LAPORAN PENDAHULUAN KL H S

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten Luwu Timur hingga saat ini relatif lebih berkembang jika dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi ini dipengaruhi

oleh letak geografis dan administrasi wilayahnya yang merupakan jalur lintasan nasional laut, udara dan darat (Trans Sulawesi Bagian Utara) yang menghubungkan tiga provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan demikian potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Luwu Timur sepenuhnya perlu dioptimalkan pemanfaatannya termasuk pemanfaatan potensi kawasan pesisirnya. Dengan kondisi demikian, maka kebutuhan suatu dokumen perencanaan keruangan yang memuat arahan perencanan wilayah Kabupaten Luwu Timur sebagai matra dokumen perencanaan Program Pembangunan Daerah (RPJM/P) dan Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Luwu Timur yang telah ada sebelumnya.

Kebutuhan suatu dokumen perencanaan wilayah dan kawasan strategis suatu wilayah kabupaten merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai acuan dan pedoman pelaksanaan pembangunan yang multi sektor dan multi strategis (UU No.

26 Tahun 2007; UU No. 23 Tahun 2014). Lebih-lebih lagi bagi Kabupaten Luwu Timur yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang tentunya menghadapi persoalan-persoalan pembangunan yang pesat dalam lima tahun terakhir (pemekaran desa/kecamatan, sosial, budaya, ekonomi, politik, kelembagaan, teknologi, dan lingkungan).

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur 2011-2031 dimaksudkan untuk penyiapan dokumen penataan ruang Kabupaten Luwu Timur berjangka waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun ke depan (UU No. 26 Tahun 2007). Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RTRW Kabupaten Luwu Timur dapat ditinjau kembali kurang dari 5 (lima) tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur 2011-2031 dimaksudkan untuk penyiapan dokumen penataan ruang Kabupaten Luwu Timur berjangka waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun ke depan (UU No. 26 Tahun 2007). Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RTRW Kabupaten Luwu Timur dapat ditinjau kembali kurang dari 5 (lima) tahun,

Muatan perencanaan RTRW Kabupaten Luwu Timur 2011-2031, meliputi: (a) Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten, (b) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten, (c) Rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten, (d) Penetapan kawasan strategis kabupaten, (e) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan, dan (f) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang [UU 24/1992], yang kemudian diperbaharui dengan Undang- undang Nomor

26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi

produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan

Adapun peran KLHS dalam tata ruang KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas

batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).

Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu

membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai

Pada saat ini Kabupaten Luwu Timur telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Luwu Timur 2011-2031 yang menjelaskan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu pada tahun 2010 ini. Disamping itu, tekanan-tekanan terhadap aktualisasi RTRW yang sedang berjalan, baik berupa faktor internal maupun eksternal, telah diantisipasi untuk penyempurnaannya. Di lain pihak, untuk meyakinkan bahwa kegiatan pembangunan tidak merusak lingkungan sekaligus menjamin keberlanjutan pembangunan itu sendiri, pemerintah telah menetapkan perundang-undangan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan tersebut adalah Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Amanat yang paling mendasar yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dalam konteks amanat undang-undang ini penyusunan RTRW wajib disertai KLHS, seperti yang tercantum secara eksplisit pada pasal

15 ayat 2 (a) dan pasal 19 ayat 1 Undang- Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, penyusunan RTRW Kabupaten Luwu Timur 2011 – 2031 juga wajib melakukan KLHS sesuai mandat undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut

1.2. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. KLHS digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang akan atau sudah ditetapkan. Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk Tujuan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. KLHS digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang akan atau sudah ditetapkan. Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk

Manfaat dari Penyusunan KLHS yaitu memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama antar pelaku pembangunan, dimana seluruh pihak yang terkait penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program dapat secara aktif mendiskusikan seberapa jauh substansi kebijakan, rencana dan/atau program yang dirumuskan telah mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Melalui proses KLHS, diharapkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program dapat mengetahui dan

memahami pentingnya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program

1.3. PENDEKATAN DAN PRINSIP

KLHS ditujukan untuk menjamin pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan. Tiga nilai penting dalam penyelenggaraan KLHS yang mencerminkan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan adalah keterkaitan (interdependency), keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (justice).

Keterkaitan (interdependency) dimaksudkan agar penyelenggaraan KLHS menghasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, antar wilayah, dan global-lokal. Nilai ini juga bermakna holistik dengan adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.

Keseimbangan (equilibrium) bermakna agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai keseimbangan antar kepentingan, seperti antara kepentingan Keseimbangan (equilibrium) bermakna agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai keseimbangan antar kepentingan, seperti antara kepentingan

Keadilan (justice) dimaksudkan agar penyelenggaraan KLHS menghasilkan kebijakan, rencana dan/atau program yang tidak mengakibatkan marjinalisasi sekelompok atau golongan tertentu masyarakat karena adanya pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam, modal atau pengetahuan.

KLHS dibangun melalui pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan masukan berbagai kepentingan. Makna pendekatan tersebut adalah bahwa penyelenggaraan KLHS tidak ditujukan untuk menolak atau sekedar mengkritisi kebijakan, rencana dan/atau program, melainkan untuk meningkatkan kualitas proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program, khususnya dari perspektif pembangunan berkelanjutan. KLHS bersifat “persuasif” dalam pengertian lebih mengutamakan proses pembelajaran dan pemahaman para pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam kerangka pendekatan ini, 6 (enam) prinsip KLHS adalah:

Prinsip 1: Penilaian Diri (Self Assessment)

Makna prinsip ini adalah sikap dan kesadaran yang muncul dari diri pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap keputusannya. Prinsip ini berasumsi bahwa setiap pengambil keputusan mempunyai tingkat kesadaran dan kepedulian atas lingkungan. KLHS menjadi media atau katalis agar kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam proses dan terformulasikan dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, rencana, dan/atau program.

