Makalah Filsafat Ilmu etika pendidikan s

MAKALAH
ETIKA DALAM PENDIDIKAN SAINS
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Filsafat Sains
Dosen Pengampu : Prof. H. Dr. Wahidin, M.Pd.

Oleh :

Oleh :
Azzah Laelatussa’adah
1413163057
Biologi B / Semester VII

KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Manusia, baik sebagai individu atau masyarakat, menyimpan segudang dilema yang
sangat menarik jika diperbincangkan. Banyak dimensi yang cukup sulit untuk
dipecahkan dalam misteri dari individu bernama manusia. Dilema-dilema itu antara lain
terkait masalah ketuhanan, jiwa/roh, kebebasan, dan lain sebagainya.
Dalam menghadapi dilema – dilema tersebut, manusia akan berusaha mencari jalan
keluarnya. Dan dalam mencari jalan keluarnya, manusia harus mematuhi berbagai
norma, nilai, atau etika. Agar pemecahan tersebut tidak mengalami kontroversi.
Begitu juga dalam hal penelitian ilmu pengetahuan, atau sains. Ada etika – etika
tertentu yang harus kita patuhi, agar ilmu yang kita teliti sesuai dengan batas – batas
yang telah ditentukan, serta dapat diterima orang lain.
Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai etika dalam ilmu pengetahuan dan
juga apa hubungannya dengan filsafat.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Etika dan unsur pokok?
2. Apa kegunaan beretika ?
3. Bagaimana hubungan etika dan agama ?
4. Bagaimana hubungan etika dengan filsafat ?
5. Bagaimana hubungan filsafat dengan sains ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari etika dan unsure pokok dalam beretika.

2. Untuk mengetahui kegunaan beretika.
3. Untuk mengetahui hubungan etika dan agama.
4. Untuk mengetahui hubungan etika dengan filsafat.
5. Untuk mengetahui hubungan filsafat dengan sains.

BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA DALAM SAINS
A. Etika dan Unsur Pokok
1. Pengertian Etika
Secara etimologi (bahasa) “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam
bentuk tunggal , “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berfikir. Dalam bentuk jamak, ta etha berarti
adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika dibedakan dalam tiga
pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik, dan kewajiban moral, kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis, karenanya etika bertugas (darji Darmodiharjo

dan shidarta, 2004) dalam buku Mufid (2009).
1. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar
suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang di tuntut oleh
norma itu terhadap norma yang dapat berlaku.
2. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitismasinya, artinya norma yang tidak
dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya akan
kehilangan haknya.
3. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua, sekolah, Negara,
dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati.
4. Etika member bekal kepada manusia untuk mengambil sikap yang rasional
terhadap semua norma.
5. Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab bagi seorang
ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan oleh norma-norma
yang ada.
Etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang
berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama
hidupnya. Etika membahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan

manusia


serta

sekaligus

menyoroti

kewajiban-kewajiban

manusia.

Etika

mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong
manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam,
supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan
antara “etika deskriptif” dan “etika normatif”. Etika deskriptif memberikan gambaran
dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep etis. Etika normative
tidak berbicara lagi tentang gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus

merupakan tindakan manusia. Dalam etika normatif, norma dinilai dan setiap manusia
ditentukan (mufid, 2009 : 174-175).
Etika adalah kajian atau pemikiran sistematis, kritis dan mendasar tentang
moralitas. Berbeda dengan moral, yang dihasilkan etika bukanlah kebaikan,
melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Salah-satu tujuan etika
adalah membantu kita mencari orientasi, agar kita tidak hanya ikut-ikutan saja
terhadap berbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup.
Karenanya, dengan etika diharapkan kita dengan sadar melakukan segala hal
perbuatan dan tatacara hidup. Sehingga kita lebih mampu mempertanggungjawabkan
kehidupan kita.
Saat ini, keberadaan etika sangat diperlukan. Bahkan dinyatakan oleh K. Bartens
dalam bukunya yang berjudul ’Etika’, saat ini etika sedang naik daun. Masyarakat
yang semakin plural, meliputi berbagai suku, bangsa, bahasa, ideologi dan
sebagainya. Mereka masing-masing membawa norma-norma moral yang berlainan
satu sama lain. Kesatuan tatanan moral hampir tak ada lagi.
Kondisi ini diperparah dengan gelombang globalisasi dan modernisasi yang tiada
henti. Gelombang modernisasi telah merasuk ke segala penjuru dan pelosok tanah air.
Berbagai perubahan dalam masyarakat pun terjadi. Baik dalam penggunaan teknologi
yang semakin canggih, maupun cara berfikir masyarakat pun berubah secara radikal.
Rasionalisme,


