Tugas Penulisan Naskah dalam keikutserta
Tugas Penulisan Naskah dalam keikutsertaan penguatan nilai-nilai kebangsaan yang dilaksana oleh
Lembaga Ketahanan Nasioanal RI
Nama : Hardiansyah
Banjamasin, 27 Agustus 2014
Perwakilan Pelita(Pemuda Lintas Agama Kalsel)
“KAYUH BAIMBAI” KEARIFAN LOKAL DALAM BINGKAI BHINIKA TUNGGAL
IKA DITENGAH PLURALITAS MASYARAKAT BANJAR
Kemajemukan masyarakat Banjar sebagian dari masyarakat Indonesia sampai saat ini
masih terlihat jelas. Hiruk pikuk aktifitas masyarakatnya tidak terlepas dari hubungan sosial
dengan sesame dan lingkungan yang cenderung mempunyai terciptanya konflik. Pluralitas
masyarakat banjar dapat dilihat dari berbagai segi kehidupan, antara lain bidang politik, social,
ekonomi dan budaya, yang kesemuanya mempunyai hubungan erat terhadap perkembangan
masyarakat banjar itu sendiri.
Dalam sejarah masyarakat banjar berbagai konflik yang terjadi dapat bersumber pada
perbedaan suku, agama, golongan, pandangan hidup, gaya hidup, kepentingan, egoism,
persaingan dan perebutan kekuasaan. saya mencoba meng analogikan sebuah lagu daerah kalsel
yang dari dulu sering di nyayiakan saampai sekarang. Yang lirik nya berbunyi “ampar ampar
pisang, pisangku balum masak. Masak sabigi dihurung bari-bari” yang artinya kurang lebih;
hamparan-hamparan pisang yang belum masak, ketika masak sebiji langsung dihurung binatang
“bari-bari”. Ketika masak hanya sebiji , kemudian pisang itu di perbutkan.
Namun begitu
perbedaan tersebut tidak semuanya menjadi konflik karena bisa saja perbedaan tersebut malah
menjadi unsure pemersatu. Contohnya ketika terjadi perang Banjar (1859-1905) ketika banteng
Orange Nassau di Pengaron diserang oleh pasukan Antasari. Perang ini memakan waktu yang
relative lama yang melibatkan tidak hanya orang-orang Banjar saja tetapi juga orang-orang
Dayak. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang mereka untuk bersatu mengusir
penjajah. Jadi sejak dulu sebenarnya pluralitas dalam masyarakat banjar itu sudah ada dan tidak
selamanya pluralitas tersebut menjadi konflik. Dan para pendahulu daerah ini sudah
membuktikan bahwa pluralitas bisa berarti positif
Dilihat dari laatar belakang masyarakat banjar itu, masyarakat banjar merupakan sebuah
kelompok atau grup. Orang Banjar itu setidak-tidak terdiri dari etnik dominan kemudian unsur
Bukit, Ngaju, dan Maanyan. Perpaduan etnik tersebut lama-kelamaan menimbulkan perpaduan
kultural. (A. Gazali Usman, 1990).
Bhinika Tunggal Ika” Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, semboyan tersebut sudah kita
akui sebagai semboyan nasional yang memadukan semua unsur di dalamnya. Dalam kehidupan
masyarakat Banjar kita juga semboyan pemersatu sekaligus penyemangat dalam keseharian yang
merupakan kesepakatan bersama dan mempunyai makna serta tujuan tersendiri. Semboyan;
Gawi sabarataan, Gawi Sabumi, Ruhui Rahayu, kayuh Baimbai, Salidah, Saijaan, Rakat Mufakat
dan sebagainya merupakan tafsiran para pendahulu dalam upaya untuk meredam konflik
plularitas di Masyarakat.