Prinsip 2: Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program

Prinsip ini menekankan pada upaya penyempurnaan pengambilan keputusan suatu kebijakan, rencana, dan/atau program. Berdasarkan prinsip ini, KLHS tidak dimaksudkan untuk menghambat proses perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program. Prinsip ini berasumsi bahwa perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program di Indonesia selama ini belum mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan secara optimal.

Prinsip 3: Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial

Prinsip ini menekankan bahwa integrasi KLHS dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program menjadi media untuk belajar bersama khususnya tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan, baik bagi masyarakat umum maupun para birokrat dan pengambil keputusan. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS memungkinkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program untuk meningkatkan kapasitasnya mengapresiasi lingkungan hidup dalam keputusannya. Melalui KLHS diharapkan masyarakat, birokrat, dan pengambil keputusan lebih cerdas dan kritis dalam menentukan keputusan pembangunan agar berkelanjutan.

Prinsip 4: Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan

Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan pengaruh positif pada pengambilan keputusan. Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada akhirnya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, khususnya untuk memilih atau menetapkan kebijakan, rencana, dan/atau program yang lebih menjamin pembangunan yang berkelanjutan.

Prinsip 5: Akuntabel

Prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus diselenggarakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab tuntutan para pihak. Dengan prinsip ini pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin akuntabilitas perumusan kebijakan, rencana, dan/atau program bagi seluruh pihak.

Prinsip 6: Partisipatif

Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan prinsip ini diharapkan proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program semakin mendapatkan legitimasi atau kepercayaan publik.

1.4. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Penyusunan KLHS Kabupaten Luwu Timur terdiri dari batasan wilayah dan substansi kajian yaitu :

1. Batasan wilayah perencanaan penyusunan KLHS meliputi seluruh wilayah Kabupaten Luwu Timur memiliki luas wilayah seluas ± 6.994,88 Km2 terdiri

11 Kecamatan, 127 Desa dan Kelurahan yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur 2011-2031

2. Batasan substansi/muatan Penyusunan KLHS adalah :  Identifikasi isu-isu dan permasalahan lingkungan hidup strategis yang

diperkirakan akan saling berpengaruh terhadap kebijakan, rencana, dan program yang disusun;

 Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap

kondisi lingkungan hidup di wilayah Kabupaten Luwu Timur ;

 Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program;

 Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan

1.5. KELUARAN

Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan Penyusunan KLHS Kabupaten Luwu Timur adalah hasil kajian mengenai pengaruh kebijakan, rencana dan program yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur 2011 – 2031 terhadap kondisi lingkungan hidup Kabupaten Luwu Timur, termasuk di dalamnya rumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan program, serta rekomendasi- rekomendasi perbaikan pengambilan keputusan untuk menjamin pengintegrasian prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. TINJAUAN UMUM KEWILAYAHAN

2.1. GAMBARAN UMUM WILAYAH

2.1.1. LETAK

GEOGRAFIS DAN

ADMINISTRASI

Terdapat perbedaan letak geografis Kabupaten

0 Luwu Timur berdasarkan data BPS terletak pada koordinat 2 0 03’00” - 3 03’25”

0 lintang selatan dan 119 0 28’56” – 121 47’27”, sedangkan letak geografis

0 berdasarkan RTRW terletak pada koordinat antara 2 0 15’ 0’ – 3 Lintang Selatan

0 0 dan 120 0 3 ’ 0’ sampai 121 3 0’00’’ Bujur Timur. Begitupun dengan Luas wilayah Kabupaten Luwu Timur, berdasarkan data BPS seluas 6.944.88 km2, sedangkan

berdasarkan data RTRW seluas 664.686,68 ha atau 6.646,87 km2. Secara fisik geografis wilayah Kabupaten Luwu Timur meliputi batas-batas:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan.

Letak Kabupaten Luwu Timur pada Pulau Sulawesi sangat strategis sehingga dapat menjadi wilayah penghubung bagi wilayah hinterland, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam. Pada masa datang, Kabupaten Luwu Timur diharapkan dapat berfungsi sebagai service region dan marketing outlet bagi kabupaten-kabupaten di sekitarnya.

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Luwu Timur (Sumber : Bappeda Luwu Timur, 2010)

CV. WAHANA HALID MANDIRI 11

Secara administrasi, Kabupaten Luwu Timur terdiri atas 11 (sebelas) kecamatan yaitu Burau, Wotu, Tomoni, Angkona, Malili, Towuti, Nuha, Mangkutana, Kalaena, Tomoni Timur, dan Wasuponda dengan jumlah keseluruhan 107 desa, 3 UPT dan 313 dusun. Luas wilayah berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur Menurut Kecamatan berdasarkan RTRW

No

Nama Kecamatan

Luas Ha %

10 Tomoni Timur

100,00 Dengan menjumlahkan luas wilayah keseluruhan kecamatan yang ada di

Jumlah

kabupaten Luwu Timur, berdasarkan data dari RTRW terdapat perbedaan luas dalam pernyataan sebelumnya. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Towuti yaitu 187.177,33 ha atau 28,28% dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tomoni Timur yaitu 43,91 km² atau 0,63% dari total luas wilayah Kabupaten Luwu Timur. Kecamatan yang berada di pesisir yakni Kecamatan Burau, Kecamatan Wotu, Kecamatan Angkona dan Kecamatan Malili.

