokus operasi).

Beberapa pendapat tadi memberikan dasar logis dari sisi dampak atas likuid atau tidaknya suatu saham perusahaan memiliki konsekuensi terhadap nilai dan struktur kepemilikan saham suatu perusahaan. Konsep ini akan memberikan pemahaman dan dasar analisis atas keterkaitan besaran perusahaan, likuiditas saham dan nilai perusahaan dalam model penelitian.

Penelitian Myers and Raghuram (2003) menyatakan bahwa easier to raise external finance (debt financing) more liquid assets. The liquidity of asset mean ease with which it can be traded. Demikian dengan hasil penelitian Morrellect (2001) Greater liquidity increase credit spread on corporate debt and reduce optimal leverage. Asset liquidity may help explain leverage ratios. Chordia et al., (2000) juga menyatakan

Hasil penelitian Blease and Donna (2003) yang menyatakan liquidity enhance growth opportunities. Growth rats in capital expenditure as matched firms in the three years proceeding index addition indicating…..liquidity improvement. Demikian dengan hasil penelitian Graham (2004) liquidity is required to meet operating and growth need. Myers and Raghuram (2003) liquidity and zise (growth) have the more intuitive relationships to each other than any of the other variables employed.

Hasil penelitian Dennis and Gregory (1994) menyatakan bahwa nonsynchronous trading introduces return measurement error…trading process lead to price adjustment delays. Demikian hasil penelitian Graham (2004) yang menyatakan bahwa noevidence on the impact of liquidity enhancement on firm value.

Demikian dengan Bebchuk (1999) large fraction of cash flow rights might reduce liquidity and make the market price a less informative signal of value and large fraction of cash flow rights involve significant risk-bearing cost and liquidity cost. Artinya porsi kepemilikan atas cash flow yang besar akan mengurangi likuiditas (saham) dan membuat harga pasar menjadi signal informasi yang lemah terhadap nilai perusahaan dan porsi kepemilikan atas cash flow yang besar akan mencakup biaya risk bearing dan biaya likuiditas.

Penelitian Bloomfield and Gideon (2005) yang menyatakan bahwa they take liquidity when the value of their information is hight. Demikian dengan Atanasov et al., (2005) yang menyatakan increase in stock market and liquidity suggest that controlling shareholder have shifted from financial tunneling (expropriate) to less value-destroying methods, such as transfer pricing, to extract wealth from firm. Artinya peningkatan dalam pasar saham dan likuiditas menyebabkan pemegang saham utama akan berpindah dari pencaplokan keuangan ke metode yang tanpa mengahncurkan nilai (hubungan positif), misalnya pada penetapan harga transfer, guna mengambil/memeras kekayaan dari perusahaan.

Bebchuk (1999), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa ….reduce liquidity make the market price a less informative signal of value. (penurunan likuiditas (saham) membuat harga pasar menjadi signal informasi yang lemah terhadap nilai perusahaan).

Argumen dari pendapat Bebchuk (1999) adalah semakin rendah likuiditas maka semakin rendah nilai pasar sehingga semakin rendah nilai perusahaan dan kebalikannya semakin tinggi likuiditas maka semakin tinggi nilai pasar dan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Karena bagi pasar atau investor, saham yang semakin likuid akan semakin memberikan signal informasi yang penuh atas nilai perusahaan. Ini berarti harga pasar suatu saham akan semakin mengandung keselerasan informasi (symmetric information) yaitu keselarasan antara informasi yang ada di perusahaan dengan informasi yang dimiliki investor. Saham-saham yang memiliki keselarasan informasi akan semakin direspon positif oleh pasar sehingga nilai pasar perusahaan akan semakin tinggi. Kebalikannya, saham yang semakin tidak likuid akan semakin tidak memberikan signal informasi yang penuh atas nilai perusahaan. Ini berarti harga pasar suatu saham akan semakin tidak mengandung keselarasan informasi (semakin asymmetric information) yaitu semakin tinggi ketidakselarasan informasi yang ada di perusahaan dengan informasi yang dimiliki investor.. Saham-saham yang tidak memiliki keselarasan informasi akan semakin direspon negatif oleh pasar sehingga nilai pasar perusahaan akan semakin rendah.