individualisme,

sekularisme,

kepercayaan

akan

kemajuan,

konsumereisme, pluralisme religius serta sistem pendidikan secara hakiki mengubah
budaya dan rohani di Indonesia.
Perubahan demi perubahan tersebut pun banyak dimanfaatkan oleh orang lain
yang ingin memancing diair keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka
sebagai obat penyelamat.

Melihat kondisi tersebut, etika akan membantu kita agar tak kehilangan orientasi
dan mengambil sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan. Etika juga membantu
kita menghadapi ideologi-ideologi, yang mengaku sebagai penyelamat itu, secara

kritis dan objektif.
2. Unsur pokok dalam Etika
Wacana etika melibatkan perilaku dalam system nilai etis yang dipunyai oleh
setiap individu atau kolektif masyarakat. Oleh sebab itu wacana etika mempunyai
unsure-unsur pokok. Unsure pokok itu adalah kebebasan, tanggung jawab, hati
nurani, dan prinsip-prinsip moral dasar.
Kebebasan adalah unsure pokok dan utama dalam wacana etika. Etika menjadi
bersifat rasional, karena etika selalu mengandaikan kebebasan. Dapat dikatakan
bahwa kebebasan adalah unsure hakiki etika. Kebebasan eksistensial adalah
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Ini berarti bahwa kebebasan
ini bersifat positif. Ini berarti kebebasan eksistensial lebih menunjukan kebebasan.
Tentu saja, kebebasan dalam praktek hidup sehari-hari mempunyai ragam yang
banyak, yaitu kebebasan jasmani, rohani, kebebasan social, kebebasan psikologi,
kebebasan moral.
Tangung ajawab adalah kemampuan individu untuk menjawab segala pertanyaan
yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan tanggung jawab berarti bahwa orang
tidak boleh mengejek, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Tanggung
jawab mengandaikan penyebab. Orang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
disebabkan olehnya. Pertanggung jawaban adalah situasi dimana orang menjadikan
penyebab bebas. Kebebasab adalah syarat utama dan mutlak untuk bertanggung

jawab. Ragam tanggung jawab terdiri dari tanggung jawab retsospektifdan tanggung
jawab prospektif.
Hati nurani adalah penghayatan tentang nilai baik atau buruk berhubungan
dengan situasi konkret. Hati nurani yang memerintrahkan atau melarang situasi
tindakan menurut situasi, waktu, dan kondisi tertentu. Dengan demikian, hati nurani
berhubungan dengan kesadaran. Kesadaran adalah kesanggupan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri dank arena itu berefleksi tebntang dirinya. Hati nurani bias
sangat bersifat retropektif dalam prospektif. Dengan demikian, hati nurani juga
bersifat personal dan adipersonal.
Prinsip kesadarn moral adalah beberapa tataran yang perlu diketahui untuk
memosisikan tindakan individu dalam kerangka nilai moral tertentu. Etika selalu

memuat unsure hakiki bagi keseluruh program tindakan moral. Prinsip tindakan moral
mengandaikan pemahaman menyeluruh individu atas seluruh tindakan yang dilakukan
sebagai seorang manusia. Setidaknya ada 3 prinsip dasar dalam kesadaran moral.
Prinsip itu adalah prinsip sikap baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri serta
orang lain. Prinsip hormat dan keadilan pada diri sendiri merupakan syarat
pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa
seseorang untuk bersikap adil dan hormat. (mufid, 2009 : 181-182).
B. Kegunaan Beretika