Sebaran desa di setiap kecamatan adalah Kecamatan Burau (15 desa), Wotu (12 desa), Tomoni (12 desa), Angkona (8 desa), Malili (15 desa), Towuti (13 desa), Nuha (5 desa), Mangkutana (8 desa), Kalaena (8 desa), Tomoni Timur (8 desa) dan Wasuponda (6 desa). Daerah ini mendapat julukan “negeri tiga danau”, karena keunikan keberadaan 3 (tiga) buah danau besar pada bagian timur wilayahnya, kabupaten ini juga di sebut sebagai “negeri tiga danau”. Danau yang dimaksud, yaitu :

 Danau Towuti (luasnya 56.670 Ha),  Danau Matano (luasnya 16.350 Ha), dan  Danau Mahalona (luasnya 2.348 Ha)

Ketiga danau ini sangat potensial untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan, pembangkit listrik, dan kegiatan pariwisata. Disamping itu juga, terdapat 2 (dua) buah telaga, yaitu Telaga Tapareng Masapi seluas 243 Ha, dan Telaga Lontoa seluas 172 Ha.

2.1.2. PENDUDUK

Jumlah penduduk Kabupaten Luwu Timur berdasarkan data desa tahun 2013 mencapai jumlah 275.523 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 64.457 rumah tangga. Rata-rata jumlah jiwa setiap rumah tangga sebanyak 4 jiwa. Kecamatan yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Malili sebesar 39.566 jiwa kemudian Kecamatan Burau dengan 34.346 jiwa dan Kecamatan Towuti sebanyak 33.427 jiwa.

Gambar 2. Grafik Jumlah Penduduk Kab. Luwu Timur Tahun 2011-2013

(Sumber: Kabupaten Luwu timur dalam angka, 2014)

Pada tahun 2013 tercatat kepadatan penduduk Kabupaten Luwu Timur sebesar 40 jiwa per km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tomoni Timur dengan kepadatan 289 jiwa per km2. Sedangkan kecamatan yang memiliki kepadatan terendah adalah Kecamatan Wasuponda dan Mangkutana.

2.1.3. SARANA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN

Salah satu komponen yang berkaitan langsung dengan peningkatan SDM adalah pendidikan. Karena itu, kualitas SDM selalu diupayakan untuk ditingkatkan melalui pendidikan yang berkualitas.

Pada tahun 2013 , untuk pendidikan pra sekolah pemerintah Kabupaten Luwu Timur telah menyediakan 153 unit Taman Kanak-Kanak. Pada tingkat sekolah dasar (SD) tersedia 144 unit SD Negeri, 9 SD swasta dan 20 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada tingkat sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) tersedia

24 unit SLTP Negeri, 10 unit SLTP Swasta dan 23 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Pada tingkat sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tersedia 12 unit SLTA Negeri,

7 unit SLTA Swasta dan 9 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Selain itu juga terdapat

3 unit sekolah Menegah Kejuruan (SMK). Untuk mendapatkan sumberdaya manusia yang siap kerja, pada tingkat sekolah tinggi di Kabupaten Luwu timur juga tersedia 2 unit akademi yang berada di Kecamatan Wotu dan Kecamatan Nuha.

Pada tahun 2013, di Kabupaten Luwu timur terdapat 2 buah rumah sakit, yakni milik PT Vale yang berada di Kecamatan Nuha dan milik Pemerintah Daerah yang berada di Kecamatan Wotu. Di tingkat kecamatan tersedia 15 Puskesmas dan 60 Puskesmas Pembantu, 4 klinik/balai kesehatan dan 16 apotik. Praktek dokter spesialis sudah tersedia pada sarana pemerintah sebanyak 3 unit praktek, di Rumah sakit Swasta PT Vale sebanyak 3 unit praktek dan praktek dokter spesialis secara mandiri sebanyak 3 unit. Sementara jumlah praktek dokter umum yang tercatat sebanyak 30 unit di sarana milik pemerintah, 24 unit di rumah sakit PT Vale dan 29 unit praktek secara mandiri. Sedangkan praktek dokter gigi Pada tahun 2013, di Kabupaten Luwu timur terdapat 2 buah rumah sakit, yakni milik PT Vale yang berada di Kecamatan Nuha dan milik Pemerintah Daerah yang berada di Kecamatan Wotu. Di tingkat kecamatan tersedia 15 Puskesmas dan 60 Puskesmas Pembantu, 4 klinik/balai kesehatan dan 16 apotik. Praktek dokter spesialis sudah tersedia pada sarana pemerintah sebanyak 3 unit praktek, di Rumah sakit Swasta PT Vale sebanyak 3 unit praktek dan praktek dokter spesialis secara mandiri sebanyak 3 unit. Sementara jumlah praktek dokter umum yang tercatat sebanyak 30 unit di sarana milik pemerintah, 24 unit di rumah sakit PT Vale dan 29 unit praktek secara mandiri. Sedangkan praktek dokter gigi

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu timur tercatat bahwa jumlah dokter umum sebanyak 41 orang, dokter gigi 17 orang, dokter spesialis 6 orang. Sementara jumlah apoteker sebanyak 12 orang, bidan sebanyak 189 orang, tenaga farmasi 44 orang dan perawat 289 orang. Tenaga medis tersebut tersebar di Puskesmas, Rumah sakit Umum Daerah dan Dinas Kesehatan.

2.1.4. KEADAAN BIOFISIK WILAYAH

A. Topografi dan Kemiringan Lereng Kabupaten Luwu Timur yang sebagian besar wilayahnya berada pada kawasan

Pegunungan Verbeck merupakan daerah yang bertopografi pegunungan. Namun di beberapa tempat merupakan daerah pedataran hingga rawa-rawa. Wilayah- wilayah yang bergunung adalah bagian utara dan barat sedangkan wilayah pedataran adalah bagian selatan dan barat. Kondisi datar sampai landai terdapat pada semua wilayah kecamatan dengan yang terluas di Kecamatan Angkona, Burau, Wotu, Malili dan Mangkutana. Sedangkan kondisi bergelombang dan bergunung yang terluas di Kecamatan Nuha, Mangkutana dan Towuti.