Eleswarapu and Krishnamurti (2004), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa the information content of stock price improve with the liquidity of the secondary market. In a liquid market, speculator will devote more resources on monitoring since they will realize more of the potential gains. (kandungan informasi dari saham Eleswarapu and Krishnamurti (2004), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa the information content of stock price improve with the liquidity of the secondary market. In a liquid market, speculator will devote more resources on monitoring since they will realize more of the potential gains. (kandungan informasi dari saham

Argumen dari pendapat Eleswarapu and Krishnamurti (2004) mirip dengan pendapat dari Bebchuk (1999) dalam hal kandungan informasi atas harga saham dari saham-saham yang likuid. Yang pada dasarnya menyatakan semakin likuid suatu saham maka semakin tinggi kandungan informasi dari harga saham sehingga semakin tinggi nilai perusahaan. Namun Eleswarapu and Krishnamurti (2004) menambahkan penjelasannya dari sisi investor khususnya spekulan. Semakin tinggi likuiditas saham semakin tinggi nilai perusahaan karena semakin tinggi gain yang ingin diperolehnya. Untuk mencapai gain atau return ini, para spekulan rela mengeluarkan dana yang lebih besar. Dari sisi perdagangan atau transaksi saham, ini berarti akan menyebabkan harga saham menjadi lebih tinggi dan konsekuensinya adalah nilai perusahaan akan semakin tinggi. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin likuid suatu saham maka semakin tinggi nilai perusahaan tersebut.

Tadesse (2000), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa greater liquidity implies more and better information-price reflect information about the firm and its investment prospect more accurately. Also, increase market activity promotes more information gathering, which in turn, increases the information content of stock prices or firm value. Increased information flow in to the market improve the information content of stock prices. Artinya semakin besar likuiditas mengimplikasikan lebih banyak dan lebih baik informasi harga yang merefleksikan informasi terhadap perusahaan dan prospek investasi yang lebih akurat. Juga, peningkatan aktivitas pasar akan mempromosikan lebih banyak informasi yang terkumpul, yang akhirnya akan meningkatkan informasi yang terkandung dalam harga saham atau nilai perusahaan. Peningkatan dalam aliran informasi ke pasar akan meningkatkan isi informasi dari harga saham.

Logika dari pendapat Tadesse (2000) mirip dengan Bebchuk (1999) yang melihat hubungan positif antara likuiditas saham dengan nilai perusahaan disebabkan kandungan informasi pada harga saham. Hal ini disebabkan semakin likuid suatu saham maka semakin tinggi dan akurat kandungan informasi perusahaan dan proyek-proyek investasinya. Secara logis kandungan informasi ini akan memberikan dampak positif atas persepsi investor. Karena arus informasi ini akan meningkatkan kandungan informasi pada harga saham. Peningkatan ini akan meningkatkan nilai pasar saham perusahaan dan berarti peningkatan nilai pasar perusahaan. Pada pendapat ini juga diuraikan tentang dampak likuiditas saham yaitu pada peningkatan aktivitas pasar (aktivitas transaksi atau perdagangan) dari saham tersebut. Peningkatanaktivitas transaksi atau pasar terhadap saham perusahaan akan menunjukkan peningkatan dalam likuiditas saham. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi likuiditas saham maka semakin tinggi nilai pasar perusahaan.

Cox and Roden (2002), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa large of liquidity should result in relatively higher market value for low-vote Cox and Roden (2002), berpendapat bahwa hubungannya adalah positif. Mereka berargumen bahwa large of liquidity should result in relatively higher market value for low-vote

Logika dari pendapat Cox and Roden (2002), didasari pada klasifikasi saham berdasarkan hak suara. Peningkatan dalam likuiditas saham akan meningkatkan nilai pasar untuk low-vote stock. Hal ini disebabkan karena saham dengan hak suara yang rendah (tidak ada) lebih banyak tersedia di pasar. Sehingga meningkatkan permintaan atas jenis saham ini. Dan konsekuensinya harga atau nilai saham akan meningkat.