Berbeda dengan ajaran moral, etika tidak dimaksudkan untuk secara langsung dapat
membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang
moralitas. Terdapat empat alasan mengapa etika semakin diperlukan pada zaman ini.
Pertama, masyarakat sekarang ini semakin pluralistik atau majemuk, baik dari suku,
daerah, agama yang berbeda-beda; demikian pula dalam bidang moralitas. Kita
berhadapan

dengan

sekian banyak

pandangan

moral

yang

sering

saling


bertentangan. Mana yang mau diikuti, apakah yang diterima dari orang tua kita dahulu,
moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa ?
Kedua, masa transformasi (perubahan) masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan
yang diakibatkan gelombang modernisasi merupakan kekuatan yang menghantam semua
segi kehidupan manusia. Kehidupan di kota sudah jauh berbeda dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai
budaya tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi inilah etika membantu kita agar
jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang
boleh saja berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap
yang dapat kita pertanggungjawabkan.
Ketiga, perubahan sosial budaya yang terjadi itu dapat dipergunakan oleh pelbagai
pihak untuk memancing di air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka
sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi
tersebut secara kritis dan objektif, dan untuk membentuk penilaian kita sendiri, agar tidak
terlalu mudah terpancing. Etika juga membantu kita jangan naif atau ekstrem, yaitu
jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak
nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu fihak menemukan
dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan di lain pihak


sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dari semua
dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
C. Etika dan Agama
1. Hubungan Etika dan Agama
Selama ini agama sering dianggap sebagai sebuah institusi moral. Para
agamawan, dengan penguasaan terhadap wahyu Tuhan, menjadi legalisator hukum
moral. Umumnya para agamawan itupun mendapat kepercayaan dari umatnya. Para
agamawan tersebut selalu mampu menjelaskan moral versi mereka dihadapan
umatnya. Bagi umat yang taat, setiap kata agamawan itu adalah firman Tuhan yang
harus dipatuhi.
Tapi bukan berarti moral agama tanpa masalah. Interpretasi terhadap wahyu
Tuhan menjadi masalah yang selalu dihadapi para ulama atau semacamnya. Hingga
kini, telah terbit puluhan tafsir dari kitab suci, misalnya Al-Quran. Dan terkadang
masing-masing madzhab memiliki tafsir yang berbeda terhadap kitab suci. Maka tak
jarang apa yang menurut kita adalah tafsir atau maksud dari kitab suci, ternyata
hanya penafsiran satu madzhab belaka.
Disamping itu, dalam pluralnya masyarakat saat ini, moral agama hanya bersifat
ekslusif. Ia tak mampu menjelaskan moral terhadap orang diluarnya. Dan walaupun
mampu mendoktrin pengikutnya tentang moral, tapi mereka tak punya dasar yang
kuat sebagai pertanggungjawaban di hadapan publik umum. Ketika ditanya mengapa
mereka melakukan perbuatan ini itu dan melarang yang lainnya, mereka hanya
mengutarakan jawaban bahwa ini yang diperintahkan Tuhan dalam kitab suci.
Karena itu, penting kiranya etika untuk mempertanggungjawabkan itu semua secara
universal dan inklusif.
Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak etika
juga tidak bertentangan dengan agama, malahan diperlukan oleh agama. Terdapat 2
masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan
metode-metode etika.
Pertama, ialah masalah intpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat
dalam wahyu. Masalahnya tidak terletak pada sudut wahyu itu sendiri, melainkan
pada sudut kita sebagai manusia yang harus menangkap artinya. Manusia secara
hakiki terbatas pengetahuannya, sehingga tidak pernah mendapat kepastian secara
seratus persen apakah ia memahami maksud Allah yang termuat dalam wahyu secara