Gawi sabumi, seperti juga Gotong royong, merefleksikan mengerjakan sesuatu secara
bersama tetapi secara serabutan. Dari sisi ini sebenarnya mencerminkan kebiasaan dari banyak
suku bangsa di Indonesia. Bahwa dalam hal gotong royong menurut Koentjaraningrat(1984: 56)
juga merupakan istilah yang baru diperkenalkan kepada bangsa Indonesia mungkin menjelang
atau tidak lama sesudah proklamasi. Dalam kayuh baimabai terdapat unsure keserasian,
keharmonisan, saling menghargai dan percaya kepada pihak yang melakukan pekerjaan secara
bersama-sama. Pada konsep ini, kayuh baimbai tidak bermuatan soal kemitraan semata tetapi
juga tidak meninggalkan esinsi nilai tolong menolong dan salim bantu. (Baambang Subiayakto<
banjarbaru 2005)
Membicarakan pluralitas kiranya kita perlu juga membahas tentang kebudayaan karena
pluralitas itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan dan merupakan wujud dari kebudayaan
itu sendiri. Secara umum dalam kamus besar bahasa Indonesia
disebutan kebudayaan
mempunyai arti :
Hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat.
Antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
dipergunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya yang menjadi
pedoman tingkah laku.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa dalam ilmu sosial,
kebudayaan merupakan himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berpikir,
berperasaan dan berbuat serta segala sesuatu yang dimiliki manusia sebagai anggota
masyarakat yang dapat dipelajari dan dialihkan dari satu generasi kegenerasi
selanjutnya.
Koentjaraningrat (1995) menyebutkan kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan,
tindakan dan hasil karya cipta dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Masyarakat Banjar dikenal identik dengan agama islam, Alfian daut (1997) secara baik
sekali mengemukakan tentang kebudayaan masyarakat banjar dalam disertasinya islam dan
masyarakat banjar : Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Alfian menguraikan tentang
kepercayaan
yang dianut oleh orang-orang banjar yang dibedakan atas tiga macam, yaitu
pertama kepercayaan yang bersumber dari ajaran islam (kepercayaan islam), kedua kepercayaan
yang mungkin ada kaitanya dengan struktur masyarakat Banjar pada zaman dulu atau dikenal
dengan istilah bubuhan. (bubuhan ini masih ada dalam masyarakat Banjar sekarang). Ketiga,
kepercayaan dengan tafsiran masyarakat atas alam lingkungan sekitarnya, yang mungkin
adakalanya berkaitan pula dengan kategori kedua.
Dengan pemahaman kebudayaan tersebut kiranya dapat secara arif dan bijaksaana
untuk menyikapi adanya pluralitas yang ada di masyarakat. Sangat menari pula untuk
dikemuakan disini tentang Tradisi Demokrasi dalam perspetif sejarah Banjar yang di
kemukakan oleh Bambang Subiyato (2001) bahwa masyarakat Banjar pada dasarnya
adalah masyarakat agraris yang terbuka, egaliter dan resiprokal. Karena itu
kebudayaan masyarakatnya dengan sendiri bersifat Demokratis, sebab hierarki bukan
merupakan produk alamiah melainkan produk kultural, akal budi manusia.
Sifat egaliter dan resiprokal tersebut pada masyarakat Banjar tercermin oleh rasa tidak
suka terhadap pemaksa kekuasaan. mereka lebih mengutamakan kebebasan dan kemerdekaaan
serta perdamaian atau bekerja sama,
Seperti diungkapkan faruk H.T (1994) bahwa bahasa banjar cenderung sederhana,
mempunyai kosa kata terbatas jumlahnya sehingga komunikasi kebahasaan sangat terikat pada
situasi kontak personal dan langsung. Implikasinya pertama ikatan orang Banjar pada struktur
simbolik yang abstrak itu. Termasu didalamnya seperangat norma atau aturan mengenai
hubungan sosial. Kedua, sofistikasi budaya Banjar relative rendah karena keterikatanya yang
relatif kuat pada hubungan-hubungan yang bersifat langsung baik hubungan produksi (dengan
alam), hubungan sosial, ekonomi maupun politik.