Baker and Stein (2002), berpendapat bahwa hubungannya adalah negatif. Mereka berargumen bahwa an unusually liquid market is one in which pricing is being dominated by irrational investors, who tend to under react to the information embodied in either order flow or equity issue. Thus high liquidity is a sign that the sentiment of these irrational investor is positive and that expected returns are therefore abnormally low. (Suatu pasar yang tidak likuid \, penetapan harga akan didominasi oleh investor yang tidak rasional, yang cenderung mengabaikan informasi atas order flow dan penerbitan equity. Tingginya likuiditas adalah tanda bahwa sentiment dari investor yang tidak relevan adalah positif dan return yang diharapkan secara tidak normal menjadi rendah).

Argumen dari pendapat Baker and Stein (2002) adalah semakin likuid suatu saham maka semakin rendah nilai perusahaan. Menurut mereka hal ini disebabkan karena rendahnya expected return ketika pasar likuid. Alasan mereka adalah jika likuiditas suatu saham itu tinggi maka akan terdapat sentiment investor yang tidak rasional (irrational). Sentimen yang tidak rasional ini akan menyebabkan return yang diharapkan menjadi lebih rendah, artinya harga saham akan turun. Jika harga saham turun maka nilai perusahaan akan turun. Biasanya kondisi ini ditandai dengan penjualan saham secara besar-besaran. Mereka menyebutnya “over react”. Kelebihan bereaksi ini dapat menyebabkan nilai saham menurun karena banyaknya aksi menjual saham. Jadi semakin likuid suatu saham maka nilai perusahaan akan menurun dan sebaliknya semakin tidak likuid suatu saham maka nilai perusahaan akan tinggi (karena tidak adanya sentiment dan over react dari investor).

Diversifikasi Usaha

Downes dan Goodman (1994) dalam kamus istilah keuangan dan investasi, mengartikan diversification (diversifikasi) sebagai (1) menyebar risiko dengan menempatkan aktiva dalam beberapa kelas investasi-saham, obligasi, instrument pasar uang dan logam mulia misalnya, atau dalam berbagai industry, atau dalam suatu dana bersama, dengan kisaran luas saham dalam suatu portepel, (2) pada tingkat perseroan, masuk ke dalam wilayah-wilayah bisnis yang berbeda, seperti yang dilakukan oleh konglomerat.

Defenisi lain disampaikan oleh Weston, et. al, (1990), diversification is holding asset whose return are not perfectly correlated (diversifikasi adalah asset yang dimiliki dimana pendapatannya tidak berkorelasi sempurna dengan asset lainnya). Kedua defenisi di atas memberikan dasar pengertian diversifikasi sebagai kepemilikan lini bisnis atau segmen bisnis yang berbeda dari perusahaan. Memang salah satu indikator suatu lini bisnis Defenisi lain disampaikan oleh Weston, et. al, (1990), diversification is holding asset whose return are not perfectly correlated (diversifikasi adalah asset yang dimiliki dimana pendapatannya tidak berkorelasi sempurna dengan asset lainnya). Kedua defenisi di atas memberikan dasar pengertian diversifikasi sebagai kepemilikan lini bisnis atau segmen bisnis yang berbeda dari perusahaan. Memang salah satu indikator suatu lini bisnis

Doukas dan Pantalis (2003) menggunakan proxy diversifikasi dengan number of business segments (SEGNUM). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Lang dan Stulz (1994), the third measure (diversification measure) is simply the number of segments, a firm becomes more diversified as its number of segments increase. (ukuran diversifikasi ketiga adalah jumlah segmen bisnis perusahaan). Sedangkan pendapat Yermack (1996), mengukur diversifikasi dengan the number of business segments for which financial statement data is reported. (jumlah segmen bisnis yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan).