Hasil analisis kelerengan dan peta topografi menunjukkan bahwa Kabupaten Luwu Timur dapat dibagi menjadi 4 wilayah lereng dan satu danau. Penggolongan tersebut adalah pegunungan (>40%), perbukitan (15 –40%), bergelombang (8 –15%) dan pedataran (0–8%). Luas wilayah dengan kemiringan >40% mencapai 459.946,81 ha (69,20%), kemiringan 0-8% mencapai 105.653 ha, kemiringan 8-15% mencapai 11.846,62 ha, kemiringan 15-40% mencapai 11.446,05 ha dan danau mencapai luas 74.875,50 ha.

Kabupaten Luwu Timur didominasi oleh wilayah pegunungan (459.946,81 ha). Menandakan bahwa sebagian besar wilayah ini berada pada ketinggian. Jika dilihat posisi wilayah ini dari muka laut, maka Kabupaten Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur didominasi oleh wilayah pegunungan (459.946,81 ha). Menandakan bahwa sebagian besar wilayah ini berada pada ketinggian. Jika dilihat posisi wilayah ini dari muka laut, maka Kabupaten Luwu Timur

B. Geologi Kondisi geologi wilayah Luwu Timur diuraikan berdasarkan tinjauan

morfologi, stratigrafi dan struktur geologi.

a. Geomorfologi

Morfologi daerah ini dapat dibagi atas 4 satuan : Daerah Pegunungan, Daerah Perbukitan, Daerah Kars dan Daerah Pedataran.

Daerah Pegunungan menempati bagian barat dan tenggara pada lembar Buyu Baliase, Salindu, Lawangke, Pendolo, Mangkutana dan Rauta, Ballawai, Ledu ledu dan Tapara Masapi. Pada bagian tenggara lembar peta terdapat Pegunungan Verbeck dengan ketinggian 800-1346 m di atas permukaan laut, dibentuk oleh batuan ultramafik dan batugamping meliputi lembar Ledu-Ledu, Tara Masapi, Malili, Tolala dan Rauta. Puncak-puncaknya antara lain G. Tambake (1838 m), bulu Nowinokel (1700 m), G. Kaungabu (1760 m), Bulu Taipa (1346 m), Bulu ladu (1274 m), Bulu Burangga (1032 m) dan Bulu Lingke (1209 m). Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini yaitu S. Kalaena, S. Pincara, S. Larona dan S. Malili merupakan sungai utama. Pola aliran sungai umumnya dendritik.

Daerah perbukitan menempati bagian meliputi lembar Bone-Bone, Mangkutana, Wotu sebagian lembar Malili, dengan ketinggian antara 200-700 m di atas permukaan laut dan merupakan perbukitan yang agak landai yang terletak di antara daerah pegunungan dan daerah pedataran. Perbukitan ini dibentuk oleh batuan vulkanik, ultramafik dan batupasir. Puncak-puncak bukit yang terdapat di Daerah perbukitan menempati bagian meliputi lembar Bone-Bone, Mangkutana, Wotu sebagian lembar Malili, dengan ketinggian antara 200-700 m di atas permukaan laut dan merupakan perbukitan yang agak landai yang terletak di antara daerah pegunungan dan daerah pedataran. Perbukitan ini dibentuk oleh batuan vulkanik, ultramafik dan batupasir. Puncak-puncak bukit yang terdapat di

Daerah Kras menempati bagian timur laut pada peta lembar Matano dengan ketinggian antara 800-1700 m dari permukaan laut dan dibentuk oleh batugamping. Daerah ini dicirikan oleh adanya dolina, “sinkhole” dan sungai bawah permukaan. Puncak yang tinggi di daerah ini di antaranya Bulu Empenai (1185 m).

Daerah pedataran menempati daerah selatan semua lembar peta, melampar mulai dari utara Bone-bone, Wotu dan Malili. Daerah ini mempunyai ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut dan dibentuk oleh endapan aluvium. Pada umumnya merupakan daerah pemukiman dan pertanian yang baik. Sungai yang mengalir di daerah ini di antaranya S. Salonoa, S. Angkona dan S. Malili, menunjukkan proses berkelok.

Sungai-sungai yang bersumber di daerah pegunungan mengalir melewati daerah ini terus ke daerah pedataran dan bermuara di Teluk Bone. Pola alirannya dendrit. Terdapatnya pola aliran subdendritit dengan air terjun di beberapa tempat, terutama di daerah pegunungan, aliran sungai yang deras, serta dengan memperhatikan dataran yang agak luas di bagian selatan peta dan adanya perkelokan sungai utama, semuanya menunjukkan morfologi dewasa.

b. Stratigrafi

Berdasarkan himpunan satuan batuan, struktur dan biostratigrafi, secara regional lembar Malili termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Timur dan

Mandala Geologi Sulawesi Barat dibatasi oleh sesar Palu Koro yang membujur hampir utara – selatan. Mandala Geologi Sulawesi Timur dapat dibagi menjadi dua jalur (belt) : lajur batuan malihan dan lajur ofiolit Sulawesi Timur yang terdiri dari batuan ultramafik dan batuan sedimen pelagos mesozoikum. Mandala Geologi Sulawesi Barat dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen dan Neogen, intrusi Neogen dan sedimen flysch Mesozoikum yang diendapkan di pinggiran benua (Paparan Sunda).

Mandala Geologi Sulawesi Timur, berdasarkan jenis batuannya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu : 1) batuan ofiolit, 2) lajur metamorphic, 3) kompleks batuan campur aduk.

 Batuan ofiolit ; merupakan batuan tertua di lembar ini, terdiri dari ultramafik termasuk harzburgit, dunit, piroksenit, wehrlit dan serpentinit, setempat batuan mafik termasuk gabro dan basal. Umurnya belum dapat dipastikan, tetapi diperkirakan sama dengan ofiolit di lengan timur Sulawesi yang berumur Kapur – Awal Tersier (Simandjuntak, 1986).