tepat. Karena keterbatasan pengetahuan manusia itu, dapat saja ia keliru dalam
membaca wahyu. Dan justru yang menyangkut kebijaksanaan hidup, para ahli dari
agama yang sama pun sering berbeda pendapatnya tentang apa yang sebenarnya
diharuskan atau dilarang dalam kitab wahyu. Untuk memecahkan masalah itu perlu
diadakan interpretasi yang dibahas besama sampai semua sepakat bahwa itulah yang
mau disampaikan Allah kepada manusia. Dalam usaha untuk menemukan apa pesan
wahyu yang sebenarnya bagi kehidupan manusia itulah perlu digunakan metodemetode etika. Begitu juga etika merangsang kita untuk mempertanyakan kembali
pandangan-pandangan moral agama kita. Tidak jarang ditemukan bahwa sesuatu
yang kita anggap sebagai ajaran agama kita, ternyata hanyalah pendapat satu aliran
teologis atau mazhab hukum tertentu, sedangkan apa yang dikatakan dalam kitab suci
ternyata mengizinkan interpretasi yang lain.
Kedua ialah bagaimana masalah-masalah moral yang baru, yang tidak langsung
dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan sesuai dengan semangat agama itu.
Bagaimana menanggapi dari segi agama masalah moral yang belum terfikirkan pada
waktu wahyu diterima. Contohnya ialah misalnya bayi tabung atau pencangkokan
ginjal. Kedua contoh itu dalam kitab wahyu apapun tidak dibicarakan secara
eksplisit., jadi paling-paling dapat ditangani melalui kias. Untuk mengambil sikap
yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap masalah-masalah itu diperlukan etika.
Sebenarnya tidak perlu heran bahwa kaum agama pun memerlukan etika. Etika
adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah bagaimana orang harus hidup apabila ia mau menjadi baik.
Akal budi itu ciptaan Allah, dan tentunya diberikan kepada manusia untuk
dipergunakan dalam semua dimensi kehidupan, bukannya disimpan saja. Karena itu
orang beragama pun hendaknya mempergunakan anugerah Sang Pencipta itu,
bukannya dikesampingkan dari bidang agama. Itu sebabnya mengapa justru kaum
agama diharapkan betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika.
2. Perbedaan Etika dan Agama
Etika mendukung keberadaan agama, dimana etika sanggup membantu
manuisa dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Perbedaan
antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi
rasional. Sedangkan agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu
Tuhan dan ajaran agama.

Dalam agama dan etika dan sebaliknya agama merupakan salah satu norma
dalam etika. Kedua berkaitan, namun terpisahkan secara teoritis. Dalam tataran
praktis kita tidak bias mengesampingkan salah satu diantara. Misalnya, tidak bisa
berbuat suatu hal yang lantas banyak didasarkan pada agama saja tanpa
memerhatikan etika atau sebaliknya. Keberagaman pada dasarnya memperhatikan
etika yang berlaku, dan sebaliknya seseorang akan dikatakan memilki etika, jika
kemudian memerhatikan agama yang ada.
3. Perbedaan Etika dan Moral
Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih
sering dikenal sebagai kodeetik. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk.
Dua kaidah dasar moral adalah :
a. Kaidah sikap baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap baik terhadap apa saja.
Bagaimana

sikap

baik

itu

harus

dinyatakan

dalam

bentuk

yang

konkret.tergantung dari apa yang baik dalam situasi konkret itu.
b. Kaidah keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang masih tetap
mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai harus
dikumpulkan harus sama, yang tentu saja disesuaikan dengan kadar anggota
masing-masing. (mufid, 2009 : 180)
D. Etika dan Filsafat
Etika merupakan salah-satu cabang tertua dari filsafat. Hal itu bisa dinyatakan
setidaknya melalui tiga sudut pandang. Tiga sudut pandang tersebut adalah sejarah,
tema-tema yang dikaji dan definisi. Dari sudut pandang sejarah telah dimulai dari zaman
klasik sejarah filsafat, yang selalu dipenuhi dengan pembahasan tentang etika.
Setidaknya terhitung sejak masa hidup Sokrates.
Sokrates dan para Kaum Shopis adalah orang-orang yang memindahkan filsafat dari
kosmosentris ke antroposentris. Dan di antara tema-tema yang menjadi objek kajian
adalah etika, misalnya nilai, kebebasan, suara hati, jiwa, ego, super ego dan sebagainya.
Filsafat membahas berbagai persoalan yang pernah terjadi pada setiap masa. Seperti
Sokrates membahasa masalah moral, karena ketika itu moral mulai dipersoalkan seiring
dengan berkambangnya filsafat yang selalu mengkritisi segalanya. Sokrates tampil
dimuka umum untuk memperoleh jawaban yang memuaskan tentang keutamaan,