Pendapat lain juga disampaikan oleh Jelinek dan Stuerke (2004), for each firm, we count the number of segments for which the firm reports sales as a proxy for diversification. (untuk setiap perusahaan, kami menghitung jumlah segmen dimana perusahaan melaporkan penjualan sebagai suatu taksiran atas diversifikasi). Kim dan Lee (2000) to measure the degree of diversification, we use the number of business segments. (untuk mengukur tingkat diversifikasi, kami menggunakan jumlah segmen bisnis perusahaan). Serta Graham dan Lemmon (2000), note that much of the existing literature defines diversification based on the number of reported segments. (perlu dicatat bahwa banyak literatur yang ada mendefenisikan diversifikasi berdasarkan jumlah segmen bisnis yang dilaporkan).

Ogden et. al, (2003), the four-digits SIC Code defines a firm’s main business segment and therefore provides a more precise description of a firm’s main line of business. (empat digit SIC Code, mendefenisikan segmen bisnis utama perusahaan dan memberikan deskripsi lebih tepat atas lini bisnis utama suatu perusahan).

Penggunaan data segmen bisnis untuk mengukur diversifikasi juga dapat digunakan untuk menilai dampak diversifikasi pada nilai perusahaan. Berger dan Ofek (1995), we use segmen-level data to estimate the valuation of diversification and to examine the potentioal sources of value gains and losses. (kami menggunakan data tingkat segmen untuk mengestimasi penilaian atas diversifikasi dan untuk menilai sumber potensial keuntungan dan kerugian atas nilai perusahaan). Pendapat lain dari Villalonga (2004), to asses the effect of corporate diversification on fimr value, it is therefore crucial to measure diversification correctly in the first place, we use of segment data for this purpose. (untuk menaksir pengaruh diversifikasi perusahaan terhadap nilai perusahaan, maka penting untuk mengukur diversifikasi secara benar pertama kalinya, kami menggunakan data segmen bisnis untuk tujuan ini).

Diversifikasi usaha merupakan salah satu konsep yang banyak digunakan dalam kerangka keagenan. Fungsi utama dari konsep ini adalah melihat dampak lini usaha atau segmen bisnis. Doukas dan Pantzalis (2003), mendefenisikan diversifikasi usaha sebagai number of business segment . Hal senada juga disampaikan oleh Downes dan Goodman (1995), mendefenisikan diversifikasi sebagai masuknya perusahaan ke dalam wilayah- wilayah bisnis yang berbeda, seperti dilakukan konglomerat.

Dalam teori keagenan, keputusan untuk membuka atau menambah segmen bisnis dikaji dalam dua sudut pandang. Pertama, dari diversifikasi usaha dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kedua, diversifikasi usaha justru menghancurkan nilai perusahaan.

Pada konteks bahwa diversifikasi menghancurkan nilai perusahaan, ada dua argument yang mendasar yaitu (1) managerial discretion (keputusan yang semau-maunya dari manajemen) (2) subsidi silang yang tidak berarti. Jika keputusan diversifikasi akan menghancurkan nilai perusahaan, maka tentunya akan menjadi beban bagi pemilik atau pemegang saham. Namun tetap menguntungkan manajer karena ia mengelola bisnis yang bercakupan luas. Ini merupakan konflik antara manajer dan pemilik. Konflik ini timbul karena adanya perbedaan tujuan atas diversifikasi.

Hasil penelitian Berger and Eli (1995) menyatakan diversified firms has greater debt capacity… Thus, diversified firm are predicted to have higher leverage. Demikian dengan hasil studi Berger and Eli (1995) diversification may be mitigated by increase debt capacity. Namun menurut Berger and Eli (1995) pula bahwa combining business with imperfectly correlated earning stream increase debt capacity, increase debt by 1% of asset des not appear economically significant.

Demikian hasil penelitian Mansi and David (2002) shareholder losses in diversification are a function of firm leverage. Xuejing Xing (2003) firm diversify to achieve greater debt capacity. Penelitian Denis and Denis (1993), menguji tentang dampak highly leverage transaction (HLT) pada managerial discretion atas kebijakan investasi dengan menggunakan 39 proposal atas leverage recapitalization. Tahun penelitian : 1984-1988, dengan jumlah observasi 39 transaksi. Analisis yang digunakan adalah : wilcoxon signed-rank test (untuk menguji beda dalam median), uji beda rata-rata (untuk uji beda dalam mean), korelasi (spearman rank correlation) dan regresi (cross sectional). Temuan : sesuai hipotesis bahwa peningkatan dalam hutang akan memainkan peranan yang penting dalam membatasi managerial discretion atau leverage recapitalization akan mengurangi managerial discreation atau keputusan investasi.