Demorasi dalam prespektif budaya dan sejarah Banjar adalah demokrasi yang bersifat
langsung dari setiap struktur atau kebijaksanaan sebagai dampak tidak langsung atau jangka
panjangnya (faruk,1994)
Dengan demikian jelas terlihat bagaimana sebenarnya masyarakat Banjar dengan
kemajemukannya tersendiri telah mampu menyatukan unsure-unsur budayanya menjadi satu
kesatuan sebagai cirri khas daerah dari masyarakat banjar itu sendiri. Apapun alasan dalam
upaya penyeragaman budaya yang ada merupakan suatu pengingkaran atas realita yang ada
dimasyarakat. Seperti dikemukakan terdahulu bahwa dalam budaya banjar terdapat nilai-nilai
demokrasi yang sudah lama mengakar, kemudian peranan bubuhan juga sangat dominan dalam
keseharian kita, menjadikan masyarakat banjar sebenarnya sudah mempunyai filter terhadap
konfik. Namun begitu sebagaimana perkembangan zaman yang mampu mempengaruhi
kehidupan seorang dimasyarakat dan masyarakat itu sendiri benih-benih konfik itu tetap ada.
Sekarang adalah tugas kita bersama-sama untuk tetap menjaga dan meningkatkan rasa
kebersamaan dalam keeluargaan yang terhimpun dalam satu kesatuan budaya banjar usaha untuk
meredam konfik yang ada dalam fluralitas masyarakat.
Hal ini perlu untuk dikemukakan karena sekarang kesadaran akan adanya pluralitas
dimasyakat sangat kurang dan menurun. Banyak factor yang mempengaruhi dan itu harus
disadari betul. Dengan pemahaman terhadap kebudayaan banjar sendiri kita harapkan akan
mampu membangkitkan kembali kesadaran pluralisme dalam meredam konfik yang mungin
sudah ada. Kita tentunya tidak ingin seperti daerah lain yang sedang susah karena adanya
berbagai gejolak konflik yang terjadi, seperti daerah papua, aceh dan lainnya. Berbagai
kerusakan bangunan rumah, toko, perkantoran dan pasilitas umum yang telah memakan korban
harta benda yang tak terhitung malah banyak korban jiwsa yang melayang karena konflik
tersebut. Jangan pernah membayangkan daerah kita akan terjadi seperti dulu seperti kejadian di
jum’at kelabu di Banjarmasin.
Upaya yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah agar kita dapat
menghormati adanya perbedaan yang ada, jangan menjadikan sebagai pemisah tetapi menjadian
sebagai pemersatu bangsa . saling menghargai antar sesama dan menumbuhkan kembali sifat
serta sikap kekeluargaan yang menjungjung tinggi musyawarah untuk mufakat. Menghindarkan
persaingan yang tidak sehat dala segi kehidupan berpolitik, sosial, ekonomi dan budaya.
Menghilangkan adanya rasa curiga antar sesame untuk mecegah rasa permusuhan yang
berkepanjangan, dan sebagai Negara hukum hendaknya kita menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan kebenaran dalam hukum. Melihat pluralitas yang ada dimasyarakat, pemerintah
daerah dan pusat hendaknya lebih bijaksana untuk merencanakan, memutuskan dan menjalankan
kebijakan yang ada agar tidak bertentangan dengan keinginan masyarakat. Para pengambil
keputusan janganlah hanya mengambil keuntungan sepihak dan sesaat untuk kepentingan pribadi
atau kelompok atau etnik tertentu yang merupakan pemicu awal yang harus dihindari, sebalinya
yang harus kita kembangkan adalah upaya memahami adanya perbedaan itu untuk
menjadikannya alat sebagai pemersatu. Akhirnya dengan adanya kesadaran pluralitas dengan
mengambil contoh Gawi sabumi tadi diharapkan masyaraat kita akan lebih dewasa dalam
memahami dan menyikapi hal itu yang tentunya memgang teguh sesanti bangsa ini. Yaitu
Bhinika Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Dalam perjalan sejarah daerah ini telah menunjukan bagaimana pluralitas yang ada akan
berdampak positif bagi perkembangan masyarakat Banjar itu sendiri.