keadilan, dan kebajikan. Di zaman modern, tampil Immanuel Kant sebagai tokoh yang
membahas moralitas dengan menulis Critique of Practical Reason.
Filsafat pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tindak pemikiran yang logis,
kritis, mendasar hingga ke akar-akar permasalahan. Dalam buku Persoalan-Persoalan
Filsafat yang diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, salah-satu definisi filsafat yang diajukan
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sangat kita junjung
tinggi.
Dalam hal ini, norma dan moral secara tak langsung menjadi objek yang harus dikaji
oleh filsafat. Sebab sebagai mahluk sosial, manusia tak habis-habisnya menghadapi
bermacam problema. Dalam hubungan antar manusia, moralitas menjadi persoalan
pokok yang amat mengusik. Masalah ini tak habis-habisnya untuk dibahas dari zaman
dahulu hingga sekarang. Sebagaiman telah dijelaskan dalam pendahuluan makalah ini.
Dan etika adalah cabang yang mengkaji moral secara kritis, sistematis dan mendasar.
Oleh karena itu, layak disebut sebagai cabang dari filsafat.
Di sini tak akan dibahas cabang dan pemabagian-pembagian etika. Namun,
sebagaimana telah disinggung, bahwa etika adalah bagian dan sangat penting menjadi
kajian filsafat.
Etika sebagai ilmu melanjutkan kecendrungan kita dalam hidup sehari-hari. Etika
mulai, jika kita merefleksikan unsur-unsur etis dari pendapat-pendapat yang spontan.
Kebutuhan refleksi ini dirasakan manakala pendapat kita berbeda dengan orang lain.
Maka timbulah pertanyaan, siapa yang paling benar? Apa dasar objektifitas dari argumen
kita? Dan lain sebagainya. Tugas etika adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan
semacam itu. Dengan demikian, filsafat merupakan sebuah refleksi kritis, metodis, dan
sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma atau dari sudut
baik dan buruk.
Dalam konteks Yunani kuno, etika telah berbentuk dengan kematangan. Etika adalah
ilmu yang tidak merupakan suatu ilmu empiris. Filsafat tidak membatasi diri pada gejalagejala kongkret belaka sebagaimana sains. Filsafat memberanikan diri juga untuk
melampau taraf kongkret dengan seolah-olah menanyakan dibalik gejala-gejala konkret.
Ciri khas filsafat juga tampak dalam etika yang juga tak terhenti pada hal-hal
konkret, pada yang secara faktual dilakukan. Tapi ia bertanya tentang yang harus atau
tidak boleh dilakukan, tentang baik atau buruk dilakukan.
Dalam contoh kasus korupsi misalnya. Etika tidak akan menanyakan, bagaimana
fungsinya dalam masyarakat, apakah banyak dilakukan, golongan mana yang terlibat,

alasan apa saja yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Ini semua merupakan
pertanyaan sosiologi. Dalam kasus ini, etika akan menyibukan diri dengan segi normatif
dan evaluatif. Misalnya, apakah korupsi dapat dibenarkan atau tidak? Bagaimana
argumen mereka yang menolak dan mendukung korupsi? Apakah argumen mereka dapat
dipertanggungjawabkan? Dan tentu saja etika terlebih dulu harus menyelidiki apa yang
persisnya disebut dengan korupsi.
Etika bisa disebut juga sebagai filsafat praktis, karena ia membahas ”yang harus
dilakukan”. Selain itu, etika juga langsung berhubungan dengan prilaku manusia. Tetapi
etika tidak merupakan filsafat praktis dalam arti menyajikan resep-resep yang siap pakai.
Bidangnya tidak teknis melainkan reflektif. Etika merefleksi tema-tema yang
menyangkut prilaku manusia. Tema-tema yang dianalisis seperti yang disebut di atas
antara lain, hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban dan
keutamaan. Pendek kata, etika bergerak dibidang intelektual yang objeknya langung
berkaitan dengan praktek kehidupan kita. Nilai dan norma etis dalam moralitas yang
terdapat dalam agama, kebudayaan, nasionalisme, pergaulan anak muda dan lain-lain,
menjadi objek kajian intelektual etika yang langsung dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari.
Sementara itu, M. T. Misbah Yazdi dalam bukunya ’Falsafeh ye Akhlak’, yang
diterjemahkan Amar Fauzi H. dan diterbitkan Al-Huda dengan judul ’Meniru Tuhan’,
menjelaskan bahwa salah-satu faktor terpenting dalam pencapaian kebahagiaan dunia
ahirat adalah akhlak mulia. Yang dimaksud dengan akhlak di sini tak lain adalah moral.
Mengingat dalam definisi akhlak dalam buku ini mengacu pada arti etika pada
umumnya. Disebutkannya bahwa ilmu akhlak (filsafat etika) adalah pengetahuan tentang
tradisi, adat istiadat, dan sifat-sifat manusia. Selain itu, pembagian-pembagian akhlak
juga sama dengan pembagian etika pada umumnya, seperti akhlak deskriptif dan
normatif. Misbah Yazdi menjelaskan bahwa menurut Islam, akhlak adalah satu ajaran
fundamental di samping akidah dan syariat. Ia adalah jalan hidup dan arah gerak lurus
menuju kesempurnaan sejati. Bagi Misbah Yazdi, ahklak (moral) adalah satu-satunya
jalan menuju kebahagian dunia akhirat.
Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai
dan pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubungan kemanusiaan secara benar dan
juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan
bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