Hasil penelitian Berger and Eli (1995) menyatakan coefficient between diversification and firm growth (log total asset) is insignificant and negative. Dengan demikian hasil penelitian Berger and Eli (1995) there are insignificant relation between diversification (multi segment firms) and growth (log total sset). Demikian dengan hasil penelitian Smith and John (1969) the conglomerate (multi segment firms) type of firm has grow across numerous, seemingly unrelated activity or product line.

Diversifikasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Hasil penelitian Belkaoui (1993) menyatakan bahwa diversification strategy is positive in the sense that both strategies possibly imply a growing and expanding firm. Demikian dengan hasil penelitian Denis et al., (1997) number of reported segment have a significant effect on growth (log asset). Xuejing Xing (2003) firm may have fewer growth opportunities in their current activities than firms that do not diversify. Diversification thus may become a vehicle for growing the firm.

Demikian dengan hasil penelitian Mackey (2006) menyatakan bahwa diversification on firm growth: significant and negative. Smith and John (1969) a conglomerate/diversified firm Demikian dengan hasil penelitian Mackey (2006) menyatakan bahwa diversification on firm growth: significant and negative. Smith and John (1969) a conglomerate/diversified firm

Penelitian Mansi and David (2002) menyatakan bahwa using book vslue of debt creates a downward bias for diversified firms…overall, the result indicated diversification is insignificantly related to exess firm value. Demikian dengan penelitian West R Richard (1967) the asset holding of conglomerates firm may not fully explicable in terms of maximizing behavior.

Sevaes (1996), berpendapat bahwa hubungannya adalah negatif. Mereka berargumen bahwa Why does additional diversification beyond two segment cause a decline in corporate vlue? One possibility is that inefficient cross-subsidization starts with two divisions. Anoyher possibility is that the two segment cut-off captures vertical integration, which is unrelated to diversification. (mengapa tambahan melebihi dua segmen diversifikasi menyebabkan penurunan nilai perusahaan? Kemungkinan pertama, terjadi ketidakefisienan atas subsidi silang antar dua divisi bisnis. Kemungkinan lain, dua segmen saling bertolak belakang dalam integrasi vertical yang tidak berhubungan dengan diversifikasi.

Logika dari pendapat Serveas (1996) adalah semakin banyak segmen bisnis (semakin tinggi diversifikasi) maka semakin rendah nilai perusahaan. Mengapa? Menurutnya ada dua alasan yaitu pertama, semakin tinggi diversifikasi maka semakin tinggi ketidak efisienan subsidi silang antar segmen. Subsidi silang antar segmen biasa dilakukan ketika suatu segmen atau lini bisnis mengalami kesulitan keuangan, sedangkan segmen atau lini bisnis lainnya menalami kelebihan. Di sini akan terjadi transfer keuangan atau pembiayaan dari lini atau segmen yang berlebihan ke segmen yang kekurangan. Hal ini dilakukan karena perusahaan tidak mau melikuidasi segmen yang kurang menguntungkan. Jika subsidi silang ini berlanjut secara terus menerus maka akan menguras dana perusahaan dan menciptakan ketidakefisienan pembiayaan. Sehingga dapat menurunkan nilai perusahaan karena perusahaan membuat keputusan alokasi sumberdaya yang tidak efisien.