Lembaga Ketahanan Nasioanal RI
Nama : Hardiansyah
Banjamasin, 27 Agustus 2014
Perwakilan Pelita(Pemuda Lintas Agama Kalsel)
“KAYUH BAIMBAI” KEARIFAN LOKAL DALAM BINGKAI BHINIKA TUNGGAL
IKA DITENGAH PLURALITAS MASYARAKAT BANJAR
Kemajemukan masyarakat Banjar sebagian dari masyarakat Indonesia sampai saat ini
masih terlihat jelas. Hiruk pikuk aktifitas masyarakatnya tidak terlepas dari hubungan sosial
dengan sesame dan lingkungan yang cenderung mempunyai terciptanya konflik. Pluralitas
masyarakat banjar dapat dilihat dari berbagai segi kehidupan, antara lain bidang politik, social,
ekonomi dan budaya, yang kesemuanya mempunyai hubungan erat terhadap perkembangan
masyarakat banjar itu sendiri.
Dalam sejarah masyarakat banjar berbagai konflik yang terjadi dapat bersumber pada
perbedaan suku, agama, golongan, pandangan hidup, gaya hidup, kepentingan, egoism,
persaingan dan perebutan kekuasaan. saya mencoba meng analogikan sebuah lagu daerah kalsel
yang dari dulu sering di nyayiakan saampai sekarang. Yang lirik nya berbunyi “ampar ampar
pisang, pisangku balum masak. Masak sabigi dihurung bari-bari” yang artinya kurang lebih;
hamparan-hamparan pisang yang belum masak, ketika masak sebiji langsung dihurung binatang
“bari-bari”. Ketika masak hanya sebiji , kemudian pisang itu di perbutkan.
Namun begitu
perbedaan tersebut tidak semuanya menjadi konflik karena bisa saja perbedaan tersebut malah
menjadi unsure pemersatu. Contohnya ketika terjadi perang Banjar (1859-1905) ketika banteng
Orange Nassau di Pengaron diserang oleh pasukan Antasari. Perang ini memakan waktu yang
relative lama yang melibatkan tidak hanya orang-orang Banjar saja tetapi juga orang-orang
Dayak. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang mereka untuk bersatu mengusir
penjajah. Jadi sejak dulu sebenarnya pluralitas dalam masyarakat banjar itu sudah ada dan tidak
selamanya pluralitas tersebut menjadi konflik. Dan para pendahulu daerah ini sudah
membuktikan bahwa pluralitas bisa berarti positif
Dilihat dari laatar belakang masyarakat banjar itu, masyarakat banjar merupakan sebuah
kelompok atau grup. Orang Banjar itu setidak-tidak terdiri dari etnik dominan kemudian unsur
Bukit, Ngaju, dan Maanyan. Perpaduan etnik tersebut lama-kelamaan menimbulkan perpaduan
kultural. (A. Gazali Usman, 1990).
Bhinika Tunggal Ika” Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, semboyan tersebut sudah kita
akui sebagai semboyan nasional yang memadukan semua unsur di dalamnya. Dalam kehidupan
masyarakat Banjar kita juga semboyan pemersatu sekaligus penyemangat dalam keseharian yang
merupakan kesepakatan bersama dan mempunyai makna serta tujuan tersendiri. Semboyan;
Gawi sabarataan, Gawi Sabumi, Ruhui Rahayu, kayuh Baimbai, Salidah, Saijaan, Rakat Mufakat
dan sebagainya merupakan tafsiran para pendahulu dalam upaya untuk meredam konflik
plularitas di Masyarakat.