 Lajur metamorfik, Kompleks Pompangeo ; terdiri dari berbagai jenis sekis hijau di antaranya sekis mika, sekis hornblende, sekis glaukopan, filit, batusabak, batugamping terdaunkan atau pualam dan setempat breksi. Umurnya diduga tidak lebih tua dari Kapur. Di atas ofiolit diendapkan tak selaras Formasi Matano ; bagian atas berupa batugamping kalsilutit, rijang radiolaria, argilit dan batulempung napalan, sedangkan bagian bawah tediri dari rijang radiolaria dengan sisipan kalsilutit yang semakin banyak ke bagian atas. Berdasarkan kandungan fosil formasi ini menunjukkan umur Kapur.

 Komplek batuan bancuh (Melange Wasuponda) ; terdiri dari bongkahan asing batuan mafik, serpentinit, pikrit, rijang, batugamping terdaunkan, sekis, amfibolit dan eklogit berbagai ukuran yang tertanam di dalam massa dasar

lempung merah bersisik. Batuan tektonika ini tersingkap baik di daerah Wasuponda serta di daerah Ensa, Koro Mueli dan Petumbea, diduga terbentuk sebelum Tersier (Simandjuntak, 1980).

Pada Kala Miosen Akhir batuan sedimen pasca orogenesa Neogen (kelompok Molasa Sulawesi) diendapkan tak selaras di atas batuan yang lebih tua. Kelompok ini termasuk Formasi Tomata yang terdiri dari klastika halus sampai kasar, dan Formasi Larona yang umumnya terdiri dari klastika kasar yang diendapkan dalam lingkungan dangkal sampai darat. Pengendapan ini terus berlangsung sampai Kala Pliosen.

c. Struktur Geologi

Struktur utama yang berkembang di daerah ini berupa lipatan, sesar dan kekar. Sesar meliputi sesar turun, sesar geser dan sesar naik. Daerah ini memiliki tektonik yang cukup kompleks dengan pengaruh dua sesar besar yaitu Sesar Palu- Koro dan Sesar Matano. Sesar Palu-Koro berarah relatif utara-selatan, sedangkan sesar Matano berarah barat laut – tenggara.

Ditinjau dari arah sumbunya pelipatan di wilayah ini dapat dibagi menjadi dua yaitu perlipatan yang berarah baratdaya-timurlaut dan perlipatan yang berarah baratlaut –tenggara. Jenis perlipatan yang teridentifikasi melalui kedudukan batuan adalah jenis antiklin.

Kekar terdapat dalam hampir semua satuan batuan. Terjadinya mungkin dalam beberapa periode, sejalan dengan perkembangan tektonik di daerah ini. Tegasan utama berarah N 330 oE, hasil pengukuran pada satuan sekis di Sungai Laimbo dan satuan metagamping di Sungai Kalaena kemungkinan merupakan arah sesar Regional Palu-Koro. Arah tegasan relatif timur barat N 270 OE dihasilkan dari pengukuran pada satuan peridotit di daerah Bonepute. Arah tegasan tersebut ditafsirkan sebagai arah Sesar Matano, kemungkinan arah ini adalah arah Sesar matano Bawah. Tegasan utama berarah N 20 oE, hasil pengukuran pada satuan peridotit di daerah Karebbe diperkirakan sebagai arah tegasan utama yang mengotrol Sesar Geser Lampea dan Sesar Naik Tabarano. Tegasan utama berarah N 345 oE, hasil pengukuran pada satuan batupasir sedang di Sungai Bungadidi ditafsirkan sebagai arah tegasan yang mempengaruhi pembentukan Perlipatan dan Sesar Naik Balease. Ditempat ini pula dilakukan pengukuran kekar tarik yang menghasilkan arah N 45 OE, arah tersebut akan memberikan dukungan terhadap keberadaan struktur sesar turun di wilayah ini.

Gambar 3. Peta Geologi Kabupaten Luwu Timur (Sumber : Bappeda Luwu Timur, 2010)

CV. WAHANA HALID MANDIRI 20

C. Jenis Tanah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Sulawesi Selatan Skala 1 :

250.000., diketahui bahwa di kabupaten Luwu Timur ditemukan sebanyak 14 kompleks jenis tanah. Tingkat kepekaan jenis tanah tersebut, ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 837/KPTS/UM/1981. Ke 14 kompleks jenis tanah di perlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 2. Kompleks Jenis Tanah Kabupaten Luwu Timur

Kompleks Jenis Tanah Tingkat Kepekaan Luas (ha)

Alluvial Hidromorf,gley humus

26.010 Alluvial Hidromorf kelabu

Tidak peka

8.622 Alluvial Hidromorf, organosol

Tidak peka

52.085 Alluvial hidromorf, Brown Forest Soil

Tidak peka

Tidak peka sampai kurang peka 22.286 Brown Forest Soil, Alluvial

Kurang peka sampai tidak peka 11.166 Grumusol, Mediteranian merah kuning

Peka sampai kurang peka 15.459 Latosol

234.787 Latosol, Litasol

Agak peka

Agak peka sampai sangat peka 21.602 Latosol, Andosol

5.014 Mediteranian merah kuning

Agak peka sampai peka

932 Podsolik kelabu coklat

Kurang peka

9.329 Podsolik merah kuning, Litosol

Peka

Peka sampai sangat peka 102.463 Podsolik merah kuning

18.721 Rendsina, Mediteranian merah kuning

Peka

Sangat peka sampai kurang 67.048

peka

Sumber :Bappeda Lutim, 2009.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jenis tanah Latosol dan komplkes Podsolik merah kuning, Litosol mendominasi wilayah Kabupaten Luwu Timur dengan luas areal masing-masing sebesar 234.787 ha dan 102.463 ha, sedangkan jenis tanah yang mempunyai sebaran areal terkecil adalah kompleks jenis tanah Litosol, andosol dengan luas areal hanya mencapai 5.014 ha. Peta sebaran jenis tanah di Kabupaten Luwu Timur.