Kedua, semakin tinggi diversifikasi (semakin banyak lini bisnis) maka semakin banyak otorisasi produk dari lini bisnis ini yang bertolak belakang. Artinya semakin banyak lini produk yang jauh dari “core business”. Perusahaan yang memiliki banyak lini bisnis yang bukan bisnis inti akan mengalami kesukaran mengelola ketika terjadi persaingan yang tinggi pada tiap lini bisnis tersebut. Perusahaan bisa mempertahankan lini bisnis diluar bisnis inti. Tetapi keputusan ini akan menyedot banyak sumber daya perusahaan yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan secara keseluruhan. Hal ini Kedua, semakin tinggi diversifikasi (semakin banyak lini bisnis) maka semakin banyak otorisasi produk dari lini bisnis ini yang bertolak belakang. Artinya semakin banyak lini produk yang jauh dari “core business”. Perusahaan yang memiliki banyak lini bisnis yang bukan bisnis inti akan mengalami kesukaran mengelola ketika terjadi persaingan yang tinggi pada tiap lini bisnis tersebut. Perusahaan bisa mempertahankan lini bisnis diluar bisnis inti. Tetapi keputusan ini akan menyedot banyak sumber daya perusahaan yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan secara keseluruhan. Hal ini

Berger and Ofek (1995), berpendapat bahwa hubungannya adalah negatif. Mereka berargumen bahwa the average diversified firm destroy about 15 percent of the value. The evidence that diversification represents a suboptimal managerial strategy suggest that internal control system do not prevent manager from destroying significant amount of value. (rata-rata perusahaan yang terdiversifikasi mengurangi sekitar 15 % nilai perusahaannya. Bukti atas diversifikasi ini menunjukkan suatu strategi manajemen yang tidak optimal, dimana system control internal tidak mampu mencegah secara signifikan penurunan nilai perusahaan).

Argumen dari pendapat Berger and Ofek (1995) adalah semakin tinggi diversifikasi maka semakin rendah nilai perusahaan (hasil penelitiannya menurun 15 % bilai perusahaan akibat penambahan lini usaha). Hal ini disebabkan strategi manajerial khususnya control internal yang lemah atas lini bisnis yang dimiliki perusahaan. Adalah suatu yang logis jika semakin banyak lini bisnis maka semakin sulit untuk melakukan control atas persaingan, pertumbuhan dan strategi tingkat produk yang berbeda-beda. Dan tidak semua perusahaan memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan seluruh lini bisnis dengan sempurna. Dengan terpecahnya strategi, sumber daya dan perhatian manajemen maka setiap tambahan lini bisnis baru justru akan menurunkan nilai perusahaan di pasar. Bagi investor kondisi ini akan meningkatkan resiko spesifik perusahaan yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan nilai pasar perushaan. Jadi semakin tinggi diversifikasi maka semakin turun nilai perusahaan.

Lamont and Polk (2002), berpendapat bahwa hubungannya adalah negatif. Mereka berargumen bahwa Inefficient internal capital market hypothesis : diversified firms invest inefficiently, spending too little on their good segment and too much on their bad segments. Diversified firms over invest in segment with poor investment opportunities and that this over investment is related to lower firm value.

Artinya, hipotesis pasar modal internal: perusahaan yang terdiversifkasi (multisegment) menginvestasi secara tidak efisien, pengeluaran modal kecil pada segmen baik dan terlalu banyak pada segmen buruk. Perusahaan yang terdivesrsifikasi yang terlalu banyak investasi pada segmen yang endah peluang investasi, berhubungan dengan nilai perusahaan yang rendah).

Argumen Lamont and Polk (2002) mirip dengan dengan argument dari Servaes (1996), bahwa semakin tinggi diversifikasi maka semakin tidak efisien investasi yang dilakukan (tingginya pembiayaan atas segmen yang buruk namun rendahnya pembiayaan pada segmen yang baik) dan konsekuensinya nilai perusahaan akan menurun. Tapi mengapa perusahaan menginvestasikan lebih banyak pada segmen yang peluang investasinya rendah sedangkan menginvestasikan dengan jumlah sedikit pada segmen yang peluang investasinya tinggi? Salah satu argument yang logis adalah perusahaan tidak mau kehilangan satupun lini usahannya. Tapi mengapa perusahaan merasa sulit untuk melikuidasi segmen yang menguntungkn ini? Karena perusahaan telah mngeluarkan dana yang tidak sedikit pada pengembangan lini atau segmen bisnis Argumen Lamont and Polk (2002) mirip dengan dengan argument dari Servaes (1996), bahwa semakin tinggi diversifikasi maka semakin tidak efisien investasi yang dilakukan (tingginya pembiayaan atas segmen yang buruk namun rendahnya pembiayaan pada segmen yang baik) dan konsekuensinya nilai perusahaan akan menurun. Tapi mengapa perusahaan menginvestasikan lebih banyak pada segmen yang peluang investasinya rendah sedangkan menginvestasikan dengan jumlah sedikit pada segmen yang peluang investasinya tinggi? Salah satu argument yang logis adalah perusahaan tidak mau kehilangan satupun lini usahannya. Tapi mengapa perusahaan merasa sulit untuk melikuidasi segmen yang menguntungkn ini? Karena perusahaan telah mngeluarkan dana yang tidak sedikit pada pengembangan lini atau segmen bisnis