Gawi sabumi, seperti juga Gotong royong, merefleksikan mengerjakan sesuatu secara
bersama tetapi secara serabutan. Dari sisi ini sebenarnya mencerminkan kebiasaan dari banyak
suku bangsa di Indonesia. Bahwa dalam hal gotong royong menurut Koentjaraningrat(1984: 56)
juga merupakan istilah yang baru diperkenalkan kepada bangsa Indonesia mungkin menjelang
atau tidak lama sesudah proklamasi. Dalam kayuh baimabai terdapat unsure keserasian,
keharmonisan, saling menghargai dan percaya kepada pihak yang melakukan pekerjaan secara
bersama-sama. Pada konsep ini, kayuh baimbai tidak bermuatan soal kemitraan semata tetapi
juga tidak meninggalkan esinsi nilai tolong menolong dan salim bantu. (Baambang Subiayakto<
banjarbaru 2005)
Membicarakan pluralitas kiranya kita perlu juga membahas tentang kebudayaan karena
pluralitas itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan dan merupakan wujud dari kebudayaan
itu sendiri. Secara umum dalam kamus besar bahasa Indonesia
disebutan kebudayaan
mempunyai arti :
Hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat.
Antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
dipergunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya yang menjadi
pedoman tingkah laku.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa dalam ilmu sosial,
kebudayaan merupakan himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berpikir,
berperasaan dan berbuat serta segala sesuatu yang dimiliki manusia sebagai anggota
masyarakat yang dapat dipelajari dan dialihkan dari satu generasi kegenerasi
selanjutnya.
Koentjaraningrat (1995) menyebutkan kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan,
tindakan dan hasil karya cipta dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Masyarakat Banjar dikenal identik dengan agama islam, Alfian daut (1997) secara baik
sekali mengemukakan tentang kebudayaan masyarakat banjar dalam disertasinya islam dan
masyarakat banjar : Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Alfian menguraikan tentang
kepercayaan
yang dianut oleh orang-orang banjar yang dibedakan atas tiga macam, yaitu
pertama kepercayaan yang bersumber dari ajaran islam (kepercayaan islam), kedua kepercayaan
yang mungkin ada kaitanya dengan struktur masyarakat Banjar pada zaman dulu atau dikenal
dengan istilah bubuhan. (bubuhan ini masih ada dalam masyarakat Banjar sekarang). Ketiga,
kepercayaan dengan tafsiran masyarakat atas alam lingkungan sekitarnya, yang mungkin
adakalanya berkaitan pula dengan kategori kedua.
Dengan pemahaman kebudayaan tersebut kiranya dapat secara arif dan bijaksaana
untuk menyikapi adanya pluralitas yang ada di masyarakat. Sangat menari pula untuk
dikemuakan disini tentang Tradisi Demokrasi dalam perspetif sejarah Banjar yang di
kemukakan oleh Bambang Subiyato (2001) bahwa masyarakat Banjar pada dasarnya
adalah masyarakat agraris yang terbuka, egaliter dan resiprokal. Karena itu
kebudayaan masyarakatnya dengan sendiri bersifat Demokratis, sebab hierarki bukan
merupakan produk alamiah melainkan produk kultural, akal budi manusia.
Sifat egaliter dan resiprokal tersebut pada masyarakat Banjar tercermin oleh rasa tidak
suka terhadap pemaksa kekuasaan. mereka lebih mengutamakan kebebasan dan kemerdekaaan
serta perdamaian atau bekerja sama,
Seperti diungkapkan faruk H.T (1994) bahwa bahasa banjar cenderung sederhana,
mempunyai kosa kata terbatas jumlahnya sehingga komunikasi kebahasaan sangat terikat pada
situasi kontak personal dan langsung. Implikasinya pertama ikatan orang Banjar pada struktur
simbolik yang abstrak itu. Termasu didalamnya seperangat norma atau aturan mengenai
hubungan sosial. Kedua, sofistikasi budaya Banjar relative rendah karena keterikatanya yang
relatif kuat pada hubungan-hubungan yang bersifat langsung baik hubungan produksi (dengan
alam), hubungan sosial, ekonomi maupun politik.