Gambar 4. Peta Jenis Tanah di Kabupaten Luwu Timur (Sumber : Bappeda Luwu Timur, 2010)

CV. WAHANA HALID MANDIRI 23

D. Curah Hujan Dari data historis yang tersedia diperoleh bentuk pola curah hujan secara

umum untuk seluruh daerah pengamatan terjadi pola dengan 2 puncak musim hujan yaitu pada sekitar bulan April dan Oktober. Pengaruh monsun barat yang kaya uap air dan bertiup dari benua Asia dan Samudera Pasifik selama periode Desember, Januari, dan Februari tidak menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi dalam bulan-bulan ini. Jumlah curah hujan yang lebih tinggi justru terjadi pada bulan April, hingga Mei yang mana di beberapa tempat di Indonesia merupakan bulan transisi I yang juga dikenal sebagai bulan-bulan peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau.

Peningkatan jumlah curah hujan juga terjadi pada bulan Oktober, yaitu setelah periode JJA, dimana merupakan transisi kedua atau peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Pada bulan Oktober menuju bulan Desember perlahan jumlah curah hujan untuk seluruh stasiun mengalami kenaikan hingga mencapai 100-200 mm/bulan. Walaupun demikian jumlah curah hujan ini jauh lebih rendah dibanding jumlah curah hujan yang terjadi pada periode Maret, April, dan Mei yang mencapai nilai 300 mm/bulan hingga 400 mm/bulan.

Adanya 2 puncak hujan yang terjadi di Sorowako dan wilayah sekitarnya menandakan daerah ini merupakan daerah dengan pola hujan ekuitorial. Pola hujan ekuitorial adalah suatu pola hujan dengan dua puncak musim hujan. Puncak-puncak ini terjadi setelah ekinoks (waktu ketika matahari berada di atas khatulistiwa). Ekuinoks terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada 21 Maret dan 23 September, puncak-puncak hujan untuk daerah Sorowako terjadi di bulan April dan Oktober yakni ketika matahari berada dekat dengan khatulistiwa. Pada saat matahari berada pada posisi yang demikian, maka daerah-daerah yang dekat dengan ekuator akan mendapatkan suplai radiasi yang besar yang akan membantu terjadinya evaporasi yang pada akhirnya menyebabkan kondensasi awan dan melahirkan endapan hujan.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, yaitu hasil perhitungan rata-rata curah hujan bulanan dan maksimum rata-rata curah hujan bulanan menunjukkan jika Maret, April dan Mei merupakan bulan –bulan dengan curah hujan tinggi dan secara tidak langsung menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan basah. Sementara Agustus dan September dengan curah hujan yang lebih rendah dianggap sebagai bulan-bulan kering. Dari nilai curah hujan yang turun ke permukaan dapat dilihat jika secara umum distribusi curah hujan mengikuti pola pergerakan angin. Pola distribusi curah hujan bulan Januari, Februari, Maret memiliki tendensi yang besar ke arah timur. Ini di sebabkan karena proses penguapan lebih banyak terjadi pada daerah tubuh air seperti danau, dan sungai yang terletak di sekitar stasiun 3, dan 4. Sedangkan pada bulan April endapan hujan yang terjadi cukup seimbang antara dataran tinggi disebelah barat dan dataran rendah disebelah timur. Ini disebabkan karena pada bulan ini kecepatan angin dari arah barat melemah dan arah angin pada bulan ini tidak stabil mengingat bulan ini adalah bulan peralihan dari muson barat ke muson timur. Disamping itu pada bulan ini matahari masih berada dekat dengan khatulistiwa, sehingga daerah rendah di sebelah timur dengan bentangan tubuh air akan mengalami penguapan yang besar.

Pada bulan Juni, Juli, Agustus distribusi lebih dominan ke arah barat laut, utara, dan timur laut, sebab pada bulan ini matahari berada di Belahan Bumi Utara (BBU), akibatnya daerah pada sebelah barat laut, utara dan timur laut mendapat

radiasi matahari yang besar dan menyebabkan suhu tinggi serta tekanan yang rendah dibanding di sebelah selatan. Sehingga angin akan bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi disebelah selatan menuju ke arah daerah yang bertekanan rendah.

Pada bulan September pola sebaran hujan membesar ke arah tenggara dan endapan hujan lebih besar pada dataran rendah daripada dataran tinggi. Hal ini

terjadi sebab pada bulan ini matahari kembali berada di khatulistiwa sehingga daerah danau yang berada di sebelah tenggara mengalami penguapan dan akumulasi awan hujan yang besar dibanding daerah pegunungan di sebelah timur.

Di bulan Oktober, November, dan Desember endapan justru lebih kecil di sebelah tenggara. Pada bulan ini angin muson timur yang bertiup melemah dan berangsur digantikan oleh muson barat yang lembab, mengakibatkan daerah dataran tinggi di bagian barat memperoleh curah hujan yang besar.

Secara umum pola distribusi curah hujan tahunan menunjukaan arah yang semakin besar ke arah dataran tinggi disebelah barat laut. Ini disebabkan karena daerah disebelah barat adalah daerah dengan bentangan pegunungan. Pada daerah dataran tinggi suhu udara lebih rendah dibandingkan dataran rendah. Daerah sebelah barat merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 m dari permukaan laut. Sedangkan daerah sebelah timur merupakan dataran rendah yang < 500 m dari permukaan laut. Sepanjang tahun pola pergerakan angin bergerak dari dataran tinggi yang memiliki gradien tekanan yang tinggi menuju ke arah dataran rendah dengan gradien tekanan yang lebih rendah.