Campa and Kedia (2002), berpendapat bahwa hubungannya negatif. Mereka berargumen bahwa we find a strong negative correlation between a firms choice to diversify and firm value. Cost (to diversification) can arise from inefficient allocation of capital among division of a diversified firm. The difficulty of designing optimal incentive compensation form manager of diversified firms also generated cost of multisegment operation. Information asymmetries between central management and divisional manager will also lead to higher costs of operation in multiple segments.

Artinya , kami menemukan korelasi negatif yang kuat antara perusahaan yang memilih diversifikasi dengan nilai perusahaan. Biaya diversifikasi akan terjadi pada ketidakefisienan alokasi modal antar divisi dari suatu perusahaan yang terdiversifikasi. Kesulitan dalam mendesain insentif optimal bagi manajer dari perusahaan yang terdiversifikasi juga menimbulkan biaya bagi operasi dari multi segmen. Ketidakselarasan informasi antara manajemen pusat dan manajer divisi akan membuat biaya operasi pada multi segmen menjadi tinggi).

Logika dari pendapat Campa and Kedia (2002) adalah semakin tinggi diversifikasi maka semakin tinggi biaya diversifikasi dan semakin rendah nilai perusahaan. Menurut mereka, biaya diversifikasi ini dapat berupa (i) ketidakefisienan dalam alokasi modal antar divisi (ii) kesulitan dalam memberikan dan merancang system kompensasi (iii) ketidakselarasan informasi antara manajer pusat dan divisi. Tapi bagaimana biaya diversifikasi ini dapat menurunkan nilai perusahaan? Pertama, untuk argument ketidakefisienan dalam alokasi modal antar divisi mirip dengan penjelasan Lamont and Polk (2002) dan Servaes (1996). Namun penjelasan yang baru adalah pada poin ke-2 dan ke-3. Poin ke-2 menyatakan bahwa semakin tinggi diversifikasi maka semakin sulit merancang system kompensasi manajemen sehingga semakin tinggi biaya diversifikasi dan semakin rendah nilai perusahaan. Kita tahu bahwa sebagian besar manajer hanya menggantungkan pendapatannya dari kompensasi yang diterima dari perusahaan. Semakin banyak lini produk yang dimiliki dan semakin mandiri lini produk itu maka semakin sulit merancang sisitem kompensasi yang adil. Jika ini terjadi maka aka nada ketidakpuasan antar manajemen lini produk tersebut. Artinya dapat terjadi kecemburuan antar manajemen divisi, sehingga akan mempengaruhi kinerja perusahaan keseluruhan. Dan setiap penurunan kinerja perusahaan akan menyebabkan penurunan nilai perusahaan di pasar.

Poin ke-3 menyatakan bahwa semakin tinggi diversifikasi maka semakin tinggi ketidkselarasan informasi antara manajer pusat dan divisi sehingga biaya diversifikasi akan tinggi. Namun bagaimana kaitan tingginya ketidakselarasan informasi dengan nilai Poin ke-3 menyatakan bahwa semakin tinggi diversifikasi maka semakin tinggi ketidkselarasan informasi antara manajer pusat dan divisi sehingga biaya diversifikasi akan tinggi. Namun bagaimana kaitan tingginya ketidakselarasan informasi dengan nilai