Florence Kluckholn, mengidentifikasikan sejumlah orientasi nilai yang tampaknya
berkaitan dengan masalah kehidupan dasar :
1. Manusia berhubungan dengan alam atau lingkungan fisik, dalam arti
mendominasi, hidup dengan atau ditaklukan alam.
2. Manusia menilai sifat/hakikat manusia sebagai baik, atau campuran baik dan
buruk.
3. Manusia hendaknya bercermin pada masa lalu, masa kini, dan masa yang kan
dating.
4. Manusia lebih menykkai aktivitas yang sedang dilakukan, akan dilakukan, atau
telah dilakukan.
E. Sains dan Filsafat
Pembahasan terakhir dalam makalah ini adalah tentang hubungan sains dengan
filsafat. Sains atau ilmu pengetahuan pada zaman klasik tak terpisah dengan filsafat. Para
filsuf terdahulu seperti Aristoteles dan Plato selalu mendasarkan penyelidikannya pada
metafisika. Plato misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang kita punya saat ini
adalah bawaan dari alam idea. Proses berfikir ia samakan dengan proses mengingat apaapa yang pernah dilihat oleh manusia di alam idea dahulu. Baginya, pengetahuan
manusia bersifat apriori (mendahului pengalaman). Begitu pula dengan para filsuf-filsuf
sebelumnya. Sejak Thales dan para pemikir sebelum Sokrates dan Kaum Shopis, mereka
menumpahkan perhatian filsafatnya pada proses kejadian alam semesta, yang berarti
objek fisik.
Tapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang diawali oleh
renaisans yang kemudian disambut hangat oleh kaum empirisme, peta sains mulai
bergeser. Namun metodelogi rasionalisme yang dimotori Descrates sebagai penggerak
renaisans berbeda dengan empirisme. Jika rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan
yang sahih hanya diperoleh melalui rasio, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan
yang sahih bersumber dari pengalaman. Menurut empirisme, pengetahuan tidak
diperoleh secara apriori melainkan aposteriori (melalui pengalaman).
Gejolak renaisains itu pun terus bergulir ke Jerman dengan zaman pencerahannya.
Kemudian sampailah kita pada aliran positivisme yang dibangun oleh Agust Comte.
Melalui positivismenya, Comte menegaskan pengetahuan tidak melampaui fakta-fakta.
Ia kemudian menolak metafisika. Dan pada akhirnya, ia menolak, etika, teologi dan seni,
yang dianggap melampaui fenomena-fenomena yang teramati. Menurut Comte, sejarah