Demorasi dalam prespektif budaya dan sejarah Banjar adalah demokrasi yang bersifat
langsung dari setiap struktur atau kebijaksanaan sebagai dampak tidak langsung atau jangka
panjangnya (faruk,1994)
Dengan demikian jelas terlihat bagaimana sebenarnya masyarakat Banjar dengan
kemajemukannya tersendiri telah mampu menyatukan unsure-unsur budayanya menjadi satu
kesatuan sebagai cirri khas daerah dari masyarakat banjar itu sendiri. Apapun alasan dalam
upaya penyeragaman budaya yang ada merupakan suatu pengingkaran atas realita yang ada
dimasyarakat. Seperti dikemukakan terdahulu bahwa dalam budaya banjar terdapat nilai-nilai
demokrasi yang sudah lama mengakar, kemudian peranan bubuhan juga sangat dominan dalam
keseharian kita, menjadikan masyarakat banjar sebenarnya sudah mempunyai filter terhadap
konfik. Namun begitu sebagaimana perkembangan zaman yang mampu mempengaruhi
kehidupan seorang dimasyarakat dan masyarakat itu sendiri benih-benih konfik itu tetap ada.
Sekarang adalah tugas kita bersama-sama untuk tetap menjaga dan meningkatkan rasa
kebersamaan dalam keeluargaan yang terhimpun dalam satu kesatuan budaya banjar usaha untuk
meredam konfik yang ada dalam fluralitas masyarakat.
Hal ini perlu untuk dikemukakan karena sekarang kesadaran akan adanya pluralitas
dimasyakat sangat kurang dan menurun. Banyak factor yang mempengaruhi dan itu harus
disadari betul. Dengan pemahaman terhadap kebudayaan banjar sendiri kita harapkan akan
mampu membangkitkan kembali kesadaran pluralisme dalam meredam konfik yang mungin
sudah ada. Kita tentunya tidak ingin seperti daerah lain yang sedang susah karena adanya
berbagai gejolak konflik yang terjadi, seperti daerah papua, aceh dan lainnya. Berbagai
kerusakan bangunan rumah, toko, perkantoran dan pasilitas umum yang telah memakan korban
harta benda yang tak terhitung malah banyak korban jiwsa yang melayang karena konflik
tersebut. Jangan pernah membayangkan daerah kita akan terjadi seperti dulu seperti kejadian di
jum’at kelabu di Banjarmasin.
Upaya yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah agar kita dapat
menghormati adanya perbedaan yang ada, jangan menjadikan sebagai pemisah tetapi menjadian
sebagai pemersatu bangsa . saling menghargai antar sesama dan menumbuhkan kembali sifat
serta sikap kekeluargaan yang menjungjung tinggi musyawarah untuk mufakat. Menghindarkan
persaingan yang tidak sehat dala segi kehidupan berpolitik, sosial, ekonomi dan budaya.
Menghilangkan adanya rasa curiga antar sesame untuk mecegah rasa permusuhan yang
berkepanjangan, dan sebagai Negara hukum hendaknya kita menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan kebenaran dalam hukum. Melihat pluralitas yang ada dimasyarakat, pemerintah
daerah dan pusat hendaknya lebih bijaksana untuk merencanakan, memutuskan dan menjalankan
kebijakan yang ada agar tidak bertentangan dengan keinginan masyarakat. Para pengambil
keputusan janganlah hanya mengambil keuntungan sepihak dan sesaat untuk kepentingan pribadi
atau kelompok atau etnik tertentu yang merupakan pemicu awal yang harus dihindari, sebalinya
yang harus kita kembangkan adalah upaya memahami adanya perbedaan itu untuk
menjadikannya alat sebagai pemersatu. Akhirnya dengan adanya kesadaran pluralitas dengan
mengambil contoh Gawi sabumi tadi diharapkan masyaraat kita akan lebih dewasa dalam
memahami dan menyikapi hal itu yang tentunya memgang teguh sesanti bangsa ini. Yaitu
Bhinika Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Dalam perjalan sejarah daerah ini telah menunjukan bagaimana pluralitas yang ada akan
berdampak positif bagi perkembangan masyarakat Banjar itu sendiri.