Karakteristik curah hujan bulanan pada setiap stasiun penakar curah hujan yang ada di Kabupaten Luwu Timur adalah sebagai berikut:

1. Curah hujan bulan Januari berkisar 205 mm/bln sampai dengan 305 mm/bln. Curah hujan terendah terjadi sekitar stasiun 2 (Wawondula) dengan nilai sebesar 210 mm/bulan. Sedangkan curah hujan tertinggi terjadi distasiun 3 (Dam site) sebesar 305 mm/bulan. Pada bulan ini curah hujan memiliki kecenderungan makin membesar ke arah timur laut.

2. Pada Bulan Februari berkisar 225 – 280 mm/bulan. Pola sebaran hujan pada bulan ini cenderung semakin mengecil ke arah barat laut, dimana daerah sekitar stasiun 5 (Hydro) memiliki curah hujan terendah, yaitu 230 mm/bulan, sedangkan curah hujan tertinggi sebesar 275 mm/bulan berada disekitar stasiun 4.

3. Pada bulan Maret pola distribusi hujan serta daerah maksimum dan minimum yang tampak, membentuk pola yang serupa dengan bulan Januari, dengan interval curah hujan yang bernilai cukup kecil, dengan nilai 350 3. Pada bulan Maret pola distribusi hujan serta daerah maksimum dan minimum yang tampak, membentuk pola yang serupa dengan bulan Januari, dengan interval curah hujan yang bernilai cukup kecil, dengan nilai 350

4. Curah hujan bulan April lumayan tinggi dibanding bulan lainnya. Pada bulan ini curah hujan berada kurang lebih sekitar 390 mm/bulan sampai kurang lebih 435 mm/bulan. Pola distribusi untuk April membentuk 2 klosur (kontur tertutup), masing-masing klosur negatif yang terbentuk senilai kurang dari 390 mm/bulan, dan klosur positif diatas 430 mm/bulan yang terbentuk disebelah selatan. Pada bulan ini daerah maksimum berada pada stasiun 3 (Dam Site) dan minimum di stasiun 1 (Plant Site) dengan nilai curah hujan kurang dari 400 mm/bulan.

5. Curah hujan pada bulan Mei berkisar 310 mm/bulan sampai dengan 395 mm/bulan dengan pola distribusi membentuk sebuah klosur positif sebagai daerah maksimum disekitar stasiun 1, sedangkan daerah minimum pada stasiun 4 dengan nilai dibawah 320 mm/bulan.

6. Untuk bulan Juni daerah curah hujan terendah masih berada disekitar stasiun 4 (Timampu) yaitu dibawah 230 mm/bulan. Pola distribusi bulan ini menunjukkan nilai curah hujan yang semakin besar ke arah timur laut. Adapun curah hujan tertinggi berada di sekitar stasiun 5 dengan nilai curah hujan sekitar 300 mm/bulan.

7. Pada bulan Juli nilai kisaran curah hujan berada antara 220 – 270 mm/bulan. Tendensi curah hujan tertinggi bergerak ke arah barat sekitar

stasiun 2 dengan nilai diatas 260 mm/bulan, sedangkan terendah pada stasiun tiga yang nilainya sekitar 225 mm/bulan.

8. Kisaran curah hujan untuk bulan Agustus berada antara 100 mm/bulan - 150 mm/bulan. Daerah minimum membentuk klosur negatif disekitar stasiun 2 (Wawondula) dengan harga sekitar 110 mm/bulan. Pada bulan ini daerah disebelah barat laut memiliki curah hujan yang besar. Untuk bulan ini daerah maksimum berada di stasiun 5 (Hydro).

9. Distribusi curah hujan untuk bulan September cenderung membesar ke arah Selatan. Variasi curah hujan bulan September berkisar kurang dari

110 mm/bulan – 130 mm/bulan lebih. Akumulasi curah hujan terendah membentuk sebuah klosur di sekitar stasiun 1 (Plant Site), dan curah hujan tertinggi berada di stasiun 4 (Timampu).

10. Variabilitas curah hujan bulanan untuk bulan Oktober menunjukkan curah hujan yang makin besar ke arah barat laut. Pada bulan ini curah hujan kisarannya berada antara 125-205 mm/bulan, dengan curah hujan tertinggi berada di stasiun 5 (Hydro) tepat disebelah barat laut dan curah hujan terendah di stasiun 3 (Dam Site) dengan nilai 125 mm/bulan.

11. Untuk bulan November pola tendensi distribusi curah hujan yang di bentuk mirip dengan bulan Agustus, tetapi daerah minimum bergeser ke stasiun 1 (Plant Site) dengan nilai 205 mm/bulan dan daerah maksimum berada di stasiun 5 dengan nilai curah hujan dengan nilai curah hujan 245 mm/bulan.

12. Tidak jauh berbeda dengan bulan Oktober dan November, pola yang sama juga di tunjukkan oleh bulan Desember, namun pada bulan ini daerah maksimum berada di sekitar stasiun 1 (Plant Site), sedangkan daerah minimum sama dengan posisi bulan Oktober. Pada bulan ini range curah hujan berkisar 220 mm/bulan – 275 mm/bulan.

Secara umum selama periode 1991-1998 distribusi curah hujan di sekitar Sorowako memiliki distribusi yang relatif rendah di arah Selatan dan relatif membesar ke arah barat laut. Dalam kurun waktu ini curah hujan rata-rata

berkisar 2950 – 3140 mm/tahun. Curah hujan terendah berada di stasiun 2 (Wawondula), yaitu 2950 mm/bulan, tepatnya disebelah selatan dan curah hujan hujan tertinggi berada di stasiun 5 (Hydro) yang berada di sebelah barat laut dengan nilai mencapai 3140 mm/bulan.