pengetahuan berkembang melalui tiga tahap. Dari tahap teologis, metafisis dan terahir
positifis. Baginya perkembangan ini layaknya perkembangan kehidupan manusia, mulai
dari anak-anak, remaja, kemudian dewasa.
Pada tahap dewasa ini, manusia tidak lagi mengamati objek-objek yang tak teramati,
melainkan semua objek yang dapat diindra. Akhirnya, pada tahap positifis ini, organisasi
masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona dan
kekuasaan elit intelektual muncul. Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru untuk
mengorganisasikan masyarakat industri.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, doktrin positifisme
yang hanya memusatkan diri pada hal yang faktual pun mulai merajarela. Ia semakin
perkasa dan seakan-akan membenarkan bahwa teologis, metafisis adalah masa kanakkanak pertumbuhan masyarakat dunia. Apalagi teknologi yang semakin membantu
manusia dalam berbagai aktivitasnya, misalnya mobil, telepon, internet dan sebagainya,
memberantas penghalang hubungan manusia modern. Sehingga jarak dan waktu bukan
jadi masalah lagi.
Tetapi di tengah kemajuan teknologi tersebut, ada masalah yang mulai menyelimuti
manusia. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk melayani dan mempermudah
manusia pada perjalanannya lain. Kini teknologi mulai berbalik menyerang manusia.
Manusia mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak kemajuan teknologi yang
justru merusak lingkungan dan nilai kemanusiaan.
Jika menilik pada sejarah sebelumnya, sains atau ilmu pengetahuan, selalu
berhubung erat dengan filsafat dan cabang-cabang lain seperti metafisika, etika dan
sebagainya. Terlebih dalam tradisi filsafat Islam. Sains masih terkait erat dengan filsafat
bahkan theologi. Dalam karya Mulyadi Kartanegara yang berjudul ’Gerbang Kearifan’
dijelaskan, tak ada objek ilmu satu pun yang tak berhubungan dengan dunia metafisik.
Para filsuf muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi apapun yang
terjadi di jagad raya ini, yang pada gilirannya akan dijadikan objek penelitian.
Selain itu, tujuan dari semua ilmu dari sudut aksiologis adalah memperoleh
kebahagiaan. Menurut para filsuf muslim, kebahagiaan dalam menuntut ilmu dengan
objek keilmuannya. Karena meteafisika adalah ilmu yang mempelajari Sebab Pertama
atau Tuhan, yang menempati objek tertinggi ilmu, maka filsafat (metafisika) patut
dijadikan basis etis penelitian ilmiah. Kebahagiaan yang dituntut di sini bukan hanya
kebahagian fisik yang bersifat sementara. Tapi kebahagiaan hakiki yang bersifat abadi
dengan ketenangan jiwa.

Menilik sejarah peradaban keilmuan Islam, sains memang tak bisa dilepaskan dari
filsafat. Dari masa ke masa, baik pemerintahan Bani Umayyah dan Abasiyah, tak ada
beda antara sains dan filsafat. Bahkan dalam tradisi Islam, filsafat disebut sebagai induk
dari ilmu aqliah. Pada tahun 700 dalam pemerintahan Dinasti Umayyah, terbangun
observatorium astronomi di Damaskus. Begitu pula pada Dinasti Abasiyah, Khalifah AlMansyur diriwayatkan pernah mengumpulkan ilmuan, termasuk dokter-dokter dari
Persia sampai India. Ini membuktikan, bahwa dalam Islam, sains dan filsafat tetap
berdampingan. Dan hingga kini, hal itu tetap terjaga.

BAB III
PENUTUP
Di akhir makalah ini, kami ingin menyimpulkan bahwa Etika dan Sains merupakan
filsafat praktis. Karena keduanya, dalam penerapannya, langsung berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama bertujuan memberi solusi atas kesulitan dan
masalah yang dihadapi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, teknologi telepon / media
komunikasi. Semua beri’tikad memperlancar dan memberi solusi dari kesulitan yang
dihadapi manusia. Usaha pemikiran, penelitian yang dilakukan secara kritis dan sistematis
merupakan cara kerja filsafat. Karena itu, keduanya merupakan cabang dari filsafat.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Etika, 2007. Gremedia Cet. Ke 9, Jakarta.
Hardiman, F. Budi, 2004. Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta.
Mufid M, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Prenata Media Grup, Jakarta.
Suseno, Fran Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, Ricard T. Nolan, 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,
Bintang Terang, Jakarta.
Yazdi, M. T. Misbah, 2006. Meniru Tuhan, Al-Huda, Jakarta.
Meli S, 2013. http://melisanti91.blogspot.co.id/2013/10/pengertian-dan-kegunaan-etika.html.
diakses pada tanggal 14 November 2016 pukul 21:12 WIB.