2.1.5. KONDISI OSEANOGRAFI DAN EKOSISTEM PESISIR

A. Pasang Surut Hasil pengukuran dan analisis data pasang surut menunjukkan bahwa tipe

pasang surut perairan Kabupaten Luwu Timur adalah campuran condong ke harian ganda. Kisaran pasang surut sebesar 178 cm.

B. Gelombang Gelombang yang terjadi di perairan pantai Kabupaten Luwu Timur adalah

gelombang yang diakibatkan oleh angin yang bertiup di permukaan laut. Tinggi Gelombang daerah ini bervariasi menurut musim, kecepatan angin dan tinggi amplitudo pasang surut. Pada musim timur (hujan), yaitu bulan April - September gelombang lebih tinggi dibanding pada musim barat (Oktober - Maret). Hasil pengamatan gelombang didapatkan tinggi gelombang berkisar 15 cm - 25 cm. Gelombang yang pecah di pantai menimbulkan arus horisontal dan arus balik vertikal pantai. Arus balik ini yang dapat mengangkut sedimen di daerah pesisir dan akan mengakibatkan perubahan garis pantai dan penutupan mulut sungai.

C. Arus Arus di laut dapat diakibatkan oleh tiupan angin atau pengaruh pasang surut

untuk perairan pantai umum didominasi oleh arus pasang surut. Pada saat pasang naik, arus menuju ke pantai, sebaliknya pada pasang surut arah menuju ke laut. Pola arus di pantai yang disebabkan oleh angin arahnya dapat pengaruhi oleh arah angin. Hasil pengamatan di lapangan didapatkan kecepatan arus berkisar 0,02 - 0,60 m/detik.

D. Kualitas Air Perairan

a. pH, Salinitas, Suhu, dan DO

pH rata-rata perairan laut berkisar antara 7,89 sampai 8,23, salinitas berada pada kisaran 14 - 34 ppt, Sedangkan suhu permukaan air laut berkisar 29° pH rata-rata perairan laut berkisar antara 7,89 sampai 8,23, salinitas berada pada kisaran 14 - 34 ppt, Sedangkan suhu permukaan air laut berkisar 29°

Secara keseluruhan, berdasarkan parameter kualitas air yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dapat disimpulkan bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan laut di lokasi studi masih dalam batas kisaran yang cukup baik untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan laut, pariwisata bahari, dan kegiatan lainnya.

b. Fosfat

Kandungan fosfat perairan di lokasi didapatkan antara 0,159 - 4,954 mg/L, namun sebagian besar berada pada kisaran yang lebih kecil daripada 1,80 mg/L yang merupakan kisaran yang warn untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wardoyo (1974) bahwa kandungan fosfat yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,09 - 1,80 mg/L. Dengan demikian berdasarkan kadar fosfat-nya maka sebagian besar perairan di lokasi studi masih berada pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton.

c. Nitrat

Berbeda dengan fosfat, kadar nitrat yang diperoleh di perairan Luwu Timur tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,040 - 1,445 Mg/L. Berdasarkan nilai

kandungan tersebut maka perairan Kabupaten Luwu TImur secara umum dapat dikatakan sebagai perairan yang memiliki kandungan zat hara rendah (Oligotrofik). Wetzel (1975) mengelompokan perairan berdasarkan kandungan nitratnya yaitu oligotrofik bila kadar nitrat perairan berkisar antara 0-1 ppm.

Sumber utama nitrat dalam perairan selain berasal dari suplai nutrien dari: darat berupa bahan organik yang selanjutnya diuraikan oleh mikroba, juga dapat berasal dari udara dan hasil fiksasi oleh bakteri-bakteri nitrat. Penyebab Sumber utama nitrat dalam perairan selain berasal dari suplai nutrien dari: darat berupa bahan organik yang selanjutnya diuraikan oleh mikroba, juga dapat berasal dari udara dan hasil fiksasi oleh bakteri-bakteri nitrat. Penyebab

d. Klorofil-a

Kadar klorofil-a perairan didapatkan berkisar antara 0,00208 - 0,02634 ppm. Kisaran yang diperoleh tersebut mengindikasikan bahwa perairan Kabupaten Luwu Timur tergolong perairan oligotrofik karena kadar yang didapat < 1 ppm (Smith, 1999).

Klorofil-a merupakan kandungan yang umum dari setiap tumbuhan yang berklorofil termasuk fitoplankton. Ada kecenderungan bahwa kadar klorofil-a berkorelasi positif dan kuat dengan kelimpahan fitoplankton dan kadar nutrien perairan, sehingga perairan yang produktif yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi juga memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi. Rendahnya kadar klorofil-a tentu saja terkait dengan rendahnya kadar nitrat perairan yang didapatkan. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan tersebut tergolong perairan yang kurang produktif di mana produktivitas primer dihasilkan tidak akan banyak mendukung biomassa rantai-rantai makanan selanjutnya dalam suatu ekosistem, termasuk biomassa ikan yang dapat dipanen oleh nelayan.

E. Batimetri Topografi wilayah Kecamatan Wotu, Malili, Angkona, dan Burau relatif

daerah datar dan daerah pesisir. Kondisi pantai dari kecamatan tersebut relatif landai berlumpur dan berpasir dengan kedalaman mencapai kurang lebih 45 m pada batas kewenangan sejauh 4 mil.

Gambar 5. Peta Batimetri Kec. Malili dan Kec. Angkona (Sumber : Bappeda Luwu Timur,2010)

Gambar 6. Peta Batimetri Kec. Wotu dan Kec. Burau (Sumber : Bappeda Luwu Timur,2010)

F. Ekosistem Mangrove Formasi hutan mangrove di sepanjang pantai terdapat di bagian pinggir